“Permisi, Mbak, pasien atas nama Pak Wicaksono yang ada di ruang VVIP kenapa nggak ada? Apa sudah pulang?”Nani nekat mendatangi Wicaksono seorang diri hanya untuk menghasut agar mau membuang Elsa dari keluarganya.Namun, saat kakinya memasuki ruangan tempat Wicaksono dirawat, sudah tidak ada batang hidungnya lagi. Kamar itu sudah kosong, bahkan sudah rapi dan bersih, siap dipakai oleh penghuni baru.“Sebentar, Bu. Saya cari datanya terlebih dulu.”Nani hanya mengangguk. Ia sangat berharap akan mendapatkan informasi sesuai harapannya.“Pasien atas nama Pak Wicaksono, yang dirawat di ruangan VVIP sudah keluar dari rumah sakit ini tadi pagi sekitar pukul delapan, Bu.”“Sudah keluar? Maksudnya sudah pulang ke rumah, gitu, Mbak?” tegas Nani untuk memperjelas informasi yang membuatnya terkejut.“Keterangan yang tertulis di sini, beliau dipindahkan ke rumah sakit lain. Tapi, tidak ditulis nama rumah sakit tujuannya, Bu. Itu permintaan dari pihak keluarga. Kalau boleh tahu, apakah Ibu ini ke
Bian membuang napas setelah memutuskan rencananya secara sepihak dan mendadak pula. Keinginan untuk melihat serta menghabiskan waktu berdua tiba-tiba saja muncul. Belum lama mereka kenal, tetapi keadaan yang membuatnya menjalin sebuah hubungan. Bahkan menuju ke jenjang pernikahan yang sakral.“Nggak perlu dandan, aku sudah cantik.” Balasan dari Elsa membuat senyum Bian mengembang.“Iya, aku tahu. Pokoknya nanti malam harus terlihat lebih cantik dari sebelumnya. Tidak ada kata protes. Udah ya! Aku sibuk kerja untuk modal menikahimu dan menafkahi istriku.”Apa-apaan aku ini? Tapi, aku memang nyaman saat bersamanya dan merasa bahagia. Apa benar, aku susah jatuh cinta? Bian berkata dalam hati dan menanyakan pada dirinya sendiri tentang perasaannya saat ini.“Bian! Isengmu berlebihan!” balas Elsa mengomeli sikap Bian.Perbincangan dalam pesan itu diakhiri oleh Bian karena sengaja tidak membalasnya. Ia beralih ke kontak bernama Mona, lantas menghubunginya.“Halo, Mas Bi, ada apa? Kangen sam
“Malem, Tan,” sapa Bian pada Nani. Meski ada Vela, laki-laki itu enggan menyapa.“Iya, Mas Bian. Ada apa ya, Mas Bian kok, malam-malam datang ke sini?” Nani bertanya sangat berhati-hati.“Oh, Mas Bian. Silakan masuk,” ajak Handi ketika melihat Bian yang berdiri di luar pintu.“Nggak usah, Om. Saya ke sini hanya mau menjemput Elsa untuk diajak makan malam. Sekalian meminta izin sama Om, dan juga Tante. Apa saya boleh mengajak Elsa pergi?”Vela yang mendengar ajakan itu tentu saja hatinya terbakar. Bukan hanya cemburu, rasa irinya juga bergejolak hebat dan menimbulkan amarah yang luar biasa.Di dalam hati, seakan ada yang mengimpit. Napas Vela terasa berat. Ia pun tak mau melihat wajah Bian. Kekecewaannya jelas tergambar di raut wajahnya.Elsa tersenyum saat melihat ekspresi saudara tirinya itu. Ia sengaja memperhatikannya secara sembunyi-sembunyi. Berkat Bian, balas dendam yang direncanakan sukses besar. Rasa sakit yang menggerogotinya, kini dirasakan pula oleh Vela.Dadamu terasa sesa
“Iya, tentu saja aku mau menikah denganmu. Bukankah itu yang sangat aku harapkan?”Elsa menepis keanehan yang tadi dirasakan. Apa yang dilakukan Bian saat ini pasti hanya sekadar sandiwara dengan sepenuh hati. Wanita bergaun silver itu tak mau mengacaukan sandiwara yang susah payah Bian perankan.Jemari lentik Elsa, lebih tepatnya di jari manis, Bian memasang cincin yang sengaja ia pesan secara khusus dalam waktu yang begitu singkat.Bian tersenyum. Dengan tiba-tiba, ia mengecup punggung tangan Elsa dengan mesra.“Bi! Apa yang kamu lakukan?” Kening Elsa mengerut gara-gara tindakan Bian.“Sesuatu yang biasa dilakukan oleh seseorang yang baru melamar pacarnya kan?”“Kamu nggak perlu berlebihan begitu, Bi.”Secara perlahan, Elsa menarik tangannya yang dipegang Bian.“Aku harus melakukannya. Bukankah kita ingin cepat menikah sesuai rencanamu?”“Iya, tapi kamu terlalu berlebihan, Bi. Tempat ini sudah sangat luar biasa, ditambah lamaranmu yang tiba-tiba ini. Aku ....” Elsa menghentikan perk
Amarah yang memuncak, membuat dada terasa sesak. Aliran darah pun seakan menghangat. Vela sesenggukan di dalam kamar dengan seribu kepedihan bersama dirinya.“Kenapa malah aku yang jadi nangis begini? Kenapa Mbak Elsa bisa sama Bian sih? Harusnya dia milikku. Dia yang sangat tampan dan sikapnya tak bisa ditebak sudah membuatku jatuh cinta, kenapa malah pergi bersama Mbak Elsa? Harusnya Mas Rio yang menikahi Mbak Elsa, bukan begini!”Air mata yang berlinang menemani Vela yang sedang meratapi nasib buruknya.Ponsel yang tergeletak di atas kasur, tiba-tiba berbunyi. Sambil menghapus air mata, Vela mengambilnya.“Vel, nonton ini deh. Sweet banget tahu!”Sebuah pesan yang menandai Vela pada video segera dibuka.“Mereka! Apa ini! Nggak mungkin! Kenapa Bian melamar Mbak Elsa seromantis ini? Harusnya aku yang mendapatkan semua itu. Bukan Mbak Elsa!”Ponsel yang digenggam, seketika terbang dan terjatuh di atas kasur. Vela melempar ponselnya gara-gara geram melihat adegan yang ada di dalam vide
“Anda bisa melihatnya langsung di sini.”Rendi menyodorkan map berisi hasil pemeriksaan di atas meja.“Hasilnya jangan sampai mengecewakan, itu harapanku sih,” ucap Elsa seraya mengambil map itu.Secara perlahan, Elsa membuka dan mulai memindai setiap kata yang tertulis dalam surat hasil pemeriksaan yang berada di genggamannya.Senyum Elsa mengembang, ada gerakan mengangguk pelan. Apa yang sedang dibaca, membuatnya merasa senang.“Benar kan, Ren. Tebakanku nggak meleset. Vela bukanlah anak kandung Ayah. Kenapa sejak dulu Ayah nggak pernah curiga ya? Padahal jelas nggak ada kemiripan di antara mereka. Cinta memang membutakan segalanya.”“Lalu, apa rencana Anda selanjutnya?”Dengan wajah yang tetap datar, Rendi punya rasa penasaran juga dengan rencana yang akan Elsa lakukan.“Tentu saja untuk senjata agar Mama Nani nggak banyak bertingkah. Kalau sampai berbuat macam-macam, hasil pemeriksaan ini akan aku berikan pada Ayah dan membongkar identitas asliku juga.”“Baiklah. Semoga saja, renc
Elsa bergegas memasuki ruang keamanan yang berisi layar monitor untuk memantau CCTV yang terpasang.“Mbak Elsa? Ada apa ya?” tanya Heru. Dia orang yang sudah lama bekerja di rumah Elsa dan tugasnya memantau keamanan rumah.“Oh, Pak Heru, begini, Pak. Aku mau cari rekaman CCTV sekitar 10 tahun yang lalu. Tapatnya di sekitar tangga. Apa masih ada ya?”Heru tampak terkejut. Seakan mengetahui sesuatu. Ada desiran ketakutan yang menjalar di tubuhnya.“Emm ... itu, Mbak. Ng—nggak ada, Mbak,” jawab Heru terbata-bata.Mendengar jawaban yang terdengar ragu, kening Elsa mengerut. Alisnya hampir menyatu.“Pak Heru nggak berbohong kan? Kalau memang tahu sesuatu, katakan saja, Pak. Nggak apa-apa kok,” bujuk Elsa agar Heru mau mengatakan kejujurannya.Tampak gelisah, wajah Heru mulai pucat. Fokusnya tak bisa ke satu titik. Seakan tak betah dan ingin kabur dari hadapan Elsa.“Pak, kalau Pak Heru memang tahu sesuatu dan itu sangat rahasia, bicarakan saja denganku, Pak. Jangan lihat identitasku, tapi
Itu wanita yang Bian bawa ke hotel kan? Video lamaran secara live juga bareng dia kan? Ngapain dia ada di sini? Memangnya sejak kapan dia ikut arisan di sini? Bikin nggak nyaman saja. Apa sih maunya?Laras hanya bisa berbicara di dalam hati. Ia sangat tidak menyangka kalau bertemu Elsa di arisan yang selama ini diikuti. Padahal pesertanya pun seusia Laras. Seharusnya, Elsa berpikir panjang ketika memutuskan untuk ikut dalam arisan.“Eh, Bu Laras, Bian anak Ibu terkenal banget loh ya? Udah bawa wanita ke hotel, kemarin juga kan, baru aja melamar wanita itu kan? Pakai siaran live segala. Memangnya buat apa sih, Bu? Atau jangan-jangan, wanita itu sudah hamil ya? Bian kan kata Bu Laras mau dijodohkan, tapi malah melamar wanita lain yang sudah dibawa ke hotel. Itu pasti bukan pertama kali. Sudah sering dan akhirnya hamil. Benar kan, Bu?”Tanpa rasa sopan, perempuan berbaju hijau dengan make up super tebal duduk di sebelah Laras dan berbicara sesuka hatinya.“Bu Eni! Jangan asal ngomong ya!
“Bebaskan aku! Aku nggak bersalah! Mas Aryo yang menyuruhku selama ini! Dia yang awalnya punya rencana busuk itu. Aku nggak bersalah!”Nani histeris kala hakim telah memvonis hukuman penjara selama beberapa tahun kepadanya.“Mas Aryo yang jahat! Dia yang bersalah! Bukan aku!” ulang Nani dengan suara yang masih lantang.“Kita sama-sama berbuat kejahatan. Kita yang merencanakan semuanya! Bukan hanya aku!” balas Aryo tak mau disalahkan.“Diam kamu! Aku nggak mau di penjara!” hardik Nani.“Kita sama-sama salah! Jangan limpahkan semua kesalahan kepadaku! Brengsek!” Aryo kesal karena Nani selalu menyalahkannya.“Tolong diam semuanya! Keputusan sudah ditentukan! Tidak ada gunanya kalian bertengkar seperti sekarang! Silakan bawa tersangka ke dalam sel yang telah disediakan.”Kemarahan Nani tak bisa dilampiaskan lagi karena memang telah mendapatkan keputusan dari pihak berwenang. Percuma saja meski dia marah hingga berteriak-teriak. Vonis itu akan tetap menimpa dirinya sebab perbuatan jahat ya
Kasus kejahatan yang dilakukan oleh Nani dan Aryo sudah ditangani pihak berwenang. Nani diringkus oleh pihak kepolisian. Namun, Handi memohon untuk menunda kepergian mereka sampai Vela datang.“Yah! Sebenarnya ada apa? Kenapa Ayah datang bersama polisi yang akan menangkapku? Aku nggak melakukan apa-apa, Yah!” bela Nani wajahnya memucat. Ia duduk dengan tangan yang telah diborgol.“Kau selingkuh dengan Aryo kan? Kalau mengelak, hukumanmu akan tambah berat,” ancam Handi.Kata-kata Handi yang Nani dengar itu bagai dentuman bom yang meluluh-lantahkan perasaan di dalam hatinya. Ada ketakutan yang dirasakan di detik yang sama. Tak menyangka, semua yang telah ditutup rapat-rapat akan terkuak begitu saja.“A—apa maksudmu, Yah?” Ya, tentu Nani tak akan mengakuinya dengan mudah meski nasibnya sudah di ujung tanduk.“Kau mendorong Pak Umar dari atas tangga gara-gara dia melihatmu sedang bermesraan dengan Aryo kan? Akui saja Nani.”Nani hanya menggelengkan kepalanya. Ia ingin menyangkal lagi, tet
Sehari setelah Wulan menyampaikan alasannya kepada orang-orang dari masa lalunya, menjadikan hubungan itu kembali membaik. Penyesalan dari masing-masing orang bisa saling diterima dengan lapang dada. Mereka saling memaafkan dan memulai dengan hubungan yang lebih baik dari sebelumnya.Handi dan Wulan belum membicarakan lagi tentang hubungan pernikahan keduanya. Mereka ingin fokus pada kesembuhan Elsa terlebih dulu.Ketika sedang bercengkerama, ponsel Handi berbunyi. Ia mengambil benda itu. Di layar itu tertulis istriku. Ya, Nani orang yang menelepon Handi.Aku harus mengganti nama kontak ini. Dia wanita jahat dan licik. Aku akan menyudahi hubungan pernikahan kami. Tapi, sampai Elsa belum bisa dibawa pulang, aku harus berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Ini demi kelancaran rencanaku untuk menjebloskannya ke penjara.Handi menyingkir dari orang-orang. Kemudian, mengangkat telepon yang berasal dari istrinya.“Halo, Yah. Ayah mau pulang kapan? Jangan lama-lama. Aku sendirian di rumah.”Nan
Septi dan Wulan memasuki ruangan tempat Elsa terbaring tak berdaya. Orang-orang yang ada di ruangan itu, tentu menyambutnya dengan senyum yang lebar. Namun, kala menyadari kalau Wulan adalah orangnya, Wicaksono dan Elsa tercengang. Keduanya tak percaya kalau Wulan masih hidup dan sekarang berdiri di hadapan mereka.“Apa benar kamu Wulan?” tanya Wicaksono menghampiri wanita yang berdiri di sebelah Septi.Wulan mengangguk sambil menahan rasa khawatir. Lisannya bagai terkunci. Meski senang bisa berjumpa lagi dengan mertuanya, tetap ada rasa tidak nyaman yang menyeruak dari lubuk hati terdalam.“Kakek mengenalnya?” Laras tentu tak tahu apa-apa. Juga, suasana ruangan itu berubah canggung karena pertemuan mereka. Hingga Laras makin penasaran.Wicaksono malah terdiam. Pelan-pelan sorot matanya tertuju ke arah Elsa. Hatinya yang mendesir pun mengundang perasaan haru.“El, ternyata bundamu masih hidup. Apa yang kamu lihat, mungkin memang dia. Ini benar-benar keajaiban,” kata Wicaksono pada Els
“Pak, saya mau mengabarkan berita bahagia tentang Ayah saya. Beliau sudah mulai bisa berbicara. Ayah saya ingin mengatakan tentang kejadian saat beliau jatuh di tangga. Kalau berkenan, saya akan mengeraskan suara panggilan ini agar Anda bisa mendengarnya juga. Saya akan merekamnya sekalian sebagai bukti kalau seandainya nanti dibutuhkan.”Rendi menjelaskan tujuannya sebelum Umar mengatakan apa yang ia alami di masa lalu.“Oh, syukurlah kalau memang begitu. Loadspeaker saja, biar kami ikut mendengar,” jawab Handi, kini lebih menghargai Rendi.“Ayah saya masih terbata-bata saat berbicara, mohon pengertiannya kalau ucapannya sulit dipahami.” Rendi menjelaskan lagi secara spesifik tentang kondisi ayahnya.“Tidak masalah, Ren.”“Baik, Pak. Terima kasih.”Apa nantinya, kebusukan Mama Nani akan terbongkar? Menurut Elsa dari ceritanya dulu kan, Mama Nani orang yang sudah mendorong ayahnya Rendi. Kira-kira, apa sebabnya ya?Bian hanya diam saat Rendi mengatakan tujuannya. Ia masih menutupi rah
“Di mana bajingan itu, ha! Sudah diberi kepercayaan, tapi malah berniat membunuh Elsa? Apa alasan bajingan itu, ha! Pengkhianat!”Ketika Handi dan yang lain sudah sampai di rumah sakit tempat Aryo dirawat, ia tak bisa membendung emosinya lagi. Ia tak sabar ingin bertemu dengan Aryo yang mungkin sedang terkulai tak berdaya di ranjang pesakitan.“Mari, Pak. Saya antar.” Salah satu bodyguard mempersilakan mereka untuk mengikutinya ke ruangan tempat Aryo dirawat.“Iya! Cepat antar aku ke sana!” jawab Handi makin geram sambil melangkahkan kakinya.Kemurkaan terlukis di wajahnya. Orang yang begitu dipercaya, ternyata menusuknya dari belakang. Apalagi Handi telah tahu siapa Elsa sebenarnya, kemarahan makin tak terbendung.Sampai di ruangan tempat Aryo dirawat, Handi menautkan alisnya seraya menatap tajam ke arah Aryo yang terbaring lemah. Orang itu telah sadar setelah tadi sempat pingsan.“Yo! Apa maksudmu! Kamu sengaja mencelakai Elsa? Kamu berniat membunuhnya, ha! Apa yang ada di pikiranmu
“Baiklah, aku akan mengikuti solusimu. Aku ingin melihatnya dalam kondisi baik-baik saja, Sep. Jangan sampai aku menyesali seumur hidup.”Wulan menghapus air matanya. Ia telah menentukan pilihan yang paling baik menurutnya.“Itu pilihan yang paling tepat, Lan. Aku akan langsung mencari tiket pesawat untuk pergi ke tempat mereka setelah mendapat jawaban dari Bu Laras. Kamu persiapkan segalanya. Bawa hasil tes DNA-nya siapa tahu dibutuhkan.”“Baiklah, aku pulang dulu.”“Hati-hati. Jangan terlalu mencemaskan kondisi Elsa. Dia pasti ditangani sebaik mungkin.”Wulan menganggukkan kepala. Kemudian, bangkit dari kursi dan perlahan pergi dari toko bunga itu.Kamu harus baik-baik saja. Kita belum bertemu, Sayang. Bertahanlah.Air mata kembali luruh kala Wulan mengingat kondisi Elsa yang membuatnya merasa ketakutan sendiri.***“Ayo, Sayang. Minum jus jeruknya ya? Kamu harus cepat sembuh,” ucap Handi. Di tangannya sudah ada segelas jus jeruk.Sikap Handi kini berubah 180 derajat dari sebelumnya
“Bi, kenapa kamu duduk di situ?” tanya Elsa meski suaranya lemah. Ia juga mendengar kalimat terakhir yang Bian katakan sambil mengecup tangannya.“Elsa! Kamu sudah sadar, Sayang?” Bian seketika bangkit kala mendengar suara lirih itu.Kedua mata lelaki itu makin berbinar. Ia senang bercampur haru. Tatapannya lekat melihat gadis yang dicintainya itu telah pulih dari masa kritisnya.Elsa hanya tersenyum. Bian begitu mengkhawatirkannya terlihat dari raut wajahnya saat ini. Elsa tak mengingat sama sekali apa saja yang terjadi setelah mobilnya mengalami kecelakaan.“Aku takut banget, Sayang. Aku takut kamu nggak sadar lagi. Aku nggak tahu lagi kalau seandainya kamu meninggalkanku untuk selamanya. Aku nggak bisa, Sayang.”Bian memeluk Elsa meski hati-hati. Air matanya pun tumpah lagi. Di hadapan Elsa, lelaki itu begitu lemah. Rasa cintanya memang tulus. Bukan sekadar omong kosong belaka.“Bi, aku kan masih bisa ngobrol sama kamu. Jangan ngomong begitu.”“Darahmu banyak yang hilang, Sayang. W
“Oh, salam kenal. Saya Zeta, adiknya Mas Bian. Sesuai penjelasan yang Mbak Elsa katakan, saya hanya ingin berterima kasih kepadamu karena sudah mau membantu Mas Bian. Walau melalui Mbak Elsa, tetap saja saya harus berterima kasih padamu,” ucap Zeta sambil mengulurkan tangan.“Salam kenal, saya Rendi. Tentang masalah itu, memang sudah tugas saya. Tidak perlu berterima kasih, tidak masalah.” Rendi menyambut uluran tangan itu.“Baiklah.” Zeta bingung harus berbicara apa lagi.“Ya sudah, saya harus kembali bekerja. Permisi.”“Iya, Ren. Terima kasih sudah mau datang sebentar ke sini,” kata Elsa.Rendi mengangguk seraya pergi.“Dia nggak pernah tersenyum ya, Mbak?” bisik Zeta.“Iya, dia sangat serius orangnya.”“Oh, pantas, pasti nggak asik.”“Tapi, dia baik banget, Ze.”Zeta hanya mangut-mangut. Sorot matanya masih tertuju ke arah perginya Rendi.“Ayo, Sayang. Kita harus berangkat sekarang,” ajak Bian.“Ya udah, ayo!”Bian dan Elsa berpamitan pada semua orang yang telah mengantarnya. Merek