Mengguyur kepalanya dengan air yang mengucur dari shower, Zen merasa sedikit lebih rileks. Penat yang dia rasa seolah ikut luruh bersama air yang mengalir melalui permukaan kulit. Dengan kedua tangan, pria itu mengusap wajah, menghalau aliran air yang menderas melalui wajah agar tetap dapat bernapas.
Hanya satu yang tak bisa hilang ketika air mengalir deras dari ujung kepala hingga ujung kaki Zen, yaitu Lea. Senyum indah dan kilau mata yang berbinar di wajah wanita itu seakan tak mau pergi dari kepala Zen. Semua yang ada pada diri Lea, seolah menempel di otaknya seperti gurita yang mengikat musuh dengan tentakel.
"Sweet Cake ...." Tanpa sadar panggilan itu mengalun lirih dari bibir Zen.
Pria itu memejam sembari menundukkan kepala. Kedua tangannya menapak pada kaca buram yang menjadi penyekat di dalam kamar mandi. Dia biarkan air mengalir melalui ujung hidung runcingnya dan berakhir di permukaan lantai kamar mandi hingga menimbulkan suara gemericik yang begitu ra
"Kita bicarakan ini di ruanganku," ujar Zen seraya berjalan melewati anak buahnya yang masih berjaga.Arthur mengangguk satu kali lantas memberi jalan pada Zen untuk mendahuluinya."Kau yakin informasi yang kau dapatkan ini akurat?" Zen bertanya tanpa melihat orang yang ditanya. Kaki pria itu terus melangkah meninggalkan ruangan di mana Lea tengah dirawat."Sangat yakin, Tuan. Informasi ini saya dapat dari informan kita yang ada di dermaga," jawab Arthur sangat yakin."Kau yakin ini bukan jebakan untuk mrmancingku keluar?" Pertanyaan yang terlontar dari mulut Zen membuat Arthur berpikir dua kali. Hingga beberapa saat, Arthur tidak kunjung menjawab pertanyaan Zen. Oleh sebab itu, Zen berhenti melangkah dan membalik badan, melihat pada orang kepercayaannya yang bungkam."Kau tidak yakin, eh?" Zen mengangkat sebelah alis, menatap remeh pada Arthur."Maafkan saya, Tuan." Arthur menundukkan kepala, merasa bodoh atas ketidakcermatannya.Hal
Dengan dada yang bergemuruh, Zen keluar dari ruang kerja dengan beberapa lembar foto yang tersisa di dalam amplop. Dia mengayun langkah dengan lebar, kembali ke kamar di mana Lea dirawat. Hari memang masih pagi, tapi emosi tinggi yang dia rasakan membuat suhu di sekitarnya terasa begitu panas seperti sedang berada di tengah gurun pasir yang tandus.Anak buah Zen yang berada di depan kamar segera berdiri menyambut kedatangan pria tersebut. Mereka pikir, tuan mereka akan segera meninggalkan mansion setelah mendapat kabar dari Arthur bahwa ada informasi yang ditunggu-tunggu olehnya.Zen mengangkat sebelah tangan ketika salah satu anak buahnya hendak menyapa, pertanda bahwa dia menginginkan anak buahnya tersebut diam. Alih-alih langsung masuk ke dalam kamar, Zen justru berdiri di depan pintu yang masih tertutup. Pria itu hanya diam dan melihat ke dalam ruangan dengan tatapan tajam. Atau lebih tepatnya melihat seorang pri
Dalam suasana hati yang kacau, Zen melajukan supercar-nya dengan ugal-ugalan. Mengikuti GPS yang dikirim Arthur beberapa saat lalu, supercar itu seolah melaju dengan sendirinya. Kedua tangan Zen mencengkeram kemudi dengan sangat erat hingga buku-buku jarinya memutih.“Berengsek!” umpat Zen sembari memukul kemudi.Pria itu memalingkan wajah ke kiri sejenak sebelum akhirnya kembali mengarahkan fokusnya ke depan. Tentang kebenaran pengkhianatan yang dilakukan oleh Clint masih sangat mengganggu pikirannya.“Aku harus fokus.” Zen menyugesti dirinya sendiri untuk kembali fokus pada apa yang ingin dia lakukan bersama Arthur.Lokasi yang dikirimkan Arthur ternyata berada di sebuah motel, di dekat dermaga. Zen pun segera memarkirkan kendaraannya di halaman motel yang terbilang cukup kumuh tersebut.“Apa tidak ada tempat lain yang lebih menjijikkan dari ini?&r
Seorang pria dengan setelan jas mahal tampak berjalan di samping Bram. Bukan pertama kali Zen melihat pria itu, karena sebelumnya dia pun pernah bertemu dengan pria tersebut. “Sepertinya ini adalah transaksi besar The Demon. Jika tidak … maka tak mungkin pemimpin The Demon turun tangan sendiri untuk melakukan transaksi,” ujar Zen seraya menurunkan teropong dan berpaling ke arah Arthur. “Maksud Anda … pria yang bersama dengan Bram adalah pemimpin The Demon?” Kening Arthur berkerut samar. Selama ini, yang Arthur tahu pemimpin The Demon sangat menjaga kerahasiaan identitasnya. Tak hanya Arthur, orang-orang yang terlibat dalam bisnis serupa pasti tahu jika pemimpin kartel tersebut nyaris tak pernah terlihat. Tak ada yang tahu seperti apa wajah dan siapa sebenarnya orang nomor satu di kartel itu. Lalu, bagaimana Zen tahu jika orang yang bersama Bram adalah “The Demon” itu sendiri? “Tepat sekali.” Zen menatap lurus pada Arthur. “Bagaimana Anda bisa
Meninggalkan lokasi di mana pertikaian itu terjadi, Zen dan Arthur segera kembali ke motel. Sudah cukup lama sejak Bram meninggalkan dermaga. Mereka harus segera menyusul agar tidak terlalu jauh tertinggal.“Sepertinya kita harus bekerja lebih keras,” ujar Arthur setelah mematikan sambungan telepon.Anak buah Zen yang bersiaga di sekitar pelabuhan melihat kendaraan yang ditumpangi oleh Bram berbelok ke jalur yang berlawanan arah dengan jalur menuju perbatasan. Setelah mengikuti mobil itu dengan jarak aman, akhirnya dia dapat menyimpulkan bahwa Bram memang belum berniat kembali ke Meksiko.“Begitukah?” Zen yang hendak membuka pintu mobil, menghentikan apa yang dia lakukan lalu menoleh pada Arthur yang berada di samping sedan tua—kendaraan yang disewa oleh Arthur untuk melancarkan pekerjaannya.“Bram tidak menuju perbatasan. Bisa jadi dia sedang menuju markas The Demon untuk membahas masalah kegagalan transaksinya,” ujar Arthur, menjelaskan apa yang belum d
Bertahan beberapa saat di tepi jembatan, Zen akhirnya turun dari mobil. Tangan kanannya masih menggenggam pistol yang dia gunakan untuk meledakkan mobil Bram. Pria itu berdiri persis di pembatas jembatan yang telah runtuh. Kedua matanya menyorot tajam ke bawah, di mana kobaran api itu masih tampak menyambar-nyambar dengan ganas.“Aku sudah membalaskan dendammu, Sweet Cake. Tak ada yang perlu kau takutkan lagi di dunia ini. Aku akan selalu melindungimu,” gumam Zen, seolah kalimat yang terdengar seperti curahan hati itu meluncur tanpa kendali.Suara sirine polisi yang meraung-raung kian mendekat, memaksa Zen untuk segera berbalik dan masuk ke mobil. Dia harus segera meninggalkan tempat itu jika tidak ingin polisi setempat membuatnya repot.“Kemudikan mobilnya, Art,” perintah Zen pada Arthur, sementara dirinya duduk di kursi penumpang.Arthur segera berpindah posisi ke sisi kiri mobil dan duduk di balik kemudi. Sembari melajukan mobil
Dari kaca spion, Zen melihat ke belakang di mana Arthur tengah berusaha menyelesaikan masalah pribadinya. Sejenak lalu, Zen sempat berpikir bahwa mungkin saja di luar sana juga ada seorang anak yang di tubuhnya mengalir darah Aberdein. Sebagai seorang pria dewasa, tak bisa dielakkan lagi jika dia pun memiliki kebutuhan biologis yang perlu disalurkan. Dahulu, sebelum dirinya bersentuhan dengan dunia hitam, dia pun pernah mendekati wanita hanya untuk sekadar menyalurkan hasratnya sebagai seorang pria. Tidak … tentu saja Zen tak pernah menggunakan hati ketika mendekati wanita-wanita itu. Karena yang dia butuhkan hanyalah kepuasan yang diberikan oleh wanita-wanita tersebut.“Selamat malam, Tuan,” sapa penjaga yang bersiaga di halaman depan mansion.“Apa ada sesuatu yang perlu kuketahui selama aku tidak ada?” Zen membalas sapaan itu dengan pertanyaan.“Tidak ada hal penting yang terjadi, Tuan,” jawab penjaga itu.Tak
Mengalihkan pikiran dari hubungannya dengan Clint, Zen memusatkan perhatian pada Lea. Wanita yang baru saja disuntik dengan penawar racun itu masih tampak lelap dalam tidur panjangnya.“Penawar apa yang dia berikan? Kenapa tidak ada reaksi sama sekali?” keluh Zen yang tak melihat reaksi apa pun di tubuh Lea setelah penawar itu masuk ke tubuhnya.Pria itu bahkan membungkukkan badan, mendekatkan telinganya ke dada Lea untuk mendengarkan detak jantung si wanita. Namun sama sekali tidak ada yang berbeda. Oh, Zen … memangnya apa yang diharapkan pria itu saat melakukannya? Selama jantung Lea masih berdetak, itu artinya wanita tersebut masih hidup bukan?“Apa saja yang dia kerjakan hingga dini hari jika hasilnya tak memberikan reaksi apa pun seperti ini?” gerutu Zen.Pria itu berasumsi bahwa Clint bekerja hingga larut seperti yang dia lihat dalam tampilan kamera pengawas semalam adalah untuk membuat penawar racun. Hal ini membuat Z
Sebuah mobil jeep melaju dengan guncangan yang terasa lumayan keras di jalan yang bagian kanan dan kirinya ditumbuhi rumput liar. Sruktur tanah yang tidak rata menjadi penyebabnya. Sehingga, jalanan yang sebenarnya landai itu menimbulkan efek guncangan yang amat terasa. “Aku heran, kenapa Zen tidak membangun tempat ini dengan lebih baik,” ujar Clint yang tak melepaskan tangan dari pegangan agar tidak terlempar keluar dari jeep saat terjadi guncangan. “Aku rasa … ini adalah ide Nyonya Lea, Dokter,” sahut Arthur sembari mengatur kecepatan agar mobil yang dia kemudikan tetap dapat melaju dengan stabil meski harus berkali-kali merasakan sensasi seperti akan terbalik. “Ah, kau benar!” Clint berpaling ke arah Arthur. “Wanita itu adalah kryptonite bagi Zen.” Pria itu lantas menggeleng lalu mengalihkan pandangan pada tanaman anggur yang sedang berbuah di sepanjang kanan dan kiri jalan. “Dari seorang bajingan yang kejam, sekarang menjadi petani anggur.
Keinginan Lea memang terdengar seperti perintah bagi Zen. Dan ya, Lea menginginkan mereka untuk memiliki keturunan. Setelah berhasil mengungkap apa yang dia inginkan di hadapan sang suami, wanita itu semakin memperjelasnya dengan mengatakan bahwa setidaknya dia ingin memiliki dua anak, laki-laki dan perempuan.“Itu terdengar menyenangkan, Zen. Kelak kau bisa mengajari anak laki-laki kita berbisnis, untuk meneruskan tampuh kepemimpinan The Great Palace—no no no! Aku tidak akan mengizinkamu mengajarinya bisnis gelap. Cukup kau saja yang tersesat di sana. Aku tidak ingin anak-anakku ikut tersesat bersamamu.” Lea segera membenetengi ucapannya sebelum Zen menyela.Kemudian dia melanjutkan lagi apa yang dia ucapkan, karena memang belum selesai.“Lalu aku bisa mengajari anak perempuan kita untuk memasak, bermain musik, menanam bunga, dan menyulam. Kita bisa tinggal di rumah sederhana yang tenang dan jauh dari hiruk pikuk masalah, t
Melihat kedekatan Zen dan Zac membuat sudut hati Lea berdenyut. Ada rasa cemburu serta sedikit rasa terabaikan dengan pemandangan yang tersuguh itu.Semenjak kembali ke mansion beberapa waktu lalu, Zen bahkan belum menyentuh sesuatu yang lain selain Zac. Entah karena Zac yang merasakan kerinduan membuncah hingga tak ingin melepaskan Zen sedikit pun. Atau memang Zen yang merasa berat meninggalkan anak itu. Yang jelas, keduanya seperti tidak dapat terpisahkan.Lea memutar mata jengah sembari bernapas panjang dan dalam. Terdengar begitu berat. Sampai akhirnya wanita itu memutar badan, meninggalkan Zen dan Zac yang sedang bermain puzzle."Oh, yang benar saja?! Kenapa aku merasa cemburu pada Zac? Ayolah, Lea ... dia hanya anak kecil!"Dalam perjalanannya menuju kamar, Lea terus bergumam. Memarahi dirinya sendiri yang terlalu mudah cemburu oleh bocah laki-laki itu.Memasuki kamarnya, Lea berniat untuk segera membersihkan diri. Keringat berc
Selama dalam perjalanan menuju mansion, Lea sama sekali tak melepaskan tangannya dari lengan Zen. Bahkan dia nyaris tidak pernah mengangkat kepalanya dari bahu sang suami.“Aku bersumpah aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi, Zen. Aku tidak akan sanggup hidup tanpa dirimu,” ungkap Lea seraya mendusal di dada Zen yang sengaja membuka tangan lalu meminta Lea untuk masuk dalam rengkuhannya.“Tidak akan, Sweet Cake. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi,” balas Zen.Melihat kemesraan Zen dan Lea, Arthur hanya bisa memalingkan wajah. Merutuki pikiran untuk memiliki seorang wanita yang dia cintai dan mencintai dirinya seperti sang tuan. Namun, sejenak kemudian, pria itu lantas menggeleng samar sambil memejamkan mata. Mengusir pemikiran yang dia rasa begitu konyol dan sangat bukan dirinya.Sayangnya … hal tersebut dapat dilihat oleh Zen. Apa yang dilakukan Arthur—menggeleng samar dengan wajah berpaling ke j
“Arthur!”Zen menjatuhkan lututnya di atas tanah, tepat di samping Arthur yang tergeletak dengan tubuh lemas. Ada perasaan tak bisa dimengerti yang bercokol di dalam dada pria tersebut. Kehilangan, kesedihan, kemarahan, semua bercampur menjadi satu hingga terasa begitu sulit untuk mengidentifikasinya sendiri.Matt bahkan menyusul dan berdiri di belakang Zen dengan raut cemas yang sama. Ingin menenangkan sang tuan, namun nyalinya tak cukup besar untuk melakukan hal itu. Dia tidak sama dengan Arthur yang sudah terasa seperti saudara sendiri oleh Zen. Matt hanyalah pengawal pribadi Lea yang selalu setia melindungi nyonyanya tersebut.“Aku tidak mengizinkamu mati hari ini, Art! Bangun, Keparat!” sentak Zen dengan raut panik saat melihat anak buahnya itu tidak berdaya.Sementara itu, beberapa meter darinya, Lea yang tergugu tampak berusaha untuk bangkit. Dengan tubuh gemetar dan wajah yang berlinang air mata berwarna kehit
“Tidak!”Lea menjerit sambil mengerutkan badan. Menyembunyikan wajah di bahu karena dia tidak akan sanggup melihat orang kepercayaan suaminya itu terkena tembakan yang berasal dari senjata di tangannya.Namun, rupanya hingga beberapa saat kemudian, tidak terdengar suara letusan senjata api. Lea juga tak merasakan entakan kuat seperti saat dirinya menembakkan senjata sebelumnya.Sampai beberapa waktu kemudian, Lea merasakan genggaman tangan Jonathan di tangannya mengendur. Disusul suara kekehan dari balik kepalanya.Jonathan terkekeh, kemudian melepaskan tangannya dari Lea. Entah apa yang pria itu lakukan, namun Lea merasa seperti baru saja mendapatkan napasnya kembali.“Aku tidak akan melakukannya untukmu, My Dear,” ucap Jonathan seraya memberi jarak antara tubuhnya dengan Lea. Berjalan mundur dua langkah dengan kedua tangan yang terselip di saku celana.“Tidak! Aku tidak bisa melakukannya.”
Tarikan napas panjang yang dilakukan Jonathan membuat dagu tertutup jambangnya terangkat. Pada saat mengembuskannya kembali, Jonathan terlihat seperti seorang ayah yang lagi-lagi mendapatkan laporan atas ulah nakal yang diperbuat oleh anaknya. Dari kejauhan, Zen dapat melihat pria itu tersenyum. Tampak dari garis wajahnya yang terangkat serta matanya yang sedikit menyipit seolah tertarik ke atas. Kemeja mahal yang membungkus tubuhnya terlihat begitu elegan. Tak berselang lama kemudian, deru mesin beberapa kendaraan terdengar kian mendekat. Sampai pada akhirnya Zen dapat melihat beberapa Range Rover masuk satu persatu ke arena pacuan kuda, berjajar di sisi kanan dan kiri helikopter. Atau lebih tepatnya mengapit pria yang mereka sebut “Superior”, seolah ingin menegaskan betapa besar kekuasaan yang dimiliki oleh seorang Jonathan Graham dari Ordo Messier. Berbeda dengan Zen, kali ini hanya ada dua mobil yang mengawal pria itu. Salah satunya adalah
“Pesta dimulai!” gumam Zen seraya menginjak pedal gas secara perlahan, melajukan mobil yang dia kendarai menuju jalan raya.“Mereka mengikuti kita, Zen,” kata Lea seraya menoleh ke arah spion kanan di mana sebuah mobil terlihat berusaha mengejar laju mereka.Zen melirik spion dan dia juga melihat apa yang dilihat Lea, di mana sebuah mobil melaju zig zag seolah tak ingin kehilangan jejak.“Masih ada beberapa mobil lain di belakangnya,” kata Zen seraya mengarahkan pandangan pada jalanan di depan yang lumayan padat.“Kau yakin?” Lea berpaling sekilas ke arah Zen.“Kau akan mengetahuinya lagi nanti setelah kita tiba di St. Robert Avenue. Jalanan di sana sepi. Aku memprediksi mereka akan memblokade jalan kita di sana,” kata Zen.“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” Lea terlihat panik, cemas, khawatir, dan … takut.“Kau tenang saja. Aku sudah
Padang rumput yang membentang sejauh mata memandang, menampakkan beberapa bunga ilalang yang terbang terkena embusan angin. Beberapa kuda yang tampak berlari bebas saling berkejaran, seolah tak bertuan. Rumah kayu bercat putih yang terlihat begitu lengang, nyatanya menyembunyikan sepasang suami dan istri yang tengah bersiap untuk menghadapi hari besar.“Kau yakin tetap akan melakukannya?” tanya Zen kepada Lea saat wanita itu mengikat sabuk dengan sebuah revolver kecil pada pahanya.Lea menegakkan punggung seraya menurunkan bawahan gaun sutera panjang berwarna hitam yang memiliki belahan samping hingga setengah paha. Gaun model simple dengan tali spaghetti yang menggantung di bahu itu sungguh terlihat begitu elegan ketika melekat di tubuh proporsional Lea. Lipstik warna merah menyala yang memoles bibir wanita itu pun menambah kesan seksi dan berbahaya yang mampu membuat siapa saja yang melihatnya merasa terintimidasi oleh Lea.Menarik na