Mas Hanan tak langsung menjawab. Dia hanya diam sembari menatap Aluna dengan tajam. Aku yakin, Mas Hanan pasti akan lebih membelaku dibanding perempuan itu.
"Benar, Aluna. Apa yang dikatakan Nayma itu memang benar. Aku tak pernah mencintaimu. Saat pernikahan kita, yang aku rasakan hanyalah sebuah keterpaksaan. Sedang dengan Nayma ... aku seakan merasakan jatuh cinta yang sebenarnya. Rasa yang tak pernah aku rasakan saat bersamamu malah hadir saat bersama Nayma."Mas Hanan menatapku penuh cinta, aku pun membalasnya dibarengi dengan senyum lebar. Setelahnya aku melihat ke arah Aluna, wanita itu tersenyum pahit mendengar jawaban Mas Hanan."Bahkan setelah adanya Alana diantara kita, Mas?" tanyanya dengan senyum getir. Mas Hanan mengangguk tegas."Baiklah. Aku sudah mendapat jawabannya. Terimakasih untuk waktumu selama 3 tahun ini. Mungkin memang jodoh kita hanya sampai disini." Seperti biasa, dengan tenang wanita itu berucap. "Dan untukmu, Nayma. Terimakasih, berkat kehadiranmu diantara kami telah menunjukkan sifat asli suamiku. Semua ini adalah pertanda, jika Mas Hanan bukan lah lelaki yang patut diperjuangkan. Aku berharap, semoga kejadian ini tidak menjadi boomerang untukmu kedepannya." Aluna bangkit dari kursinya. Aku mencebik mendengar ucapannya yang sok tenang itu, padahal dalam hati sudah terbakar."Ingat Nayma, hukum tabur tuai itu ada." Kalimat terakhir yang ia sampaikan sebelum kakinya benar-benar melangkah menjauhi tempat duduk kami tadi.Tak ku hiraukan ucapannya itu, aku tak ingin ambil pusing, yang penting aku bahagia dengan Mas Hanan. Ku lihat Mas Hanan menghembuskan napas sembari menyugar rambutnya. Kenapa dia?"Mas, kamu nggak akan ninggalin aku, kan?" kataku meraih lengannya."Iya. Mas nggak akan ninggalin kamu. Bukankah Mas sudah bilang kalau lebih memilihmu dibanding Aluna?" ucapnya menenangkan ku. Mas Hanan mengusap tanganku yang melingkar di lengannya sembari tersenyum manis sekali. Ah, Mas Hanan! Kamu benar-benar laki-laki idamanku."Sekarang kita balik, ya? Mas antar kamu pulang," ujarnya lembut. Aku memanyunkan bibir dan melepas rangkulan di lengannya. Ku buang muka karena merajuk, pasalnya Mas Hanan mengingkari janjinya. Tadi dia berjanji, setelah makan siang dia akan membawaku shopping, sekarang malah diajak pulang."Jangan marah, Sayang. Besok kita belanja, ya? Atau kamu mau Mas transfer saja?" tuturnya sembari membujukku. Mana mau aku? Aku lebih suka belanja berdua dengannya, bukannya belanja sendiri!"Nggak mau! Kamu, kan, tau aku sukanya belanja bareng kamu, Mas. Supaya aku bisa minta pendapatmu tentang barang yang akan ku beli nanti," rajuk ku. Mas Hanan tersenyum sembari mengelus pipi ku."Yasudah. Kalau begitu ayok!" katanya menggenggam tanganku."Kita belanja sekarang, Mas?" tanyaku dengan mata berbinar. Mas Hanan mengangguk sebagai jawaban."Makasih banyak, Sayang." Aku bergelayut manja di lengannya. Mas Hanan hanya terkekeh saja. Mas Hanan mengatakan sangat menyukai sikap manjaku, dan hal itu pula yang membuatnya tak menyukai Aluna, alasannya karena perempuan itu terlalu mandiri dan jarang bermanja padanya. Mas Hanan merasa tak dibutuhkan saat bersama Aluna, dan tentu saja sangat berbanding terbalik saat denganku.Kami bergandengan mesra menuju mobil. Aku sudah tak sabar, mengingat sepatu, tas, baju dan aksesoris sudah membuatku meneteskan air liur. Semenjak menjalin hubungan dengan Mas Hanan, tentu saja bisa memanjakan diriku.Sebelum mengenal Mas Hanan, kehidupanku tak jauh berbeda dengan para perantau lainnya. Harus berhemat demi bisa kembali makan esok hari, apalagi aku harus rutin mengirim uang ke kampung. Ibu dan bapakku sudah tua dan sepuh, untuk bekerja tentu saja mereka sudah tak bisa.Semenjak menjalin hubungan dengan Mas Hanan, kehidupan Ibu dan Bapak di kampung pun mulai membaik. Uang gajiku bisa ku kirim full untuk mereka, sedang untuk kebutuhanku sendiri aku biasa merengek pada kekasihku. Rumah Ibu dan Bapak di kampung pun ku minta agar di renovasi, itu semua kulakukan tentu saja agar kedua orang tuaku itu bisa tinggal dengan nyaman.Pencapaianku keren, bukan? Baru menjelang 3 bulan berhubungan dengan Mas Hanan, tapi aku sudah bisa mengubah gubukku menjadi istana. Mas Hanan memang terbaik.Mobil yang kami tumpangi berhenti di pelataran parkir sebuah pusat belanja terbesar di kota. Aku tersenyum lebar, sudah tak sabar ingin segera menjelajahi setiap lantai demi mencari keinginanku."Ayok, Sayang. Tunggu apalagi?" kata Mas Hanan padaku. Aku mengangguk antusias dan membuka seat belt kemudian segera turun.Aku kembali menggandeng tangan Mas Hanan. Lelaki itu tak sedikit pun merasa risih, dia malah terlihat senang.Ku langkahkan kaki beriringan dengan Mas Hanan. Toko pertama yang ingin ku kunjungi adalah toko tas branded, baru setelahnya aku akan merengek minta dibelikan sepatu dan juga baju. Aku yakin, seperti biasa Mas Hanan tak akan keberatan untuk menambahkan koleksi barang branded milikku."Wah, Mas! Koleksi tas terbarunya bagus-bagus banget! Aku jadi bingung milihnya." Aku berseru girang. Segera kulepaskan rangkulan di lengan Mas Hanan, kemudian mulai menjelajahi toko tas tersebut.Aku mulai melihat-lihat, saking banyaknya barang bagus yang berjejer membuatku tak bisa menentukan pilihan dengan cepat. Tiba-tiba mataku terpaku pada sebuah tas mini, berwarna hitam dan terlihat sangat mewah sekali. Aku yakin, jika tas itu ku kenakan saat ke kantor, pasti orang-orang akan memandang kagum padaku.Aku berjalan cepat menuju tempat tas itu di pajang. Dengan tingkat percaya diri yang tinggi, aku meminta salah satu karyawan disana untuk mengambilkan tas itu untukku. Tapi apa yang kudapat? Karyawan itu malah mengatakan sebuah kalimat yang mampu membuatku kecewa."Maaf, Bu. Tas itu sudah milik seseorang. Dia sudah memesannya jauh-jauh hari. Jadi mohon maaf, kami tidak bisa memberikannya pada anda," ucap karyawan wanita itu. Aku tercengang bukan main. Ternyata ada yang lebih cepat dariku?"Mana bisa begitu, Mbak? Saya datang langsung ke toko kalian, loh! Kenapa malah lebih mementingkan yang mesen dari pada yang datang langsung?" kataku tak terima. Mana bisa begitu, kan?"Dan satu hal lagi. Saya bakal bayar cash sekarang juga! Jadi berikan tas itu padaku sekarang!" titahku lagi. Aku memasang tampang garang, aku yakin sekali karyawan itu akan memberikannya. Jelas saja, karena mereka tak mau menimbulkan keributan yang berakibat buruk pada toko mereka sendiri."Maaf, kami tetap tak bisa menuruti, Bu. Beliau pelanggan kami, dia sudah membayar cash bahkan sebelum barang itu sampai." Karyawan itu kembali berucap. Dia menunduk sopan, tapi aku malah semakin kesal."Aku akan bayar lebih, jika kalian memberikan tas itu padaku. Katakan saja pada yang memesan, barangnya sudah habis. Simple, kan?" Aku bersikeras."Sekali lagi kami mohon maaf, Bu. Toko kami menjunjung tinggi nilai kejujuran. Itu semua demi pelanggan setia yang selalu belanja pada kami. Kami tak mungkin mengecewakan pelanggan yang rela menunggu dalam waktu lama." Karyawan itu kembali menolak. Sialan! Aku mengumpat dalam hati. Kenapa susah sekali membujuk karyawan itu?Sialan! Aku mengumpat dalam hati. Kenapa susah sekali membujuk karyawan itu?Aku menghentakkan kaki meninggalkan karyawan itu. Tujuanku sekarang adalah Mas Hanan, aku akan merengek pada lelaki itu agar mau membujuk kalau bisa mengancam mereka agar mau memberikan tas itu padaku."Mas ...," rengek ku bergelayut di lengan Mas Hanan. Lelaki itu mengerutkan keningnya."Ada apa, Sayang? Sudah selesai belanjanya? Barangnya mana?" cecar Mas Hanan. Aku menggeleng manja sembari memasang tampang sedih."Tadi aku liat tas, bagus banget, Mas. Tapi ...," Sengaja ku jeda kalimatku. Aku cemberut seraya melepas lengan Mas Hanan."Tapi kenapa, Sayang? Barangnya mana? Kalau suka kenapa nggak ambil aja? Mas akan bayarin, kok!" kata lelaki itu lembut."Tas yang aku suka itu sudah lebih dulu dipesan orang lain, Mas. Jadi ... karyawan itu nggak mau memberikannya padaku," aduku pada Mas Hanan.Mas Hanan menghembuskan napas. Kemudian menatapku, aku berharap dia mengatakan akan mengusahakan itu, tapi dugaanku
Pagi ini aku bangun lebih cepat dari biasanya, pasalnya tadi Mas Hanan menghubungiku. Dia mengatakan akan sarapan disini. Jadi aku bangun lebih cepat untuk memasak sarapan spesial untuk lelakiku itu.Untuk urusan dapur, aku tak perlu diragukan lagi. Karena terbiasa hidup di kampung bersama Ibu, menuntut ku untuk bisa mengerjakan setiap pekerjaan rumah, termasuk untuk urusan dapur.Dulu, Ibu dan Bapak sama-sama bekerja. Pagi-pagi sekali, keduanya akan berangkat ke sawah dan akan pulang menjelang sore. Aku yang di rumah terpaksa memasak untuk diantar ke sawah untuk makan siang Ibu dan Bapak. Sejak itulah aku terbiasa di dapur, begitu juga saat bekerja dan ngekos.Dua porsi nasi goreng udang sudah selesai. Aku membawanya ke meja makan. Sambil menunggu Mas Hanan datang, aku memutuskan mandi lebih dulu. Agar saat dia datang, kami bisa langsung sarapan.Selesai mandi dan bersiap, aku keluar dari kamar. Ternyata Mas Hanan sudah menunggu di sofa tamu. Dia tersenyum begitu melihatku keluar dar
Aku mengirim pesan pada Aluna jika tak bisa bertemu hari ini, semalam perempuan itu memang mengirim pesan padaku, mengajak bertemu. Aku jelas saja mau, karena merasa penasaran dengan apa yang ingin dia sampaikan. Apa dia akan mengancamku, dan meminta agar aku menjauhi Mas Hanan?Setelah mengirim pesan pada Aluna, Aku menunggu kedatangan Mas Hanan dengan gelisah. Bagaimana pun juga, ucapan Sella tentang hukum karma tadi terus menggerayangi pikiranku. Bagaimana jika itu benar?Suara klakson mobil membuyarkan lamunanku. Aku segera berjalan setelah tau itu adalah Mas Hanan. Aku membuka pintu dan duduk disana dengan wajah kusut, ternyata Mas Hanan menyadarinya."Kenapa, Sayang? Mau ketemu mertua, kok, kusut gitu wajahnya?" tanya Mas Hanan menggoda. Aku meliriknya sekilas, ku buang napas kasar. Pikiran ku masih dipenuhi dengan kalimat Sella tadi."Mas, kamu nggak berniat untuk selingkuh dari aku juga, kan?" Ku lempar pertanyaan yang sejak tadi mengganjal di pikiranku.Mas Hanan yang baru sa
Melihat kedatangan bocah 2 tahun itu, Mas Hanan segera melepas genggaman tangannya. Dia tampak gelagapan, kemudian merentangkan tangan pada Alana yang berlari kearahnya."Ayah ana?" Entah apa yang ditanyakan bocah itu, aku tak paham bahasa cadelnya."Ayah dari kantor, Sayang. Baru balik kerja. Alana sama siapa disini?" Ohh, ternyata Alana bertanya ayahnya dari mana. Mendengar jawaban Mas Hanan kepalanya mengangguk-angguk seolah paham apa yang dikatakan ayahnya."Nda na? Ante apa?""Eum ... Bunda? Memangnya Alana kesini bukan sama Bunda?" tanya Mas Hanan. Alana yang berada dalam gendongan sang ayah menggeleng."Alana kesini bareng aku, soalnya Ridho katanya rindu sama adiknya ini," sambar seseorang dari arah dalam. Bisa kutebak, perempuan berhijab itu adalah kakak tertua Mas Hanan. Dia seorang single parents, dua tahun lalu suaminya meninggal karena kecelakaan.Mereka hanya bertiga bersaudara, yang pertama Mbak Ike, yang kedua Mas Hanan dan yang bungsu namanya Kamila. Dari mana aku ta
Mas Hanan melirik tangan kami yang saling bergenggaman, kemudian melirikku. Ku pasang tampang menyedihkan didepannya, aku berekspresi sesendu mungkin, semua itu kulakukan agar Mas Hanan tak termakan omongan wanita didepan kami itu."Maaf, Bu. Aku tetap pada pendirianku. Pilihanku tetap dengan Nayma. Dan kami ... akan menikah secepatnya." Puas! Aku puas sekali. Terlebih saat melihat wajah pias Ibu dan anak didepanku itu. Aku tersenyum mencibir Mbak Ike, wanita itu membalasku dengan tatapan tajam. Bukankah ini drama yang baik? Aku lebih dipentingkan dibanding keluarganya sendiri."Kalau begitu, jangan harap kamu akan dapat restu dari Ibu!" ancam Ibu Mas Hanan. Aku melirik Mas Hanan, apa dia terpengaruh dengan ancaman wanita itu?"Aku akan tetap menikahi Nayma, dengan atau tanpa restu Ibu. Pernikahan kami tetap akan sah, karena dari pihak laki-laki tak perlu wali. Tetapi ... karena ingin menghargai Ibu, maka aku datang kemari dengan membawa Nayma. Kukira sambutan kalian akan baik terhad
Hati perempuan mana yang tak hancur saat mendapati sebuah kenyataan jika pasangannya berselingkuh?Aku Aluna, perempuan yang diselingkuhi berulang kali oleh suamiku–Mas Hanan. Memang bukan ini pertama kalinya aku memergoki Mas Hanan selingkuh, sebelum dengan Nayma, pernah dengan beberapa perempuan lainnya juga. Tapi ... tak separah ini. Pertama kali ia ketahuan selingkuh, saat pernikahan kami baru menginjak 1 tahun. Saat itu, aku mendapatinya berkirim pesan mesra dengan perempuan lain, hanya sebatas itu. Saat kutanya pun katanya mereka tak pernah bertemu, hanya sering berbalas pesan dan kenalnya dari aplikasi biru.Meski saat itu aku merasakan sakit, tapi ku putuskan untuk memaafkan, apalagi Mas Hanan berjanji tak akan mengulangi lagi.Tapi, dia kembali berulah saat aku sedang hamil Alana–putri kami. Kejadiannya sama, hanya sebatas chat dan panggilan suara saja. Aku kembali memaafkan karena tak mendapati mereka pernah bertemu.Itu bukan yang terakhir, saat Alana berumur 1 tahun lebih
Aku masuk ke apartemen dengan langkah cepat. Rasa sakit hatiku akibat penghinaan keluarga Mas Hanan tadi masih sangat membekas, ditambah lagi dengan kehadiran perempuan sialan itu, siapa lagi kalau bukan Aluna?"Yank, jangan marah-marah gitu, dong!" seru Mas Hanan berusaha mengejar langkahku. Tak ku pedulikan panggilannya, aku terus melangkah hingga ke kamar.Ku banting pintu kamar dengan keras. Aku yakin, Mas Hanan pasti terperanjat kaget diluar sana. Tapi aku sedang marah, jadi aku tak peduli dengan Mas Hanan sekali pun."Arrrghhh! Sial, sial. Kenapa mereka harus berpihak pada Aluna, sih?" Aku berteriak dengan kesal. Aluna sangat pintar bermain cantik. Dia tak sedikit pun terpengaruh saat aku mengata-ngatainya. Emosi saja tak dia perlihatkan, dia tetap tenang meski Mas Hanan membelaku secara terang-terangan. Sikap angkuhnya itu semakin bertambah saat semua keluarga Mas Hanan berpihak padanya."Kita lihat saja, Aluna. Apa setelah ini kamu akan tetap tenang?" ucapku pada diri sendiri
Aku dan Mas Hanan baru saja sampai di kampung saat jam makan siang. Perjalanan dari kota ke kampungku memakan waktu 5 jam. Kedatangan kami disambut hangat oleh Bapak dan Ibu. Sebelum berangkat tadi, aku memang sempat menghubungi Ibu, memberitahu kedatanganku bersama Mas Hanan."Alhamdulillah, kalian sampai juga dengan selamat! Ayo, masuk. Istirahat dulu, kalian pasti capek," sambut Ibu memelukku. Aku membalas pelukan hangat Ibu yang sangat ku rindukan itu, setelah itu beralih pada Bapak juga.Aku dan Mas Hanan digiring masuk oleh Bapak dan Ibu. Aku mempersilahkan Mas Hanan istirahat di sofa lebih dulu, sedang aku ikut Ibu ke dapur untuk menyiapkan makan siang.Beruntung rumah ini sudah direnovasi, bayangkan kalau belum? Pasti Mas Hanan akan risih berada disini. Aku meninggalkan Mas Hanan bersama Bapak disana, biarkan saja mereka berbincang-bincang dulu."Wah, Ibu masak banyak banget. Nay jadi kangen makan masakan Ibu," seruku saat melihat di meja makan sudah penuh dengan masakan Ibu.
Aku masih saja terisak sambil terus memeluk ibu dari samping. Wanita itu berusaha terlihat tegar, bahkan tak ada lagi air mata yang keluar sejak jenazah bapak dibawa pulang. Ibu dan para tetangga membacakan yasin untuk almarhum bapak. Suara ibu terdengar parau, aku tau jika wanita itu memendam kesedihan hanya demi terlihat kuat oleh orang-orang.Didepan kami, tubuh bapak yang terbujur kaku ditutup dengan kain jarik. Saat kulihat tadi, wajah bapak tampak berseri dengan senyum menghiasi bibir pucatnya. Apa bapak pergi dalam keadaan tenang dan bahagia? Semoga saja iya."Nay, Zavier nangis. Sepertinya mau nyusu," bisik bude Niar menghampiriku. Aku menoleh dan mengangguk, setelah itu berpamitan pada ibu untuk menyusui Zavier ke kamar.Saat aku beranjak ke kamar, ibu mas Hanan menggantikan posisiku dengan duduk disisi kanan ibu, sedang disisi kiri ada mama Aluna yang turut hadir. Dua wanita yang juga berhati malaikat selain Aluna. Meski awalnya ibu mas Hanan sangat membenciku, tapi sekarang
Nayma POV Sakit. Sungguh, baru kali ini aku merasakan bagaimana sakitnya dikhianati. Diluar bapak dan ibu sedang menemani mas Hanan dan ibunya bertemu dengan putraku – Zavier. Putra yang ku lahirkan dengan susah payah, dengan kesakitan yang luar biasa Allah hadirkan.Sedang aku disini sendiri. Aku duduk di pinggir jendela dengan gorden yang sengaja ku singkap habis, agar mata bisa memandang langsung hamparan sawah yang menghijau dan mampu meredamkan sakit yang sekarang mendominasi.Saat pertama kali tau mas Hanan berselingkuh, jantungku ribut hingga menimbulkan sesak. Yang ada dipikiranku saat itu, apa kurangnya aku? Setelah selama ini ku terima dia yang hanya menikahiku secara sirih, bahkan rela berpisah dengan ibu dan bapak, serta ku terima saja penolakan keluarganya.Ternyata apa yang dikatakan orang-orang benar. Selingkuh akan menjadi sebuah kebiasaan, tak akan ada yang bisa menghalangi kecuali ia sendiri yang ingin berubah. Dan itu nyata! Bahkan aku baru tau dari Aluna, jika te
Merasa bukan ranahnya untuk ikut campur, Aryo bergegas meninggalkan rumah Nayma setelah membungkuk sopan pada Hanan dan Widya. Sementara itu, Widya mengusap bahu sang putra agar bisa lebih tenang."Bu, aku tau jika kesalahanku memang fatal. Tapi ... kedatangan kita kemari pun karena ingin minta maaf dan berdamai dengan Nayma." Hanan menatap kosong pintu rumah yang kini tertutup rapat."Apa aku tak pantas untuk dimaafkan, Bu?" ujar Hanan frustasi."Kesalahan yang paling sulit mendapatkan maaf adalah sebuah pengkhianatan, terutama perselingkuhan. Makanya ibu nggak bisa menyalahkan sikap Nayma padamu sekarang ini. Karena ibu paham bagaimana rasanya jadi dia, diselingkuhi dan diceraikan padahal dia sendiri sedang dalam keadaan hamil besar." Widya sengaja menjeda kalimatnya sejenak, berharap sang putra paham dengan maksudnya."Iya, aku tau, Bu! Tapi–""Harusnya kamu sabar, jangan memaksakan kehendak. Memaafkan itu mungkin mudah, tapi melupakan apa yang sudah terjadi itu yang sulit." Widya
Di depan ruang bersalin, Rosidin menunggu dengan harap-harap cemas. Erangan kesakitan Nayma memecah keheningan malam. Didalam sana, perempuan itu sedang berjuang melahirkan dan hanya ditemani sang ibu. Sebagai seorang ayah, Rosidin tak henti merapalkan do'a agar proses persalinan sang putri diberi kelancaran, dan cucu pertamanya bisa lahir dengan selamat.Di sisi lain, Widya tak sedikit pun beranjak dari sisi Hanan. Bahkan saat Ikke memintanya istirahat karena malam kian larut pun di tolak wanita itu. Widya menggenggam tangan Hanan yang dipenuhi alat. Wanita itu tak henti berdoa agar sang putra diberi keselamatan. Widya tak meminta kesembuhan sempurna putranya, dia hanya ingin putranya bertaubat setelah kejadian yang menimpanya malam ini.Di ruang bersalin sedang terjadi kehebohan, pasalnya Nayma mengalami kejang-kejang setelah berhasil melahirkan anak pertamanya yang berjenis kelamin laki-laki. Narti menangis histeris bahkan hampir ambruk dan ditenangkan oleh perawat yang bertugas.
"Awh ... Bu ... to–long." Tiba-tiba saja Nayma memekik saat merasakan perutnya menegang.Lagi-lagi dia merasakan kontraksi, namun kali ini sangat berbeda seolah telah terjadi sesuatu pada bayinya didalam sana.Narti yang duduk di sofa bersama Rosidin melompat begitu mendengar rintihan kesakitan sang putri. Dia langsung mendekati ranjang Nayma dan bertanya."Nak, ada apa, Sayang? Kamu kenapa?" tanya Narti cemas.Keringat sebesar biji jagung sudah membanjiri pelipis Nayma. Wajahnya berubah pucat menahan kesakitan yang mendera. Narti mengelus-elus perut Nayma, tapi perempuan itu malah semakin kesakitan."Jangan pegang, Bu, sakiiit ... Nay rasanya ingin buang air besar, tapi ... arrghh ... sakit, Bu." Nayma semakin merintih kesakitan.Melihat putrinya kesakitan, Rosidin sigap keluar dan memanggil suster yang sedang berjaga. Suster tadi langsung bergegas menuju ruang rawat Nayma, dan langsung memeriksanya disana."Eum ... sepertinya bu Nayma sudah mau melahirkan. Kita pindah ke ruang bersa
"Nak, makan dulu, ya? Tadi bapak belikan kamu mie ayam. Kamu pasti suka," bujuk Narti. Nayma menggeleng tanpa mau membalikkan badan menghadap orangtuanya. Bahu Narti mengendur bersamaan dengan helaan napas panjang yang keluar dari mulut wanita itu."Biarkan Nayma istirahat dulu, Bu. Mungkin dia belum lapar," kata Rosidin mencoba membesarkan hati sang istri."Tapi, Pak. Dari tadi siang Nayma belum makan, kasihan bayinya," sahut Narti masih tak tenang."Mau bagaimana lagi, Bu? Kita paksa pun Nayma tetap nggak mau, kan? Jadi biarkan dia istirahat dulu. Mungkin dia butuh ketenangan saat ini," kata Rosidin lagi.Mau tak mau, Narti mengangguk juga. Keduanya berbalik dan duduk di sofa, sembari menunggu sang putri bangun."Assalamu'alaikum," kata Aluna dan Widya serentak, bersamaan dengan itu pintu ruangan pun dibuka."Wa'alaikusalam," sahut Narti dan Rosidin pula. Keduanya berdiri menyambut kedatangan Aluna dan Widya."Mbok sama bapak sudah makan?" tanya Aluna. Keduanya menggeleng sebagai j
"Mas? Kamu gila?!" bentak Aluna."Kenapa? Apa salah kalau aku minta rujuk? Apalagi antara kita ada Alana. Anak kita butuh kasih sayang utuh dari kedua orang tuanya, jadi nggak ada salahnya kalau kita rujuk, kan?" balas Hanan santai.Aluna menggelengkan kepala berulang kali. Perempuan itu tak habis pikir dengan cara berpikir laki-laki didepannya itu. Benar-benar dangkal!"Terus gimana dengan calon anakmu dan Nayma? Apa kamu nggak mikirin itu? Kamu nggak kasihan anakmu lahir tanpa ayah? Dimana hati nuranimu sebagai seorang laki-laki sejati, Mas?" cecar Aluna. km"Itu lebih baik. Dia belum pernah bertemu denganku, sedang Alana pernah bersamaku selama dua tahun. Jelas Alana lebih butuh aku dibanding anak Nayma." "Kamu gila! Kamu benar-benar egois, Mas. Setelah selingkuh berulang kali, dan sempat menceraikanku, sekarang kamu datang lagi karena ditolak perempuan itu? Dan kamu pikir aku bersedia kembali pada laki-laki bajingan sepertimu? Lebih baik aku hidup begini, dari pada kembali bersa
"Freya?"Panggilan sang ayah membuyarkan lamunan Freya. Perempuan itu mengalihkan pandangan pada Kardi, dia tersenyum menanggapi."Freya belum siap menikah, Yah." Jawaban Freya mengejutkan Hanan. Dia pikir gadis itu akan menuruti keinginannya. Ternyata Freya gadis yang keras kepala.Kardi menghembuskan napas pelan. Dia tak bisa berbuat apa-apa, memaksakan kehendaknya pun bukan pilihan yang tepat, meski ia yakin bisa melakukan itu. Dia ingin putrinya sendiri yang menjatuhkan pilihan, tanpa paksaan apa pun."Boleh ayah tau alasannya?""Alasannya masih sama seperti dulu. Freya belum siap berpisah dari ayah dan Dara. Dan ... Freya ingin mencari laki-laki yang tepat, laki-laki yang bisa menghargai perempuan. Freya takut salah pilih, terus malah masa depan Freya yang jadi korbannya," ucap Freya lugas.Gadis itu menatap Hanan tajam. Dia tak ingin terlihat lemah dihadapan laki-laki pecundang itu. Dia sangat tidak suka diancam dan dipermainkan.Jika saja Hanan laki-laki single, mungkin Freya
"Mas, ada apa ini? Mereka ini siapa?" tanya Freya berpura-pura.Dia menatap semua orang bergantian. Tak ada satu orang pun yang berani bersuara disana, termasuk Widya dan Aluna yang berdiri didekat Hanan dan Freya. Mereka ingin menyaksikan sendiri, bagaimana cara Hanan menjelaskan pada gadis itu tentang kebohongannya."Ahm ... mereka ini ...," Hanan tak kuasa melanjutkan kalimatnya.Jantung laki-laki itu sudah berdegup kencang. Terlebih melihat tatapan mematikan dari Rosidin. Dia langsung memalingkan muka, enggan menatap wajah ayah mertuanya itu."Kenapa, Nak Hanan? Jelaskan pada gadis itu, siapa perempuan hamil yang sedang terbaring lemah ini!" tekan Rosidin.Freya menoleh pada Hanan, dia memasang tampang bingung, seolah meminta jawaban dari laki-laki itu."Mas?" Freya menatap langsung wajah lelaki disisinya."Di–a ... istri Mas, Fre. Tapi, mas akan segera menceraikannya agar kita bisa menikah." Jawaban Hanan sama sekali tak mengejutkan Freya. Tapi tidak dengan yang lain, terlebih N