Hari ini Ziva masih tetap dengan misinya untuk mencari bukti jika Regan memiliki selingkuhan. Ia bahkan rela menyuruh Idhar untuk tetap stay di depan kantor Regan karena ia memiliki jadwal bimbingan dengan dosen.
Mengingat Rio merupakan sekutu Regan membuat Ziva tidak mempercayai laki-laki itu. Ziva lebih baik keluarin duit untuk Idhar yang mau dibayar dua ratus ribu. Dan, untungnya Regan rajin memberikan transferan ke rekeningnya. Anggap saja itu uang jajan Ziva yang diberikan untuk Idhar karena memang Ziva tidak memakai uang itu untuk hal-hal tidak berguna.
Kini Ziva mendapat laporan lagi jika Regan datang ke makam kemarin. Entah kenapa Ziva menjadi penasaran kenapa Regan menjenguk Kak Celine terus menerus. Jika memang masih belum move on dari kakaknya itu hal wajar saja karena mereka saling mencintai bukan dulunya? Kenapa harus diam-diam seperti ini.
“Lo, pokoknya ikutin terus.”
“Siap.”
“Gue bayar hari ini transfer
Entah kenapa tadi Regan seperti melihat sesosok istrinya di pemakaman. Pakaian yang dikenakan orang itu sama persis seperti yang dipakai Ziva. Namun, di saat ingin menegur membuat Regan mengurungkan niat ketika perempuan itu tampak sedang mengusap-ngusap batu nisan. Mungkin hanya kebetulan saja bajunya sama. Apalagi model pakaian seperti itu sangatlah menjamur di Jakarta.Sebisa mungkin Regan terus menampik pikiran curiga kepada istrinya. Lagian jika memang Ziva ke makam, kenapa harus ziarah di makam orang lain?Terlebih Ziva sudah pulang ke rumah membuat Regan merasa tenang. Namun, mendadak perasaannya menjadi tidak enak.Buru-buru Regan menghubungi Maya. Ia ingin tahu apa yang sedang dilakukan istrinya saat ini. Terlebih jangkauan CCTV rumahnya tidak dipasang sampai ke dalam-dalam kamar. Karena itu area terlarang dan privasi.Di saat panggilan teleponnya diangkat membuat Regan langsung to the point. “Halo, Bun.”“Iya, sayang.&rd
Seusai makan malam, Ziva memilih pergi ke kamar untuk istirahat. Namun, mengingat kepalanya banyak hal yang dipikirkan membuat tidak bisa tertidur. Ziva pun memilih untuk menunggu Regan—suaminya pulang bekerja.Sudah berkali-kali kepalanya mendongak menatap ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ziva berdecak sebal mengingat akhir-akhir ini Regan selalu pulang malam, dan sangat sibuk bekerja.“Ah, kupikir menjadi istri seorang pengusaha itu enak. Ternyata sering kesepian begini. Tahu begini mendingan nikah sama guru saja yang sore sudah di rumah,” dumel Ziva, kesal.Merasa sedang kesal dengan keadaan membuat Ziva langsung turun dari ranjang dan berjalan menuju balkon kamarnya. Ziva menatap ke arah halaman rumah yang cukup luas. Bibirnya tersenyum tipis.“Itu halaman kalau dibangun kos-kosan bakalan ngehasilin duit banyak, nih. Secara di Jakarta gitu lho. Apa saja serba dibuat bisnis yang menghasilkan,&rdquo
Pagi ini Ziva dan Regan masih merasa kesal satu sama lain. Tidak ada obrolan yang tercipta antara keduanya. Regan yang biasa mengalah dan membuka obrolan terlebih dulu pun kini memilih diam dan fokus menyetir.Ziva yang masih merasa aneh dengan sikap Regan ikut diam dan terus menatap ke samping jendela. Entah kenapa perasaan manis semalam dalam waktu sekejap langsung berubah menjadi pahit bak buah bratawali.Dan saat sampai di depan kampus, Ziva merasa bingung sendiri. Apakah akan melakukan kebiasaan sebelum turun mobil atau mengabaikannya begitu saja? Merasa terlalu gengsi membuat Ziva memilih opsi kedua. Mengabaikannya.Namun, baru ingin memegang pintu mobil tangan Regan sudah menarik tangannya hingga membuat kepala Ziva menoleh.Netra mata Regan kini kian menatap lembut ke bola mata Ziva. Meski ditatapan itu masih terpancar begitu jelas jika Regan masih kesal. Namun, dengan cepat pula Regan memulai ciuman itu kepada Ziva. Pria itu segera mencecap dan m
Mendengar itu membuat Ziva merasa jika telinganya bermasalah. Kakinya perlahan mulai mundur dengan kepala yang menggeleng pelan. Menampik jika yang diucapkan oleh Regan barusan itu salah. Ya, Ziva menyakini jika telinganya harus diperiksa ke dokter tht.“Aku menyukaimu melebihi diriku sendiri,” lirih Regan, menatap teduh bola mata yang sedang menatapnya lekat. Regan tersenyum tipis mengetahui jika hal ini pasti akan terjadi. Perasaan yang sesungguhnya pasti akan diketahui oleh Ziva mengingat ia sudah tidak tahan harus terus menerus berbohong kepada orang-orang tentang perasaannya kepada Celine dulunya. Regan ingin mengatakan hal yang sebenarnya agar bisa melangkah lebih baik ke depan.Lain hal dengan respon yang diperlihatkan oleh Ziva. Perempuan itu terus melangkah mundur dengan ketidakpercayaan yang dimilikinya. Pasti Regan salah ngomong tadi. Pasti itu hanya alibinya saja agar bisa mangkir dari kesalahan yang diperbuat atas kasus perselingkuhan yang dija
Seusai mengatakan itu, Ziva langsung menoleh ke makam kakaknya. Ia mengusap batu nisan yang bertuliskan ‘Celine Nadira’ dengan lembut. Setelah itu, Ziva langsung berdiri dengan sedikit sempoyongan karena terlalu lama berjongkok. Bahkan di saat Regan ingin membantu pun dengan cepat pula Ziva menangkis uluran tangannya.Ziva hanya menatap lekat ke netra mata pria itu tajam kemudian segera pergi meninggalkan Regan yang masih diam berdiri di sana.Ziva menangis sepanjang jalan setapak area pemakaman hingga sampai area parkir yang terdapat Idhar di sana.“Lo kenapa?” tanya Idhar, khawatir.Ziva masih menangis, dan segera memeluk Idhar. “Ajak gue pergi kemanapun, Har. Gue enggak mau pulang,” ujarnya dengan suara sedikit tercekat.Idhar yang dipeluk pun hanya diam dan merasa bingung. Dan terkejut saat matanya menangkap sesosok Regan yang sedang berjalan menuju keluar makam. Bahkan bisa dilihat jika tampang wajah Regan s
Setelah berputar-putar keliling Jakarta tanpa tujuan, kini Idhar menghentikan motornya di bahu jalan taman Melawai, Blok M, Jakarta Selatan.Idhar langsung mengesah dalam karena Ziva belum menentukan tujuannya sampai pukul sepuluh ini. Perempuan itu masih saja menangis dan menangis. Idhar sendiri merasa benar-benar sudah lelah karena menyetir motor keliling tidak jelas arah tujuannya ke mana. Bahkan sampai berkali-kali isi bahan bakar motornya namun tetap saja hasilnya sama. Tidak punya tujuan.“Kalau lo enggak tentuin tujuannya ke mana, mendingan turun di sini!” titah Idhar, tegas.Ziva masih diam saja, tidak merespon omelan Idhar. Bahkan sepanjang jalan pun Ziva tidak memedulikan makian dan omelan yang dilontarkan pria itu.Ziva hanya bisa merasakan kesedihan luar biasa saat ini. Mengingat perkataan Regan di area pemakaman membuat pikirannya benar-benar kacau. Kakaknya meninggal karena merasa sakit hati mendengar perempuan yang dicintai pria
Pagi ini Ziva terbangun dengan kondisi yang bisa dikatakan masih kurang baik. Ia masih merasa pusing dan banyak pikiran yang berkecambuk di kepalanya. Ziva bahkan bisa terlelap saat menjelang subuh. Mengingat tidak tidur di rumahnya sendiri atau rumah Regan membuat Ziva merasa tidak tenang jika bangun kesiangan. Terlebih, telinga Ziva sudah mendengar suara cempreng Ibu-nya Idhar di luar kamar. Ziva pun melirik ke arah jam yang masih menunjukkan pukul enam pagi.Mengetahui tidak bisa tinggal di sini lebih lama lagi membuat Ziva mengesah dalam. Membuang napas panjang, dan segera keluar kamar untuk memastikan apa yang membuat rame di sana.Ceklek.Ziva langsung terpaku saat pintu terbuka, matanya bersitatap dengan netra mata Regan di sana. Bahkan bisa Ziva lihat jika Ibu-nya Idhar tampak memandang hormat kepada Regan saat ini.“Eh, Neng, sini deh.” Romlah melambaikan tangan ke arah Ziva untuk segera mendekat ke arah sofa minimalis di sana. Bahkan
Tiba di rumah orangtuanya, Ziva langsung menangis dipelukan sang papa. Ziva tidak bisa mengontrol perasaan saat ini hingga membuatnya sangat menggebu-gebu.“Ziva, tenangkan dirimu, Nak.” Bramono terus mengusapi kepala anaknya lembut. Melihat keadaan dan kondisi anaknya yang kacau membuat Bramono tidak tega melihatnya.Marina yang melihat sang putri menangis tergugu membuatnya ikut-ikutan menangis. Merasakan pedihnya menjadi Ziva. Dipaksa menikah dengan orang yang tidak dicintai yang membuat hidupnya tertekan.“Tidak perlu cerita sekarang, kamu tenangkan pikiran dan hatimu yang paling utama,” ujar Bramono.Ziva menggeleng, ia menatap sendu ke Bramono dan Marina. Ziva mencoba mengatur napasnya sejenak sebelum menceritakan soal kematian kakaknya yang pasti akan membuat mereka berdua syok.Bahkan, Bramono menuntun Ziva untuk duduk terlebih dulu dan ia menurut. Ziva duduk dan memegang dada karena merasakan sakit hati yang bertubi