Aku turun setelah mobil berhasil kuparkir di halaman rumah. Keadaan rumah masih saja sepi, apa mas Hanan masih tidur, ya?Dengan langkah cepat, aku masuk kedalam sembari memanggil-manggil mas Hanan, tapi tak kunjung mendapat jawaban."Mas!" Aku kembali berteriak memanggil sambil berjalan ke kamar.Ternyata dugaanku benar. Mas Hanan masih tertidur, dan baru bangun saat pintu kamar kubuka."Ngapain teriak-teriak, sih? Kamu pikir kita ini tinggal didalam hutan?!" bentak mas Hanan sembari mengucek matanya.Huhh! Dasar laki-laki. Sebelum dapat, bicaranya itu lembut dan manis sekali. Giliran sudah dapat, tiap hari ngebentak. Dikira aku nggak punya kuping apa?"Aku itu manggilin kamu dari tadi, kamunya malah nggak nyaut. Salah siapa aku jadi teriak?" balasku."Namanya juga orang tidur! Gimana mau nyaut? Kamu itu bod*h apa gimana, sih?" Apa? Enak sekali dia mengataiku bodoh! Karena kesal, kulempar dia dengan tas kecil yang sedari tadi kupegang, dan mengenai kepalanya. Mas Hanan meringis dan
Aku mundur beberapa langkah karena mas Hanan mendorong tubuhku sedikit kasar. Dia mengeluarkan kemeja biru laut dan menaruhnya diatas ranjang. Aku mendekati tubuhnya yang hanya terbalut handuk dan mendorongnya balik. Tenagaku memang tak ada apa-apanya dibanding tubuh kekarnya, bahkan tak sedikit pun tubuhnya beranjak akibat doronganku.Dia berbalik, dan menatapku dengan alis terangkat sebelah. Darahku mendidih apalagi melihat tampang tanpa rasa bersalahnya itu."Apa?" tanyanya sinis."Kamu itu kenapa, sih, Mas? Kenapa kamu berubah begini? Dulu kamu itu nggak pernah ngomong kasar ke aku. Dan sekarang? Kalimat hinaan itu lancar saja meluncur dari bibirmu itu! Salahku apa?!" teriakku dengan mata yang sudah memanas.Wajah mas Hanan sempat kaget mendengar teriakanku. Tapi dia malah tersenyum sinis setelahnya."Siapa yang berubah? Sifat asliku memang begini. Dan itu artinya, kamu yang tak pernah paham bagaimana aku selama ini," jawab mas Hanan santai."Dan satu hal lagi, kamu tanya salahmu
Aku menatap mas Hanan, mencoba meyakinkan diriku sendiri jika mas Hanan tidak mungkin mengkhianatiku. Dia sangat mencintaiku, bahkan ia rela meninggalkan istri dan anaknya demi bisa menikahiku."Mas, kamu janji, ya? Jangan main hati dengan bosmu itu," pintaku dengan tatapan memohon. Mas Hanan mendengkus kasar, dia sepertinya kesal denganku."Kamu itu kenapa, sih? Nggak percayaan banget jadi orang. Seharusnya kamu itu nyemangatin aku, bukannya malah curiga begini!" gerutunya."Tinggal janji aja apa susahnya, sih, Mas? Setidaknya kamu itu yakinin aku, supaya aku nggak berpikiran buruk. Wajar, dong, aku curiga? Aku ini istrimu!" balasku tak terima."Terserah kamu, deh! Mau curiga apa gimana pun terserah. Yang pasti, niat aku hanya satu, kembali bekerja dan menghasilkan uang untuk bisa memenuhi kebutuhanmu." Mas Hanan berlalu ke kamar. Meninggalkan aku yang masih saja mematung disana.Mendengar kalimat mas Hanan yang terakhir, seketika rasa sesal menghampiriku. Bagaimana bisa aku berpikir
"Nay? Kamu nggak apa-apa?" Bude Niar mengguncang bahuku.Aku terkesiap, ternyata setelah mendengar fakta dari Bude tadi, pikiranku melayang entah kemana. Bagaimana tidak? Saat ini aku tidak mengetahui keberadaan orang tuaku. Sebenarnya kemana mereka?"Ahm ... ti–tidak, Bude. Aku ... hanya sedang kebingungan." Aku menjawab tergagap."Sebenarnya ada apa ini, Nay? Sebenarnya selama ini kami semua juga bingung, kenapa tiba-tiba saja orang tuamu mau ke kota. Padahal selama ini mereka selalu menolak, bahkan saat rumah kalian masih belum direnovasi dulu, mereka tetap memilih tinggal disini karena sudah nyaman. Tapi, kenapa sekarang mereka tiba-tiba berubah pikiran?" Aku tak tau harus bagaimana menjawab pertanyaan dari bude Niar. Sesungguhnya aku juga bingung, kenapa tiba-tiba orang tuaku jadi begini? Apa ini semua ada hubungannya dengan kemarahan mereka waktu itu?Aku menarik napas dalam-dalam. Aku pikir dengan pulang kemari, akan langsung mendapat ketenangan atas kegelisahanku beberapa har
Mas Hanan keluar dari kamar setelah minta izin atasannya melalui panggilan telepon. Aku memilih kembali memejamkan mata, karena rasanya kepalaku semakin pening dan berputar.Aku tak tau entah sudah berapa lama tertidur, aku terbangun saat sayup-sayup terdengar suara mas Hanan membangunkan. Kubuka mata yang masih terasa berat, kemudian dibantu oleh mas Hanan untuk duduk menyandar."Makan dulu, ya? Mas sudah bikinin bubur," tawar mas Hanan lembut. Aku hanya mengangguk lemah, kepalaku masih sakit sekali, dan itu membuatku enggan bersuara.Mas Hanan mulai menyuapiku. Meski mulutku terasa pahit, aku tetap berusaha mengunyahnya. Aku ingin menghargai perjuangan mas Hanan yang bersedia memasak untukku pagi ini.Setelah menghabiskan beberapa suapan, aku menyerah. Aku menggelengkan kepala dan menolak suapan berikutnya dari mas Hanan."Udah, Mas. Aku udah kenyang," tolakku."Yaudah, kamu minum dulu. Mas mau ambilin obat dulu di dapur," katanya menyodorkan gelas berisi air putih padaku, kemudian
Mas Hanan keluar dari kamar setelah minta izin atasannya melalui panggilan telepon. Aku memilih kembali memejamkan mata, karena rasanya kepalaku semakin pening dan berputar.Aku tak tau entah sudah berapa lama tertidur, aku terbangun saat sayup-sayup terdengar suara mas Hanan membangunkan. Kubuka mata yang masih terasa berat, kemudian dibantu oleh mas Hanan untuk duduk menyandar."Makan dulu, ya? Mas sudah bikinin bubur," tawar mas Hanan lembut. Aku hanya mengangguk lemah, kepalaku masih sakit sekali, dan itu membuatku enggan bersuara.Mas Hanan mulai menyuapiku. Meski mulutku terasa pahit, aku tetap berusaha mengunyahnya. Aku ingin menghargai perjuangan mas Hanan yang bersedia memasak untukku pagi ini.Setelah menghabiskan beberapa suapan, aku menyerah. Aku menggelengkan kepala dan menolak suapan berikutnya dari mas Hanan."Udah, Mas. Aku udah kenyang," tolakku."Yaudah, kamu minum dulu. Mas mau ambilin obat dulu di dapur," katanya menyodorkan gelas berisi air putih padaku, kemudian
"Ibu ...," bisikku lirih. Perlahan sosok wanita yang mirip dengan wanita yang beberapa bulan ini kucari itu pun beringsut mundur dengan membawa kembali nampan kosong.Tubuh ringkih itu menghilang diantara ramainya para tamu. Aku mencari dimana keberadaan mas Hanan, ternyata dia masih bergabung dengan keluarganya dan juga Aluna.Hatiku teriris menyaksikan pemandangan menyakitkan itu. Sedikit pun mas Hanan tak memperdulikan perasaanku, dia sibuk tertawa dengan mantan istrinya, sedang aku dia biarkan disini sendirian.Keluarga mas Hanan pun begitu. Padahal mereka semua tau jika aku ikut hadir, tapi tak ada satu pun dari mereka yang berniat mengajakku bergabung. Seburuk itukah sikap mereka?Aku menghampiri mas Hanan, ingin memberitahunya tentang apa yang kulihat tadi. Aku ingin memastikan jika aku tak salah lihat. Tapi kalau memang itu ibu, sedang apa dia disini? Kenapa pula dia yang membawakan nampan berisi cup minuman itu? Kemana para pembantu di rumah mewah ini?"Mas!" tegurku. Mas Han
Selesai menunaikan hajat, aku melangkah keluar. Saat kembali melewati kamar tadi, hatiku kembali dilanda gelisah. Haruskah aku mencoba masuk kesana?Aku memperhatikan sekitar, sepertinya kosong. Orang-orang pasti sibuk diluar, dan ini adalah kesempatanku untuk masuk, memastikan apakah di kamar itu benar-benar ada bapak dan ibu atau tidak.Aku mengendap-endap seperti pencuri yang takut ketahuan, perlahan aku mulai mendekati pintu. Kudorong pintu pelan-pelan, dan ... apa ini? Dimana bapak dan ibu? Kenapa kamar ini kosong?Aku masuk lebih dalam ke kamar yang ukurannya tidak terlalu besar itu. Disana hanya ada almari pakaian, ranjang dan meja kecil. Hatiku merasa miris, mengingat jika benar ibu dan bapak tinggal dikamar ini.Tak ada siapa-siapa disana. Sebenarnya kemana bapak dan ibu? Atau ... mas Hanan benar? Aku hanya sedang berhalusinasi karena terlalu kepikiran mereka?Disaat aku sedang bergelut dengan pikiranku, tiba-tiba terdengar derap langkah orang mendekat. Aku mulai mencari temp
Aku masih saja terisak sambil terus memeluk ibu dari samping. Wanita itu berusaha terlihat tegar, bahkan tak ada lagi air mata yang keluar sejak jenazah bapak dibawa pulang. Ibu dan para tetangga membacakan yasin untuk almarhum bapak. Suara ibu terdengar parau, aku tau jika wanita itu memendam kesedihan hanya demi terlihat kuat oleh orang-orang.Didepan kami, tubuh bapak yang terbujur kaku ditutup dengan kain jarik. Saat kulihat tadi, wajah bapak tampak berseri dengan senyum menghiasi bibir pucatnya. Apa bapak pergi dalam keadaan tenang dan bahagia? Semoga saja iya."Nay, Zavier nangis. Sepertinya mau nyusu," bisik bude Niar menghampiriku. Aku menoleh dan mengangguk, setelah itu berpamitan pada ibu untuk menyusui Zavier ke kamar.Saat aku beranjak ke kamar, ibu mas Hanan menggantikan posisiku dengan duduk disisi kanan ibu, sedang disisi kiri ada mama Aluna yang turut hadir. Dua wanita yang juga berhati malaikat selain Aluna. Meski awalnya ibu mas Hanan sangat membenciku, tapi sekarang
Nayma POV Sakit. Sungguh, baru kali ini aku merasakan bagaimana sakitnya dikhianati. Diluar bapak dan ibu sedang menemani mas Hanan dan ibunya bertemu dengan putraku – Zavier. Putra yang ku lahirkan dengan susah payah, dengan kesakitan yang luar biasa Allah hadirkan.Sedang aku disini sendiri. Aku duduk di pinggir jendela dengan gorden yang sengaja ku singkap habis, agar mata bisa memandang langsung hamparan sawah yang menghijau dan mampu meredamkan sakit yang sekarang mendominasi.Saat pertama kali tau mas Hanan berselingkuh, jantungku ribut hingga menimbulkan sesak. Yang ada dipikiranku saat itu, apa kurangnya aku? Setelah selama ini ku terima dia yang hanya menikahiku secara sirih, bahkan rela berpisah dengan ibu dan bapak, serta ku terima saja penolakan keluarganya.Ternyata apa yang dikatakan orang-orang benar. Selingkuh akan menjadi sebuah kebiasaan, tak akan ada yang bisa menghalangi kecuali ia sendiri yang ingin berubah. Dan itu nyata! Bahkan aku baru tau dari Aluna, jika te
Merasa bukan ranahnya untuk ikut campur, Aryo bergegas meninggalkan rumah Nayma setelah membungkuk sopan pada Hanan dan Widya. Sementara itu, Widya mengusap bahu sang putra agar bisa lebih tenang."Bu, aku tau jika kesalahanku memang fatal. Tapi ... kedatangan kita kemari pun karena ingin minta maaf dan berdamai dengan Nayma." Hanan menatap kosong pintu rumah yang kini tertutup rapat."Apa aku tak pantas untuk dimaafkan, Bu?" ujar Hanan frustasi."Kesalahan yang paling sulit mendapatkan maaf adalah sebuah pengkhianatan, terutama perselingkuhan. Makanya ibu nggak bisa menyalahkan sikap Nayma padamu sekarang ini. Karena ibu paham bagaimana rasanya jadi dia, diselingkuhi dan diceraikan padahal dia sendiri sedang dalam keadaan hamil besar." Widya sengaja menjeda kalimatnya sejenak, berharap sang putra paham dengan maksudnya."Iya, aku tau, Bu! Tapi–""Harusnya kamu sabar, jangan memaksakan kehendak. Memaafkan itu mungkin mudah, tapi melupakan apa yang sudah terjadi itu yang sulit." Widya
Di depan ruang bersalin, Rosidin menunggu dengan harap-harap cemas. Erangan kesakitan Nayma memecah keheningan malam. Didalam sana, perempuan itu sedang berjuang melahirkan dan hanya ditemani sang ibu. Sebagai seorang ayah, Rosidin tak henti merapalkan do'a agar proses persalinan sang putri diberi kelancaran, dan cucu pertamanya bisa lahir dengan selamat.Di sisi lain, Widya tak sedikit pun beranjak dari sisi Hanan. Bahkan saat Ikke memintanya istirahat karena malam kian larut pun di tolak wanita itu. Widya menggenggam tangan Hanan yang dipenuhi alat. Wanita itu tak henti berdoa agar sang putra diberi keselamatan. Widya tak meminta kesembuhan sempurna putranya, dia hanya ingin putranya bertaubat setelah kejadian yang menimpanya malam ini.Di ruang bersalin sedang terjadi kehebohan, pasalnya Nayma mengalami kejang-kejang setelah berhasil melahirkan anak pertamanya yang berjenis kelamin laki-laki. Narti menangis histeris bahkan hampir ambruk dan ditenangkan oleh perawat yang bertugas.
"Awh ... Bu ... to–long." Tiba-tiba saja Nayma memekik saat merasakan perutnya menegang.Lagi-lagi dia merasakan kontraksi, namun kali ini sangat berbeda seolah telah terjadi sesuatu pada bayinya didalam sana.Narti yang duduk di sofa bersama Rosidin melompat begitu mendengar rintihan kesakitan sang putri. Dia langsung mendekati ranjang Nayma dan bertanya."Nak, ada apa, Sayang? Kamu kenapa?" tanya Narti cemas.Keringat sebesar biji jagung sudah membanjiri pelipis Nayma. Wajahnya berubah pucat menahan kesakitan yang mendera. Narti mengelus-elus perut Nayma, tapi perempuan itu malah semakin kesakitan."Jangan pegang, Bu, sakiiit ... Nay rasanya ingin buang air besar, tapi ... arrghh ... sakit, Bu." Nayma semakin merintih kesakitan.Melihat putrinya kesakitan, Rosidin sigap keluar dan memanggil suster yang sedang berjaga. Suster tadi langsung bergegas menuju ruang rawat Nayma, dan langsung memeriksanya disana."Eum ... sepertinya bu Nayma sudah mau melahirkan. Kita pindah ke ruang bersa
"Nak, makan dulu, ya? Tadi bapak belikan kamu mie ayam. Kamu pasti suka," bujuk Narti. Nayma menggeleng tanpa mau membalikkan badan menghadap orangtuanya. Bahu Narti mengendur bersamaan dengan helaan napas panjang yang keluar dari mulut wanita itu."Biarkan Nayma istirahat dulu, Bu. Mungkin dia belum lapar," kata Rosidin mencoba membesarkan hati sang istri."Tapi, Pak. Dari tadi siang Nayma belum makan, kasihan bayinya," sahut Narti masih tak tenang."Mau bagaimana lagi, Bu? Kita paksa pun Nayma tetap nggak mau, kan? Jadi biarkan dia istirahat dulu. Mungkin dia butuh ketenangan saat ini," kata Rosidin lagi.Mau tak mau, Narti mengangguk juga. Keduanya berbalik dan duduk di sofa, sembari menunggu sang putri bangun."Assalamu'alaikum," kata Aluna dan Widya serentak, bersamaan dengan itu pintu ruangan pun dibuka."Wa'alaikusalam," sahut Narti dan Rosidin pula. Keduanya berdiri menyambut kedatangan Aluna dan Widya."Mbok sama bapak sudah makan?" tanya Aluna. Keduanya menggeleng sebagai j
"Mas? Kamu gila?!" bentak Aluna."Kenapa? Apa salah kalau aku minta rujuk? Apalagi antara kita ada Alana. Anak kita butuh kasih sayang utuh dari kedua orang tuanya, jadi nggak ada salahnya kalau kita rujuk, kan?" balas Hanan santai.Aluna menggelengkan kepala berulang kali. Perempuan itu tak habis pikir dengan cara berpikir laki-laki didepannya itu. Benar-benar dangkal!"Terus gimana dengan calon anakmu dan Nayma? Apa kamu nggak mikirin itu? Kamu nggak kasihan anakmu lahir tanpa ayah? Dimana hati nuranimu sebagai seorang laki-laki sejati, Mas?" cecar Aluna. km"Itu lebih baik. Dia belum pernah bertemu denganku, sedang Alana pernah bersamaku selama dua tahun. Jelas Alana lebih butuh aku dibanding anak Nayma." "Kamu gila! Kamu benar-benar egois, Mas. Setelah selingkuh berulang kali, dan sempat menceraikanku, sekarang kamu datang lagi karena ditolak perempuan itu? Dan kamu pikir aku bersedia kembali pada laki-laki bajingan sepertimu? Lebih baik aku hidup begini, dari pada kembali bersa
"Freya?"Panggilan sang ayah membuyarkan lamunan Freya. Perempuan itu mengalihkan pandangan pada Kardi, dia tersenyum menanggapi."Freya belum siap menikah, Yah." Jawaban Freya mengejutkan Hanan. Dia pikir gadis itu akan menuruti keinginannya. Ternyata Freya gadis yang keras kepala.Kardi menghembuskan napas pelan. Dia tak bisa berbuat apa-apa, memaksakan kehendaknya pun bukan pilihan yang tepat, meski ia yakin bisa melakukan itu. Dia ingin putrinya sendiri yang menjatuhkan pilihan, tanpa paksaan apa pun."Boleh ayah tau alasannya?""Alasannya masih sama seperti dulu. Freya belum siap berpisah dari ayah dan Dara. Dan ... Freya ingin mencari laki-laki yang tepat, laki-laki yang bisa menghargai perempuan. Freya takut salah pilih, terus malah masa depan Freya yang jadi korbannya," ucap Freya lugas.Gadis itu menatap Hanan tajam. Dia tak ingin terlihat lemah dihadapan laki-laki pecundang itu. Dia sangat tidak suka diancam dan dipermainkan.Jika saja Hanan laki-laki single, mungkin Freya
"Mas, ada apa ini? Mereka ini siapa?" tanya Freya berpura-pura.Dia menatap semua orang bergantian. Tak ada satu orang pun yang berani bersuara disana, termasuk Widya dan Aluna yang berdiri didekat Hanan dan Freya. Mereka ingin menyaksikan sendiri, bagaimana cara Hanan menjelaskan pada gadis itu tentang kebohongannya."Ahm ... mereka ini ...," Hanan tak kuasa melanjutkan kalimatnya.Jantung laki-laki itu sudah berdegup kencang. Terlebih melihat tatapan mematikan dari Rosidin. Dia langsung memalingkan muka, enggan menatap wajah ayah mertuanya itu."Kenapa, Nak Hanan? Jelaskan pada gadis itu, siapa perempuan hamil yang sedang terbaring lemah ini!" tekan Rosidin.Freya menoleh pada Hanan, dia memasang tampang bingung, seolah meminta jawaban dari laki-laki itu."Mas?" Freya menatap langsung wajah lelaki disisinya."Di–a ... istri Mas, Fre. Tapi, mas akan segera menceraikannya agar kita bisa menikah." Jawaban Hanan sama sekali tak mengejutkan Freya. Tapi tidak dengan yang lain, terlebih N