Hening sejenak di ujung telepon, sebelum Fabian menjawab dengan suara penuh keyakinan, “Aku tidak akan membiarkan dia menang. Kau akan bebas, Janeetha. Aku janji.”Air mata Janeetha kembali jatuh, kali ini bercampur antara kebahagiaan dan harapan. “Aku percaya padamu, Kak Fabian. Terima kasih.”“Kita akan bertemu lagi segera,” jawab Fabian. “Tetaplah kuat. Kau tidak sendirian.”Panggilan berakhir, tapi semangat Janeetha terangkat. Ia menatap Maria, yang memberinya senyuman penuh dukungan.Janeetha memejamkan mata sejenak, suara Fabian kembali terngiang di telinganya. Kata-katanya menyusup ke dalam hati, memberikan kekuatan yang hampir terlupakan.Saat ia membuka matanya kembali, menatap Maria yang kini sedang memeriksa peta kecil di dashboard.“Kau punya teman-teman yang baik,” kata Maria tiba-tiba, tanpa mengalihkan pandangannya dari peta. “Tidak semua orang cukup beruntung mendapatkan bantuan seperti ini.”Janeetha tersenyum samar. “Aku tahu. Tanpa mereka… aku tidak tahu apa yang ak
Dikara tiba-tiba tertawa pendek, tawa yang penuh sarkasme dan rasa sakit. Ia mengangkat salah satu gaun yang dikenakan Janeetha di acara pernikahan mereka. Gaun itu masih wangi, aromanya mengingatkan Dikara pada malam-malam yang kini terasa seperti mimpi yang tak tergapai.“Kenapa kau selalu membuat segalanya begitu sulit?” tanyanya, seolah Janeetha ada di hadapannya. Suaranya berubah, melembut, hampir seperti memohon. “Kenapa kau tidak mengerti… aku hanya ingin kau tetap di sini, bersamaku.”Tapi tidak ada jawaban, hanya keheningan yang semakin menusuk.Rasa frustasi kembali menghantam Dikara. Ia menjatuhkan gaun itu ke lantai, lalu menendang pintu lemari hingga terbanting. “Sial! Apa yang kurang dariku? Apa yang kurang dari hidupku yang sudah kuberikan padamu, hah?!”Ia berjalan ke tempat tidur, mendapati sebuah bantal yang pernah digunakan Janeetha. Dikara duduk di tepinya, menunduk sambil mengusap wajah dengan kedua tangan. Amarahnya mulai bercampur dengan rasa takut yang perlahan
Dalam kepanikannya, Dikara meraba kantong celananya, mencari ponsel. Ia mengetik nomor Ameera dengan jari-jari yang gemetar. Ameera adalah satu-satunya orang yang tahu bagaimana mengatasi dirinya ketika ia kehilangan kontrol seperti ini.Panggilan tersambung setelah beberapa nada dering. “Dikara, apa yang terjadi?”“Aku… aku tidak bisa bernapas,” katanya terbata-bata, suaranya terdengar putus asa. “Dia pergi, Ameera. Janeetha pergi, dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.”“Dikara, dengarkan aku,” kata Ameera dengan nada menenangkan. “Tarik napas perlahan. Ikuti suaraku. Tarik napas dalam… tahan sejenak… dan hembuskan perlahan.”Dikara mencoba dengan tubuhnya masih gemetar.Satu tarikan napas, dua, lalu tiga. Perlahan, rasa sesak di dadanya sedikit mereda, meskipun masih terasa seperti sengatan api yang terus menyalakan rasa takut di dalam hatinya.“Sekarang, katakan padaku,” lanjut Ameera hati-hati. “Apa yang sebenarnya kau rasakan?”“Aku takut…” Dikara berbicara, hampir seperti
Dikara kemudian terkekeh sumbang. “Aku harus merendahkan diri di hadapan Janeetha? Membiarkannya merasa menang? Tidak ada dalam kamusku!”Kata-kata Ameera memang menusuk, tapi ia memilih mengabaikannya. Baginya, kelemahan hanyalah jalan pintas menuju kehancuran.“Aku tak akan pernah merendah pada yang sudah rendah!” dengkusnya lirih, seakan menegaskan kalimat itu lebih kepada dirinya sendiri. “Dan aku akan memastikan Janeetha tahu tempatnya.”Dengan masih sedikit terhuyung, Dikara melangkah menuju jendela. Membiarkan cahaya menerpa wajahnya yang sedikit pucat. Dari ketinggian mansion, ia bisa melihat sepinya taman di bawah sana, seperti mewakili rasa sepi yang berkecamuk dalam hatinya.Ponselnya bergetar di atas meja. Dikara melirik sekilas—sebuah pesan dari Fadil.[Kami masih mencari keberadaan Nyonya Janeetha, Tuan. Tapi belum ada jejak konkret. Kami akan melaporkan kembali segera.]Dikara mengatupkan rahangnya, tetapi ia memutuskan untuk tidak membalas apapun. Baru kali ini ia mera
Langit memancarkan cahaya sorenya saat mobil hitam Dikara berhenti secara sembarangnan di depan rumah Fabian.Pria itu keluar dari mobil dengan langkah cepat, hampir seperti melompat turun. Rahangnya mengatup keras, matanya tajam mengamati setiap sudut bangunan kecil yang berdiri sunyi di hadapannya.Tanpa ragu, ia berjalan menuju pintu depan. Tangannya mengepal, dan dengan sekuat tenaga ia menggedor pintu tersebut.“Fabian!” Dikara terus menggedor pintu, suaranya menggema di sepanjang teras. “Aku tahu kau ada di dalam! Buka pintunya sekarang!”Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang menyelimuti.Pria itu kembali menggedor pintu kali ini lebih kuat dari sebelumnya.“Fabian! Aku tidak akan meminta dua kali!” Dikara berseru. Urat lehernya bahkan menonjol saking kerasnya.Namun, tetap tidak ada reaksi.Dikara menyipitkan mata, ekspresinya semakin mengeras. Tangannya meraih gagang pintu, dan mencoba membukanya. Ternyata pintu itu terkunci.“Sialan!”Dalam sekejap, Dikara mengangkat kakin
Mobil hitam itu semakin mendekat, nyaris memepet sisi taksi, memaksa kendaraan berhenti di pinggir jalan.Fabian mengumpat pelan, siap untuk melontarkan protes, tetapi rasa kesalnya berubah menjadi keterkejutan saat melihat siapa yang keluar dari mobil itu.Rusli.Fabian merasakan amarahnya melonjak, tetapi ia menahannya. Pintu taksi di sisi kanannya terbuka, dan Rusli masuk dengan wajahnya yang cemas, duduk di sampingnya tanpa permisi.Fabian menatap Rusli tajam, rahangnya mengatup keras. “Apa-apaan ini, Rusli? Kau pikir kau siapa sampai menghentikan taksi di tengah jalan seperti ini?”Rusli menghela napas berat, pandangannya waspada. “Aku tidak punya waktu untuk basa-basi, Fabian. Kau tahu kenapa aku di sini.”Fabian menyipitkan mata, bibirnya melengkung sinis. “Kalau kau datang untuk menakutiku atas nama Dikara, kau buang-buang waktu. Aku tidak peduli!”Rusli menoleh cepat, menatap Fabian dengan ekspresi mendesak. “Kau pikir aku mau melakukan ini? Aku hanya menjalankan perintah. Da
Keramaian bandara terasa asing di telinga Dikara. Deretan suara panggilan penerbangan, pengumuman keberangkatan, dan langkah-langkah kaki yang berlalu-lalang hanya menjadi dengungan samar. Baginya, hanya ada keheningan yang menusuk, membungkus setiap sudut ruangan dengan ketegangan yang terus menumpuk.Ia duduk di ruang tunggu eksekutif, tubuhnya tegak namun terasa seolah-olah disandera oleh waktu yang berjalan begitu lambat. Jari-jarinya mengetuk pelan lengan kursi. Dikara memang tampak tenang, tetapi seakan seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja bagi Fadil yang berdiri tak jauh darinya.Di hadapan Dikara, secangkir kopi hitam miliknya sudah mendingin, sedingin wajahnya yang keras dan tanpa ekspresi.Pria itu tak menyentuhnya sama sekali. Ia bahkan mungkin lupa jika ada minuman itu di meja.Pandangannya terpaku lurus ke arah pintu keberangkatan yang selalu berayun membuka dan menutup, seolah Fabian akan muncul dari baliknya kapan saja.Sayangnya, kali ini keberuntungan tak ber
Langit di luar stasiun sudah gelap, dan lampu-lampu di sepanjang jalur rel berpendar temaram.Fabian berdiri di dekat pintu masuk stasiun kereta cepat, tangan kanan memegang koper kecil tiba-tiba saja terasa lebih berat dari seharusnya. Keringat dingin mengalir di pelipisnya meski udara malam cukup sejuk.Di sampingnya, Rusli bersandar di tiang besi, menyulut rokok yang hanya terbakar setengah hati. Tatapan Rusli menembus kaca stasiun, memperhatikan setiap orang yang melintas, waspada.“Masih ada waktu untuk mundur, Rusli,” ucap Fabian pelan, nyaris seperti bisikan. Suaranya dipenuhi keraguan. “Ayo, ikutlah bersamaku.”Rusli menghembuskan asap rokok, melirik Fabian sekilas. “Kau pikir aku akan mundur setelah sejauh ini?” Pria itu terkekeh getir. “Kalau aku ikut pergi bersamamu, Tuan Dikara pasti akan tetap memburu kita. Setidaknya, kalau aku ikut campur, aku bisa mengulur waktu.”Fabian menunduk, menggenggam koper dan tiketnya lebih erat. Berat hati, ia kembali menatap pria di depanny
Ketika Ketika Janeetha membuka matanya, ruangan putih terang menyambutnya. Kelopak matanya terasa berat, tubuhnya lemah, dan ada rasa sakit luar biasa di perutnya.Dia berkedip beberapa kali, mencoba memahami di mana dirinya berada. Aroma khas rumah sakit menyengat hidungnya. Infus terpasang di tangannya, dan tubuhnya terasa begitu lemah, seolah hanya tersisa separuh jiwa dalam dirinya.Kemudian, ingatan itu kembali.Darah.Rasa sakit.Jeritan yang tidak terdengar.Tangannya perlahan bergerak ke perutnya yang datar.Tidak…Tidak mungkin…Matanya membelalak saat kepanikan merayapi tubuhnya. Nafasnya memburu, jantungnya berdegup kencang. Dia mencoba bangkit, tetapi tubuhnya menolak. Air matanya mulai menggenang di sudut mata.“Bayi…” suaranya hampir tak terdengar. “Bayi ku…”Maria, yang sejak tadi duduk di sudut ruangan, segera menghampirinya dan menggenggam tangannya dengan erat. “Janeetha… aku di sini.”
“Dasar bajingan! Pergi kau!”Dikara tersentak.Suara itu begitu familiar, mengandung kemarahan yang meledak-ledak. Sebelum ia bisa sepenuhnya mengangkat kepalanya, seseorang sudah menarik kerah bajunya dengan kasar, hampir membuatnya terjatuh dari kursi.Fabian.Pria itu berdiri di depannya dengan wajah merah padam, tatapan penuh kebencian terpancang kuat di matanya. Napasnya memburu, dadanya naik turun seolah menahan emosi yang hendak meledak.“Sudah cukup kau menghancurkan hidupnya! Apa kau belum puas?!” Fabian menggeram, suaranya bergetar oleh amarah. “Dia hampir mati, Dikara! Kau dengar itu? HAMPIR MATI karena kau!”Dikara hanya menatapnya, matanya kosong.Jika ini terjadi beberapa bulan lalu, ia mungkin sudah membalas Fabian dengan kepalan tangan. Ia mungkin sudah melayangkan tinju ke wajah pria itu tanpa pikir panjang.Tetapi malam ini… tidak ada amarah dalam dirinya. Hanya keham
Setelah semalaman berjaga, Dikara berdiri dengan tubuh tegang di depan ruang ICU, menunggu dokter yang baru saja masuk untuk memeriksa Janeetha. Begitu juga Maria dan Sam.Pikiran pria itu berkecamuk, memutar kembali kejadian-kejadian yang telah terjadi. Keguguran. Trauma. Janeetha telah kehilangan bayinya. Anak mereka.Suatu kenyataan yang menghantamnya tanpa ampun.Pintu ICU terbuka, dan Dokter Arief melangkah keluar dengan ekspresi lebih tenang dari sebelumnya. “Kondisinya mulai stabil. Jika tidak ada komplikasi lain, kami akan memindahkannya ke ruang perawatan dalam beberapa jam.”Dikara mengangguk pelan, meskipun perasaannya masih berantakan.Maria, yang berdiri tak jauh darinya, bersedekap dengan tatapan tajam. “Bagus. Itu artinya kau tak perlu di sini lagi.”Dikara menoleh, menatap Maria dengan pandangan dingin. “Aku akan tetap di sini.”Sam, yang berdiri di samping Maria, mendengus sinis. &l
Maria menatapnya penuh kebencian. “Kau tidak bisa mengambilnya kembali begitu saja.”Dikara menatapnya sejenak, lalu perlahan berjalan mendekat.“Aku tidak mengambil apa pun.” Suaranya rendah, tetapi ada nada mengancam di dalamnya. “Aku hanya datang untuk menjemput istriku.”Maria mengepalkan tangannya, sementara Sam berdiri lebih dekat di sampingnya.Di balik pintu ruang operasi, Janeetha sedang berjuang antara hidup dan mati.Suara alat-alat medis yang berbunyi nyaring, berpadu dengan suara dokter dan perawat yang berusaha menyelamatkan dua nyawa sekaligus.Tubuh Janeetha terbaring tak berdaya di atas meja operasi, darah masih mengalir dari tubuhnya meskipun tim medis sudah berusaha menghentikannya.Dokter yang bertugas berdiri di dekat kepala Janeetha, menatap monitor dengan rahang mengatup rapat. “Tekanan darahnya turun drastis! Beri tambahan cairan!”Seorang perawat buru-buru
Malam semakin larut, hujan turun perlahan di luar jendela klinik kecil itu. Di dalam ruangan yang remang, Janeetha terbaring dengan tubuh lemah, wajahnya pucat pasi. Napasnya pendek dan tersengal, sementara tangannya menggenggam erat sprei ranjang seakan mencoba menahan rasa sakit yang semakin menggigit perutnya.Maria duduk di sisi ranjang, memegang tangan Janeetha dengan erat. Sam mondar-mandir di ruangan dengan wajah tegang, sesekali menoleh ke arah dokter Arief yang sedang memeriksa tekanan darah Janeetha.Beberapa waktu lalu Janeetha kembali mengeluh kesakitan dan tampak lebih parah dari sebelumnya karena itu Sam segera memanggil dokter Arief.Tiba-tiba, tubuh Janeetha menegang. Napasnya memburu, dan bibirnya mengeluarkan erangan tertahan sebelum tubuhnya mulai bergetar hebat.“Maria… sakit…” Suaranya nyaris tidak terdengar.Maria langsung menegang, sementara Sam menghentikan langkahnya dan bergegas mendekat.&
Sam memapah Janeetha keluar dari rumah persembunyian mereka. Langkah Janeetha lemah, tubuhnya nyaris limbung jika saja Sam tidak menggenggamnya erat.Maria berjalan cepat di depan, sesekali menoleh dengan wajah tegang. Mereka tahu mereka tidak bisa sembarangan ke rumah sakit besar—terlalu berisiko.“Kita harus menemukan tempat yang aman untuk memeriksanya,” gumam Maria sambil melihat layar ponselnya. “Ada sebuah klinik kecil di pinggiran kota. Aku punya kenalan di sana. Dia bisa membantu tanpa terlalu banyak bertanya.”Sam mengangguk tanpa ragu. “Ayo.”Mereka menaiki mobil tua yang telah disiapkan Maria sebelumnya. Sam duduk di belakang bersama Janeetha, memastikan kepalanya bersandar nyaman di bahunya. Wanita itu tampak semakin pucat, bibirnya sedikit gemetar akibat kehilangan darah.“Bertahanlah,” bisik Sam pelan.Janeetha hanya mengangguk lemah, matanya mengerjap samar. Setiap detik ya
"Ya Tuhan, Janeetha!" Maria buru-buru melangkah keluar, mendekat dengan wajah panik. Tatapannya langsung tertuju pada wanita itu yang hampir tidak bisa berdiri tanpa dukungan Sam. "Apa yang terjadi?"Sam menghela napas berat. "Dia terluka, tapi dia menolak untuk mendapatkan pertolongan medis."Maria mengumpat pelan sebelum meraih lengan Janeetha dengan lembut, mencoba menuntunnya masuk. "Kita tidak bisa membiarkanmu dalam keadaan seperti ini. Kau butuh dokter.""Tidak," gumam Janeetha lemah, meskipun tubuhnya sudah hampir tidak bisa menahan rasa sakit yang semakin tajam di perutnya. "Kita tidak bisa pergi ke rumah sakit. Dikara pasti akan menemukanku."Maria mengatupkan rahangnya dengan frustasi. "Dan kau pikir apa yang akan terjadi jika kau mati di sini?!" suaranya sedikit meninggi. "Ini bukan tentang Dikara lagi, Janeetha. Ini tentang kau. Tentang nyawamu!"Janeetha menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi yang bercampur dengan rasa sakit. Ia s
Sam membantu Janeetha memasuki sebuah mobil kecil yang mereka dapatkan dari seseorang yang bersedia mengantarkan mereka ke luar kota dengan imbalan cukup besar.Pria paruh baya yang mengemudikan mobil itu tidak banyak bicara—hanya sesekali melirik ke arah mereka melalui kaca spion dengan ekspresi waspada.Duduk di kursi belakang, Janeetha bersandar lemah pada jendela. Napasnya pendek-pendek, dan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya meskipun udara di dalam mobil terasa dingin. Sam, yang duduk di sampingnya, tidak bisa lagi menyembunyikan kegelisahannya."Janeetha, kau harus bilang apa yang sebenarnya terjadi," ujar Sam pelan, tapi dengan tekanan yang jelas.Janeetha mengerjap, mencoba menegakkan tubuhnya, tapi rasa sakit yang menusuk perutnya semakin menjadi. "Aku baik-baik saja," gumamnya, meski suaranya hampir tak terdengar.Sam tidak lagi percaya. Tadi di terminal, dia melihatnya berdarah—dan itu bukan sesuatu yang bisa diabaika
Angin dingin menusuk kulit saat Janeetha turun dari bus dengan langkah goyah. Hujan gerimis masih turun, membuat jalanan becek dan licin.Sam berjalan di sampingnya, sesekali melirik dengan khawatir. Wajah Janeetha pucat, bibirnya tampak lebih kering dari biasanya, dan sorot matanya mengisyaratkan kelelahan yang amat sangat. Sekilas, ia tampak seperti seseorang yang bisa roboh kapan saja.Di sekitar mereka, terminal kecil itu masih cukup ramai meski hari sudah mulai menginjak petang. Orang-orang berlalu lalang dengan jaket atau payung seadanya, beberapa tampak bergegas menuju bus yang siap berangkat, sementara yang lain sibuk berbincang dengan pedagang kaki lima di sekitar area tunggu.Sam menoleh ke Janeetha, kemudian menarik lengannya pelan. “Kita harus cari tempat istirahat sebentar,” katanya, mencoba berbicara selembut mungkin agar Janeetha tidak langsung menolaknya.Seperti yang sudah diduga, Janeetha segera menggeleng cepat. “Tidak