Ketika mobil melaju meninggalkan rumah sakit, Janeetha duduk di kursi penumpang, matanya menatap kosong ke luar jendela.Bayangan wajah ayahnya yang terbaring lemah di ICU masih terpatri kuat dalam ingatannya.Namun, bukan hanya itu yang menghantui pikirannya—tapi juga apa yang akan menantinya di rumah.Dikara duduk di sampingnya, mengemudi dengan tenang. Keheningan di antara mereka begitu tegang, seolah-olah setiap tarikan napas mereka dapat memicu ledakan baru.Janeetha dapat merasakan aura mengancam yang terpancar dari suaminya, meski pria itu tidak berkata sepatah kata pun sejak meninggalkan rumah sakit.Seluruh tubuh Janeetha mulai gemetar, tetapi ia berusaha keras menahan. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan suaminya—tidak lagi.Bagaimanapun, di balik ketakutannya, ada dorongan kuat untuk bertahan, untuk mencari celah yang bisa ia gunakan melarikan diri dari pria yang mengendalikan hidupnya.Tiba-tiba, Dikara berbicar
Janeetha menelan ludah, tubuhnya kaku di bawah sentuhan Dikara yang dingin tetapi penuh kendali. Napasnya terasa berat. Ia tahu pertanyaan suaminya bukan sekadar pertanyaan biasa, melainkan sebuah peringatan.“S-siap untuk apa?” suara Janeetha terdengar bergetar, meski ia berusaha keras untuk tetap tenang.Dikara kembali tersenyum tipis, tatapannya menyelidik melalui pantulan di cermin. Kedua tangan yang menggenggam bahu Janeetha mulai bergerak pelan, turun ke lengannya, memaksa tubuhnya untuk bereaksi dengan ketegangan yang semakin memuncak."Kau tahu apa yang kumaksud, Janeetha," Dikara berbisik lagi, membuat Janeetha semakin terjepit di antara rasa takut dan kepasrahan.Janeetha tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke depan, menatap pantulan dirinya yang tampak semakin kecil dan tak berdaya. Seolah dirinya yang di dalam cermin itu bukanlah dirinya yang sebenarnya—melainkan bayangan dari seorang wanita yang hilang kendali.Dikara tertawa kecil, tawa yang terasa seolah mencemooh ke
"Kau tahu apa yang akan terjadi jika kau melawan lagi, bukan?" Ia melontarkan pertanyaan yang tak memerlukan jawaban.Janeetha tahu, Dikara selalu punya cara untuk memastikan ia tak bisa lari. Tak ada yang luput dari kendali pria itu—baik tubuh maupun pikirannya sudah lama menjadi milik Dikara.Sayangnya, kali ini Janeetha menolak menyerah sepenuhnya.“Aku tahu,” jawab Janeetha pelan, suaranya nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membuat Dikara merasa puas.Dikara tersenyum kecil, kemenangan terpancar di wajahnya. "Bagus."Sebelum pria itu bangkit dari tempat tidur, ia sempat mencium bibir Janeetha sekali lagi, lalu berjalan menuju jendela kamar.Janeetha yang masih berusaha menguasai dirinya, mengamati punggung suaminya yang terlihat seperti monster dalam bayangan malam.Dengan gerakan perlahan Dikara membuka tirai, seolah memperlihatkan bahwa dunia di luar itu miliknya—dan Janeetha, hanyalah boneka yang tak punya tempat selain di sampingnya.“Kau boleh istirahat malam ini,” lanjut
Pagi itu, Janeetha terbangun dengan tubuh yang masih terasa lelah, seolah-olah jejak malam sebelumnya belum sepenuhnya menghilang dari dirinya. Ia duduk sejenak di tepi ranjang, menghela napas sebelum memaksakan diri untuk bangkit dan membersihkan diri.Setelah mencuci muka, Janeetha melangkah keluar kamar, disambut oleh aroma makanan yang menggelitik indera penciumannya dengan cara yang hampir mengganggu.Menelusuri sumber aroma itu, Janeetha melangkah pelan menuju dapur. Di sana, ia mendapati Dikara, berdiri di depan kompor dengan ekspresi serius yang tak biasa. Tangannya cekatan, seolah ia sudah terbiasa memasak.Pemandangan ini membuat Janeetha tertegun; lelaki ini jarang sekali berada di dapur, apalagi dengan begitu tenang dan fokus.Tanpa menoleh, Dikara menyadari kehadirannya. Ia perlahan menatap Janeetha, matanya tajam tetapi ada sekilas kehangatan yang terasa ambigu.“Selamat pagi,” sapanya singkat. Tanpa basa-basi, ia meletakkan piring penuh makanan di meja makan. “Dudukla
Janeetha menatapnya, kali ini dengan keberanian yang mulai tumbuh. “Ini bukan tentang itu, Mas. Ini tentang hakku untuk hidup tanpa ketakutan, tanpa tekanan yang tak pernah aku pilih!”Wajah Dikara mengeras, tetapi Janeetha bisa melihat sesuatu yang lain di matanya, semacam kerentanan yang begitu langka ia temui dari pria ini.Namun, Janeetha tahu dirinya tidak boleh terbuai. Segalanya bisa berubah dalam sekejap dengan Dikara atau mungkin saja itu semua ada kedok yang sengaja pria itu pakai. Setiap detik yang mereka lalui bersama selalu mengandung kemungkinan konflik yang lebih besar. Dikara menghela napas panjang, kemudian berbalik, meninggalkan Janeetha sendirian di ruang makan. Janeetha kembali bertanya-tanya atas sikap Dikara yang mulai mengurangi kekerasan fisik padanya.Sebelum Dikara benar-benar keluar dari ruangan, ia berkata tanpa menoleh, “Jangan berpikir ini sudah selesai, Janeetha. Kau bisa berkata apa saja dan berbuat apa saja, tapi pada akhirnya, kau akan tetap di sini.
Janeetha merasakan tatapan tajam Dikara yang membuat tengkuknya meremang.Saat dering ponsel dari Fabian bergema lagi, Janeetha menggeleng pelan, menolak dengan hati-hati.Namun, Dikara hanya mengulurkan tangannya dengan dingin, isyarat yang tak bisa diabaikan."Angkat," katanya dengan nada rendah yang mengandung ancaman terselubung.Janeetha menggenggam ponselnya dengan erat, hatinya berdebar kencang. "Tidak perlu. Aku akan bilang nanti padanya kalau—""Atau aku yang menjawabnya?"Dikara memotong, suaranya semakin rendah dan menusuk.Janeetha menelan ludah, menyadari bahwa tak ada ruang untuk berdebat. Dengan tangan bergetar, ia menjawab panggilan itu sambil berharap bisa menjaga ketenangannya.Dikara menggerakkan jemarinya, menunjuk layar ponsel, memerintah Janeetha tanpa kata-kata untuk mengaktifkan mode loudspeaker. Tak ada pilihan lain—Janeetha melakukannya, dan suara Fabian langsung terdengar, penuh kekhawatiran.“Ja
Dua tahun yang lalu... "Menikah?" Dikara menatap ke arah ayahnya, Farhan, dengan dahi sedikit berkerut. "Ya. Toh kau sudah 30 tahun. Susah saatnya." Jawaban itu terdengar santai tetapi Dikara tahu itu adalah sebuat perintah yang terselubung. Dengan tenang, Dikara memilih untuk menyesap anggur merah dari gelas tinggi yang sedang ia pegang daripada memberikan pendapatnya. "Kau setuju, 'kan?" Ditanya seperti itu, Dikara hanya tersenyum sekilas, kembali menatap ayahnya. "Tentu. Apapun yang baik menurut Ayah." "Sepertinya bertemu dengan keluarga Khazim akan menyenangkan, bukan?" Farhan kembali mengusulkan. “Khazim? Maksud Ayah, Pradipta Khazim? Teman lama Ayah?” Dikara bertanya sedikit ragu. Pasalnya, keluarga Khazim tidak terlalu memiliki pengaruh di dunia bisnis apalagi kabar beredar perusahaan sedang bangkrut perlahan. Farhan menatap serius ke anaknya. “Ada masalah?” Dikara terdiam sebentar lalu kembali tersenyum tipis. “Tidak.” “Kudengar anak mereka sudah tumbuh de
“Kau suka?”Dikara melontarkan pertanyaan sederhana, tapi Janeetha tak langsung menjawab.Gadis itu hanya terdiam, sibuk memindai benda-benda yang disuguhkan di hadapannya.Gaun putih berbahan silk yang mewah menggantung di sisi ruangan, penuh kesempurnaan. Sepasang sepatu hak tinggi berkilau dengan perhiasan kristal, sementara di meja kecil dekatnya, kalung berlian dan anting senada siap menyempurnakan penampilan pengantin yang sudah pasti akan membuat semua orang terkesima.Meski dalam hatinya ada perasaan berdebar karena keindahan yang jarang dilihatnya, Janeetha tetap tak bisa mengabaikan perasaan asing yang terus menyusup.Semua ini terasa terlalu berlebihan, terlalu asing, dan seakan-akan membawanya pada sesuatu yang mungkin ia tak pernah benar-benar inginkan.Namun, seberapa kuat Janeetha dapat melawan?Dikara, pria yang berdiri di sebelahnya, mengamati setiap reaksi dengan sorot mata yang tajam.Ia tidak han
Janeetha memandang ke luar jendela, menyaksikan lampu-lampu jalan yang berkelebat. “Aku hanya ingin jauh dari dia. Itu saja.”“Terkadang, menjauh saja tidak cukup,” kata Arman, nadanya serius. “Kau harus memastikan dia tidak bisa menemukanmu lagi. Itu artinya, kau juga harus menghilangkan apa pun yang bisa mengikatmu padanya.”Kata-kata itu membuat Janeetha terdiam. Ia tahu maksud Arman, tapi memutuskan semua itu tidaklah mudah. Ada terlalu banyak hal yang masih menahannya, meskipun ia tahu semua itu juga yang membuatnya terjebak.Mobil melambat saat memasuki sebuah gang kecil. Arman menghentikan kendaraan dan mematikan mesin. “Kita ganti mobil di sini,” ujarnya singkat.Janeetha menatapnya dengan cemas. “Kenapa? Apa ada sesuatu yang salah?”“Tidak,” jawab Arman sambil turun dari mobil. “Ini hanya langkah pengamanan. Fabian memastikan kita tidak meninggalkan jejak.”Janeetha turun dari mobil, memeluk tas kecilnya erat-erat. Di depan mereka, sebuah mobil lain sudah menunggu. Seorang wa
Rusli merasa seluruh tubuhnya membeku.Namun, sebelum ia bisa menjawab, Dikara melanjutkan, “Dengar, Rusli. Aku sudah cukup lama bekerja denganmu untuk tahu kapan kau mulai berbohong. Jika kau menyembunyikan apa pun dariku…”Pria itu sengaja berhenti sejenak, agar Rusli benar-benar memikirkan kembali tindakannya. “Aku sendiri yang akan memastikan bahwa kau menyesali keputusan ini.”“Tentu tidak, Tuan,” jawab Rusli cepat, mencoba menenangkan situasi. “Saya hanya mencoba melindungi kepentingan Anda.”“Kalau begitu, buktikan!” sahut Dikara dingin. “Kau punya waktu sampai tengah hari untuk membawa laporan tentang Fabian dan rekaman yang kuminta. Kalau tidak…” Dikara tidak melanjutkan kalimatnya, tetapi ancamannya jelas terasa.“Saya mengerti, Tuan,” balas Rusli dengan nada patuh.Sambungan telepon pun terputus, meninggalkan Rusli dalam diam. Ia memijat pelipisnya yang berdenyut, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tahu Dikara semakin curiga, dan waktunya untuk membantu Janeetha semakin sed
Hingga akhirnya saat pintu itu terbuka, udara dingin dari luar langsung menyambutnya.Janeetha sempat terdiam sepersekian detik menikmati aroma udara kebebasan lalu bergegas keluar melangkah keluar. Rasanya, dadanya ingin meledak saat kakinya melewati pintu dan merasakan kebebasan kecil untuk pertama kalinya. Namun, ia tahu ini baru permulaan.Di kejauhan, sebuah mobil hitam dengan kaca gelap menunggunya. Sopirnya mengangguk cepat begitu melihat Janeetha.Saat kaca jendela bagian supir turun, pria itu berkata, “Cepat masuk!”Tanpa ragu, Janeetha mempercepat langkahnya dan bergegas masuk ke dalam mobil, menutup pintu di belakangnya.Mobil pun mulai bergerak. Janeetha menatap keluar jendela, menyaksikan hotel itu menjauh.Rasa haru dan bahagia begitu membuncah menyesakkan dadanya hingga akhirnya air mata merebak di pelupuk mata wanita itu. Ia bahkan harus menutup mulutnya dengan tangan agar isakannya tidak keluar.Supi
Pagi hari di hotel itu tenang.Namun, bagi Janeetha, setiap langkah yang ia ambil terasa seperti berjalan di seutas tali yang berada di atas lautan api.Semalam, ia tak dapat memejamkan matanya dengan tenang karena terlalu bersemangat sekaligus khawatir.Tak ingin membuang waktu, Janeetha bergegas keluar dari kamarnya dan turun. Ia mengenakan gaun ringan berwarna pastel, dengan tas kecil yang tersampir di pundaknya.Penampilannya memang terlihat santai, tetapi hatinya tidak tenang.Suara langkah kakinya yang beradu dengan lantai marmer di lorong menggema, mengiringi jantungnya yang berdetak cukup kencang.Di dalam lift menuju spa, Janeetha mengatur napasnya, mencoba menenangkan debaran di dada. Ia tahu bahwa setiap detik pagi ini penting, dan ia harus memanfaatkan kesempatan yang ada.Ketika pintu lift terbuka, aroma terapi lavender langsung menyambutJaneetha. Musik lembut mengalun di latar belakang, memberikan ilusi ketenangan yang
Dikara duduk di kursi besar di ruang kerja hotelnya. Pria itu sedang membaca laporan yang dikirim oleh beberapa orang suruhannya yang mengikuti Janeetha.Mata hitamnya menelusuri setiap detail dalam laporan itu, mencoba menemukan sesuatu yang luput dari perhatian. Sejauh ini, tidak ada gerakan mencurigakan dari Janeetha. Ia tetap berada di hotel, berjalan-jalan di area sekitar tanpa menunjukkan tanda-tanda ingin kabur.Namun, rasa lega yang seharusnya muncul malah tenggelam dalam pusaran rasa tidak puas yang semakin dalam.Dikara meletakkan ponselnya ke atas meja dengan gerakan kasar, suara benda itu menyentak keheningan ruangan. Ia menyandarkan punggung ke kursi, tetapi bukannya merasa nyaman, tubuhnya terasa semakin tegang.Tatapannya kosong, terpaku pada sesuatu yang tak terlihat di depan sana. Pikirannya berputar begitu cepat, seperti mesin yang tak pernah berhenti bekerja, hingga dada terasa sesak.“Kenapa rasanya semua ini masih salah?” gumamnya pelan, hampir seperti bisikan kep
BAB 108 - "Langkah di Bawah Bayang-Bayang"Dingin malam menyentuh kulit Janeetha saat ia turun dari taksi. Matanya mengamati hotel mewah yang menjulang di hadapannya—tempat yang telah dipesankan Rusli untuknya.Pilihannya tampak disengaja, hotel ini memiliki keamanan tinggi, membuat siapa pun sulit bertindak ceroboh. Namun, Janeetha tahu, di balik kenyamanan ini, Dikara tetap menebarkan bayang-bayangnya.Janeetha melangkah masuk ke lobi hotel dengan langkah percaya diri, meski hatinya dipenuhi ketegangan. Aroma wangi kayu cendana memenuhi udara, bercampur dengan keheningan khas hotel bintang lima. Seorang resepsionis wanita menyambutnya dengan senyum hangat.“Selamat malam, Nyonya. Apa yang bisa kami bantu?”Janeetha menyerahkan dokumen yang telah diberikan Rusli kepadanya. “Saya ingin check-in. Nama saya sudah terdaftar di bawah reservasi.”“Baik, Nyonya. Sebentar ya,” jawab resepsionis dengan sopan, mengetik cepat di komputer.Janeetha mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencoba
Malam semakin larut, tetapi Dikara tetap terjaga. Ia duduk dalam kegelapan kamar hotelnya, hanya diterangi oleh lampu-lampu kota yang redup dari balik jendela besar yang tirainya sengaja ia biarkan terbuka. Tatapannya kosong, mengarah ke panorama malam yang tak memberikan ketenangan apa pun pada pikirannya.Segelas whiskey di tangan Dikara kini tinggal separuh. Ia menyesapnya perlahan, merasakan panasnya mengalir di tenggorokan, tetapi itu tak cukup untuk mengusir rasa gelisah yang terus membakar pikirannya.Pikirannya tertuju pada Janeetha. Ia tahu, saat ini wanita itu masih berada di atas pesawat, menuju Ardenton dalam penerbangan panjang yang melelahkan."Dia pasti merasa bosan sendirian di pesawat," gumam Dikara pelan. Sebuah senyum tipis menghiasi wajahnya, tetapi senyum itu segera pudar, tergantikan oleh ekspresi masam."Astaga, aku bertingkah seperti orang bodoh," desisnya sambil mendecak keras. Ia memalingkan wajahnya ke arah meja kecil di dekat tempat tidurnya, di mana ponseln
Dikara duduk di kursi kulit hitam yang mewah di sudut suite hotelnya. Pemandangan kota yang gemerlap terbentang di balik dinding kaca, tetapi pikirannya berada di tempat lain. Jemarinya menggenggam ponsel dengan erat, membaca ulang pesan singkat yang baru saja diterimanya.[Pesawat Nyonya sudah take off, Tuan.]Pria itu mengetukkan jarinya ke meja dengan ritme pelan namun teratur, sebuah kebiasaan yang muncul setiap kali pikirannya terganggu.“Kenapa rasanya ada yang salah?” gumamnya pelan.Dikara mencoba membuang pikiran itu dengan meminum kopi hitam di depannya. Rasanya pahit, seperti perasaannya saat ini.Ia sudah memastikan semuanya terkendali—menempatkan orang-orangnya di dekat Janeetha, memastikan keberadaannya diketahui setiap saat, bahkan menyiapkan rencana cadangan.Namun, tetap saja, hati pria itu terasa gelisah.Pikirannya mulai berputar. Bagaimana jika Janeetha benar-benar mencoba melarikan diri darinya? Bagaimana jika...“Tidak,” gumamnya lagi, lebih keras kali ini, seaka
Perjalanan menuju bandara terasa begitu panjang bagi Janeetha, meskipun jam di dashboard mobil menunjukkan waktu terus bergulir. Jalanan sore itu cukup lengang, tetapi di dalam kendaraan, suasana penuh dengan ketegangan yang tak terlihat.Janeetha duduk di kursi belakang, kedua tangannya menggenggam erat tas kecil di pangkuannya. Matanya melirik keluar jendela, tetapi pikirannya melayang jauh.Rusli yang berada di belakang kemudi mengamati gerak gerik Janeetha beberapa kali melalui kaca spion tengah. Pria itu pun berusaha memecah keheningan.“Nyonya, tenang saja. Saya sudah memastikan rencana ini berjalan dengan baik,” ucapnya, penuh keyakinan.Janeetha mengangguk kecil, tetapi dirinya tetap merasa tegang. Ia tahu Rusli sedang berusaha menenangkannya, tetapi kata-kata pria itu hanya sedikit mengurangi kecemasan yang melingkupi dirinya.“Tapi,” lanjut Rusli, “Akan ada beberapa orang suruhan Tuan Dikara yang ikut dalam penerbangan Anda. Mereka akan mengawasi setiap gerakan Anda di Arden