Share

119. Masih Menyangkal

Penulis: DSL
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-21 23:03:28

Dikara kemudian terkekeh sumbang. “Aku harus merendahkan diri di hadapan Janeetha? Membiarkannya merasa menang? Tidak ada dalam kamusku!”

Kata-kata Ameera memang menusuk, tapi ia memilih mengabaikannya. Baginya, kelemahan hanyalah jalan pintas menuju kehancuran.

“Aku tak akan pernah merendah pada yang sudah rendah!” dengkusnya lirih, seakan menegaskan kalimat itu lebih kepada dirinya sendiri. “Dan aku akan memastikan Janeetha tahu tempatnya.”

Dengan masih sedikit terhuyung, Dikara melangkah menuju jendela. Membiarkan cahaya menerpa wajahnya yang sedikit pucat. Dari ketinggian mansion, ia bisa melihat sepinya taman di bawah sana, seperti mewakili rasa sepi yang berkecamuk dalam hatinya.

Ponselnya bergetar di atas meja. Dikara melirik sekilas—sebuah pesan dari Fadil.

[Kami masih mencari keberadaan Nyonya Janeetha, Tuan. Tapi belum ada jejak konkret. Kami akan melaporkan kembali segera.]

Dikara mengatupkan rahangnya, tetapi ia memutuskan untuk tidak membalas apapun. Baru kali ini ia mera
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   120. Kosong

    Langit memancarkan cahaya sorenya saat mobil hitam Dikara berhenti secara sembarangnan di depan rumah Fabian.Pria itu keluar dari mobil dengan langkah cepat, hampir seperti melompat turun. Rahangnya mengatup keras, matanya tajam mengamati setiap sudut bangunan kecil yang berdiri sunyi di hadapannya.Tanpa ragu, ia berjalan menuju pintu depan. Tangannya mengepal, dan dengan sekuat tenaga ia menggedor pintu tersebut.“Fabian!” Dikara terus menggedor pintu, suaranya menggema di sepanjang teras. “Aku tahu kau ada di dalam! Buka pintunya sekarang!”Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang menyelimuti.Pria itu kembali menggedor pintu kali ini lebih kuat dari sebelumnya.“Fabian! Aku tidak akan meminta dua kali!” Dikara berseru. Urat lehernya bahkan menonjol saking kerasnya.Namun, tetap tidak ada reaksi.Dikara menyipitkan mata, ekspresinya semakin mengeras. Tangannya meraih gagang pintu, dan mencoba membukanya. Ternyata pintu itu terkunci.“Sialan!”Dalam sekejap, Dikara mengangkat kakin

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22
  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   121. Peringatan Rusli

    Mobil hitam itu semakin mendekat, nyaris memepet sisi taksi, memaksa kendaraan berhenti di pinggir jalan.Fabian mengumpat pelan, siap untuk melontarkan protes, tetapi rasa kesalnya berubah menjadi keterkejutan saat melihat siapa yang keluar dari mobil itu.Rusli.Fabian merasakan amarahnya melonjak, tetapi ia menahannya. Pintu taksi di sisi kanannya terbuka, dan Rusli masuk dengan wajahnya yang cemas, duduk di sampingnya tanpa permisi.Fabian menatap Rusli tajam, rahangnya mengatup keras. “Apa-apaan ini, Rusli? Kau pikir kau siapa sampai menghentikan taksi di tengah jalan seperti ini?”Rusli menghela napas berat, pandangannya waspada. “Aku tidak punya waktu untuk basa-basi, Fabian. Kau tahu kenapa aku di sini.”Fabian menyipitkan mata, bibirnya melengkung sinis. “Kalau kau datang untuk menakutiku atas nama Dikara, kau buang-buang waktu. Aku tidak peduli!”Rusli menoleh cepat, menatap Fabian dengan ekspresi mendesak. “Kau pikir aku mau melakukan ini? Aku hanya menjalankan perintah. Da

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22
  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   122. Tidak di Bandara

    Keramaian bandara terasa asing di telinga Dikara. Deretan suara panggilan penerbangan, pengumuman keberangkatan, dan langkah-langkah kaki yang berlalu-lalang hanya menjadi dengungan samar. Baginya, hanya ada keheningan yang menusuk, membungkus setiap sudut ruangan dengan ketegangan yang terus menumpuk.Ia duduk di ruang tunggu eksekutif, tubuhnya tegak namun terasa seolah-olah disandera oleh waktu yang berjalan begitu lambat. Jari-jarinya mengetuk pelan lengan kursi. Dikara memang tampak tenang, tetapi seakan seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja bagi Fadil yang berdiri tak jauh darinya.Di hadapan Dikara, secangkir kopi hitam miliknya sudah mendingin, sedingin wajahnya yang keras dan tanpa ekspresi.Pria itu tak menyentuhnya sama sekali. Ia bahkan mungkin lupa jika ada minuman itu di meja.Pandangannya terpaku lurus ke arah pintu keberangkatan yang selalu berayun membuka dan menutup, seolah Fabian akan muncul dari baliknya kapan saja.Sayangnya, kali ini keberuntungan tak ber

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-26
  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   123. Keputusan Rusli

    Langit di luar stasiun sudah gelap, dan lampu-lampu di sepanjang jalur rel berpendar temaram.Fabian berdiri di dekat pintu masuk stasiun kereta cepat, tangan kanan memegang koper kecil tiba-tiba saja terasa lebih berat dari seharusnya. Keringat dingin mengalir di pelipisnya meski udara malam cukup sejuk.Di sampingnya, Rusli bersandar di tiang besi, menyulut rokok yang hanya terbakar setengah hati. Tatapan Rusli menembus kaca stasiun, memperhatikan setiap orang yang melintas, waspada.“Masih ada waktu untuk mundur, Rusli,” ucap Fabian pelan, nyaris seperti bisikan. Suaranya dipenuhi keraguan. “Ayo, ikutlah bersamaku.”Rusli menghembuskan asap rokok, melirik Fabian sekilas. “Kau pikir aku akan mundur setelah sejauh ini?” Pria itu terkekeh getir. “Kalau aku ikut pergi bersamamu, Tuan Dikara pasti akan tetap memburu kita. Setidaknya, kalau aku ikut campur, aku bisa mengulur waktu.”Fabian menunduk, menggenggam koper dan tiketnya lebih erat. Berat hati, ia kembali menatap pria di depanny

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-27
  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   124. Hukuman Dikara

    Gudang tua di pinggiran kota itu berbau debu dan besi berkarat. Lampu gantung berayun pelan, menciptakan bayangan panjang yang menari di lantai beton.Rusli melangkah masuk, diapit dua pria bertubuh besar. Tangan kanannya menyentuh saku celana, mencari-cari sesuatu yang tak ada. Rokoknya sudah habis sejak tadi, dan kini yang tersisa hanya udara dingin yang menggores tenggorokan.Di tengah ruangan, Dikara duduk di kursi logam. Lengan disilangkan, tatapannya menusuk tajam seolah menembus dada Rusli. Ia tidak mengatakan apa pun—membiarkan keheningan menjadi pisau yang perlahan mengiris.Rusli berhenti beberapa langkah di depan Dikara. Ia menarik napas panjang, mencoba mengabaikan detak jantung yang terasa semakin keras."Aku pikir kau tahu apa yang terjadi pada orang yang berkhianat padaku, Rusli." Suara Dikara terdengar datar, tetapi dinginnya membuat udara di dalam ruangan terasa lebih menyesakkan.Rusli menatapnya langsung. Matanya tidak goyah sedikit pun. "Aku tahu, Tuan."Dikara me

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-30
  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   125.

    Di sebuah penginapan kecil di pinggiran Ardenton, angin malam berdesir lembut melalui celah jendela. Suasana di dalam kamar begitu sunyi, hanya terdengar detak jam dinding yang terdengar pelan, seolah menghitung setiap detik dalam ketegangan.Janeetha duduk di tepi ranjang, ponselnya tergenggam erat di tangan. Matanya tak lepas dari layar, menunggu pesan yang mungkin datang kapan saja. Maria duduk di kursi di seberang ruangan, memeluk lututnya sambil memandang Janeetha dengan sorot penuh pengertian."Fabian sedang bersama Arman," kata Janeetha, akhirnya memecah kesunyian. Suaranya terdengar serak, bergetar samar. "Mereka akan menyusul kita besok."Maria mengangguk pelan. "Itu kabar baik. Mereka tahu apa yang mereka lakukan, Janeetha."Namun, Janeetha hanya menghela napas panjang, matanya masih terfokus pada layar ponsel yang tidak menunjukkan pesan baru. "Aku takut, Maria. Dikara... dia bisa melakukan apa saja. Jika sesuatu terjadi pada Fabian karena aku..."Maria bangkit dari kursinya

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-31
  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   126. Mengejar Janeetha

    Suara tetesan air bergema dalam kegelapan. Janeetha berdiri di tepi sumur tua, kaki telanjangnya menyentuh rumput yang basah oleh embun. Ia mengenakan gaun putih panjang yang melambai ditiup angin malam. Di sekelilingnya, hanya ada kabut tebal yang menyelimuti.Langkah berat terdengar dari belakang. Janeetha memutar tubuhnya perlahan.Dikara berdiri beberapa meter darinya, wajahnya tersembunyi dalam bayangan. Namun, tatapan itu… tajam dan penuh obsesi."Janeetha…" suara Dikara bergema, seolah datang dari segala arah."Jangan mendekat!" seru Janeetha, suaranya bergetar.Namun Dikara terus melangkah. Setiap langkahnya seperti menekan bumi, meninggalkan bekas yang dalam di tanah."Tak ada tempat untuk lari," bisik Dikara. Ia menjangkau tangannya, jemari panjangnya melingkar di pergelangan tangan Janeetha, mencengkeram erat."Lepaskan!" Janeetha berusaha menarik tangannya, tetapi cengkeraman Dikara terlalu kuat.Dengan satu gerakan, Dikara mendorongnya ke tepi sumur. Janeetha terhuyung, d

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-02
  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   127. Tentang Arman

    Pesawat pribadi meluncur mulus di atas hamparan awan malam, mengoyak keheningan yang menyelimuti langit.Kabin pesawat begitu sunyi, hanya terdengar suara mesin yang bergetar pelan. Namun, di dalamnya, ketegangan terasa seperti listrik yang menjalar di udara.Dikara duduk di kursi kulit dekat jendela, matanya tajam menatap kelamnya langit luar.Di tangannya, sebuah gelas berisi anggur merah tergenggam, namun tidak sekali pun ia menyesapnya. Jemarinya mengetuk sisi gelas dengan irama lambat, tak teratur—sebuah pertanda jelas bahwa pikirannya tidak berada di tempat ini.Di seberangnya, seorang pria muda duduk dengan punggung tegak, wajahnya kaku dalam ketidaknyamanan. Pria itu baru saja direkrut oleh Dikara—salah satu orang yang disebut "berbakat" oleh Fadil. Namun, malam ini, ia hanya terasa seperti bayangan pucat di hadapan Dikara."Namamu?" Dikara membuka suara, matanya tidak beralih dari jendela.Pria itu tersentak, sebelum bur

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-03

Bab terbaru

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   139. Tak Akan Berhenti

    Hujan masih mengguyur deras saat Dikara berjalan keluar dari gubuk kecil tempat Armand ditahan. Ia marah besar, rahangnya mengeras, dan langkahnya berat, mencerminkan amarah yang membakar dalam dirinya. Melihat Armand sendirian, tanpa Janeetha, hanya menambah frustrasinya.“Tidak ada gunanya!” gumamnya kasar pada dirinya sendiri sambil melangkah menuju mobil yang terparkir tak jauh dari situ.Anak buahnya hanya bisa diam, mengikuti di belakang dengan kepala tertunduk, tahu bahwa suasana ini terlalu berbahaya untuk sekadar memberikan komentar.Namun, sebelum Dikara mencapai pintu mobilnya, salah satu anak buahnya menerima panggilan di perangkat komunikasinya. Lelaki itu langsung menegang, mendengarkan dengan seksama sambil sesekali melirik ke arah Dikara.“Ada apa?” tanya Dikara tajam, berhenti di tengah jalan dan memutar tubuhnya dengan tatapan mengintimidasi.Anak buah itu menelan ludah gugup, lalu berkata, “Tuan, tim

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   138. Rencana Sam

    Langit mulai beranjak gelap saat Janeetha akhirnya tiba di terminal kecil yang ditunjukkan di peta Maria. Tubuhnya letih, pakaian yang basah karena hujan kini mulai mengering di tubuhnya, tetapi ia merasa dingin merayap hingga ke tulang.Terminal itu tidak ramai, hanya beberapa orang yang duduk menunggu di bangku-bangku kayu yang sudah mulai lapuk, sementara lampu jalan yang redup di trotoar.Janeetha berhenti sejenak di tepi terminal, menenangkan napasnya yang memburu. Ia menggenggam erat peta yang masih terlipat di tangannya, memastikan dirinya berada di tempat yang benar. Ia melihat sekeliling, mencari seseorang dengan ciri-ciri yang disebutkan Maria—topi cokelat tua dan ransel besar.Di sudut terminal, dekat sebuah kedai kecil yang menjual teh dan roti, seorang pria duduk sendirian di kursi kayu.Topi cokelatnya tampak usang, seperti sudah bertahun-tahun digunakan, dan sebuah ransel besar tergeletak di lantai di sampingnya. Pria itu tampak tenang, menghirup teh dari cangkir enamel

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   137. Berpisah

    Hujan masih rintik-rintik saat Maria dan Janeetha tiba di desa kecil yang sunyi, tersembunyi di balik perbukitan. Jalan berbatu yang mereka lalui basah dan licin, tetapi Maria mengemudi dengan hati-hati hingga akhirnya menemukan sebuah gudang tua di pinggir desa. Ia memarkir mobil mereka di sana, menutupi bagian depannya dengan ranting dan daun kering untuk menyamarkan keberadaannya.“Ini harus cukup untuk membuatnya tidak terlihat,” ujar Maria, menepuk-nepuk tangannya yang kotor setelah selesai menyembunyikan kendaraan.Janeetha, yang berdiri tidak jauh, hanya mengangguk pelan. Matanya gelisah, terus memandang sekeliling seperti takut seseorang akan muncul tiba-tiba dari balik kabut yang menggantung rendah di desa itu.“Janeetha, ayo masuk ke sini dulu,” Maria mengajak, menunjuk sebuah bangunan kosong di dekat mereka yang tampak seperti rumah tua yang sudah lama ditinggalkan.Keduanya masuk, dan Maria menutup pintu dengan hati-hati. Udara di dalam dingin dan lembap, tetapi setidaknya

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   136. One to One

    Hujan mulai turun rintik-rintik ketika Fabian akhirnya tertangkap. Ia berlutut di atas tanah berlumpur, tangan terikat di belakang punggungnya. Nafasnya terengah-engah, rambut basah menempel di dahinya. Tiga anak buah Dikara berdiri mengawasinya dengan waspada.Meski tampak seperti orang yang tak berdaya, tetapi dalam diri Fabian puas dengan apa yang telah ia lakukan. Setidaknya, ia dapat menyedot perhatia Dikara hanya tertuju padanya.Tak butuh waktu lama, sosok yang Fabian tunggu-tunggu pun tiba.Pria itu terlihat turun dari mobil SUV hitam yang kini terparkir cukup jauh dari lokasi. Fabian memang sengaja memilih jalur yang sedikit sulit dijangkau oleh kendaraan.Langkah Dikara tenang sekaligus tegas, mantel panjang yang dikenakannya berkibar tertiup angin. Matanya langsung menangkap Fabian yang sedang berlutut.“Well, well, well. Bukankah ini Tuan Fabian yang terhormat,” ucap Dikara datar, kedua mata gelapnya sarat dengan penghinaan. Fabian mendongak perlahan. Meski wajahnya penuh

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   135. Memancing Dikara

    Fabian berlari semakin cepat, napasnya memburu, dan tubuhnya mulai terasa berat oleh hujan yang membasahi pakaiannya. Hutan di sekelilingnya terasa gelap dan suram, seolah-olah bersekongkol untuk menyulitkan pelariannya. Namun, ia tidak peduli.Langkah-langkahnya sengaja dibuat mencolok. Kakinya menjejak tanah berlumpur dengan keras, meninggalkan jejak yang jelas di belakangnya. Sesekali, ia meraih cabang pohon dan mematahkannya dengan sengaja, menciptakan tanda-tanda yang tak mungkin terlewatkan oleh pengejarnya.Dalam pikirannya, rencana ini sederhana.Dikara pasti akan memilih mengejarnya daripada Arman. Fabian tahu betul bagaimana peringai pria itu. Dikara bukan hanya sosok yang obsesif, tapi juga penuh harga diri.Bagi Dikara, Fabian adalah ancaman langsung. Bukan sekadar seseorang yang membantu pelarian Janeetha, tetapi juga orang yang dianggap mencuri sesuatu yang menurutnya adalah miliknya.Fabian kembali melihat sekilas ke belakang, memast

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   134. Mencoba Mengalihkan

    Fabian memandang jalur setapak yang mereka tinggalkan dengan hati-hati. Daun-daun basah yang berserakan di tanah kini menunjukkan jejak kaki yang sengaja mereka ciptakan. Ia melirik Arman yang sedang membenahi tali ranselnya, tampak serius sekaligus gugup.“Sudah cukup?” tanya Fabian pelan, suaranya nyaris tertelan oleh gemerisik angin di antara pepohonan.Arman mengangguk cepat. “Jejaknya terlihat jelas. Kalau mereka mengikuti ini, mereka akan menuju arah yang salah.”Fabian menghela napas, matanya kembali menyisir area di sekitar mereka. Hutan itu terasa mencekam, bukan hanya karena ketenangannya tetapi juga ancaman yang mengejar di belakang mereka.“Janeetha dan Maria harus punya waktu untuk mencapai desa,” gumam Fabian, seperti hendak meyakinkan dirinya sendiri. “Semoga trik ini berhasil.”Arman menepuk bahu Fabian. “Kita hanya perlu menarik perhatian mereka cukup lama. Kalau kita tetap di jalur ini, mereka pasti akan mengira kita bersama Janeetha.”Fabian mengangguk, meskipun ras

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   133. Nyaris

    Suara deru mesin mendekat dengan cepat, membuat jantung Janeetha berdegup semakin kencang. Di sudut gudang yang gelap, ia memeluk lututnya erat-erat, berusaha mengendalikan napas agar tidak terlalu keras terdengar. Maria, di sisi lain, berdiri diam seperti patung di dekat jendela kecil, mengintip ke luar.“Mereka berhenti,” bisik Maria dengan nada tegang, nyaris tidak terdengar.Janeetha mendongak. “Berhenti di mana?”Maria tidak menjawab, hanya memberi isyarat agar Janeetha tetap diam.Di luar, suara langkah kaki bergema di antara pepohonan. Beberapa suara samar terdengar, percakapan cepat yang sulit dipahami.“Periksa sekitar sini,” suara seorang pria terdengar lebih jelas, keras dan tegas.Janeetha menahan napas. Ia tahu suara itu. Salah satu anak buah Dikara yang sering datang ke rumah mereka dulu.“Maria…” bisik Janeetha, hampir tidak mampu mengucapkannya.Maria menoleh cepat, menaruh jari telunjuk di bibirnya sebagai isyarat untuk tetap diam. Namun, tatapan tegas itu juga tidak

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   132. Pelarian Tak Berujung

    Mobil yang dikendarai Maria melaju dengan kecepatan tinggi di jalanan sempit yang semakin dipenuhi pepohonan rindang. Janeetha mencengkeram kursi dengan erat, jantungnya berpacu seirama dengan ketakutan yang menghantuinya.Dari kaca spion, SUV hitam itu tampak semakin mendekat. Mereka tidak main-main.“Maria, mereka hampir mengejar kita!” suara Janeetha bergetar, memecah keheningan mencekam di dalam mobil.“Diam dan pegang erat!” Maria memutar setir dengan keras, memasuki jalanan berbatu yang lebih terpencil. Getaran akibat jalanan yang tidak rata membuat tubuh mereka terguncang.Janeetha memandangi ke belakang lagi. SUV itu tampak melambat sedikit, tetapi masih berada di jalur yang sama.“Berapa jauh lagi kita harus pergi?” tanya Janeetha, panik.Maria tidak menjawab, hanya fokus pada jalanan di depannya.Namun, suara dering ponsel Maria tiba-tiba memecah ketegangan. Janeetha memandang sekilas ke arah layar yang menyala di dashboard.Arman.Maria langsung mengangkat panggilan itu tan

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   131. Mereka Datang

    Mobil yang dikendarai Maria melaju tanpa henti selama berjam-jam, melintasi jalanan sepi dan desa-desa kecil yang nyaris kosong. Janeetha memandangi jendela dengan tatapan kosong. Langit mulai terang, tetapi hawa dingin masih terasa menusuk hingga ke tulang.Maria menurunkan kaca jendela sedikit, membiarkan udara pagi masuk ke dalam mobil. “Kita hampir sampai di perbatasan kota kecil. Mungkin kita bisa berhenti sebentar,” ucapnya, memecah keheningan.Janeetha hanya mengangguk pelan. Ia menyandarkan kepalanya ke kursi, mencoba meredakan rasa gelisah yang menghantui sejak tadi malam. Fabian dan Arman masih belum bisa dihubungi, dan itu semakin membuatnya khawatir.Beberapa menit kemudian, mobil memasuki area pom bensin kecil di pinggir kota. Tempat itu terlihat sepi, hanya ada satu kendaraan lain yang sedang mengisi bahan bakar.“Kita berhenti di sini,” ujar Maria sambil memarkirkan mobil di dekat mesin pengisian. “Aku akan mengisi bensin. Kau mau sesuatu?”Janeetha menggeleng. “Aku han

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status