“Awalnya kami memang membicarakan bisnis yang bisa saling menguntungkan, Tan. Kebetulan, hotel yang saya kelola kondisinya berbeda jauh dari hotel-hotel lain yang keluargaku kelola. Saya memang mendapat warisan hotel karena saya anak adopsi. Dengan seperti itu, keluarga yang telah mengadopsi sudah memberikan bentuk tanggung jawabnya dengan membiarkan anak adopsinya mengelola hotel dan terserah mau diapakan. Kebetulan, Hotel Tulip maju pesat dan bertolak belakang dengan hotel-hotel lain yang dikelola keluarga. Aku jadi bisa bekerja sama dengan Bian, Tan. Lama-lama, perasaan itu timbul dengan sendirinya. Akhirnya, kami memutuskan untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Saya berharap, Tante merestui hubungan kami.”Penjelasan yang cukup panjang itu, dikatakan dengan senyuman manis yang terus menghiasi bibir Elsa.Laras yang mendengarkannya dengan enggan, tak bisa memungkiri bahwa keberanian Elsa tidak bisa dipatahkan begitu saja. Perkataannya pun terdengar masuk akal.“Memangnya ka
“Hey! Kamu punya mata nggak sih! Lihat bajuku sekarang kan! Ini jadi kotor gara-gara kamu nggak pakai mata dengan benar! Apa kamu bisa mengganti bajuku ini, ha! Gajian lima bulan aja belum tentu kebeli. Kalau punya mata dipakai dong!”Sebelum Vela mengatakannya, ia melihat ke sekeliling untuk memastikan keadaan memang sepi. Bukan hanya perkataannya yang kasar, ia menoyor kepala pegawai yang sudah tertunduk ketakutan.“Nah, gitu dong, Vel. Jangan biarkan dia bebas begitu saja. Harus diberi pelajaran biar lain kali bisa lebih hati-hati. Punya mata harusnya dipakai dong! Bukan buat hiasan!” Raya memperkeruh keadaan.“I—iya, Mbak. Maafkan saya. Sa—saya benar-benar nggak sengaja dan kurang berhati-hati.” Pegawai itu berbicara terbata-bata. Matanya mulai mengembun saking takutnya.Vela berdecap. Kembali jemarinya menoyor kepala pegawai itu.“Kalau mau minta maaf harusnya yang benar! Aku belum memaafkanmu kalau hanya seperti itu. Nggak bisa ganti rugi bajuku kan? Ini mahal banget, asal kamu
“Mana mungkin. Kami sangat direstui kok. Memang gara-gara Mbak Elsa semua jadi rumit. Makanya, Mas Rio harusnya bisa menjaga hubungan mereka, ini malah sebaliknya. Karena sakit hati atau apalah, Mbak Elsa jadi aneh begini. Mas Rio sih, harusnya bisa jaga perasaan Mbak Elsa baik-baik dong, Ra.”Tentu saja, Vela akan mencari-cari target lain untuk disalahkan. Padahal kalau dia mau berpikir, semua penyebab ada padanya. Dia yang memulai sandiwara percintaan antara Rio dan Elsa. Namun, ia tak berpikir jauh kalau Elsa sebenarnya sudah mengetahui segalanya.“Loh, kok malah Mas Rio yang disalahin? Dia juga katanya bingung saat tahu Mbak Elsa tiba-tiba membatalkan pernikahan mereka, Vel.”Agak ragu, Raya tetap menyuarakan ketidakadilan yang dirasakan. Karena kakaknya malah yang harus menanggung semua salah yang Elsa lakukan.“Udah ah! Kita mau lanjut belanja nggak nih? Kalau nggak, aku langsung pulang.” Vela berusaha mengalihkan pembicaraan dengan sedikit ancaman.“Lanjut dong. Ini kan masih s
Bian menghela napas. Ia bersantai sejenak di kursi kerja setelah melakukan pekerjaannya.“Kenapa aku jadi kangen terus sama Elsa ya? Beneran jatuh cinta nih, kayaknya. Tapi, Elsa kayaknya Cuma menganggap pernikahan terjadi gara-gara perjanjian. Tapi, ada yang aneh sama hatiku. Aku ingin segera menikahinya. Mungkin lebih baik aku bawa dia malam ini ke rumah. Harus dikenalkan secepatnya kan? Aku akan menghubunginya.”Setelah berbicara pada diri sendiri dan mengambil keputusan, Bian mengirim pesan kepada Elsa.“El, bagaimana kalau nanti malam aku bawa kamu ke rumahku untuk diperkenalkan kepada keluargaku. Kamu mau kan? Biar pernikahan kita cepat terjadi. Aku kan sudah melamarmu, harus dikenalkan ke keluargaku juga kan? Biar jelas sekalian.”Sudah bercentang dua. Namun, Elsa tak langsung membalasnya. Mungkin memang sedang sibuk dengan pekerjaannya.Sekitar dua jam setelah Bian mengirim pesan, Elsa baru membalasnya. Bian yang sejak tadi menunggu, begitu senang kala Elsa membalas pesannya.
“Tante Laras paling suka sama apa, Bi?” tanya Elsa saat di dalam mobil.“Terserah kamu, El,” jawab Bian dengan gampangnya.“Aku kan nggak tahu! Makanya tanya kamu, Bi.” Elsa jadi sewot.“Kan kalian sama-sama perempuan, kenapa tanya sama aku yang jelas-jelas seorang laki-laki?”“Ih! Kamu kan anaknya! Bukankah wajar aku bertanya barang kesukaan mamamu sama kamu?”Elsa mulai cemberut. Ia makin kesal mendengar perkataan yang Bian lontarkan.Bian malah tertawa mendengar tanggapan dari Elsa, serta melihat wajah masam yang Elsa lakukan.“Malah ketawa lagi! Nggak ada yang lucu, Bian! Aku lagi tanya serius. Kamu ini memang anak durhaka ya! Kesukaan mama sendiri malah nggak tahu.” Omelan Elsa memenuhi seisi mobil.“Iya, maaf, maaf. Soalnya kamu lucu gitu sih. Gimana aku nggak ketawa coba? Soal kesukaan Mama, aku memang nggak tahu, El. Nggak pernah cari tahu.”Elsa mendengus kesal. Perkataan Bian sama sekali tidak memberikan jawaban yang diinginkan.“Anak durhaka! Ya udah, kita ke mal aja! Cari
Laras yang sejak tadi diam, sebenarnya ikut merasa bangga dengan apa yang didengar olehnya. Elsa wanita yang sangat tangguh. Bahkan, bisa menerangkan secara detail, tanpa ada keraguan sama sekali.Bibirnya tanpa sadar menyimpulkan senyuman tipis. Elsa dan Vela tampak begitu berbeda di matanya. Elsa wanita hebat yang mungkin pantas bersanding dengan anaknya.“Ma, Mbak Elsa keren juga ya? Dia berani ngomong di depan Papah tanpa ragu. Optimis dan percaya diri banget orangnya. Zeta suka, Ma. Berbanding terbalik sama Vela yang jahat,” bisik Zeta.“Ssttt! Kamu nggak usah ikut-ikutan. Nanti malah ada yang dengar. Biarkan itu urusan mereka,” jawab Laras dengan suara lirih pula.“Mama kok, nggak ikut cerewet? Udah setuju ya, sama hubungan mereka?” Zeta sengaja menggoda Laras yang tidak seperti biasanya.“Diam, Ze. Mama lagi lihat perdebatan mereka.”Laras tidak mau mengakui bahwa dirinya sedikit merasa bangga dengan semua penjelasan yang Elsa sampaikan.“Baiklah, Bi. Kalau itu keputusan yang k
“Mas, bantu aku memisahkan Mbak Elsa dan Bian. Mereka nggak boleh menikah kan, Mas? Kamu harus menikah sama Mbak Elsa biar hubungan kita tetap seperti sekarang, Mas. Aku nggak mau putus darimu gara-gara Mbak Elsa menikahi Bian. Tolong aku, Mas. Kamu mau membantuku kan, Mas?”Dengan sandiwara menjadi orang yang ter zalimi, Vela berbicara dengan kebohongan yang begitu besar. Demi hubungan dengan Rio katanya. Padahal jelas, ia sangat menginginkan Bian.“Sayang, kamu tahu sendiri kan? Elsa sudah tidak menganggap keberadaanku sama sekali. Bagaimana aku bisa melakukannya? Kalau demi hubungan kita, aku akan mempertaruhkan segalanya demi mendapatkan restu dari orang tuamu, Sayang. Kita katakan semuanya di depan keluargamu ya. Aku akan bertanggung jawab dan membuatmu bahagia, Sayang.”Vela tak menerima perkataan yang Rio ucapkan. Ia hanya menginginkan Bian dan Rio hanya diperbudak demi memenuhi keinginannya.“Kamu nggak kasihan sama aku, Mas? Bagaimanapun, kita sulit disatukan dalam kondisi no
Vela dan Rio berhasil membawa Bian ke dalam kamar hotel. Bian yang tak sadarkan diri sudah dibaringkan di atas kasur.“Sayang, harus bagaimana melakukannya?” tanya Rio yang masih bingung dengan rencana yang diinginkan oleh Vela.“Buka seluruh pakaiannya, Mas. Rambutnya buat jadi acak-acak kan seolah baru saja bercinta denganku. Jangan lupa basahi dengan air. Dan aku, akan berpura-pura menjadi gadis malang yang diperdaya dengan obat perangsang olehnya. Ambil foto dan video dengan ponselnya Bian, Mas. Seolah dia yang sedang merekam untuk koleksi pribadi. Saat adegan dibuat, tentu saja kamu yang akan melakukannya tanpa memperlihatkan wajah dan tubuh secara jelas. Paham kan sekarang?”Naluri lelaki yang dimiliki Rio tentu terpancing. Aliran darah di sekujur tubuhnya seakan menghangat, karena ingin segera melakukan adegan yang Vela inginkan.Rio pun hanya mengangguk dan tidak bisa berkata apa-apa. Pikirannya sudah menerawang jauh. Ia tak sabar untuk segera menjamah tubuh Vela yang sudah la
“Bebaskan aku! Aku nggak bersalah! Mas Aryo yang menyuruhku selama ini! Dia yang awalnya punya rencana busuk itu. Aku nggak bersalah!”Nani histeris kala hakim telah memvonis hukuman penjara selama beberapa tahun kepadanya.“Mas Aryo yang jahat! Dia yang bersalah! Bukan aku!” ulang Nani dengan suara yang masih lantang.“Kita sama-sama berbuat kejahatan. Kita yang merencanakan semuanya! Bukan hanya aku!” balas Aryo tak mau disalahkan.“Diam kamu! Aku nggak mau di penjara!” hardik Nani.“Kita sama-sama salah! Jangan limpahkan semua kesalahan kepadaku! Brengsek!” Aryo kesal karena Nani selalu menyalahkannya.“Tolong diam semuanya! Keputusan sudah ditentukan! Tidak ada gunanya kalian bertengkar seperti sekarang! Silakan bawa tersangka ke dalam sel yang telah disediakan.”Kemarahan Nani tak bisa dilampiaskan lagi karena memang telah mendapatkan keputusan dari pihak berwenang. Percuma saja meski dia marah hingga berteriak-teriak. Vonis itu akan tetap menimpa dirinya sebab perbuatan jahat ya
Kasus kejahatan yang dilakukan oleh Nani dan Aryo sudah ditangani pihak berwenang. Nani diringkus oleh pihak kepolisian. Namun, Handi memohon untuk menunda kepergian mereka sampai Vela datang.“Yah! Sebenarnya ada apa? Kenapa Ayah datang bersama polisi yang akan menangkapku? Aku nggak melakukan apa-apa, Yah!” bela Nani wajahnya memucat. Ia duduk dengan tangan yang telah diborgol.“Kau selingkuh dengan Aryo kan? Kalau mengelak, hukumanmu akan tambah berat,” ancam Handi.Kata-kata Handi yang Nani dengar itu bagai dentuman bom yang meluluh-lantahkan perasaan di dalam hatinya. Ada ketakutan yang dirasakan di detik yang sama. Tak menyangka, semua yang telah ditutup rapat-rapat akan terkuak begitu saja.“A—apa maksudmu, Yah?” Ya, tentu Nani tak akan mengakuinya dengan mudah meski nasibnya sudah di ujung tanduk.“Kau mendorong Pak Umar dari atas tangga gara-gara dia melihatmu sedang bermesraan dengan Aryo kan? Akui saja Nani.”Nani hanya menggelengkan kepalanya. Ia ingin menyangkal lagi, tet
Sehari setelah Wulan menyampaikan alasannya kepada orang-orang dari masa lalunya, menjadikan hubungan itu kembali membaik. Penyesalan dari masing-masing orang bisa saling diterima dengan lapang dada. Mereka saling memaafkan dan memulai dengan hubungan yang lebih baik dari sebelumnya.Handi dan Wulan belum membicarakan lagi tentang hubungan pernikahan keduanya. Mereka ingin fokus pada kesembuhan Elsa terlebih dulu.Ketika sedang bercengkerama, ponsel Handi berbunyi. Ia mengambil benda itu. Di layar itu tertulis istriku. Ya, Nani orang yang menelepon Handi.Aku harus mengganti nama kontak ini. Dia wanita jahat dan licik. Aku akan menyudahi hubungan pernikahan kami. Tapi, sampai Elsa belum bisa dibawa pulang, aku harus berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Ini demi kelancaran rencanaku untuk menjebloskannya ke penjara.Handi menyingkir dari orang-orang. Kemudian, mengangkat telepon yang berasal dari istrinya.“Halo, Yah. Ayah mau pulang kapan? Jangan lama-lama. Aku sendirian di rumah.”Nan
Septi dan Wulan memasuki ruangan tempat Elsa terbaring tak berdaya. Orang-orang yang ada di ruangan itu, tentu menyambutnya dengan senyum yang lebar. Namun, kala menyadari kalau Wulan adalah orangnya, Wicaksono dan Elsa tercengang. Keduanya tak percaya kalau Wulan masih hidup dan sekarang berdiri di hadapan mereka.“Apa benar kamu Wulan?” tanya Wicaksono menghampiri wanita yang berdiri di sebelah Septi.Wulan mengangguk sambil menahan rasa khawatir. Lisannya bagai terkunci. Meski senang bisa berjumpa lagi dengan mertuanya, tetap ada rasa tidak nyaman yang menyeruak dari lubuk hati terdalam.“Kakek mengenalnya?” Laras tentu tak tahu apa-apa. Juga, suasana ruangan itu berubah canggung karena pertemuan mereka. Hingga Laras makin penasaran.Wicaksono malah terdiam. Pelan-pelan sorot matanya tertuju ke arah Elsa. Hatinya yang mendesir pun mengundang perasaan haru.“El, ternyata bundamu masih hidup. Apa yang kamu lihat, mungkin memang dia. Ini benar-benar keajaiban,” kata Wicaksono pada Els
“Pak, saya mau mengabarkan berita bahagia tentang Ayah saya. Beliau sudah mulai bisa berbicara. Ayah saya ingin mengatakan tentang kejadian saat beliau jatuh di tangga. Kalau berkenan, saya akan mengeraskan suara panggilan ini agar Anda bisa mendengarnya juga. Saya akan merekamnya sekalian sebagai bukti kalau seandainya nanti dibutuhkan.”Rendi menjelaskan tujuannya sebelum Umar mengatakan apa yang ia alami di masa lalu.“Oh, syukurlah kalau memang begitu. Loadspeaker saja, biar kami ikut mendengar,” jawab Handi, kini lebih menghargai Rendi.“Ayah saya masih terbata-bata saat berbicara, mohon pengertiannya kalau ucapannya sulit dipahami.” Rendi menjelaskan lagi secara spesifik tentang kondisi ayahnya.“Tidak masalah, Ren.”“Baik, Pak. Terima kasih.”Apa nantinya, kebusukan Mama Nani akan terbongkar? Menurut Elsa dari ceritanya dulu kan, Mama Nani orang yang sudah mendorong ayahnya Rendi. Kira-kira, apa sebabnya ya?Bian hanya diam saat Rendi mengatakan tujuannya. Ia masih menutupi rah
“Di mana bajingan itu, ha! Sudah diberi kepercayaan, tapi malah berniat membunuh Elsa? Apa alasan bajingan itu, ha! Pengkhianat!”Ketika Handi dan yang lain sudah sampai di rumah sakit tempat Aryo dirawat, ia tak bisa membendung emosinya lagi. Ia tak sabar ingin bertemu dengan Aryo yang mungkin sedang terkulai tak berdaya di ranjang pesakitan.“Mari, Pak. Saya antar.” Salah satu bodyguard mempersilakan mereka untuk mengikutinya ke ruangan tempat Aryo dirawat.“Iya! Cepat antar aku ke sana!” jawab Handi makin geram sambil melangkahkan kakinya.Kemurkaan terlukis di wajahnya. Orang yang begitu dipercaya, ternyata menusuknya dari belakang. Apalagi Handi telah tahu siapa Elsa sebenarnya, kemarahan makin tak terbendung.Sampai di ruangan tempat Aryo dirawat, Handi menautkan alisnya seraya menatap tajam ke arah Aryo yang terbaring lemah. Orang itu telah sadar setelah tadi sempat pingsan.“Yo! Apa maksudmu! Kamu sengaja mencelakai Elsa? Kamu berniat membunuhnya, ha! Apa yang ada di pikiranmu
“Baiklah, aku akan mengikuti solusimu. Aku ingin melihatnya dalam kondisi baik-baik saja, Sep. Jangan sampai aku menyesali seumur hidup.”Wulan menghapus air matanya. Ia telah menentukan pilihan yang paling baik menurutnya.“Itu pilihan yang paling tepat, Lan. Aku akan langsung mencari tiket pesawat untuk pergi ke tempat mereka setelah mendapat jawaban dari Bu Laras. Kamu persiapkan segalanya. Bawa hasil tes DNA-nya siapa tahu dibutuhkan.”“Baiklah, aku pulang dulu.”“Hati-hati. Jangan terlalu mencemaskan kondisi Elsa. Dia pasti ditangani sebaik mungkin.”Wulan menganggukkan kepala. Kemudian, bangkit dari kursi dan perlahan pergi dari toko bunga itu.Kamu harus baik-baik saja. Kita belum bertemu, Sayang. Bertahanlah.Air mata kembali luruh kala Wulan mengingat kondisi Elsa yang membuatnya merasa ketakutan sendiri.***“Ayo, Sayang. Minum jus jeruknya ya? Kamu harus cepat sembuh,” ucap Handi. Di tangannya sudah ada segelas jus jeruk.Sikap Handi kini berubah 180 derajat dari sebelumnya
“Bi, kenapa kamu duduk di situ?” tanya Elsa meski suaranya lemah. Ia juga mendengar kalimat terakhir yang Bian katakan sambil mengecup tangannya.“Elsa! Kamu sudah sadar, Sayang?” Bian seketika bangkit kala mendengar suara lirih itu.Kedua mata lelaki itu makin berbinar. Ia senang bercampur haru. Tatapannya lekat melihat gadis yang dicintainya itu telah pulih dari masa kritisnya.Elsa hanya tersenyum. Bian begitu mengkhawatirkannya terlihat dari raut wajahnya saat ini. Elsa tak mengingat sama sekali apa saja yang terjadi setelah mobilnya mengalami kecelakaan.“Aku takut banget, Sayang. Aku takut kamu nggak sadar lagi. Aku nggak tahu lagi kalau seandainya kamu meninggalkanku untuk selamanya. Aku nggak bisa, Sayang.”Bian memeluk Elsa meski hati-hati. Air matanya pun tumpah lagi. Di hadapan Elsa, lelaki itu begitu lemah. Rasa cintanya memang tulus. Bukan sekadar omong kosong belaka.“Bi, aku kan masih bisa ngobrol sama kamu. Jangan ngomong begitu.”“Darahmu banyak yang hilang, Sayang. W
“Oh, salam kenal. Saya Zeta, adiknya Mas Bian. Sesuai penjelasan yang Mbak Elsa katakan, saya hanya ingin berterima kasih kepadamu karena sudah mau membantu Mas Bian. Walau melalui Mbak Elsa, tetap saja saya harus berterima kasih padamu,” ucap Zeta sambil mengulurkan tangan.“Salam kenal, saya Rendi. Tentang masalah itu, memang sudah tugas saya. Tidak perlu berterima kasih, tidak masalah.” Rendi menyambut uluran tangan itu.“Baiklah.” Zeta bingung harus berbicara apa lagi.“Ya sudah, saya harus kembali bekerja. Permisi.”“Iya, Ren. Terima kasih sudah mau datang sebentar ke sini,” kata Elsa.Rendi mengangguk seraya pergi.“Dia nggak pernah tersenyum ya, Mbak?” bisik Zeta.“Iya, dia sangat serius orangnya.”“Oh, pantas, pasti nggak asik.”“Tapi, dia baik banget, Ze.”Zeta hanya mangut-mangut. Sorot matanya masih tertuju ke arah perginya Rendi.“Ayo, Sayang. Kita harus berangkat sekarang,” ajak Bian.“Ya udah, ayo!”Bian dan Elsa berpamitan pada semua orang yang telah mengantarnya. Merek