"Alhamdulillah ya Allah, akhirnya aku bertemu dengan anakku juga, Amar ini aku Papa kamu dan ini Kartika adik kamu, tolong buka pintu gerbangnya, Papa kangen banget sama kamu," ucap pria yang bernama Bowo itu. "Papa? Maaf maksud anda apa ya? Saya ini yatim piatu sejak kecil," ucap Amar sembari menatap Bowo dan Kartika."Aku tidak bohong, Amar, aku benar Papa kamu," ucap Bowo meyakinkan Amar."Apa buktinya kalau benar kau adalah Papaku?" "Ini lihatlah, aku punya fotokopi akta kelahiranmu dan ini kartu keluarga kecil kita dulu," ucap Bowo sembari menyodorkan dua lembar kertas.Yakni, fotokopi akta kelahiran Amar dan juga kartu keluarga yang jelas terselip nama Amar di sana. Memang dulu saat Amar di tinggal di depan panti, dalam kain yang menyelimutinya terdapat beberapa berkas seperti akta kelahiran, hingga nama Amar dengan akta kelahiran itu pun sama."Untuk apa Papa datang ke sini menemuiku?" desis Amar pada Bowo. Terlihat jelas jika Amar sangat terpukul atas kejadian ini. Setelah
Akhirnya saat itu juga aku keluar dari panti. Awal niatku keluar dari panti adalah untuk menemui orang tua kandungku. Entah dari mana ibu panti mendapatkan alamat orang tua kandungku yang pasti saat itu aku sudah mendapatkan alamat tinggal mereka. Tapi sayang, saat aku sampai di alamat yang ibu panti berikan padaku ternyata rumah itu hanyalah rumah kontrakan dan sudah berganti pengontrak. Aku pun pergi dengan lesu karena uang yang aku bawa ternyata sudah habis untuk naik angkutan saat menuju alamat orang tua kandungku. Hingga saat aku tengah beristirahat di pos ronda yang ada di desa dekat dengan alamat kontrakan orang tuaku. Aku dikejutkan oleh suara teriakan maling. Aku menoleh ke arah sumber suara tersebut dan benar saja ternyata ada seorang yang diteriaki maling oleh warga yang tengah berlari ke arahku. Entah angin darimana aku yang pendiam dan sedikit penakut tiba-tiba saja mempunyai nyali lebih. Seketika ide terlintas dalam benakku untuk menghentikan pelarian maling tersebut.
"Cih, memalukan, kalau hanya sekedar bikin anak pun orang gila juga bisa bikin anak, asalkan punya hasrat," ucapku tiba-tiba menimpali Kartika. Sontak saja Aliyah membulatkan matanya sembari menatapku tak percaya. Tentu saja siapa pun yang mengenalku dengan Amar yang alim dan bijak juga pendiam pasti akan terkejut saat mendengar ucapanku barusan yang terbilang frontal."Bicara apa kamu, Mar? Kurang ajar sekali kau menyamai orang tuamu dengan orang gila?" sentak papa. Sangat kentara sekali kalau dia tidak terima dengan apa yang aku katakan barusan. Bukankah apa yang aku katakan adalah benar? Mungkin dulu aku akan menasehati mati-matian jika istriku Aliyah bertindak barbar dan berbicara frontal pada kakak, almarhum adiknya juga pada Bapak mertuaku. Tapi, kini aku merasakan sendiri bagaimana rasa sakit itu muncul dari dasar hati. Sungguh kali ini aku menyesal kenapa dulu berbuat terlalu baik sama orang-orang yang sudah menyakiti istriku. "Huft ... " Kuhembuskan napasku demi menghilang
Bahkan, kini Aliyah sudah merebahkan kepalanya di atas dadaku dan tanganku pun kini sudah mengelus-elus surai hitam indah milik Aliyah."Entahlah, Bun, aku rindu sangat rindu. Bertahun-tahun aku mencari keberadaan orang tuaku. Hingga aku seolah mati rasa dan tidak lagi membutuhkan mereka. Kenapa dia datang di saat aku sudah mati-matian dan benar-benar melupakannya?""Berdoa saja semoga apa yang menjadi kekhawatiran bagimu tidak akan pernah terjadi. Bukankah sesuatu akan terjadi sesuai dengan prasangka kita?" Ucapan Aliyah tentu saja membuatku mati kutu karena apa yang diucapkannya adalah benar. Tuhan akan memberikan sesuatu sesuai dengan prasangka hambanya. Itulah sebabnya kita sebagai hamba Sang pencipta diwajibkan untuk berprasangka yang baik-baik saja."Astaghfirullahaladzim, maafkan Ayah ya, Bun, sudah suudzon sejauh ini. Apa yang Bunda ucapkan benar. Semoga apa yang menjadi pikiran buruk Ayah tadi sore dan barusan tidak akan pernah terjadi di kemudian hari.""Amiin, ya udah yuk
Kini di rumah tinggallah hanya ada aku, papa juga Kartika. Kubereskan semua piring kotor bekas suami dan anakku maka tadi menuju wastafel. Baru saja aku selesai mencuci piring tiba-tiba Kartika datang dan meletakkan dua buah piring yang kuyakini itu adalah miliknya juga milik papa ke dalam wastafel yang sudah kubersihkan tadi. Setelahnya, Kartika pun kembali berbalik badan. Dengan cepat aku menarik tangan Kartika dan mencegah kepergiannya. "Mau kemana kamu?" tanyaku sembari memegang tangan Kartika. "Ya mau ke kamar lah, Mbak, memangnya mau kemana lagi?" ucapnya dengan santai. Apakah dia tak tahu kenapa aku sampai mencekal tangannya?"Peraturan di rumahku, habis makan langsung dicuci piringnya, kenapa kamu geletakin begitu saja di wastafel?" "Ck, tadi Mas Amar dan ketiga anak Mbak habis makan langsung pergi, terus kenapa aku mau pergi gak boleh?"Dasar tidak tahu malu, sudah menumpang seolah sok menjadi ratu. Jangan dikira aku menyetujui mereka untuk tinggal di sini lantas mereka bi
"Ngapain disambut? Emangnya kamu siapa? Yang berhak sambut aku ya Aliyah istri aku. Emangnya kamu istriku?" "Skakmat! Memangnya enak diketusin mas Amar?" ucapku dalam hati."Hehehe, ya bukan begitu, Mas. Kamu 'kan kakak aku meskipun tiri tapi, aku sudah mengnggap Mas Amar itu Kakak aku. Jadi aku merasa kalau wajib menyambut Mas Amar ketika pulang kerja," ucap Kartika gugup."Gak perlu. Menyambutku adalah tugas Aliyah bukan kamu. Minggir aku mau lewat!" ketus mas Amar pada Kartika. Tampak sekali kalau Kartika terlihat seperti kambing congek bagi mas Amar. "Rasain kamu!" geramku dalam hati sembari menaikkan sedikit kedua sudut bibirku."Oh iya satu hal lagi, jangan kamu kira meski kamu adik tiriku kita ini layaknya adik kakak. Kamu bukan mahramku. Jadi, aku harap perbaiki sikapmu!" ucap tegas mas Amar. Ah, suamiku i love you forever. Aku tidak salah memilihku sebagai imamku. Pria yang selalu menundukkan pandangannya pada wanita yang tidak halal bagimu. Sungguh, aku sangat beruntung m
"Iya, Bun. Mau dibantuin gak?" jawab mas Amar setelah melepas peci yang ia kenakan."Gak usah, Yah, cuma sarapan doang. Ayah langsung mandi ya, Bunda ke dapur dulu." Aku pun bergegas keluar kamar dan menuju dapur untuk memasak sarapan untuk keluargaku. Sedangkan untuk Kartika dan papa? Biarkan saja mereka masak sendiri toh Kartika sudah dewasa sudah menjadi tugas dia untuk melayani papanya. Ini sengaja memang kulakukan agar mereka tidak menginjakku di rumahku sendiri. Pagi ini aku akan memasak yang simple dan tentunya porsi pas untuk kami berlima. Menu nasi goreng seafood dengan toping telur mata sapi di atasnya tidak lupa taburan bawang goreng dan potongan mentimun membuat hidangan kali ini tampak menggugah selera. Setelah selesai aku segera membawa piring-piring berisikan nasi goreng seafood itu ke meja makan. Setelah kurasa sempurna aku pun bergegas menuju kamar dan ingin segera mandi karena tubuhku sedikit berkeringat saat memasak tadi. Baru saja tubuhku sampai di depan pintu k
"Kamu yang sabar ya, Dek. Aku yakin Allah menguji kita seperti ini karena kita adalah hamba pilihan. Allah tahu kalau kita ini bisa menhadapi ujiam demi ujian yang Allah berikan. Yakin sama Mas ketika kita berhasil melewati ujian ini maka Allah akan menaikkan derajat kita," ucap mas Amar sembari membeai lembut pipiku dengan tangannya. Seketika hatiku pun terasa tenang. Benar kata mas Amar. Tuhan tidak akan menguji hambanya di luar kemampuan. Jika keluargaku mendapatkan ujian seperti ini artinya Tuhan percaya pada kita kalau kita semua mampu melewati semua ini. Saat tangan mas Amar masih membelai pipiku tiba-tiba saja aku teringat kalau tangan itu habis dipegang oleh Kartika. Seketika itu juga aku menepis sedikit kasar tangan mas Amar dari wajahku. "Aww, kamu kenapa? Kok tanganku di kibas?" tanya mas Amar sembari meringis. "Jangan pegang-pegang. Itu tangan bekas dipegang-pegang sama si jalang. Najis ah, sana mandi!" sungutku pada mas Amar. "Aku udah mandi, Dek, masa disuruh mandi l
Rita berbicara dengan berapi-api. Emosi yang sudah lama ia pendam pada Vivi keluar sudah. Perasaan Vivi yang ia jaga bertahun-tahun lama nya kini terpaksa ia lontarkan. Habis sudah kesabarannya menghadapi anak dari almarhumah adiknya itu. Meskipun Rita tidak menampik jika dahulu memang Rita sempat berbuat jahat pada Aliyah dan Amar juga kedua anaknya. Akan tetapi, setidaknya Rita sudah benar-benar sadar juga kedua anak Rita ia didik dengan benar dan kini kedua anaknya menjadi anak yang penurut. Lalu, apa kurangnya kasih sayang yang Aliyah dan Amar berikan pada Vivi? Tidak! Tidak ada kurangnya mereka memberikan itu semua. Rita sebenarnya juga sadar jika semua ini terjadi juga karena adanya hasutan dari Aldo. Tapi, apakah sebagai seorang yang sudah beranjak dewasa Vivi tidak bisa berpikir jernih? Orang yang sudah memberinya air susu justru ia balas dengan memberinya air tuba. Sungguh ironis memang. "Vivi harus bagaimana agar mendapatkan maaf dari kalian semua. Vivi iri setiap kali
Begitu juga dengan Amar. Belasan tahun Amar mengarungi biduk rumah tangga bersama Aliyah menjadikan dirinya sosok suami dan Ayah yang cukup tegas. Jika dahulu saat disakiti maka Amar hanya bisa diam dan berpasrah tapi, tidak dengan kali ini. Amar akan melawan siapa pun yang berusaha menyakiti keluarganya. Maka diputuskan meskipun dengan berat hati bahwa mereka akan melaporkan Vivi pada lembaga hukum. Vivi harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dan sekarang Rita lah yang akan menyeret sang keponakan ke kantor polisi sebab jika Aliyah dan Amar yang datang ditakutkan jika mereka berdua tidak akan tega saat melihat derai air mata Vivi. Beruntung Aliyah dan Amar mau mendengarkan usulan dari sang kakak. "Selamat siang, Bu. Maaf dengan siapa?" tanya pak Cokro pada Rita saat dirinya baru mendaratkan bokongnya di kursi. Rita yang baru saja memaki-maki Vivi pun napasnya masih tersengal-sengal karena terlampau emosi menghadapi anak tak tahu diri itu. "Saya Rita, Pak. Kebetulan saya juga
Ketakutan jelas terpancar dari sorot matanya yang seolah-olah berbicara untuk meminta Reno berhenti dan tidak melaporkan masalah itu ke dekan kampus. Namun, Reno tidak menghiraukan itu. Reno terus menyeret gadis dengan kulit eksotis itu menuju ruang dosen agar Vivi diberi hukuman yang setimpal. "Reno, please jangan laporin aku ke polisi. Aku minta maaf aku khilaf," hiba Vivi pada Reno tapi, pria itu bergeming. Ia sama sekali tidak menjawab kalimat yang dilontarkan Vivi hingga membuat Vivi bertambah ketakutan. Terlebih lagi mereka kini sudah berdiri di depan pintu ruangan dekan. "Reno, Reno tolong jangan laporin aku. Aku janji setelah ini gal akan lagi mengganggu atau pun menyakiti Rani.""Tutup mulutmu! Perbuatanmu harus kamu pertanggungjawabkan. Seenaknya saja mau lepas tangan!" hardik Reno yang membuat bibir gadis manis itu tertutup rapat. Hanya isak tangisnya yang masih terdengar meski lirih.Akhirnya kini baik Vivi maupun Reno sudah berada di ruangan rektor. Wajah Vivi terlihat
"Wah, cucu baru Nenek sudah pulang. Siapa ini namanya?" ujar bu Sri sembari mengambil alih anak bayi Aliyah dari gendongan Aliyah. "Oh iya siapa nama anak kamu ini, Al?" timpal Rita. "Narendra Akbar Amrani. Panggilannya Akbar.""Wah bagus sekali namanya cucu Nenek. Semoga jadi anak yang sholeh dan mampu melindungi keluarga ya le," ujar bu Sri mendoakan Akbar yang juga diamini oleh Aliyah dan Rita. "Kak, tadi lagi masak? Ini bau gosong." Aliyah menghembus-hembus bau yang menyeruak hidungnya. Begitu pun yang Rita lakukan hingga akhirnya Rita terpekik dan berlari kilat ke arah dapur. Semua yang ada di ruang keluarga kecuali Amar pun mengikuti Rita dari belakang hingga akhirnya mereka sampai di dapur mereka pun tertawa terbahak sebab melihat penampakan ayam panggang yang Rita buat yang seharusnya berwarna coklat justru menjadi warna hitam legam."Yah, gosong deh." Sontak semua yang ada di sana pun tergelak melihat ayam yang sudah tidak berbentuk lagi. ***"Reno!" Reno yang sedang berb
Uang yang Vivi serahkan pada Aldo dan katanya akan digunakan untuk berjualan sembako justru malah aldo gunakan untuk berjudi. Apakah Aldo menang? Oh tentu tidak. Tentu saja bandar tidak mau rugi. Permainan dibuat sedemikian rupa sehingga terlihat natural dan memang murni tidak kepiawaian pemain dalam memainkannya padahal sudah jelas bandar sudah mengatur sedemikian rupa dari misalnya dua puluh kali taruhan maka akan diberi kesempatan menang bagi pemain hanya sekali dan itu pun pemain hanya memenangkan uang yang tidak seberapa jika ditotal dalam dua puluh kali bermain dan satu kali menang uangnya jauh lebih besar yang dikeluarkan daripada yang dimenangkan. Itulah dahsyatnya bisikan dan godaan syetan. Bagi manusia yang lemah imannya seperti Aldo akan diberi kesempatan untuk satu kali menang setelah itu dia akan ketagihan dan terus menerus untuk kembali melakukan judi. Sudah banyak buktinya orang yang hobi berjudi tidak akan pernah ada manfaat dalam hidupnya. Justru yang ada hanyalah ke
"Sudah aku usir." ucap Rita yang membuat Aliyah juga Amar tersentak dan langsung menatap Rita seolah-olah meminta penjelasan. Sedangkan bu Sri dan pak Darto sudah Rita ceritakan sebelumnya hingga mereka sudah tidak terkejut lagi. "Kakak usir? Kenapa?""Ya Kakak gak suka aja lihat kamu di sini karena dia eh dianya di sana ketawa ketiwi sambil main ponsel. Keponakan macam apa itu. Lagian biarkan saja dia pergi dan menyusul si cunguk Aldo itu biar dia tahu betapa gak enaknya hidup gak punya uang. Sudah bagus dikasih tumpangan dan disekolahin tinggi eh malah berulah dan gak tahu terima kasih," gerutu Rita. "Ya tapi masa diusir, Kak. Kan kasihan, kalau Aldo ternyata gak bertanggung jawab gimana. Kita semua tahu gimana perangai Aldo yang asli.""Ya biarkan saja, biar tahu rasa. Dia kira dia hebat bisa hidup tanpa kamu. Kita lihat sja tph kalau dia sudah tidak kuat dia akan kembali lagi ke rumah kamu.""Apa yang Kak Rita katakan ada benarnya juga, Dek. Anggap saja itu sebagai pelajaran ba
"Kemana?""Lha katanya mau jatah yaudah ke kamar lah kemana lagi.""Yess, terima kasih sayangku.""Eh, tunggu, Dek. Si Aliyah lagi berjuang di rumah sakit kok kita malah skidi pap di rumahnya apa gak kurang ajar ya?" tanya Raka yang membuat langkah Rita terhenti. "Kamu belum tahu? Aliyah dan bayinya selamat. Keduanya sehat walafiat hanya tinggal pemulihannya saja.""Kamu tahu dari mana?" "Barusan tadi Amar kasih kabar kalau anaknya sudah lahir jenis kelaminnya laki-laki. Dan sekarang Aliyah sudah dipindahkan ke ruang perawatan sedangkan bayinya masih harus di inkubator dulu sebab prematur.""Wah, baby boy. Kalau kita kapan lagi, Dek?" Raka menaik turunkan alisnya sembari tersenyum jahil pada Rita. "Apaan sih. 'Kan kita udah punya sepasang. Bella sama Rayhan." "Yah nambah satu lagi 'kan gak ada salahnya, Dek.""Maunya. Aku yang capek urus anak. Kamu mah enak bikinnya doang.""Yee aku juga ikut bantu kali, Dek. Ayo kalau gitu gak perlu sungkan lagi mari kita produksi adik buat Bella
Amar pun hanya bisa pasrah. Yang terpenting adalah keselamatan Aliyah dan juga anak yang dikandungnya. Selagi Dokter dan perawat menangani Aliyah. Amar segera menghubungi Rita untuk mengabarkan jika Aliyah berada di rumah sakit. Ia ingin minta tolong pada Rita untuk menjaga kedua anaknya di rumah terutama Rani. Sebab Amar takut jika terjadi hal yang tidak diinginkan saat dirinya tidak ada di rumah. ***"Kamu itu ya, dulu mamamu yang nyusahin, sekarang gantian kamu yang nyusahin!" hardik Rita pada Vivi. Saat ini Rita memang sudah berada di rumah Aliyah. Tentunya ia bersama Raka tanpa anaknya. Awalnya Rita terkejut saat Amar memberi kabar jika Aliyah akan melahirkan sebab yang Rita tahu Aliyah masih lama waktu untuk melahirkan. Setelah Amar menceritakan apa yang sudah terjadi. Akhirnya Rita dan Raka pun bergegas menuju rumah Aliyah dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan. Sesampainya di rumah Aliyah tentu saja Rita menuju kamar Vivi di man Vivi tengah asik tertawa saat melihat m
"Kenapa kau lakukan itu pada Rani? Dia saudaramu Vivi!" "Di sudah merebut pacarku!" "Pacar? Pacar yang mana? Setau Bude Rani hanya dekat dengan satu orang pria yakni Reno.""Ya itu pacar aku!" "Reno? Pacar kamu? Sejak kapan? Baru kemarin malam Reno mengantar Rani pulang dan mengaku pada Bude dan Pakde kalau dia adalah pacar Rani bukan pacar kamu.""Ya tapi aku suka sama Reno Bude!""Suka? Terus Reno nya suka sama kamu enggak? Kalau enggak itu namanya bukan pacar kamu, lalu apa hak kamu menyakiti Rani?""Ya karena Rani enggak mau dengerin aku buat menjauh dari Reno.""Kenapa enggak kamu suruh saja si Reno yang menjauhi Rani? Kenapa kamu malah nyerang Rani?""Bude kenapa sih selalu saja membela Rani. Apa karena Rani anak Bude sedangkan aku hanya keponakan makanya Bude membedakan kami?""Dengar ya Vivi, mau itu anak Bude atau keponakan, Bude berada di pihak yang benar. Sedangkan di sini kamu salah! Kalian itu masih sekolah masih waktunya belajar kenapa harus berebut cowok seperti ini!