Selama tiga hari Zena harus menginap di rumah sakit selama itu juga Dirga tidak menghubungi atau sekedar mengirim pesan menanyakan keberadaan mereka. Serena sendiri juga tidak mau ambil pusing dengan suaminya itu. Sekarang Ia hanya fokus pada putri semata wayangnya. Sebelumnya Zena tidak pernah di rawat inap di rumah sakit sehingga membuat gadis kecil itu sedikit takut dan tidak mau lepas dari pelukan Serena. Bersyukurnya ada Nurida dan Al putranya yang setiap pulang sekolah datang untuk bercanda dengan Zena. Tidak ketinggalan Dewa yang setiap hari menyempatkan datang setiap jam makan siang untuk membawakan mainan untuk Zena. Sedangkan Gibran menemani adiknya itu bermalam di rumah sakit. Serena dan Nurida langsung berucap syukur ketika dokter memberitahu Zena sudah sembuh dan bisa pulang setelah menyelesaikan administrasinya. Serena merasa sangat lega dan berkali-kali berucap syukur. Ia segera mengirim pesan pada Kakaknya dan Dewa untuk mengabarkan jika Sore ini Zena sudah di izinkan
"Bagaimana keadaan Zena?" tanya Dirga. Serena menatap Dirga heran, apa dia tidak salah dengar Dirga menanyakan keadaan Zena? "Sudah lebih baik hanya tinggal pemulihan saja." jawab Serena datar. "Kenapa kamu tidak memberitahuku? Harusnya kamu menghubungiku jika Zena sakit," protes Dirga tidak terima karena Serena tidak memberitahunya dan malah menghubungi Dewa. "Untuk apa?" Serena bertanya balik. "Apa itu penting?" Dirga menyatukan kedua alisnya, "Maksud kamu?" tanyanya. "Untuk apa aku harus memberitahu kamu? Biasanya jika Zena sakit kamu juga tidak pernah peduli kan? Kamu hanya mengantarkan kami ke dokter setelah itu apa? Kamu menyerahkan semuanya padaku. Lalu untuk apa aku memberitahumu?" kata Serena mencibir suaminya itu. Dirga menatap tajam Serena, dia merasa tertampar dengan kata-kata Serena. Namun dia adalah Ayah kandung dari Zena jadi dia punya hak tahu keadaan putrinya. "Terlepas dari semua yang kamu katakan, aku adalah ayah kandung Zena. Harusnya kamu menghubungiku kare
Sudah satu minggu sejak kepulangan Zena dari rumah sakit. Selama itu juga Dirga dan Serena masih tak saling bicara. Dirga pulang jam 9 malam setelah Serena dan Zena tidur. Dan saat pagi Dirga akan keluar ketika istri dan anaknya itu berangkat. Dirga juga tidak lagi menaruh baju kotornya di keranjang khusus baju kotor di dekat mesin cuci. Ia membawa baju kotornya ke laundry dekat kantornya sekalian berangkat kerja. Serena berusaha untuk tetap tegar dan kuat meski hatinya sudah sangat hancur dan tak berbentuk lagi. Sekarang yang ia lakukan adalah berusaha menyakinkan dirinya jika memang perpisahan adalah keputusan yang terbaik maka dia harus siap dan yakin bahwa dirinya mampu menjaga dan merawat Zena seorang diri. Setelah mengamati sikap Dirga beberapa hari ini, Serena semakin yakin jika perceraianlah yang di inginkan oleh Dirga sama seperti keinginan keluarga suaminya itu. Bukan tanpa alasan Serena berpikir seperti itu melainkan karena tak sekali pun suaminya itu meminta maaf atas sem
"Aku akan keluar sebentar, bicaralah dengannya!" ucap Aira pada Serena lalu melangkah menuju pintu, "Aku akan membuatnya kembali padamu," sambungnya lirih sebelum sebelum menutup pintu ruang perawatan Kaisar. Di dalam kamar Serena hanya menatap lekat wajah pucat Kaisar. Hatinya terasa kalut dan gelisah. Ada rasa takut yang menyelimuti hatinya. Tanpa terasa air mata mulai membasahi wajah cantiknya itu. "Apa ini yang kamu mau?" Serena mengusap air matanya kasar, "Bangun dan jelaskan semuanya! Ini sudah dua bulan dan kamu hanya tertidur. Aku sudah lelah jadi bangunlah! Jelaskan apa yang di katakan Aira itu tidak benar!" ucapnya dengan nada kesal karena teringat bagaimana Kaisar mempermainkan dan menipu perasaannya dulu. "Kamu tidak pernah mencintaiku. Semua janji dan kata-kata cinta yang kamu ucapkan adalah bohong!" Serena menatap tajam pada pria yang terbaring tak berdaya di hadapannya itu. "Dulu kamu hanya mempermainkan aku. Kamu membodohiku dengan berpura-pura mencintaiku selama em
Sampai pagi Serena tidak mau keluar kamar. Dia tidak menghiraukan panggilan Dirga yang memintanya keluar. Setelah sholat shubuh Serena segera mengirim pesan pada guru sekolah Zena untuk mengabarkan jika hari ini Zena tidak masuk sekolah. Tidak lupa dia juga mengirim pesan pada Aira jika hari ini ia juga tidak bisa datang dan berjanji akan datang esok harinya. Dia sudah memasukkan beberapa baju Zena dan bajunya ke dalam koper. Juga semua buku sekolah Zena ke dalam tas sekolah milik putrinya itu. Kali ini hatinya sudah benar-benar yakin untuk melepaskan Dirga. Setelah melihat sikap Zena tadi malam membuatnya yakin jika semua pengorbanannya sia-sia. "Zena, bangun sayang! Ayo mandi!" Serena seger membawa putrinya itu ke kamar mandi yang ada di dalam kamar. Setelah selesai, Serena memakaikan baju biasa yang membuat gadis kecil itu terlihat bingung. "Zena gak pakai seragam sekolah Ma? Memang ini hari apa?" tanyanya polos. "Hari ini kita mau jalan-jalan," jawab Serena sembari memakaikan c
"Tunggu!" Dirga mengeratkan genggamannya pada pegangan koper. "Baik, aku setuju. Aku akan membuat surat perjanjian seperti yang kamu inginkan." Dirga tak punya pilihan selain menuruti keinginan Serena. "Hubungi aku jika suratnya sudah siap!" ucap Serena lalu menarik paksa kopernya. "Lepas!" sentaknya karena Dirga tetap menolak melepaskan koper milik Serena yang ia pegang. "Aku akan membuatnya sekarang. Tunggulah sebentar!" pintanya setelah ikut berdiri. "Baik." Serena melepaskan kopernya lalu kembali duduk di sofa yang tadi ia duduki. Setelah menarik nafas panjang Dirga berjalan memasuki kamarnya untuk membuat surat perjanjian seperti yang didinginkan istrinya itu. Sekitar 15 menit, Dirga keluar kembali dengan membawa dua lembar kertas yang sudah di tempel materai. Dirga meletakkannya di meja beserta sebuah pulpen. Serena mengerutkan dahinya melihat ada dua kertas perjanjian yang di tunjukkan Dirga. "Ini perjanjian yang kamu inginkan silahkan kamu baca!" Dirga mengangsurkan satu
Dirga mengajak anak dan isterinya makan siang di restoran siap saji karena setahu Dirga putrinya itu sangat menyukai ayam goreng. Dirga menyuruh Serena memesan makanan menggunakan kartu ATM miliknya tapi Serena menolak dengan alasan dia sudah tidak ingat dengan pinnya. Dari pada ribut di tempat umum, akhirnya Dirga memilih untuk diam dan memasukkan kembali ATMnya ke dalam dompetnya. "Di habiskan ayamnya ya,!" suruh Serena pada Zena yang duduk di samping. "Siap Mama," jawab Zena patuh. Dirga memandang sendu pada dua wanita beda usia yang telah menemaninya selama delapan tahun ini. Tanpa sadar Dirga tersenyum melihat putrinya yang pendiam bercerita tentang sekolahnya pada Serena sambil sesekali tersenyum. Baru kali ini Dirga benar-benar melihat putrinya tertawa dengan lepas dan ceria. Ternyata Zena bisa begitu cerewet jika bersama Serena, hal yang tidak pernah di perhatikannya selama ini. Tanpa sadar Dirga tersenyum ketika melihat Zena dan Serena tertawa. Hal itu sudah lama sekali
Pagi ini Dirga setelah sholat subuh Dirga tidak kembali tidur seperti biasanya. Ia memutuskan untuk keluar kamarnya dan menuju dapur. Dirga tersenyum tipis ketika melihat Serena sedang sibuk berkutat dengan alat-alat dapur dan bahan makanan. "Masak apa?" tanya Dirga tiba-tiba berdiri di balik table kitchen. "Astaga," pekik Serena kaget. "Kamu ngagetin saja," kesal Serena setelah menoleh pada Dirga yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya sambil tersenyum tipis. "Sorry, kamu pasti melamun makanya kaget!" ujar Dirga sambil tersenyum. "Ck.. Gak lucu," Serena berdecak kesal. "Aku cuma bertanya Rena, tapi kamu yang berlebihan. Begitu aja sudah kaget," ceplos Dirga tanpa sadar mengucapkan kata berlebihan yang sangat di benci Serena. Sontak membuat Serena menoleh dan memandang tak suka pada pria itu. Menyadari kesalahannya Dirga lantas mengalihkan dengan bertanya hal lain. "Pagi-pagi sudah melamun. Memang siapa yang sedang kamu pikirkan?" tanyanya sedikit canggung. "Yang pasti buka
"Sah" pekik sang penghulu yang langsung di sambut riuh para saksi. "Sah," Suara para saksi terdengar kompak disusul. lantunan do'a dari sang penghulu dan segera diaminkan oleh seluruh yang hadir di ruangan itu. "Alhamdulillah,," Suara lirih Rahma penuh syukur. "Iya Alhamdulillah ya Bun. Akhirnya Mas, Gibran menikah juga," sahut Serena sambil mengelus punggung wanita paruh baya itu. Rahma hanya menghela nafas dengan pandangan yang sendu kearah sepasang pengantin yang nampak bahagia dengan senyum sumringah di wajah keduanya. "Bunda, senyum dong. Pengantinnya mau minta do'a restu," ujar Serena saat Gibran dan Nurida mendekati sang Bunda untuk sungkem. Hari ini adalah pernikahan Gibran dan Nurida. Setelah satu tahun meminta berjuang akhirnya hari ini mereka bisa melangsungkan akad nikah dengan restu dari Rahma. Ya, awalnya Rahma menolak memberi restu Gibran menikahi sahabat Serena itu. Rahma menginginkan menantu yang statusnya sama dengan Gibran. Bukan seorang janda dengan satu ana
"Ru rujuk? maksudnya?" tanya Serena menoleh pada Dirga. "Beberapa bulan yang lalu Anita mengajukan gugatan cerai pada Andika." Dirga menjawab pertanyaan Serena lalu mengalihkan pandangannya pada Hendrawan. "Bukannya perceraian mereka sudah di putuskan pengadilan?" "Iya tapi belum mengikrarkan talak. Selama perpisahan mereka Andika belum pernah mengucap talak." penjelasan Hendrawan mendapat anggukan mengerti dari Dirga. Serena hanya diam tanpa berniat berkomentar. Ia masih tidak percaya mendengar berita perceraian adik iparnya itu. Apalagi selama ini Hendra dan Mirna selalu membanggakan rumah tangga putri bungsunya itu sangat harmonis. "Rena, kenapa tamunya tidak di ajak masuk?" Rahma ikut keluar menyambut besannya itu. Dengan senyum ramah ibu Serena mengulurkan tangannya menyalami kedua orang tua menantunya itu. "Ayo silahkan masuk!" ajak Rahma menggiring besannya itu untuk masuk ke sisi lain ruang tamu yang memang di peruntukkan untuk menjamu tamu yang datang. "Maaf duduknya di
Sudah dari kemarin Dirga dan Serena menempati rumah baru mereka. Tak ketinggalan Rahma dan Gibran juga keluarga kecil Indira ikut menginap sejak semalam. sudan dari selesai sholat shubuh Rahma sibuk mengatur persiapan acara ulang tahun sekaligus tasyakuran rumah baru putri bungsunya. Di bantu dua orang asisten rumah tangga ia sibuk di dapur. Rencananya pada jam 9 pagi akan diadakan pengajian bersama dengan mengundang para tetangga juga saudara dan teman-teman Dirga. Untuk ulang tahun Zena akan diadakan setelah dhuhur. Bukan hanya Rahma, Indira pun begitu. Kakak kedua Serena itu juga sibuk mengatur tempat dan bingkisan untuk para undangan. "Inah, kamu taruh semua bingkisan itu di depan. Di bawah tenda ya!" perintahnya pada seorang asisten rumah tangga yang baru di pekerjakan oleh Dirga sejak dua hari yang lalu. "Periksa juga bingkisan untuk undangan ulang tahun Zena! Jumlahnya kurang atau tidak?" sambungnya lalu berjalan menuju dapur. "Rena, cateringnya datang jam berapa? Acaranya
"Siapa yang akan mengacaukan? Dirga bisa sesukses ini juga karena kita. Enak sekali keluarga Serena, tidak merasakan susahnya sekarang ikut menikmati hasil kesuksesan Dirga," gerutu Hendrawan. "Minta alamatnya. Minggu depan kita berangkat ke sana," "Apa Ayah Tidak malu bicara seperti itu?" Mirna menatap tajam suaminya. "Sudah lupa apa yang Ayah lakukan pada Dirga?" Pertanyaan Mirna sontak menyulut emosi di dada Hendrawan. Dengan rahang yang mengeras pria paruh baya itu membalas tatapan Mirna tak kalah tajam. Namun kali ini Mirna tidak takut apalagi segan. Ia sudah sangat jengah dengan dengan sikap dan perangai suaminya itu. "Aku pikir beberapa bulan ini kamu sudah berubah, tapi nyatanya aku salah. Kamu tetap egois dan tidak mau mengakui salah." "Apa maksudmu?" sentak Hendrawan emosi. "Apa perlu aku mengulangi perkataan Dirga dua tahun lalu? Apa perlu aku mengulik kesalahan suamiku yang tidak pernah mau kamu akui?" Mirna menarik nafas panjang untuk sedikit mengurangi rasa kesalnya
Sekitar pukul setengah tujuh malam, mobil dirga memasuki pelataran rumah besar mertuanya. Serena membuka pintu rumah bersamaan dengan Dirga yang keluar dari mobilnya dengan membawa banyak bawaan di kedua tangannya. "Biar kubantu Mas," ujar Serena segera mendekat dan mengambil satu kotak besar dari tangan kanan Dirga. "Hati-hati itu kue ulang tahun untuk Zena," sahut Dirga sedikit khawatir. "Iya," jawab Serena tersenyum lalu berjalan masuk lebih dulu. "Dimana Zena?" tanya Dirga berjalan dibelakang Serena. "Zena lagi di kamar Bunda bersama Rendy dan Raka." Serena segera meletakkan kuenya di sisi meja makan. "Malam Ga," sapa Indira yang berjalan keluar dari dapur dengan segelas air putih di tangannya. "Malam juga Mbak. Mana Mas Abimana?" sahut Dirga bertanya bersikap ramah."Tu," indira menunjuk ke arah ruang tengah. Dua orang pria duduk sambil berbincang. "Halo Ga," Abimana mengangkat tangannya menyapa yang di jawab anggukan oleh Dirga. Merasa sungkan Dirga hendak berjalan untuk
Setelah sholat shubuh Dirga mendatangi ibu mertuanya untuk memberia tahu jika nanti malam dia akan membuat kejutan ulang tahun untuk putrinya. Dirga meminta Rahma untuk memberi tahu Indira dan Gibran untuk ikut datang. Sebenarnya Dirga ingin mengadakan pesta ulang tahun putrinya itu di rumah baru mereka namun dikarenakan rumah baru mereka belum siap untuk ditempati akhirnya Serena menyarankan untuk memberikan kejutan kecil dan nanti setelah rumah mereka sudah siap akan membuat pesta ulang tahun Zena bersamaan dengan tasyakuran rumah baru mereka. Setelah semua anaknya dan menantunya berangkat Rahma segera menelpon putri ke duanya untuk memintanya datang malam ini seperti permintaan menantu sulungnya. "Tentu saja kami akan datang Bun. Tanpa Bunda telfon aku dan anak-anak sudah berniat ke rumah Bunda sepulang sekolah nanti dan Mas Aby akan menyusul sepulang kerja. Kami tidak akan lupa dengan ulang tahun princess Zena," jawab Indira saat Rahma memintanya datang. Mendengar jawaban putr
"Kamu percaya sama aku kan? Aku bersumpah aku hanya menganggapnya teman. Kami bertemu hanya untuk berbincang dan bertukar pikiran saja." Kembali ia berusaha menyakinkan istrinya itu. Ia tahu jika kediaman Serena karena masih ada kerguan di hati istrinya itu. "Kenapa dulu kamu tidak ingin berbincang dan bertukar pikiran denganku?" tanya Serena yang membuat Dirga terdiam lalu perlahan menegakkan kembali punggungnya. "Apa karena aku tidak enak diajak bicara?" "Karena aku bodoh. Aku tidak tahu caranya berbicara denganmu sehingga kita selalu berakhir dengan bertengkar," jawab Dirga dengan ekspresi khawatir.Dirga sangat menyesal mengapa harus membahas Meysa. Mungkin seharusnya ia tidak membahas sahabat lamanya itu. Ia benar-benar tidak ingin hubungannya dengan Serena kembali merenggang hanya karena seseorang yang sama sekali tidak penting bagi Dirga. "Hemm," Serena menganggukkan kepalanya lalu tersenyum. "Pergilah mandi! Lalu keluar untuk makan malam." Kembali Dirga menghela nafas, mes
Beberapa hari ini Dirga harus pulang terlambat karena harus menyelesaikan persiapan launching produk baru perusahaanya. Jika seminggu kemarin ia sampai rumah pada pukul 10 malam, namun hari ini ia bisa pulang lebih awal. Sekitar pukul delapan malam Dirga sudah sampai di rumah. Serena segera menyambut Dirga begitu mendengar suara mobil suaminya itu memasuki pelataran rumah. Saat Dirga hendak masuk kamar nampak putrinya sedang belajar di ruang tengah. Zena terlihat sangat serius dengan buku-buku di depannya. Gadis kecil itu duduk di atas karpet dengan meja kecil yang menjadi tumpuannya. Zena sama sekali tidak menyadari kepulangan ayahnya. "Mandi dan ganti baju dulu, setelah itu baru menyapanya," ujar Serena setelah menepuk pundak Dirga yang berdiri di depan pintu kamar sembari memandang putri mereka yang sedang serius belajar. "Besok dia ada lomba matematika. Dia agak minder karena ini di Jakarta makanya ia sangat serius belajar," tambahnya bercerita. Dirga menoleh sambil mengerutkan
Serena menggeliat ketika tidurnya merasa terganggu sesuatu yang keras menempel erat di perutnya yang ramping. Satu tangannya meraba pada benda yang terasa keras dan berotot. Seketika matanya terbuka lebar saat ia sadar benda yang melingkar di perutnya adalah sebuah tangan kekar entah milik siapa? Serena mengangkat kepalanya dan menoleh ke belakang. "Astaga.," pekiknya tertahan. Dirga memeluknya dari belakang. "Bikin kaget saja, kamu kenapa tidur di sini?" Serena memukul lengan kekar yang memeluknya itu. Masih dalam keadaan setengah sadar Dirga membuka matanya, "Apa Rena? aku ngantuk besok aja bicaranya," keluh Dirga dengan suara serak dan mata menyipit. "Kamu itu ngapain tidur disini?" tanya Serena. Meski sudah beberapa hari ini Dirga tinggal serumah dengannya tapi Serena belum mengizinkan Dirga untuk tidur satu ranjang dengan dirinya. Jika Dirga tidur dengan Zena maka Serena akan memilih tidur di kamar Bundanya. Serena beranjak bangun dari tidurnya. Dengan posisi duduk ia menatap