Tak berselang lama, Elsa telah kembali dengan membawa tas. Bian yang melihatnya langsung menghampiri Elsa, lantas mengambil alih tas yang dibawanya itu.“Kamu ini, ngerti lagi luka malah bawa berat begini. Aku ikut nggak boleh,” omel Bian karena merasa khawatir.“Aku bisa kok. Kamu aja yang berlebihan,” jawab Elsa seraya tersenyum.“Ya udah, ayo, kita langsung ke Hotel Tulip,” ajak Bian agar Elsa bisa segera beristirahat.“Tunggu, Bi. Aku harus ngomong dulu sama Vela.”Tanpa menjawab, Bian hanya menganggukkan kepala.“Vel, ingat ya! Kurang dari satu minggu, kamu harus menghubungi Mas Rio untuk merencanakan pernikahan kalian. Lebih cepat, akan lebih baik. Meski keadaanku seperti ini, aku akan tetap mengawasimu,” tegas Elsa pada Vela yang masih menitikkan air mata.“El, sekarang kamu makin berani ya! Ingat kan, kamu itu hanya anak pungut. Harusnya kamu itu lebih pantas memikirkan balas budi untuk keluarga ini. Bukan malah seperti ini, El.”“Ayah belum tahu apa-apa. Jadi, tolong, diam sa
“Kalau ingin tahu identitas aslinya secara jelas, bukankah aku harus mengetes darah yang mengalir di tubuh anak itu, Sep? Tes DNA bukankah jawaban pasti agar aku mengetahui siapa sesungguhnya Elsa itu?”Kening yang mengerut menunjukkan kalau Wulan begitu serius saat mengutarakan pendapatnya. Harapan tentang rencananya itu bisa berjalan lancar tentu menjadi doa meski tak terucap.“Iya, Lan. Memang cara itu yang paling efektif. Tapi, bagaimana caranya? Harus ada sampel dari bagian tubuhnya Elsa kan, Lan?”“Nah itu, aku mau minta tolong sama kamu, Sep.”Alis Septi hampir menyatu. Ia belum memahami apa yang seharusnya dilakukan untuk membantu temannya itu.“Nggak mungkin kalau tiba-tiba aku meminta darahnya kan, Sep? Mencurigakan banget nantinya.”“Kapan arisan diadakan lagi, Sep?” tanya Wulan seakan tak menghiraukan perkataan dari Septi.“Arisannya sih, sebulan dua kali. Tapi, ada acara lain juga selain arisan asalkan sudah mendaftar jadi peserta arisan di sini. Kamu sih, disuruh ikut ma
“Maksudnya, Vela mau menggantikanmu untuk menjadi menantuku? Begitu, El? Alasanmu tentang pembatalan pernikahanmu tadi, apakah semuanya benar? Masa iya Rio malah mencintai Vela, El? Bukankah kalian saling mencintai? Rio mencintaimu, bukan Vela, El?”Meski ada perasaan senang, tetap saja rasa penasaran itu tidak bisa dibungkam. Tika mengayakan semua yang terlintas di kepalanya.“Tante nggak perlu banyak tanya, deh. Tadi kan sudah kujelaskan sedikit, tinggal turuti saja semua perkataanku. Datanglah ke rumahku secepatnya untuk melamar Vela. Kalau Tante sudah melihat berita di media sosial, Tante pasti melihat klarifikasi yang telah dilakukan Vela kan? Dia itu bukan dilecehkan oleh Bian, melainkan sekongkol sama Mas Rio. Dia mau menikah sama laki-laki yang berperan sebagai Bian di videonya. Dan dia adalah Mas Rio, Tan.”“Apa! Jangan ngaco kamu, El! Tante tahu kabar dari Vela, makanya Tante banyak tanya. Yang Tante tahu, Rio itu pacar kamu dan mencintai kamu. Kenapa malah bermain gila sama
Saat Vela masih memikirkan kapan baiknya dia menghubungi Rio, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ada seseorang yang menghubunginya.“Kenapa Mas Rio harus meneleponku sekarang sih! Sialan banget ini orang! Dia sudah berkhianat. Dia sengaja merekamnya dengan memperlihatkan wajah kami. Buat apa dia melakukan hal bodoh itu kalau bukan untuk mengkhianatiku!”Karena ragu untuk mengangkatnya, telepon dari Rio telah berakhir. Namun, ada notifikasi yang masuk. Tanpa membukanya, pesan itu bisa terbaca di bagian atas layar ponsel.“Tolong angkat teleponku, Sayang. Kita harus bicara.” Begitulah pesan yang Rio kirimkan untuk Vela.Sesuai permintaan yang Rio tulis, ponsel Vela kembali berbunyi. Rio adalah orang yang meneleponnya.Dada yang bergemuruh hebat, karena pada akhirnya Vela kalah telak, membuatnya harus menuruti keinginan Elsa dan harus menikah dengan Rio. Ia tak bisa kabur dari Rio yang ingin berbicara kepadanya.Dengan membuang napas, layar ponsel yang digenggamnya digulir untuk menerima pang
Elsa terpaku sebab perkataan yang Bian sampaikan. Sorot matanya pun kembali di lempar ke sudut lain. Laki-laki di hadapannya itu, tak gentar untuk mendapatkan cintanya yang masih terbelenggu.Bian menghela napas kala mengetahui sikap Elsa yang kembali merasa tidak nyaman. Keinginannya kali ini, harus diwujudkan dengan proses yang sangat perlahan dan penuh kesabaran.“Maaf, El. Lagi-lagi aku menyudutkanmu. Aku pertimbangkan kok, nantinya. Aku juga akan berdoa agar kepercayaanmu tentang ketulusan cinta bisa kembali hadir dalam hatimu. Aku akan memikirkan saran darimu, El.”Keras kepala yang selalu menemani Bian, nyatanya sedikit memudar jika berhadapan dengan Elsa. Dengan pelan-pelan, Bian harus memahami perasaan wanita yang kini telah bertakhta di lubuk hatinya.“Iya, Bi. Aku juga mau berdoa, semoga suatu saat nanti, perasaanku kepadamu bisa jelas kurasakan di dalam hati. Tapi, aku nggak mau memberikan harapan kepadamu. Kita jalani seperti ini dulu. Biarkan Tuhan yang menuntun jalan ki
Balasan pesan yang Elsa kirim sengaja menggunakan kata-kata yang mengusik emosi.“Jaga kata-katamu, El. Dari dulu, aku memang mencintai Vela. Aku berpacaran denganmu hanya sebagai bukti kalau aku tulus mencintai Vela,” balas Rio, tak terima.“Iya, terserah saja. Intinya, kamu itu bodoh, mana ada seorang wanita yang mau membagi laki-laki yang katanya dicintai dengan wanita lain. Istri saja nggak mau dipoligami, ini malah menyuruh si pacar laki-laki harus mendekati wanita lain. Kalau otak dipakai, nggak masuk akal kan? Sudahlah, itu kan pilihanmu. Kabari kalau besok sudah siap semuanya. Aku ingin memastikan acara berjalan sesuai harapan.”Pesan jawaban itu telah terkirim ke nomor Rio. Elsa pun meletakkan ponselnya di atas nakas. Ia tak peduli lagi dengan jawaban yang akan masuk dalam ponselnya itu.Elsa merebahkan dirinya di atas kasur. Sorot matanya menatap langit-langit kamar hotel yang sementara ditempati.“Aku doakan, semoga rencana pernikahan kalian lancar dan tidak ada hambatan. S
“Begini semuanya, terutama Ayah, Mama Nani dan Vela, saya punya pendapat yang akan dikuatkan oleh Bian sebagai korban fitnah yang telah Vela dan Mas Rio lakukan. Kami akan mengusulkan kalau pernikahan yang terjadi nanti harus dilakukan secepatnya dalam jangka waktu satu minggu dari sekarang, dan juga, kami meminta untuk menyiarkan pernikahan itu di media sosial sebagai bentuk kalau Vela memenuhi tanggung jawabnya yang telah diklarifikasi sebelumnya. Saya kira, pendapat ini cukup bisa diterima. Bagaimanapun, orang-orang pasti ingin melihat kesungguhan yang akan Vela lakukan. Jadi, saya harap, semua akan menyetujuinya.”Pernyataan yang dibumbui oleh penekanan itu disampaikan cukup panjang. Elsa menyampaikannya dengan sangat tegas, hingga orang-orang yang ada di ruangan itu tercengang.“Jangan berlebihan, El! Cukup orang terdekat saja yang tahu. Yang penting, Vela sudah mau menikah sama Rio kan? Pernikahan yang akan dilakukan nggak perlu mengundang banyak orang, apalagi disiarkan di medi
“Bi, tunggu dong! Memangnya kamu tahu, di mana ruangan Kakek?” Pertanyaan itu menghentikan langkah keduanya. Bian kini tersadar akan perbuatannya yang mendadak menarik Elsa untuk mengikuti langkahnya.“Makanya, katakan! Jangan ngobrol terus sama Rendi!” ketus Bian karena Rendi memang sudah pergi juga.Kening Elsa mengernyit. Ia makin tak mengerti dengan sikap Bian yang sering memperlihatkan kekesalannya secara mendadak. Padahal dia tahu, Elsa memang harus membicarakan kesepakatan yang dilakukan dengan Handi melalui Rendi.“Aneh kamu, Bi! Ya udah, ayo, ikuti aku. Jangan tarik-tarik lagi. Kamu tahu kan, aku baru saja kecelakaan.” Elsa ikut merasa kesal karena sikap Bian makin kekanak-kanakan.“Aneh kan, memang gara-gara kamu. Kamunya aja yang nggak mau tahu kalau di hatiku sudah ada namamu. Ya udah, ayo.”Elsa yang tadinya ikut kesal, kini menjadi tersipu.Apa benar, Bian beneran mencintaiku sampai sikapnya jadi begini meski aku hanya mengobrol dengan Rendi? Nggak tahu deh! Aku hanya ta
“Bebaskan aku! Aku nggak bersalah! Mas Aryo yang menyuruhku selama ini! Dia yang awalnya punya rencana busuk itu. Aku nggak bersalah!”Nani histeris kala hakim telah memvonis hukuman penjara selama beberapa tahun kepadanya.“Mas Aryo yang jahat! Dia yang bersalah! Bukan aku!” ulang Nani dengan suara yang masih lantang.“Kita sama-sama berbuat kejahatan. Kita yang merencanakan semuanya! Bukan hanya aku!” balas Aryo tak mau disalahkan.“Diam kamu! Aku nggak mau di penjara!” hardik Nani.“Kita sama-sama salah! Jangan limpahkan semua kesalahan kepadaku! Brengsek!” Aryo kesal karena Nani selalu menyalahkannya.“Tolong diam semuanya! Keputusan sudah ditentukan! Tidak ada gunanya kalian bertengkar seperti sekarang! Silakan bawa tersangka ke dalam sel yang telah disediakan.”Kemarahan Nani tak bisa dilampiaskan lagi karena memang telah mendapatkan keputusan dari pihak berwenang. Percuma saja meski dia marah hingga berteriak-teriak. Vonis itu akan tetap menimpa dirinya sebab perbuatan jahat ya
Kasus kejahatan yang dilakukan oleh Nani dan Aryo sudah ditangani pihak berwenang. Nani diringkus oleh pihak kepolisian. Namun, Handi memohon untuk menunda kepergian mereka sampai Vela datang.“Yah! Sebenarnya ada apa? Kenapa Ayah datang bersama polisi yang akan menangkapku? Aku nggak melakukan apa-apa, Yah!” bela Nani wajahnya memucat. Ia duduk dengan tangan yang telah diborgol.“Kau selingkuh dengan Aryo kan? Kalau mengelak, hukumanmu akan tambah berat,” ancam Handi.Kata-kata Handi yang Nani dengar itu bagai dentuman bom yang meluluh-lantahkan perasaan di dalam hatinya. Ada ketakutan yang dirasakan di detik yang sama. Tak menyangka, semua yang telah ditutup rapat-rapat akan terkuak begitu saja.“A—apa maksudmu, Yah?” Ya, tentu Nani tak akan mengakuinya dengan mudah meski nasibnya sudah di ujung tanduk.“Kau mendorong Pak Umar dari atas tangga gara-gara dia melihatmu sedang bermesraan dengan Aryo kan? Akui saja Nani.”Nani hanya menggelengkan kepalanya. Ia ingin menyangkal lagi, tet
Sehari setelah Wulan menyampaikan alasannya kepada orang-orang dari masa lalunya, menjadikan hubungan itu kembali membaik. Penyesalan dari masing-masing orang bisa saling diterima dengan lapang dada. Mereka saling memaafkan dan memulai dengan hubungan yang lebih baik dari sebelumnya.Handi dan Wulan belum membicarakan lagi tentang hubungan pernikahan keduanya. Mereka ingin fokus pada kesembuhan Elsa terlebih dulu.Ketika sedang bercengkerama, ponsel Handi berbunyi. Ia mengambil benda itu. Di layar itu tertulis istriku. Ya, Nani orang yang menelepon Handi.Aku harus mengganti nama kontak ini. Dia wanita jahat dan licik. Aku akan menyudahi hubungan pernikahan kami. Tapi, sampai Elsa belum bisa dibawa pulang, aku harus berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Ini demi kelancaran rencanaku untuk menjebloskannya ke penjara.Handi menyingkir dari orang-orang. Kemudian, mengangkat telepon yang berasal dari istrinya.“Halo, Yah. Ayah mau pulang kapan? Jangan lama-lama. Aku sendirian di rumah.”Nan
Septi dan Wulan memasuki ruangan tempat Elsa terbaring tak berdaya. Orang-orang yang ada di ruangan itu, tentu menyambutnya dengan senyum yang lebar. Namun, kala menyadari kalau Wulan adalah orangnya, Wicaksono dan Elsa tercengang. Keduanya tak percaya kalau Wulan masih hidup dan sekarang berdiri di hadapan mereka.“Apa benar kamu Wulan?” tanya Wicaksono menghampiri wanita yang berdiri di sebelah Septi.Wulan mengangguk sambil menahan rasa khawatir. Lisannya bagai terkunci. Meski senang bisa berjumpa lagi dengan mertuanya, tetap ada rasa tidak nyaman yang menyeruak dari lubuk hati terdalam.“Kakek mengenalnya?” Laras tentu tak tahu apa-apa. Juga, suasana ruangan itu berubah canggung karena pertemuan mereka. Hingga Laras makin penasaran.Wicaksono malah terdiam. Pelan-pelan sorot matanya tertuju ke arah Elsa. Hatinya yang mendesir pun mengundang perasaan haru.“El, ternyata bundamu masih hidup. Apa yang kamu lihat, mungkin memang dia. Ini benar-benar keajaiban,” kata Wicaksono pada Els
“Pak, saya mau mengabarkan berita bahagia tentang Ayah saya. Beliau sudah mulai bisa berbicara. Ayah saya ingin mengatakan tentang kejadian saat beliau jatuh di tangga. Kalau berkenan, saya akan mengeraskan suara panggilan ini agar Anda bisa mendengarnya juga. Saya akan merekamnya sekalian sebagai bukti kalau seandainya nanti dibutuhkan.”Rendi menjelaskan tujuannya sebelum Umar mengatakan apa yang ia alami di masa lalu.“Oh, syukurlah kalau memang begitu. Loadspeaker saja, biar kami ikut mendengar,” jawab Handi, kini lebih menghargai Rendi.“Ayah saya masih terbata-bata saat berbicara, mohon pengertiannya kalau ucapannya sulit dipahami.” Rendi menjelaskan lagi secara spesifik tentang kondisi ayahnya.“Tidak masalah, Ren.”“Baik, Pak. Terima kasih.”Apa nantinya, kebusukan Mama Nani akan terbongkar? Menurut Elsa dari ceritanya dulu kan, Mama Nani orang yang sudah mendorong ayahnya Rendi. Kira-kira, apa sebabnya ya?Bian hanya diam saat Rendi mengatakan tujuannya. Ia masih menutupi rah
“Di mana bajingan itu, ha! Sudah diberi kepercayaan, tapi malah berniat membunuh Elsa? Apa alasan bajingan itu, ha! Pengkhianat!”Ketika Handi dan yang lain sudah sampai di rumah sakit tempat Aryo dirawat, ia tak bisa membendung emosinya lagi. Ia tak sabar ingin bertemu dengan Aryo yang mungkin sedang terkulai tak berdaya di ranjang pesakitan.“Mari, Pak. Saya antar.” Salah satu bodyguard mempersilakan mereka untuk mengikutinya ke ruangan tempat Aryo dirawat.“Iya! Cepat antar aku ke sana!” jawab Handi makin geram sambil melangkahkan kakinya.Kemurkaan terlukis di wajahnya. Orang yang begitu dipercaya, ternyata menusuknya dari belakang. Apalagi Handi telah tahu siapa Elsa sebenarnya, kemarahan makin tak terbendung.Sampai di ruangan tempat Aryo dirawat, Handi menautkan alisnya seraya menatap tajam ke arah Aryo yang terbaring lemah. Orang itu telah sadar setelah tadi sempat pingsan.“Yo! Apa maksudmu! Kamu sengaja mencelakai Elsa? Kamu berniat membunuhnya, ha! Apa yang ada di pikiranmu
“Baiklah, aku akan mengikuti solusimu. Aku ingin melihatnya dalam kondisi baik-baik saja, Sep. Jangan sampai aku menyesali seumur hidup.”Wulan menghapus air matanya. Ia telah menentukan pilihan yang paling baik menurutnya.“Itu pilihan yang paling tepat, Lan. Aku akan langsung mencari tiket pesawat untuk pergi ke tempat mereka setelah mendapat jawaban dari Bu Laras. Kamu persiapkan segalanya. Bawa hasil tes DNA-nya siapa tahu dibutuhkan.”“Baiklah, aku pulang dulu.”“Hati-hati. Jangan terlalu mencemaskan kondisi Elsa. Dia pasti ditangani sebaik mungkin.”Wulan menganggukkan kepala. Kemudian, bangkit dari kursi dan perlahan pergi dari toko bunga itu.Kamu harus baik-baik saja. Kita belum bertemu, Sayang. Bertahanlah.Air mata kembali luruh kala Wulan mengingat kondisi Elsa yang membuatnya merasa ketakutan sendiri.***“Ayo, Sayang. Minum jus jeruknya ya? Kamu harus cepat sembuh,” ucap Handi. Di tangannya sudah ada segelas jus jeruk.Sikap Handi kini berubah 180 derajat dari sebelumnya
“Bi, kenapa kamu duduk di situ?” tanya Elsa meski suaranya lemah. Ia juga mendengar kalimat terakhir yang Bian katakan sambil mengecup tangannya.“Elsa! Kamu sudah sadar, Sayang?” Bian seketika bangkit kala mendengar suara lirih itu.Kedua mata lelaki itu makin berbinar. Ia senang bercampur haru. Tatapannya lekat melihat gadis yang dicintainya itu telah pulih dari masa kritisnya.Elsa hanya tersenyum. Bian begitu mengkhawatirkannya terlihat dari raut wajahnya saat ini. Elsa tak mengingat sama sekali apa saja yang terjadi setelah mobilnya mengalami kecelakaan.“Aku takut banget, Sayang. Aku takut kamu nggak sadar lagi. Aku nggak tahu lagi kalau seandainya kamu meninggalkanku untuk selamanya. Aku nggak bisa, Sayang.”Bian memeluk Elsa meski hati-hati. Air matanya pun tumpah lagi. Di hadapan Elsa, lelaki itu begitu lemah. Rasa cintanya memang tulus. Bukan sekadar omong kosong belaka.“Bi, aku kan masih bisa ngobrol sama kamu. Jangan ngomong begitu.”“Darahmu banyak yang hilang, Sayang. W
“Oh, salam kenal. Saya Zeta, adiknya Mas Bian. Sesuai penjelasan yang Mbak Elsa katakan, saya hanya ingin berterima kasih kepadamu karena sudah mau membantu Mas Bian. Walau melalui Mbak Elsa, tetap saja saya harus berterima kasih padamu,” ucap Zeta sambil mengulurkan tangan.“Salam kenal, saya Rendi. Tentang masalah itu, memang sudah tugas saya. Tidak perlu berterima kasih, tidak masalah.” Rendi menyambut uluran tangan itu.“Baiklah.” Zeta bingung harus berbicara apa lagi.“Ya sudah, saya harus kembali bekerja. Permisi.”“Iya, Ren. Terima kasih sudah mau datang sebentar ke sini,” kata Elsa.Rendi mengangguk seraya pergi.“Dia nggak pernah tersenyum ya, Mbak?” bisik Zeta.“Iya, dia sangat serius orangnya.”“Oh, pantas, pasti nggak asik.”“Tapi, dia baik banget, Ze.”Zeta hanya mangut-mangut. Sorot matanya masih tertuju ke arah perginya Rendi.“Ayo, Sayang. Kita harus berangkat sekarang,” ajak Bian.“Ya udah, ayo!”Bian dan Elsa berpamitan pada semua orang yang telah mengantarnya. Merek