(Nayma POV)"Apa katamu?" seru mas Hanan kaget. "Iya. Kamu nggak salah dengar, Mas. Ibu dan bapak memang bekerja di rumah Aluna." Aku menyahut dengan sesak yang masih memenuhi rongga dada.Terdengar mas Hanan membuang napas gusar. Kenapa dia kelihatan cemas begitu?"Bagaimana bisa?" tanyanya entah pada siapa. Aku tak berniat menjawab, karena aku sendiri pun tak tau jawabannya."Kamu tau dari mana, Nay? Atau ... kamu hanya berhalusinasi?" Aku mendelik tajam. Dia masih saja tak percaya padaku, dan menganggap apa yang ku sampaikan barusan hanya hayalan saja."Halusinasi gimana, sih, Mas? Tadi siang aku bertemu langsung dengan mereka. Aku nyamperin ke kamarnya." Aku menyahut tegas. Mas Hanan tampak menghela napas."I–iya. Tapi ... bagaimana bisa, Nay?" Mas Hanan terlihat frustasi. Mungkin tak menyangka dengan apa yang kusampaikan."Respon mereka ketemu kamu gimana?" tanya mas Hanan lagi."Mereka ... nggak mau mengakui jika aku adalah anak mereka didepan Aluna. Aku sakit hati, Mas!" Aku m
Saat aplikasi hijau itu berhasil kubuka, mataku membulat sempurna. Apa ini? Aku tak salah lihat, kan?Kenapa hanya ada beberapa chat disana? Tak ada satu pun pesan mencurigakan yang aku lihat. Disana hanya ada chat dari teman kantornya dan juga dariku.Sejenak aku menghembuskan napas lega. Ternyata mas Hanan benar-benar setia hanya padaku. Tapi ... aku harus mengecek aplikasi lainnya. Bisa saja, kan, dia menggunakan aplikasi lain untuk berselingkuh. Seperti berita-berita yang sedang viral akhir-akhir ini.Semua aplikasi yang kurasa mencurigakan ku periksa satu persatu. Tapi tak ada satu pun hal buruk yang kutemui disana. Huh! Aku benar-benar bisa bernapas lega sekarang. Setidaknya mas Hanan benar-benar hanya setia padaku. Entah lah, aku merasa akan sangat sulit memaafkan jika dia berani selingkuh di belakangku.Setelah berhasil mengecek ponsel mas Hanan, aku memutuskan berbaring disampingnya. Ku rebahkan tubuh dan menghadap padanya. Ku pandangi setiap inci wajah lelaki itu. Hampir tak
"Kamu nggak apa-apa?" Pertanyaan paling konyol menurutku.Dia masih bisa nanya nggak apa-apa setelah ngeliat aku guling-gulingan di aspal?Aku tak menjawab pertanyaan basa-basi perempuan itu. Aku segera melepas tangannya, dan berusaha berdiri sendiri. Tentu saja aku tak ingin dia melihat kelemahanku."Awh ...." Aku memekik kecil saat merasakan perih dibagian dengkulku."Hati-hati, Nay. Biar aku bantu." Aluna memaksa membantuku. "Nggak usah sok baik! Aku bisa sendiri." Aku menyentak tangannya dan menatap tajam kearah perempuan cantik itu.Aluna tampak membuang napas, mungkin kesal dengan sikap keras kepalaku."Bahkan disaat sakit begini pun, kamu masih bisa sombong. Dikasih makan apa, sih, kamu sama orang tuamu?" cibir Aluna meremehkanku. Hatiku memanas mendengarnya, kenapa dia bawa-bawa orang tuaku?"Jangan bawa-bawa orang tuaku!" tekanku menatapnya tajam. Aluna terkekeh, aku semakin kesal dibuatnya. Dengan langkah tertatih, kutinggalkan Aluna disana. Aku berbalik hendak pulang, dan
"Alhamdulillah keadaan janin ibu sehat wal'afiat, tapi memang kehamilan ibu ini agak lemah. Jadi yang penting habis ini ibu harus bed rest, ya? Jangan kebanyakan gerak dulu." Aku menghembuskan napas lega mendengar jawaban dokter itu. Segera ku elus perut yang masih rata itu sembari tersenyum dan berbisik dalam hati, 'Terimakasih sudah bertahan, Nak. Kita akan berjuang bersama untuk mendapatkan perhatian papamu dan keluarganya.'"Kalau begitu kami permisi dulu. Tolong dijaga, supaya pasien tidak terlalu banyak gerak." Dokter tadi bicara dengan ibu mertua. Wanita itu hanya mengangguk dan tersenyum tipis.Setelah pintu ruangan kembali ditutup, ibu mertua menghampiriku."Kamu kuat, kan? Jadi aku rasa kamu bisa jaga diri sendiri. Seperti yang kukatakan tadi, aku tak punya banyak waktu untuk menungguimu disini. Lagi pula, hari ini aku ada janji bertemu dengan Alana, cucuku." Ibu mertua bersiap-siap, sepertinya wanita itu hendak pulang. Tega sekali wanita itu! Dia membiarkan aku sendiri di
Beberapa hari bedrest di rumah tanpa mengerjakan apa pun membuatku suntuk dan bosan. Tapi aku sedikit senang, karena dengan begitu waktu mas Hanan lebih banyak denganku di rumah daripada kerja.Seperti hari ini, saat tengah hari aku tiba-tiba ingin sekali makan rujak yang dijual dipinggir jalan. Jadi aku keluar bermaksud mencari mas Hanan untuk mengajaknya menemaniku nyari rujak.Sesampainya diluar, ternyata mas Hanan sedang duduk di ruang tv dan ditemani dengan segelas kopi. Dia sedang sibuk bermain ponsel, hingga suaraku begitu mengejutkan untuknya. Aku heran, kenapa lelaki itu sering sekali kagetan begitu? Dah kayak cewek aja, latah!"Eh, Yank! Kamu ngagetin mas," katanya mengelus-elus dada. Ponsel yang tadi dia pegang sudah disimpan kembali."Kamu aja yang terlalu kagetan. Orang aku manggilnya baik-baik, kok!" balasku tak terima disalahkan. Lelaki itu malah cengengesan sambil menggaruk tengkuknya."Ada apa, Yank? Kamu nggak istirahat?" Mas Hanan kembali bertanya saat aku sudah dud
"Kita balik aja, Mas!" Aku langsung berbalik dengan air mata yang siap tumpah.Aku terus berlari diantara kerumunan pengunjung yang hendak masuk dan keluar. Hatiku sakit sekali melihat kebahagiaan bapak dan ibu ditengah-tengah Aluna. Kenapa perempuan itu selalu terlihat beruntung? Arrghhh! Aku semakin membenci mantan istri suamiku itu.Air mata yang sejak tadi kutahan tumpah begitu aku sampai di parkiran. Aku benci dengan situasi ini, benci sekali! Kenapa takdir seakan tak pernah memihakku?"Yank, kenapa kamu malah pergi? Bukannya tadi kamu yang bersikeras mau menemui bapak dan ibumu? Kenapa sekarang berubah pikiran?" Mas Hanan menyusulku. Dia mencecarku dengan pertanyaan yang membuat kepalaku semakin pening."Kita balik sekarang. Aku mau istirahat di rumah," kataku tanpa menjawab pertanyaannya.Mas Hanan menghembuskan napas kasar. Dan segera masuk kedalam mobil, menyusulku. Selama perjalanan menuju rumah, aku tak sedikit pun bersuara. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri, bahkan jajana
"Kamu ini kenapa, sih, Mas? Kok, sampai segitunya?" kesalku."Eum ... anu ... Cincin itu sekarang dimana?" Nada suara mas Hanan terdengar panik. Sebenarnya kenapa laki-laki itu?"Masih sama aku ini. Kenapa, sih, Mas? Kenapa kamu panik begitu?" "Cincinnya kamu simpan, ya! Nanti mas ceritain semuanya," sahut mas Hanan."Tapi–"Tut! Aku tak sempat menyelesaikan kalimatku, karena mas Hanan sudah lebih dulu memutuskan sambungan telepon. Aku mendengus kesal, dan memutuskan menyimpan kembali cincin yang tadi kutemukan. Aku akan menunggu mas Hanan pulang, penasaran dengan apa yang akan dia ceritakan.****Aku baru saja selesai menyiapkan makan malam, setelah itu duduk di teras sambil menunggu kepulangan mas Hanan.Matahari sudah mulai tenggelam, tapi mas Hanan belum juga pulang. Aku sampai bosan menunggunya, karena sudah sejak tadi duduk sendiri di teras, tapi dia belum juga muncul.Karena merasa bosan, aku memutuskan masuk kedalam rumah. Baru saja aku hendak membuka pintu, suara klakson mob
Aku meremas kuat-kuat rantang yang sejak tadi kupegang. Sakit sekali rasanya dibohongi oleh suami sendiri. Apa alasan laki-laki itu sebenarnya? Kemana dia setiap jam makan siang?"Bu, maaf? Apa tidak sebaiknya ibu hubungi pak Hanan lebih dulu, supaya bisa memastikan dimana dia sebenarnya?" Suara pria itu kembali terdengar. Aku tersentak dan kembali tersadar.Satpam itu benar. Aku harus menghubungi mas Hanan lebih dulu. Apa dia akan kembali berbohong, atau tidak?Aku mengangguk, dan segera mengeluarkan ponsel. Aku langsung membuka aplikasi WhatsApp, mencari kontak mas Hanan dan menghubunginya."Halo, Nay. Ada a–""Kamu lagi dimana, Mas?" Aku langsung memotong ucapan mas Hanan."Ahm ... di kantor lah, Yank. Dimana lagi memangnya?" Ternyata dia benar-benar membohongiku. Dadaku semakin bergemuruh hebat."Jangan bohong, Mas! Kamu lagi dimana sekarang?" tekanku dengan emosi tertahan."Bohong apa, sih, Yank? Kamu ini kenapa? Siapa yang berbohong memangnya?" Rupanya dia masih saja berkelit."
Aku masih saja terisak sambil terus memeluk ibu dari samping. Wanita itu berusaha terlihat tegar, bahkan tak ada lagi air mata yang keluar sejak jenazah bapak dibawa pulang. Ibu dan para tetangga membacakan yasin untuk almarhum bapak. Suara ibu terdengar parau, aku tau jika wanita itu memendam kesedihan hanya demi terlihat kuat oleh orang-orang.Didepan kami, tubuh bapak yang terbujur kaku ditutup dengan kain jarik. Saat kulihat tadi, wajah bapak tampak berseri dengan senyum menghiasi bibir pucatnya. Apa bapak pergi dalam keadaan tenang dan bahagia? Semoga saja iya."Nay, Zavier nangis. Sepertinya mau nyusu," bisik bude Niar menghampiriku. Aku menoleh dan mengangguk, setelah itu berpamitan pada ibu untuk menyusui Zavier ke kamar.Saat aku beranjak ke kamar, ibu mas Hanan menggantikan posisiku dengan duduk disisi kanan ibu, sedang disisi kiri ada mama Aluna yang turut hadir. Dua wanita yang juga berhati malaikat selain Aluna. Meski awalnya ibu mas Hanan sangat membenciku, tapi sekarang
Nayma POV Sakit. Sungguh, baru kali ini aku merasakan bagaimana sakitnya dikhianati. Diluar bapak dan ibu sedang menemani mas Hanan dan ibunya bertemu dengan putraku – Zavier. Putra yang ku lahirkan dengan susah payah, dengan kesakitan yang luar biasa Allah hadirkan.Sedang aku disini sendiri. Aku duduk di pinggir jendela dengan gorden yang sengaja ku singkap habis, agar mata bisa memandang langsung hamparan sawah yang menghijau dan mampu meredamkan sakit yang sekarang mendominasi.Saat pertama kali tau mas Hanan berselingkuh, jantungku ribut hingga menimbulkan sesak. Yang ada dipikiranku saat itu, apa kurangnya aku? Setelah selama ini ku terima dia yang hanya menikahiku secara sirih, bahkan rela berpisah dengan ibu dan bapak, serta ku terima saja penolakan keluarganya.Ternyata apa yang dikatakan orang-orang benar. Selingkuh akan menjadi sebuah kebiasaan, tak akan ada yang bisa menghalangi kecuali ia sendiri yang ingin berubah. Dan itu nyata! Bahkan aku baru tau dari Aluna, jika te
Merasa bukan ranahnya untuk ikut campur, Aryo bergegas meninggalkan rumah Nayma setelah membungkuk sopan pada Hanan dan Widya. Sementara itu, Widya mengusap bahu sang putra agar bisa lebih tenang."Bu, aku tau jika kesalahanku memang fatal. Tapi ... kedatangan kita kemari pun karena ingin minta maaf dan berdamai dengan Nayma." Hanan menatap kosong pintu rumah yang kini tertutup rapat."Apa aku tak pantas untuk dimaafkan, Bu?" ujar Hanan frustasi."Kesalahan yang paling sulit mendapatkan maaf adalah sebuah pengkhianatan, terutama perselingkuhan. Makanya ibu nggak bisa menyalahkan sikap Nayma padamu sekarang ini. Karena ibu paham bagaimana rasanya jadi dia, diselingkuhi dan diceraikan padahal dia sendiri sedang dalam keadaan hamil besar." Widya sengaja menjeda kalimatnya sejenak, berharap sang putra paham dengan maksudnya."Iya, aku tau, Bu! Tapi–""Harusnya kamu sabar, jangan memaksakan kehendak. Memaafkan itu mungkin mudah, tapi melupakan apa yang sudah terjadi itu yang sulit." Widya
Di depan ruang bersalin, Rosidin menunggu dengan harap-harap cemas. Erangan kesakitan Nayma memecah keheningan malam. Didalam sana, perempuan itu sedang berjuang melahirkan dan hanya ditemani sang ibu. Sebagai seorang ayah, Rosidin tak henti merapalkan do'a agar proses persalinan sang putri diberi kelancaran, dan cucu pertamanya bisa lahir dengan selamat.Di sisi lain, Widya tak sedikit pun beranjak dari sisi Hanan. Bahkan saat Ikke memintanya istirahat karena malam kian larut pun di tolak wanita itu. Widya menggenggam tangan Hanan yang dipenuhi alat. Wanita itu tak henti berdoa agar sang putra diberi keselamatan. Widya tak meminta kesembuhan sempurna putranya, dia hanya ingin putranya bertaubat setelah kejadian yang menimpanya malam ini.Di ruang bersalin sedang terjadi kehebohan, pasalnya Nayma mengalami kejang-kejang setelah berhasil melahirkan anak pertamanya yang berjenis kelamin laki-laki. Narti menangis histeris bahkan hampir ambruk dan ditenangkan oleh perawat yang bertugas.
"Awh ... Bu ... to–long." Tiba-tiba saja Nayma memekik saat merasakan perutnya menegang.Lagi-lagi dia merasakan kontraksi, namun kali ini sangat berbeda seolah telah terjadi sesuatu pada bayinya didalam sana.Narti yang duduk di sofa bersama Rosidin melompat begitu mendengar rintihan kesakitan sang putri. Dia langsung mendekati ranjang Nayma dan bertanya."Nak, ada apa, Sayang? Kamu kenapa?" tanya Narti cemas.Keringat sebesar biji jagung sudah membanjiri pelipis Nayma. Wajahnya berubah pucat menahan kesakitan yang mendera. Narti mengelus-elus perut Nayma, tapi perempuan itu malah semakin kesakitan."Jangan pegang, Bu, sakiiit ... Nay rasanya ingin buang air besar, tapi ... arrghh ... sakit, Bu." Nayma semakin merintih kesakitan.Melihat putrinya kesakitan, Rosidin sigap keluar dan memanggil suster yang sedang berjaga. Suster tadi langsung bergegas menuju ruang rawat Nayma, dan langsung memeriksanya disana."Eum ... sepertinya bu Nayma sudah mau melahirkan. Kita pindah ke ruang bersa
"Nak, makan dulu, ya? Tadi bapak belikan kamu mie ayam. Kamu pasti suka," bujuk Narti. Nayma menggeleng tanpa mau membalikkan badan menghadap orangtuanya. Bahu Narti mengendur bersamaan dengan helaan napas panjang yang keluar dari mulut wanita itu."Biarkan Nayma istirahat dulu, Bu. Mungkin dia belum lapar," kata Rosidin mencoba membesarkan hati sang istri."Tapi, Pak. Dari tadi siang Nayma belum makan, kasihan bayinya," sahut Narti masih tak tenang."Mau bagaimana lagi, Bu? Kita paksa pun Nayma tetap nggak mau, kan? Jadi biarkan dia istirahat dulu. Mungkin dia butuh ketenangan saat ini," kata Rosidin lagi.Mau tak mau, Narti mengangguk juga. Keduanya berbalik dan duduk di sofa, sembari menunggu sang putri bangun."Assalamu'alaikum," kata Aluna dan Widya serentak, bersamaan dengan itu pintu ruangan pun dibuka."Wa'alaikusalam," sahut Narti dan Rosidin pula. Keduanya berdiri menyambut kedatangan Aluna dan Widya."Mbok sama bapak sudah makan?" tanya Aluna. Keduanya menggeleng sebagai j
"Mas? Kamu gila?!" bentak Aluna."Kenapa? Apa salah kalau aku minta rujuk? Apalagi antara kita ada Alana. Anak kita butuh kasih sayang utuh dari kedua orang tuanya, jadi nggak ada salahnya kalau kita rujuk, kan?" balas Hanan santai.Aluna menggelengkan kepala berulang kali. Perempuan itu tak habis pikir dengan cara berpikir laki-laki didepannya itu. Benar-benar dangkal!"Terus gimana dengan calon anakmu dan Nayma? Apa kamu nggak mikirin itu? Kamu nggak kasihan anakmu lahir tanpa ayah? Dimana hati nuranimu sebagai seorang laki-laki sejati, Mas?" cecar Aluna. km"Itu lebih baik. Dia belum pernah bertemu denganku, sedang Alana pernah bersamaku selama dua tahun. Jelas Alana lebih butuh aku dibanding anak Nayma." "Kamu gila! Kamu benar-benar egois, Mas. Setelah selingkuh berulang kali, dan sempat menceraikanku, sekarang kamu datang lagi karena ditolak perempuan itu? Dan kamu pikir aku bersedia kembali pada laki-laki bajingan sepertimu? Lebih baik aku hidup begini, dari pada kembali bersa
"Freya?"Panggilan sang ayah membuyarkan lamunan Freya. Perempuan itu mengalihkan pandangan pada Kardi, dia tersenyum menanggapi."Freya belum siap menikah, Yah." Jawaban Freya mengejutkan Hanan. Dia pikir gadis itu akan menuruti keinginannya. Ternyata Freya gadis yang keras kepala.Kardi menghembuskan napas pelan. Dia tak bisa berbuat apa-apa, memaksakan kehendaknya pun bukan pilihan yang tepat, meski ia yakin bisa melakukan itu. Dia ingin putrinya sendiri yang menjatuhkan pilihan, tanpa paksaan apa pun."Boleh ayah tau alasannya?""Alasannya masih sama seperti dulu. Freya belum siap berpisah dari ayah dan Dara. Dan ... Freya ingin mencari laki-laki yang tepat, laki-laki yang bisa menghargai perempuan. Freya takut salah pilih, terus malah masa depan Freya yang jadi korbannya," ucap Freya lugas.Gadis itu menatap Hanan tajam. Dia tak ingin terlihat lemah dihadapan laki-laki pecundang itu. Dia sangat tidak suka diancam dan dipermainkan.Jika saja Hanan laki-laki single, mungkin Freya
"Mas, ada apa ini? Mereka ini siapa?" tanya Freya berpura-pura.Dia menatap semua orang bergantian. Tak ada satu orang pun yang berani bersuara disana, termasuk Widya dan Aluna yang berdiri didekat Hanan dan Freya. Mereka ingin menyaksikan sendiri, bagaimana cara Hanan menjelaskan pada gadis itu tentang kebohongannya."Ahm ... mereka ini ...," Hanan tak kuasa melanjutkan kalimatnya.Jantung laki-laki itu sudah berdegup kencang. Terlebih melihat tatapan mematikan dari Rosidin. Dia langsung memalingkan muka, enggan menatap wajah ayah mertuanya itu."Kenapa, Nak Hanan? Jelaskan pada gadis itu, siapa perempuan hamil yang sedang terbaring lemah ini!" tekan Rosidin.Freya menoleh pada Hanan, dia memasang tampang bingung, seolah meminta jawaban dari laki-laki itu."Mas?" Freya menatap langsung wajah lelaki disisinya."Di–a ... istri Mas, Fre. Tapi, mas akan segera menceraikannya agar kita bisa menikah." Jawaban Hanan sama sekali tak mengejutkan Freya. Tapi tidak dengan yang lain, terlebih N