Selesai menunaikan hajat, aku melangkah keluar. Saat kembali melewati kamar tadi, hatiku kembali dilanda gelisah. Haruskah aku mencoba masuk kesana?Aku memperhatikan sekitar, sepertinya kosong. Orang-orang pasti sibuk diluar, dan ini adalah kesempatanku untuk masuk, memastikan apakah di kamar itu benar-benar ada bapak dan ibu atau tidak.Aku mengendap-endap seperti pencuri yang takut ketahuan, perlahan aku mulai mendekati pintu. Kudorong pintu pelan-pelan, dan ... apa ini? Dimana bapak dan ibu? Kenapa kamar ini kosong?Aku masuk lebih dalam ke kamar yang ukurannya tidak terlalu besar itu. Disana hanya ada almari pakaian, ranjang dan meja kecil. Hatiku merasa miris, mengingat jika benar ibu dan bapak tinggal dikamar ini.Tak ada siapa-siapa disana. Sebenarnya kemana bapak dan ibu? Atau ... mas Hanan benar? Aku hanya sedang berhalusinasi karena terlalu kepikiran mereka?Disaat aku sedang bergelut dengan pikiranku, tiba-tiba terdengar derap langkah orang mendekat. Aku mulai mencari temp
Bapak menyentak kakinya hingga pelukanku terlepas, kemudian dia menarik paksa ibu dan memintaku berdiri."Bangun kamu. Jangan merendahkan diri seperti ini," pinta Bapak tegas.Aku langsung berdiri, kemudian menyeka air mata dan tersenyum pada kedua orang tuaku."Pak, kalian sudah memaafkan Nay, kan?" tanyaku penuh harap. Kulihat bapak mengangguk, tapi wajahnya masih saja datar tanpa ekspresi. Aku tersenyum senang, kemudian hendak menghambur memeluk keduanya, tapi bapak kembali mencegahku."Kami memang sudah memaafkanmu. Tapi, bukan berarti bisa kembali menerimamu. Keluar sekarang! Sebelum orang-orang di rumah ini tau apa hubungan kita. Jangan sampai mempermalukan dirimu sendiri, karena punya orang tua pembantu seperti kami." Aku tertegun. Ucapan bapak benar-benar menyakitiku, apa dia benar-benar tak ingin menganggapku sebagai anak lagi?"Enggak! Pokoknya bapak sama ibu harus ikut Nay. Kalian bisa tinggal sama Nay dan mas Hanan. Bapak sama ibu nggak perlu capek-capek kerja begini. Nay
Rosidin dan Narti yang tak lain adalah orang tua Nayma mengurung diri di kamar. Mereka baru keluar saat tau semua tamu yang hadir sudah kembali pulang."Pak, gimana ini? Ternyata korban dari keserakahan anak kita adalah non Aluna. Ibu nggak menyangka, dunia sesempit ini." Narti meremas jari-jari tangannya. Wanita paruh baya itu merasa cemas, begitu tau jika Hanan adalah mantan suami Aluna –majikannya.Rosidin menghempaskan napas kasar. Tak beda jauh dari sang istri, dia pun sama. Dia tak menyangka, jika orang baik itu yang menjadi korban anaknya.Saat memilih pergi dari rumah beberapa bulan lalu, Rosidin dan Narti memang sudah berniat mencari pekerjaan kembali di kota.Ya! Sebelum mengandung Nayma dulu, Narti dan Rosidin memang pernah bekerja di kota, yaitu menjadi pekerja di rumah mewah milik orang tua Aluna. Bertahun-tahun keduanya bekerja disana dengan nyaman, hingga kehamilan Narti lah yang membuat keduanya berhenti dan terpaksa kembali ke kampung halaman mereka.Bagi keluarga Alu
Rosidin dan Narti yang tak lain adalah orang tua Nayma mengurung diri di kamar. Mereka baru keluar saat tau semua tamu yang hadir sudah kembali pulang."Pak, gimana ini? Ternyata korban dari keserakahan anak kita adalah non Aluna. Ibu nggak menyangka, dunia sesempit ini." Narti meremas jari-jari tangannya. Wanita paruh baya itu merasa cemas, begitu tau jika Hanan adalah mantan suami Aluna –majikannya.Rosidin menghempaskan napas kasar. Tak beda jauh dari sang istri, dia pun sama. Dia tak menyangka, jika orang baik itu yang menjadi korban anaknya.Saat memilih pergi dari rumah beberapa bulan lalu, Rosidin dan Narti memang sudah berniat mencari pekerjaan kembali di kota.Ya! Sebelum mengandung Nayma dulu, Narti dan Rosidin memang pernah bekerja di kota, yaitu menjadi pekerja di rumah mewah milik orang tua Aluna. Bertahun-tahun keduanya bekerja disana dengan nyaman, hingga kehamilan Narti lah yang membuat keduanya berhenti dan terpaksa kembali ke kampung halaman mereka.Bagi keluarga Alu
(Nayma POV)"Apa katamu?" seru mas Hanan kaget. "Iya. Kamu nggak salah dengar, Mas. Ibu dan bapak memang bekerja di rumah Aluna." Aku menyahut dengan sesak yang masih memenuhi rongga dada.Terdengar mas Hanan membuang napas gusar. Kenapa dia kelihatan cemas begitu?"Bagaimana bisa?" tanyanya entah pada siapa. Aku tak berniat menjawab, karena aku sendiri pun tak tau jawabannya."Kamu tau dari mana, Nay? Atau ... kamu hanya berhalusinasi?" Aku mendelik tajam. Dia masih saja tak percaya padaku, dan menganggap apa yang ku sampaikan barusan hanya hayalan saja."Halusinasi gimana, sih, Mas? Tadi siang aku bertemu langsung dengan mereka. Aku nyamperin ke kamarnya." Aku menyahut tegas. Mas Hanan tampak menghela napas."I–iya. Tapi ... bagaimana bisa, Nay?" Mas Hanan terlihat frustasi. Mungkin tak menyangka dengan apa yang kusampaikan."Respon mereka ketemu kamu gimana?" tanya mas Hanan lagi."Mereka ... nggak mau mengakui jika aku adalah anak mereka didepan Aluna. Aku sakit hati, Mas!" Aku m
Saat aplikasi hijau itu berhasil kubuka, mataku membulat sempurna. Apa ini? Aku tak salah lihat, kan?Kenapa hanya ada beberapa chat disana? Tak ada satu pun pesan mencurigakan yang aku lihat. Disana hanya ada chat dari teman kantornya dan juga dariku.Sejenak aku menghembuskan napas lega. Ternyata mas Hanan benar-benar setia hanya padaku. Tapi ... aku harus mengecek aplikasi lainnya. Bisa saja, kan, dia menggunakan aplikasi lain untuk berselingkuh. Seperti berita-berita yang sedang viral akhir-akhir ini.Semua aplikasi yang kurasa mencurigakan ku periksa satu persatu. Tapi tak ada satu pun hal buruk yang kutemui disana. Huh! Aku benar-benar bisa bernapas lega sekarang. Setidaknya mas Hanan benar-benar hanya setia padaku. Entah lah, aku merasa akan sangat sulit memaafkan jika dia berani selingkuh di belakangku.Setelah berhasil mengecek ponsel mas Hanan, aku memutuskan berbaring disampingnya. Ku rebahkan tubuh dan menghadap padanya. Ku pandangi setiap inci wajah lelaki itu. Hampir tak
"Kamu nggak apa-apa?" Pertanyaan paling konyol menurutku.Dia masih bisa nanya nggak apa-apa setelah ngeliat aku guling-gulingan di aspal?Aku tak menjawab pertanyaan basa-basi perempuan itu. Aku segera melepas tangannya, dan berusaha berdiri sendiri. Tentu saja aku tak ingin dia melihat kelemahanku."Awh ...." Aku memekik kecil saat merasakan perih dibagian dengkulku."Hati-hati, Nay. Biar aku bantu." Aluna memaksa membantuku. "Nggak usah sok baik! Aku bisa sendiri." Aku menyentak tangannya dan menatap tajam kearah perempuan cantik itu.Aluna tampak membuang napas, mungkin kesal dengan sikap keras kepalaku."Bahkan disaat sakit begini pun, kamu masih bisa sombong. Dikasih makan apa, sih, kamu sama orang tuamu?" cibir Aluna meremehkanku. Hatiku memanas mendengarnya, kenapa dia bawa-bawa orang tuaku?"Jangan bawa-bawa orang tuaku!" tekanku menatapnya tajam. Aluna terkekeh, aku semakin kesal dibuatnya. Dengan langkah tertatih, kutinggalkan Aluna disana. Aku berbalik hendak pulang, dan
"Alhamdulillah keadaan janin ibu sehat wal'afiat, tapi memang kehamilan ibu ini agak lemah. Jadi yang penting habis ini ibu harus bed rest, ya? Jangan kebanyakan gerak dulu." Aku menghembuskan napas lega mendengar jawaban dokter itu. Segera ku elus perut yang masih rata itu sembari tersenyum dan berbisik dalam hati, 'Terimakasih sudah bertahan, Nak. Kita akan berjuang bersama untuk mendapatkan perhatian papamu dan keluarganya.'"Kalau begitu kami permisi dulu. Tolong dijaga, supaya pasien tidak terlalu banyak gerak." Dokter tadi bicara dengan ibu mertua. Wanita itu hanya mengangguk dan tersenyum tipis.Setelah pintu ruangan kembali ditutup, ibu mertua menghampiriku."Kamu kuat, kan? Jadi aku rasa kamu bisa jaga diri sendiri. Seperti yang kukatakan tadi, aku tak punya banyak waktu untuk menungguimu disini. Lagi pula, hari ini aku ada janji bertemu dengan Alana, cucuku." Ibu mertua bersiap-siap, sepertinya wanita itu hendak pulang. Tega sekali wanita itu! Dia membiarkan aku sendiri di
Aku masih saja terisak sambil terus memeluk ibu dari samping. Wanita itu berusaha terlihat tegar, bahkan tak ada lagi air mata yang keluar sejak jenazah bapak dibawa pulang. Ibu dan para tetangga membacakan yasin untuk almarhum bapak. Suara ibu terdengar parau, aku tau jika wanita itu memendam kesedihan hanya demi terlihat kuat oleh orang-orang.Didepan kami, tubuh bapak yang terbujur kaku ditutup dengan kain jarik. Saat kulihat tadi, wajah bapak tampak berseri dengan senyum menghiasi bibir pucatnya. Apa bapak pergi dalam keadaan tenang dan bahagia? Semoga saja iya."Nay, Zavier nangis. Sepertinya mau nyusu," bisik bude Niar menghampiriku. Aku menoleh dan mengangguk, setelah itu berpamitan pada ibu untuk menyusui Zavier ke kamar.Saat aku beranjak ke kamar, ibu mas Hanan menggantikan posisiku dengan duduk disisi kanan ibu, sedang disisi kiri ada mama Aluna yang turut hadir. Dua wanita yang juga berhati malaikat selain Aluna. Meski awalnya ibu mas Hanan sangat membenciku, tapi sekarang
Nayma POV Sakit. Sungguh, baru kali ini aku merasakan bagaimana sakitnya dikhianati. Diluar bapak dan ibu sedang menemani mas Hanan dan ibunya bertemu dengan putraku – Zavier. Putra yang ku lahirkan dengan susah payah, dengan kesakitan yang luar biasa Allah hadirkan.Sedang aku disini sendiri. Aku duduk di pinggir jendela dengan gorden yang sengaja ku singkap habis, agar mata bisa memandang langsung hamparan sawah yang menghijau dan mampu meredamkan sakit yang sekarang mendominasi.Saat pertama kali tau mas Hanan berselingkuh, jantungku ribut hingga menimbulkan sesak. Yang ada dipikiranku saat itu, apa kurangnya aku? Setelah selama ini ku terima dia yang hanya menikahiku secara sirih, bahkan rela berpisah dengan ibu dan bapak, serta ku terima saja penolakan keluarganya.Ternyata apa yang dikatakan orang-orang benar. Selingkuh akan menjadi sebuah kebiasaan, tak akan ada yang bisa menghalangi kecuali ia sendiri yang ingin berubah. Dan itu nyata! Bahkan aku baru tau dari Aluna, jika te
Merasa bukan ranahnya untuk ikut campur, Aryo bergegas meninggalkan rumah Nayma setelah membungkuk sopan pada Hanan dan Widya. Sementara itu, Widya mengusap bahu sang putra agar bisa lebih tenang."Bu, aku tau jika kesalahanku memang fatal. Tapi ... kedatangan kita kemari pun karena ingin minta maaf dan berdamai dengan Nayma." Hanan menatap kosong pintu rumah yang kini tertutup rapat."Apa aku tak pantas untuk dimaafkan, Bu?" ujar Hanan frustasi."Kesalahan yang paling sulit mendapatkan maaf adalah sebuah pengkhianatan, terutama perselingkuhan. Makanya ibu nggak bisa menyalahkan sikap Nayma padamu sekarang ini. Karena ibu paham bagaimana rasanya jadi dia, diselingkuhi dan diceraikan padahal dia sendiri sedang dalam keadaan hamil besar." Widya sengaja menjeda kalimatnya sejenak, berharap sang putra paham dengan maksudnya."Iya, aku tau, Bu! Tapi–""Harusnya kamu sabar, jangan memaksakan kehendak. Memaafkan itu mungkin mudah, tapi melupakan apa yang sudah terjadi itu yang sulit." Widya
Di depan ruang bersalin, Rosidin menunggu dengan harap-harap cemas. Erangan kesakitan Nayma memecah keheningan malam. Didalam sana, perempuan itu sedang berjuang melahirkan dan hanya ditemani sang ibu. Sebagai seorang ayah, Rosidin tak henti merapalkan do'a agar proses persalinan sang putri diberi kelancaran, dan cucu pertamanya bisa lahir dengan selamat.Di sisi lain, Widya tak sedikit pun beranjak dari sisi Hanan. Bahkan saat Ikke memintanya istirahat karena malam kian larut pun di tolak wanita itu. Widya menggenggam tangan Hanan yang dipenuhi alat. Wanita itu tak henti berdoa agar sang putra diberi keselamatan. Widya tak meminta kesembuhan sempurna putranya, dia hanya ingin putranya bertaubat setelah kejadian yang menimpanya malam ini.Di ruang bersalin sedang terjadi kehebohan, pasalnya Nayma mengalami kejang-kejang setelah berhasil melahirkan anak pertamanya yang berjenis kelamin laki-laki. Narti menangis histeris bahkan hampir ambruk dan ditenangkan oleh perawat yang bertugas.
"Awh ... Bu ... to–long." Tiba-tiba saja Nayma memekik saat merasakan perutnya menegang.Lagi-lagi dia merasakan kontraksi, namun kali ini sangat berbeda seolah telah terjadi sesuatu pada bayinya didalam sana.Narti yang duduk di sofa bersama Rosidin melompat begitu mendengar rintihan kesakitan sang putri. Dia langsung mendekati ranjang Nayma dan bertanya."Nak, ada apa, Sayang? Kamu kenapa?" tanya Narti cemas.Keringat sebesar biji jagung sudah membanjiri pelipis Nayma. Wajahnya berubah pucat menahan kesakitan yang mendera. Narti mengelus-elus perut Nayma, tapi perempuan itu malah semakin kesakitan."Jangan pegang, Bu, sakiiit ... Nay rasanya ingin buang air besar, tapi ... arrghh ... sakit, Bu." Nayma semakin merintih kesakitan.Melihat putrinya kesakitan, Rosidin sigap keluar dan memanggil suster yang sedang berjaga. Suster tadi langsung bergegas menuju ruang rawat Nayma, dan langsung memeriksanya disana."Eum ... sepertinya bu Nayma sudah mau melahirkan. Kita pindah ke ruang bersa
"Nak, makan dulu, ya? Tadi bapak belikan kamu mie ayam. Kamu pasti suka," bujuk Narti. Nayma menggeleng tanpa mau membalikkan badan menghadap orangtuanya. Bahu Narti mengendur bersamaan dengan helaan napas panjang yang keluar dari mulut wanita itu."Biarkan Nayma istirahat dulu, Bu. Mungkin dia belum lapar," kata Rosidin mencoba membesarkan hati sang istri."Tapi, Pak. Dari tadi siang Nayma belum makan, kasihan bayinya," sahut Narti masih tak tenang."Mau bagaimana lagi, Bu? Kita paksa pun Nayma tetap nggak mau, kan? Jadi biarkan dia istirahat dulu. Mungkin dia butuh ketenangan saat ini," kata Rosidin lagi.Mau tak mau, Narti mengangguk juga. Keduanya berbalik dan duduk di sofa, sembari menunggu sang putri bangun."Assalamu'alaikum," kata Aluna dan Widya serentak, bersamaan dengan itu pintu ruangan pun dibuka."Wa'alaikusalam," sahut Narti dan Rosidin pula. Keduanya berdiri menyambut kedatangan Aluna dan Widya."Mbok sama bapak sudah makan?" tanya Aluna. Keduanya menggeleng sebagai j
"Mas? Kamu gila?!" bentak Aluna."Kenapa? Apa salah kalau aku minta rujuk? Apalagi antara kita ada Alana. Anak kita butuh kasih sayang utuh dari kedua orang tuanya, jadi nggak ada salahnya kalau kita rujuk, kan?" balas Hanan santai.Aluna menggelengkan kepala berulang kali. Perempuan itu tak habis pikir dengan cara berpikir laki-laki didepannya itu. Benar-benar dangkal!"Terus gimana dengan calon anakmu dan Nayma? Apa kamu nggak mikirin itu? Kamu nggak kasihan anakmu lahir tanpa ayah? Dimana hati nuranimu sebagai seorang laki-laki sejati, Mas?" cecar Aluna. km"Itu lebih baik. Dia belum pernah bertemu denganku, sedang Alana pernah bersamaku selama dua tahun. Jelas Alana lebih butuh aku dibanding anak Nayma." "Kamu gila! Kamu benar-benar egois, Mas. Setelah selingkuh berulang kali, dan sempat menceraikanku, sekarang kamu datang lagi karena ditolak perempuan itu? Dan kamu pikir aku bersedia kembali pada laki-laki bajingan sepertimu? Lebih baik aku hidup begini, dari pada kembali bersa
"Freya?"Panggilan sang ayah membuyarkan lamunan Freya. Perempuan itu mengalihkan pandangan pada Kardi, dia tersenyum menanggapi."Freya belum siap menikah, Yah." Jawaban Freya mengejutkan Hanan. Dia pikir gadis itu akan menuruti keinginannya. Ternyata Freya gadis yang keras kepala.Kardi menghembuskan napas pelan. Dia tak bisa berbuat apa-apa, memaksakan kehendaknya pun bukan pilihan yang tepat, meski ia yakin bisa melakukan itu. Dia ingin putrinya sendiri yang menjatuhkan pilihan, tanpa paksaan apa pun."Boleh ayah tau alasannya?""Alasannya masih sama seperti dulu. Freya belum siap berpisah dari ayah dan Dara. Dan ... Freya ingin mencari laki-laki yang tepat, laki-laki yang bisa menghargai perempuan. Freya takut salah pilih, terus malah masa depan Freya yang jadi korbannya," ucap Freya lugas.Gadis itu menatap Hanan tajam. Dia tak ingin terlihat lemah dihadapan laki-laki pecundang itu. Dia sangat tidak suka diancam dan dipermainkan.Jika saja Hanan laki-laki single, mungkin Freya
"Mas, ada apa ini? Mereka ini siapa?" tanya Freya berpura-pura.Dia menatap semua orang bergantian. Tak ada satu orang pun yang berani bersuara disana, termasuk Widya dan Aluna yang berdiri didekat Hanan dan Freya. Mereka ingin menyaksikan sendiri, bagaimana cara Hanan menjelaskan pada gadis itu tentang kebohongannya."Ahm ... mereka ini ...," Hanan tak kuasa melanjutkan kalimatnya.Jantung laki-laki itu sudah berdegup kencang. Terlebih melihat tatapan mematikan dari Rosidin. Dia langsung memalingkan muka, enggan menatap wajah ayah mertuanya itu."Kenapa, Nak Hanan? Jelaskan pada gadis itu, siapa perempuan hamil yang sedang terbaring lemah ini!" tekan Rosidin.Freya menoleh pada Hanan, dia memasang tampang bingung, seolah meminta jawaban dari laki-laki itu."Mas?" Freya menatap langsung wajah lelaki disisinya."Di–a ... istri Mas, Fre. Tapi, mas akan segera menceraikannya agar kita bisa menikah." Jawaban Hanan sama sekali tak mengejutkan Freya. Tapi tidak dengan yang lain, terlebih N