Ziva yang kesal lebih memilih turun ke lantai dasar dan duduk di teras samping. Menangis sejadi-jadinya karena merasa kalau dunia sedang mempermainkan takdir hidupnya. Ziva ingin bahagia—bersama Miko.
Ziva mendongak ke atas. Menatap langit gelap yang kebetulan sedang sedikit mendung. Entah kenapa Ziva merasa jika langit malam ini seakan tahu akan kondisi dan perasaannya yang sedang tidak baik-baik saja.
Telinga Ziva bahkan menangkap derap langkah kaki yang mendekat. Ziva buru-buru mengusap pipinya kasar. Dan tepat sekali saat selesai mengusap bahunya ada yang menepuk dengan lembut.
“Ziva, kok, duduk di sini? Emang Regan mana?” tanya Maya. Kepalanya menoleh kanan dan kiri mencari sesuatu.
Ziva tersenyum tipis, bagaimanapun sikap Maya sangat baik kepadanya. “Regan di kamar. Lagi mandi,” kilah Ziva berbohong.
Maya mengangguk paham dan ikut duduk di depan Ziva. Memandang mata Ziva lekat-lekat dan tersenyum begitu lembut.
“Apa yang ingin kamu lakukan kepada Miko, hah! Jika terjadi apa-apa dengan Miko, kamu orang pertama yang akan aku cari!” Ziva menatap lekat-lekat mata Regan. Menatap manik mata pria itu dengan nyalang penuh kebencian.Regan sendiri hanya diam membisu. Membalas tatapan Ziva dengan lembut—menarik napas panjang dan mengembuskan secara perlahan.“Ziva ….”“Jadi selama ini kamu menyuruh orang untuk membuntuti kami berdua? Untuk apa Regan! Untuk apa!” teriak Ziva lantang—tidak peduli jika nanti Maya dan Narendra bangun dari tidurnya. Ziva masih kesal dan tidak menyangka jika semua kegiatan dirinya dipantau pria menyebalkan seperti Regan. Untuk apa memangnya? Tujuannya apa?“Apa tidak cukup kamu membuat aku dengan Miko menjadi kacau seperti ini, hah!” Ziva terus berteriak karena hatinya masih kesal, jengkel, dongkol. Benar-benar tidak habis pikir Regan melakukan itu.“Aku bisa jelask
Abimana Grup.Regan merasa gelisah sejak tadi, pasalnya ia sudah menunggu Ziva sejak jam makan siang sampai pukul empat sore saat ini. Regan sudah berusaha untuk menghubungi Ziva beberapa kali namun faktanya nomor perempuan itu tidak aktif.Sengaja juga hari ini Regan tidak menyuruh Rio untuk mengawasi Ziva, Regan ingin percaya ucapan Ziva tapi nyatanya hanya kekecewaan yang didapat.Tak tinggal diam, Regan menghubungi nomor rumah untuk menanyakan keberadaan Ziva. Apakah sudah pulang atau belum.“Jadi belum pulang, Bun?” tanya Regan, cemas.“Belum, Bunda pikir dia lagi banyak kegiatan karena lagi mengerjakan skripsi, kan?”“Kalau begitu Regan tutup dulu, ya. Nanti kalau ada kabar tentang Ziva tolong kabarin.”“Iya, pastinya akan Bunda kabarin.”Regan menutup panggilan telepon dengan bundanya. Pikirannya langsung mengawang ke arah Miko. Regan sudah menebak jika istrinya sedang bers
Selesai bersih-bersih dengan air hangat, Ziva keluar kamar mandi sambil mengusap-ngusap kasar rambutnya dengan handuk kecil agar cepat kering. Matanya menatap ke arah ranjang yang sudah terdapat Regan di sana. Ziva diam saja dan terus berjalan menuju ke walk in closet untuk memakai pakaian.Selesai memakai piyama, Ziva keluar dan memilih bercermin untuk menyisir rambutnya yang masih setengah basah. Tak lama sosok Regan justru menghampirinya yang tengah duduk. Entah kenapa napas Ziva merasa tercekat kala tangan Regan mengambil alih sisir yang dipegangnya.Ziva terkejut kala Regan mulai menyisir rambutnya dengan lembut. Ziva hanya bisa melihat wajah pria itu dari pantulan cermin di depannya. Wajah lembut seperti akhir-akhir ini yang sering Regan tunjukkan kepadanya. Entah apa yang merasuki pria itu hingga sekarang jadi berubah.“Regan, aku bisa sendiri,” kata Ziva, tangannya mencoba mengambil alih sisir itu tetapi Regan menolaknya dan meneruskan pekerj
Perempuan itu melangkah masuk dengan sangat anggun. Tampilannya bahkan terlihat sangat elegan sebagai seorang perempuan.“Saya Kanaya, rekan kerja Regantara.” Perempuan itu langsung tersenyum sambil mengulurkan tangan ke arah Ziva.“Ziv—Celine.” Dengan cepat pula Ziva langsung memperkenalkan diri sebagai Celine. Memang ini tugasnya jika ada yang bertanya selain anak-anak kampus yang memang sebagian sudah tahu.Perempuan itu mengangguk paham. Ia langsung duduk di seberang Ziva dengan menyilangkan kaki jenjangnya.Merasa kalah cantik dan tinggi membuat Ziva langsung insecure. Pikiran Ziva pun langsung negative soal perempuan itu. Ziva menyakini jika Regan dan perempuan itu ada hubungan spesial. Ziva sangat yakin. Mana ada perempuan secantik itu malahan dianggurin begitu.“Istri-nya Regan romantis juga, ya,” kelakarnya sambil terkekeh kecil.Ziva hanya membalas dengan senyuman tipis saja.“
Merasa kasihan melihat Ziva yang berlari-lari kecil di bawah air hujan membuat Regan segera menancapkan gasnya dan berhenti tepat di depan perempuan itu. Regan segera turun dan menarik lengan Ziva agar masuk ke mobil meski terjadi penolakan dan semua itu membuat Regan sedikit berbuat kasar dengan mencengkeram lengan Ziva kuat dan memasukkan ke mobil dengan paksa.Alhasil Regan yang memang sedang tidak enak badan pun ikut terkena air hujan malam ini demi Ziva.“Di mana alamat pria itu?” tanya Regan, kesal.Lain hal dengan perempuan itu yang masih memegang pergelangan lengannya yang sakit. Luka bekas terkena beling pun merasa sangat nyeri.“Di mana alamatnya, hah?!”Mendengar kata-kata Regan yang membentak membuat Ziva merasa takut. Apalagi Regan saat ini ikut basah juga.“Kamu bisu? Di mana alamatnya?” suara Regan terdengar menggelegar dan melihat Ziva kedinginan sekaligus ketakutan membuatnya segera mengam
Setibanya di klinik, Maya terus berdoa sakitnya Ziva karena hamil. Dan melihat dokter selesai memeriksa Ziva membuat Maya sangat antusias untuk mendengarkan penjelasan.“Kondisinya tidak apa-apa. Hanya kelelahan dan masuk angin saja. Apalagi katanya kemarin hujan-hujanan selama dua hari dalam keadaan perut kosong juga. Makanya terasa mual dan sakit perut.”“Masuk angin, Dok?” tanya Maya, memastikan sekali lagi.Dokter itu mengangguk mantap.“Tidak hamil?”Dokter itu tampak tersenyum lebar dan memaklumi. “Sudah pengin punya cucu, ya, Bu?”Tampak wajah kecewa dari Maya yang membuat Ziva merasa tidak enak sendiri yang duduk di sampingnya.“Ya begitu, Dok. Tapi yang penting menantu saya tidak apa-apa.”“Hanya perlu banyak istirahat, dan makan teratur agar tidak terkena magh.”“Baik, Dok.”Dokter itu langsung menyerahkan selembar resep
Pagi-pagi sepasang suami istri ini sudah duduk bersama di ruang makan. Bahkan aura keduanya tampak bahagia yang membuat Maya hanya menggelengkan kepala.“Bunda pagi ini buat bubur untuk kalian berdua,” katanya. Bahkan tak segan-segan Maya menyiapkan bubur itu ke dalam mangkok. “Spesial buat menantu dan anak Bunda.” Maya meletakkan kedua mangkok bubur itu di depan Regan juga Ziva.“Ayah enggak dikasih?” protes Narendra.“Ayah emang sakit?” tanya Maya, matanya melotot tajam ke arah suaminya.Narendra menggeleng cepat. “Enggak.”“Kalau pengin makan bubur sakit dulu,” balas Maya, kesal.“Enggak jadi, Bun. Mendingan beli aja nanti buburnya. Daripada makan bubur dari Bunda tapi harus sakit dulu. Ayah ogah.”Maya tambah melotot mendengar ucapan dari suaminya itu. Bahkan tidak segan-segan Maya melempar sendok ke arah Narendra yang membuat pria paruh baya itu m
Ziva merasa kesal luar biasa karena ditipu serta bohongi oleh Regan juga Ayah Narendra. Ternyata pria itu tidak apa-apa, dan masih sanggup berjalan dengan sempurna. Benar-benar menyebalkan anak dan ayah itu.“Bunda enggak ikut-ikutan lho, sumpah. Bunda aja kena tipu mereka berdua.”“Tapi aku beneran sakit sayang.”“Ayah enggak ikut-ikutan lho. Disuruh sama Regan buat bantu memapah gitu kalau depan rumah. Ayah nurut aja.”Kini Maya dan Narendra kabur meninggalkan sepasang suami istri itu. Ziva langsung melipatkan kedua tangan di dada sambil menatap malas ke arah Regan.“Maaf, cuma pengin tahu aja kamu khawatir enggak sama aku. Itu aja.”“Nyebelin tahu enggak, sih. Jelas aku khawatirlah. Jangan-jangan di kepalamu juga bohongan?” tuding Ziva ingin membuka perban di kepala Regan.“Kalau ini beneran. Besok tanya saja sama Silvi.”“Yaudah, aku percaya.&rdqu
Setelah lima hari kerja, kini Regan mengajak Ziva dan keluarganya untuk berkunjung ke makam Celine. Regan ingin melakukan ziarah ke makam perempuan yang dulu sempat dekat dengannya. Regan ingin memperbaiki semua agar hidup kedepannya lebih enak.Dan, kini di sinilah Regan bersama sang keluarga saat ini. Mengunjungi makan Celine sambil mendoakan untuk perempuan itu. Regan bahkan mengucapkan permintaan maaf terus karena menuruti keinginan Celine saat itu. Meski semua telat, namun pria itu tetap saja merasa bersalah.“Tidak usah disesali, sayang. Semua itu sudah pilihan Kak Celine.” Kini Ziva mengusap punggung sang suami—mencoba menenangkan dan menguatkan jika apa yang terjadi untuk pembelajaran ke depannya.Regan tersenyum tipis, ia pun menggenggam telapak tangan Ziva erat. “Celine, kini aku sudah hidup bahagia bersama adikmu. Bahkan kita berdua sudah dikaruniai anak yang sangat menggemaskan. Namanya Abbizar, dia anak yang lucu. Andai kamu
Regan dan Ziva kini pergi ke kantor unit agama untuk meluruskan semua data pernikahannya yang sangat berantakan. Semua itu disebabkan oleh Regan, dan pria itu kini sangat begitu gentle untuk menangani dan bertanggung jawab atas semua perbuatannya di masa lalu.Seluruh keluarga Abimana, dan kedua orangtua Ziva pun ikut mengantar anak-anak mereka yang akan meresmikan hubungan pernikahan ini ke tahap yang lebih kuat lagi.Jika selama ini mereka berdua hanya resmi menjadi suami istri yang sah di mata agama, kini mereka akan meresmikan agar sah di mata negara—terlebih Abbizar saat ini membutuhkan akta kelahiran.“Boleh nikah ulang enggak?” tanya Ziva, berbisik.Regan mengerutkan kening bingung. “Maksudnya?”“Kan, selama ini kita nikah siri, jadi biar tambah sah lagi aku pengin kita nikah ulang di sini. Kamu melakukan ijab qobul lagi di sini. Lagian kemarin nikah pakai data yang salah, dan enggak ada persiapan
Ziva kini sudah dipindahkan kembali ke ruang rawat inapnya bersama sang bayi. Bahkan, Ziva merasa takjub melihat tembok kamar rawat inapnya terdapat beberapa balon yang menempel disertai tulisan sambutan untuk sang anak.“Ini siapa yang dekor?” tanya Ziva.“Bunda sama Mama,” jawab Regan.“Mama sudah sampai sini?”“Iya, mereka lagi pada makan di kantin rumah sakit. Katanya laper pas nungguin kamu lama di ruangan bersalin tadi.”Ziva tersenyum meringis mendengar penjelasan dari Regan. “Iya, tadi jahitan dulu. Terus aku IMD, habis itu dicek dan diperiksa ke seluruh tubuh—memastikan tidak terjadi apa-apa.”“Terus sekarang sudah sehat gitu?”“Iya sehat, tapi seluruh badanku pegal semua.”Kini Regan membantu Ziva dari kursi roda menuju ke ranjang rawat inapnya. Perawat yang mendorong box bayi itu langsung pamit pergi setelah tugasnya selesai.
Pilihan untuk menginap di rumah sakit sudah sangat tepat. Hal yang ditakutkan oleh Maya bahkan kini terjadi. Menantunya—Ziva—mengalami kontraksi berulang—hingga akhirnya dia mengalami flek. Hal itu langsung dilaporkan oleh Maya agar diperiksa oleh dokter yang ternyata sudah memasuki pembukaan satu.Maya terus memijit pinggang Ziva yang merasakan pegal luar biasa. Menantunya terus menangis tersendu-sendu karena merasakan sakit sekaligus mulas yang sangat luar biasa hebat. Bahkan Ziva merasakan lima menit sekali perutnya terasa mulas yang amat begitu mulas.“Tarik napas, ya,” kata Regan, pria itu kini bahkan membolos kerja karena dari semalam istrinya sudah merasakan tidak enak—hingga membuat Ziva tidak bisa tidur dan memilih berjalan mondar-mandir seperti setrikaan.Dan, benar saja pas pagi dia mengalami flek saat ingin buang air kecil—hingga akhirnya dinyatakan sudah pembukaan satu. Namun, Ziva menolak saat dokter ingin
Saat ini di rumah Maya sedang ada tukang untuk merenovasi kamar yang tidak digunakan untuk menjadi kamar cucunya nanti. Maya sibuk bertemu arsitek untuk mendekor kamar calon cucunya itu. Tak lupa juga dia sibuk bertemu desain interior agar kamar cucunya menjadi begitu bagus, nyaman, dan sempurna.Maya pun setuju untuk menggabungkan dua ruangan menjadi satu. Semua ini tentu saja atas ide sang arsitek karena memang Maya menginginkan kamar yang luas untuk calon cucunya. Jadi, di dalam ruangan kamar itu akan ada konsep untuk area bermain bayi dan tempat duduk santai sang ibu jika sedang menyusui. Maya ingin memberikan kenyamanan sang cucu dan menantunya.“Bun, apa enggak terlalu besar kamarnya jika dua ruangan itu digabung?” tanya Ziva, tidak enak hati karena anaknya akan disambut begitu berlebihan oleh keluarga Regan.“Tidak sayang, ini sudah cocok untuk kamu dan cucuku nanti. Jadi dia bisa tidur dan bermain nanti di kamar. Soalnya bayi usia enam
Malam ini Ziva tengah merendam kakinya yang bengkak dengan air hangat yang dicampur garam. Entah ini mitos atau fakta yang pasti ia hanya mengikuti saran dari sang mama.“Gimana? Sudah kempes?” tanya Regan, memastikan jika kaki sang istri akan kempes dalam waktu seketika.“Belum.”Regan mengangguk-angguk dengan tangan yang sibuk memegang ponsel. Pria itu tengah mencari tahu semua keluhan yang dialami wanita hamil di internet. Regan membaca-baca soal keluhan itu hingga menemukan kasus yang serupa—yang dialami sang istri.“Kata internet itu hal yang wajar sayang. Di sini dijelaskan karena adanya peningkatan cairan dan darah yang diproduksi.”Ziva hanya tersenyum lembut mendengar semua penuturan dari sang suami. Pasalnya hal itu sudah dijelaskan secara mendetail oleh dokter kandungannya. Dan, Ziva pun sudah mendapatkan solusi dari dokter kandungan agar posisi tidur lebih tinggi kaki dibanding kepala. Namun, na
Hari ini adalah hari yang begitu spesial untuk Ziva. Hari yang sudah sangat dia tunggu-tunggu sejak tiga bulan yang lalu. Ya, karena hari ini adalah jadwal kepulangan suaminya dari dinas luar kota. Ziva bahkan merasa deg-degan sendiri saat mendengar telepon bunda Maya dengan Regan yang mengatakan sudah sampai bandara dan sedang dalam perjalanan ke rumah.Entah kenapa ia merasa seperti anak ABG yang baru merasakan jatuh cinta. Hatinya deg-degan, bahkan kedua telapak tangannya dingin, perasaannya sangat gugup.“Kamu kenapa gugup begitu?” tanya Maya, tersenyum penuh arti.“Deg-degan, Bun,” jawab Ziva jujur.“Gugup mau ketemu misua, hm?” ledek Maya, terkekeh.Ziva langsung mesam-mesem sendiri mendengar ledekan sang bunda. Terlebih ibu mertuanya itu sangatlah paham bahasa anak-anak muda zaman sekarang. Awalnya Ziva terkejut, namun saat melihat interaksi ibu mertuanya dengan para teman-temannya di mall yang mengobrol d
Ziva pikir jika ucapan suaminya waktu itu hanya bercanda semata atau ajang balas dendam karena ulahnya. Namun, ternyata dia benaran ingin bekerja selama tiga bulan ke luar kota.Ada kesedihan yang mendalam di lubuk hatinya saat ini. Terlebih ia saat ini sedang membantu mengemasi beberapa pakaian kerja sang suami untuk dibawa ke kota Malang besok pagi.Melihat suaminya selesai telepon dengan sekertarisnya membuat Ziva tersenyum getir. Regan langsung duduk di pinggiran ranjang sambil sibuk mengotak-atik ponselnya saat ini. Ziva yang melihat itu langsung menghampiri dan segera memeluknya erat.“Aku pasti akan kangen banget sama kamu,” ucapnya lirih.Regan pun langsung menjatuhkan ponselnya di atas ranjang. Ia segera membalas pelukan sang istri. Mengusap punggungnya dengan sangat lembut. “Aku juga pasti akan lebih kangen.”“Jangan selingkuh! Jangan lupain aku! Awas aja kalau ketahuan main sama perempuan lain. Aku enggak ma
Hampir satu mingguan ini sifat Ziva sangatlah manja kepada Regan. Terlebih perempuan itu merengek terus menerus agar keinginannya untuk makan nasi padang akan segera dikabulkan. Namun, pikiran Ziva salah. Pria itu justru tidak mewujudkannya dengan dalih itu hanya mitos saja jika anaknya kelak akan ileran.Masih dengan wajah yang cemberut, Ziva masih memunggungi posisi Regan yang duduk di sampingnya.“Sudahlah Regan turutin saja keinginan istrimu,” dukung Maya.Ziva mengangguk-angguk menyetujui ucapan ibu mertuanya. Lain hal dengan pria itu yang justru menggeleng kuat.“Warung nasi padang banyak, Bun. Ngapain jauh-jauh ke kota Padangnya. Di Jakarta juga banyak.”“Tuh, kan, Bun! Anak Bunda ini kurang peka.” Ziva kembali merajuk dan terus mencari bala dukungan dari Maya yang selalu memihaknya. “Biarin aja nanti anaknya ileran. Kalau pergi kemana-mana anaknya ngiler sampai panjang lima meter. Dia juga nanti yan