Ucapan Zen tentang apa yang akan terjadi esok hari di labirin membuat Lea tidak bisa tidur hampir semalaman. Wanita itu terus memikirkan apa yang akan dilakukan Zen di sana.
“Apa ini ada hubungannya dengan orang yang mendalangi semua kecelakaan yang terjadi?” gumam Lea saat Zen meninggalkannya untuk urusan pekerjaan bersama Arthur. Entah pekerjaan macam apa yang pria itu lakukan di tengah malam seperti itu.
Wanita tersebut melihat jam yang ada di atas nakas. Sebentar lagi matahari akan terbit dan kedua matanya tidak mau terpejam. Hati Lea terus gelisah karena firasat buruk yang dia rasakan tentang kejadian di labirin.
Untuk itu Lea memutuskan turun dari ranjang dan melenggang ke kamar mandi. Memosisikan diri di bawah kucuran air dari shower, wanita itu membasahi seluruh tubuhnya mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Rasanya jauh lebih baik sekarang,” ujar Lea di depan cermin yang ada di walk in closet.
Dengan hanya mel
Ketika roda dari kursi yang diduduki Lea behenti bergerak, wanita itu berpura-pura tidak tahu bahwa mereka berhenti di dalam sebuah ruangan kosong dengan sebuah lampu gantung yang berada di tengah-tengah ruangan. Jangan lupakan lorong sepi yang membawa mereka menuju ruangan tersebut. Tak ada penjaga yang tampak melintas. Terlebih lagi, ruangan ini berada di dalam sebuah ruangan lain yang lebih besar. Lea mulai berpikir bahwa ini akan menjadi sebuah perjuangan yang sulit untuknya. Wanita itu memperkirakan kemungkinannya untuk keluar dari ruangan itu dalam keadaan hidup hanya akan berada dalam kisaran tak lebih dari 25%. Ya, 25% dengan mengandalkan keberuntungan. Antara Matt yang menemukannya sebelum mati di tangan siapa pun bedebah ini atau Zen kembali ke mansion di saat yang tepat.“Apa kita sudah sampai?” tanya Lea berpura-pura bodoh.“Sudah, Nona. Kita sudah sampai,” jawab si pelayan.“Tapi … kenapa di sini terasa han
Tidak! Ini bukan saatnya untuk pasrah dan menyerah dengan keadaan. Mengharapkan bantuan yang belum tentu datang, rasanya sama saja dengan menyerahkan nyawa pada Heather.“Tidak … aku tidak boleh menyerah,” desis Lea.Wanita itu mengumpulkan sisa-sisa tenaga untuk bangkit. Lea tengah mengumpulkan semua kekuatan yang dia miliki ketika Heather menjambak rambutnya dan memaksa kepalanya menengadah.“Gigih sekali kau melindungi wajah itu, Jalang Kecil! Khawatir Aberdein akan mencampakkanmu, hah?” Heather tesenyum miring dengan embusan napas keras yang menerpa sisi wajah Lea.Sebenarnya bukan wajah, melainkan kepala. Sejak pukulan dan tendangan itu mendarat di tubuhnya, wanita tersebut menelungkupkan lengan di sekitar kepala dengan lutut ditekuk ke perut, meringkuk seperti bayi.Seseorang pernah berkata padanya seperti ini, “Ketika sedang bertarung, yang perlu kau ingat adalah … kepalamu adalah nyawamu.”
Kebingungan yang dirasakan Clint dan Lea semakin menjadi. Mereka masih belum mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Zen.“Tunggu dulu,” ucap Clint menginterupsi kebingungan yang ada, “apa yang kau maksud dengan Lea melakukan bagiannya dengan baik? Apa kau sedang merencanakan sesuatu di luar rencana yang sudah kita buat?” selidiknya.Lea yang semula memusatkan pehatian pada ucapan Clint, kini beralih melihat pada Zen dengan tatapan menuntut penjelasan. Namun … sebentar! Rencana? Rencana apa lagi yang mereka buat di luar sepengetahuan Lea? Ah, ternyata mereka sudah membuat rencana bersama sebelum kejadian pagi ini nyaris merenggut nyawa wanita itu. Tak heran jika Clint sama sekali tidak terkejut dan terkesan biasa saja saat tahu bahwa Lea dapat melihat. Rupanya mereka memang sudah bicara sebelumnya.“Apa itu benar? Kau … kalian sengaja merencanakan semua ini?” timpal Lea seraya menunjuk pria-pria yang ada di ruanga
Saat itu juga Lea merasakan sendi-sendi di tubuhnya melemah. Kakinya terasa sangat lemas hingga tak mampu lagi menopang tubuhnya sendiri. Wanita itu terjajar ke belakang, sementara Zen sama sekali tak bergerak dari tempatnya.“Lea ….” Dengan sigap Clint menangkap tubuh Lea yang nyaris ambruk. “Kau tidak apa-apa?” tanya pria itu kemudian.Lea tak menjawab. Wanita itu masih terlalu syok dengan apa yang dia ketahui. Ryn? Rasanya masih sulit untuk dipercaya jika gadis itu yang melakukan semua ini. Lea memang merasa Ryn sedikit menyebalkan, tapi dia tidak pernah berpikir bahwa gadis itu mampu melakukan hal yang dapat membahayakan nyawa orang lain.“Kenapa, Lea?” Ryn tersenyum melihat reaksi wanita itu. Lalu dia melihat pada sang kakak yang tampak setengah mati menahan diri untuk tidak membunuhnya. Ryn tertawa, kemudian gadis itu kembali melihat pada Lea yang tampak pucat pasi.“Kau sudah melihat seperti ap
Semua yang tertinggal di ruang bawah tanah itu lemas melihat apa yang baru saja terjadi, bahkan Arthur sekalipun. Mereka terdiam di tempat, menyaksikan Ryn yang terjatuh dengan napas tersengal karena nyaris kehabisan darah.Clint mengerjap cepat sembari menggeleng kepala. “Bawa dia ke ruang perawatan!” perintahnya pada Arthur saat menyadari bahwa dia harus segera melakukan sesuatu atau Ryn akan benar-benar tewas kehabisan darah.Seperti baru saja kembali dari dimensi waktu yang berbeda, Arthur tergagap lantas berlari ke arah Ryn dan melepas rantai yang mengekang tangan dan kaki gadis itu. Meski sudah sering melihat darah, namun pria itu tetap bergidik ngeri saat melihat luka di tangan Ryn yang menganga lebar. Arthur melepas kaus yang dia kenakan lantas mengikatkannya pada luka gadis tersebut. Setelah itu, dia membopong Ryn keluar dari sel untuk dibawa ke ruang perawatan.“Ayo, aku harus mengobati kalian berdua.” Clint membantu Lea untuk b
Wanita itu duduk termenung di balkon dengan pandangan mengarah pada labirin yang tampak hijau segar karena paparan sinar matahari pagi yang tampak berkilau. Menempati kamar luas itu seorang diri, Lea semakin terbiasa. Hingga semua luka yang dia derita pulih, Zen belum juga kembali. “Sudah terlalu lama kau pergi, Zen. Kumohon … kembalilah. Aku merindukanmu,” bisik Lea pada angin, berharap sang angin akan menyampaikan pesan itu pada pria yang sangat dia rindukan. Lea menundukkan kepala dengan mata memejam, meresapi segenap kerinduan yang kian menyiksa batinnya. Dia tidak tahu di mana Zen berada sejak kejadian di ruang bawah tanah itu. Dia pernah bertanya pada Arthur dan Clint, bahkan Leon, orang-orang yang menurutnya paling dekat dan memiliki kemungkinan untuk mengetahui informasi tentang Zen, namun tak ada satu pun dari mereka yang mengetahuinya. Mungkin tahu, hanya saja … mereka tak ingin memberitahu Lea, atas perintah Zen tentunya. Kepala wanita itu terangka
Lima buah peti ukuran sedang berisi puluhan senjata api, baik laras panjang maupun laras pendek lengkap dengan berbagai jenis peluru, hampir selesai dipindahkan ke Dust in the Wind—nama sebuah kapal kecil—yang sudah bersandar di dermaga sejak beberapa jam lalu. Begitu semua peti berhasil ditransfer, dua orang yang tampak mengawasi sejak tadi langsung mendekat ke arah kapal.“Berhati-hatilah. Aku dengar Pemerintah di negaramu sedang gencar memberantas segala bentuk perdagangan ilegal,” pesan Zen pada seorang pria yang baru pertama kali membeli senjata darinya.Biasanya Zen tidak pernah seperti ini terhadap pemain baru. Apalagi jika orang itu berasal dari negara berkembang yang mungkin saja sedang merencanakan pemberontakan. Terlalu riskan untuk bertransaksi dengan orang-orang baru seperti ini. Mental yang lemah bisa membahayakan bisnis yang dia bangun di atas lautan darah dan ratusan jasad selama bertahun-tahun.“Aku mengerti. Depart
Tidak ada saat di mana Zen sangat ingin menghajar Clint selain saat ini. Meneror dengan telepon lalu mengatakan bahwa ada seorang wanita yang mencoba mengakhiri hidup dan berakhir dengan kondisi yang sangat lemah. Perjalanan selama lebih dari 24 jam yang diisi dengan kecemasan dan perasan tidak tenang, rasanya sia-sia setelah Zen melihat apa yang sebenarnya terjadi di mansion, bahwa sang sahabat telah membohongi dirinya.“Matilah aku, Art,” gumam Clint dengan meminimalisir gerakan bibir.Di sebelahnya, Arthur pun merasa nyawanya berada di ujung tanduk. Baru saja, beberapa detik lalu, dirinya ikut tertawa ketika Clint menceritakan apa yang pria itu lakukan terhadap Zen. Menyesal? Ya, dia menyesal karena ikut menertawakan sang tuan. Namun di sisi lain, dia juga merasa senang karena sang tuan akhirnya kembali. Berkat keisengan Clint, akhirnya Zen menampakkan batang hidungnya di mansion.“Umh … aku … ada sesuatu yang harus kukerjakan,
Sebuah mobil jeep melaju dengan guncangan yang terasa lumayan keras di jalan yang bagian kanan dan kirinya ditumbuhi rumput liar. Sruktur tanah yang tidak rata menjadi penyebabnya. Sehingga, jalanan yang sebenarnya landai itu menimbulkan efek guncangan yang amat terasa. “Aku heran, kenapa Zen tidak membangun tempat ini dengan lebih baik,” ujar Clint yang tak melepaskan tangan dari pegangan agar tidak terlempar keluar dari jeep saat terjadi guncangan. “Aku rasa … ini adalah ide Nyonya Lea, Dokter,” sahut Arthur sembari mengatur kecepatan agar mobil yang dia kemudikan tetap dapat melaju dengan stabil meski harus berkali-kali merasakan sensasi seperti akan terbalik. “Ah, kau benar!” Clint berpaling ke arah Arthur. “Wanita itu adalah kryptonite bagi Zen.” Pria itu lantas menggeleng lalu mengalihkan pandangan pada tanaman anggur yang sedang berbuah di sepanjang kanan dan kiri jalan. “Dari seorang bajingan yang kejam, sekarang menjadi petani anggur.
Keinginan Lea memang terdengar seperti perintah bagi Zen. Dan ya, Lea menginginkan mereka untuk memiliki keturunan. Setelah berhasil mengungkap apa yang dia inginkan di hadapan sang suami, wanita itu semakin memperjelasnya dengan mengatakan bahwa setidaknya dia ingin memiliki dua anak, laki-laki dan perempuan.“Itu terdengar menyenangkan, Zen. Kelak kau bisa mengajari anak laki-laki kita berbisnis, untuk meneruskan tampuh kepemimpinan The Great Palace—no no no! Aku tidak akan mengizinkamu mengajarinya bisnis gelap. Cukup kau saja yang tersesat di sana. Aku tidak ingin anak-anakku ikut tersesat bersamamu.” Lea segera membenetengi ucapannya sebelum Zen menyela.Kemudian dia melanjutkan lagi apa yang dia ucapkan, karena memang belum selesai.“Lalu aku bisa mengajari anak perempuan kita untuk memasak, bermain musik, menanam bunga, dan menyulam. Kita bisa tinggal di rumah sederhana yang tenang dan jauh dari hiruk pikuk masalah, t
Melihat kedekatan Zen dan Zac membuat sudut hati Lea berdenyut. Ada rasa cemburu serta sedikit rasa terabaikan dengan pemandangan yang tersuguh itu.Semenjak kembali ke mansion beberapa waktu lalu, Zen bahkan belum menyentuh sesuatu yang lain selain Zac. Entah karena Zac yang merasakan kerinduan membuncah hingga tak ingin melepaskan Zen sedikit pun. Atau memang Zen yang merasa berat meninggalkan anak itu. Yang jelas, keduanya seperti tidak dapat terpisahkan.Lea memutar mata jengah sembari bernapas panjang dan dalam. Terdengar begitu berat. Sampai akhirnya wanita itu memutar badan, meninggalkan Zen dan Zac yang sedang bermain puzzle."Oh, yang benar saja?! Kenapa aku merasa cemburu pada Zac? Ayolah, Lea ... dia hanya anak kecil!"Dalam perjalanannya menuju kamar, Lea terus bergumam. Memarahi dirinya sendiri yang terlalu mudah cemburu oleh bocah laki-laki itu.Memasuki kamarnya, Lea berniat untuk segera membersihkan diri. Keringat berc
Selama dalam perjalanan menuju mansion, Lea sama sekali tak melepaskan tangannya dari lengan Zen. Bahkan dia nyaris tidak pernah mengangkat kepalanya dari bahu sang suami.“Aku bersumpah aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi, Zen. Aku tidak akan sanggup hidup tanpa dirimu,” ungkap Lea seraya mendusal di dada Zen yang sengaja membuka tangan lalu meminta Lea untuk masuk dalam rengkuhannya.“Tidak akan, Sweet Cake. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi,” balas Zen.Melihat kemesraan Zen dan Lea, Arthur hanya bisa memalingkan wajah. Merutuki pikiran untuk memiliki seorang wanita yang dia cintai dan mencintai dirinya seperti sang tuan. Namun, sejenak kemudian, pria itu lantas menggeleng samar sambil memejamkan mata. Mengusir pemikiran yang dia rasa begitu konyol dan sangat bukan dirinya.Sayangnya … hal tersebut dapat dilihat oleh Zen. Apa yang dilakukan Arthur—menggeleng samar dengan wajah berpaling ke j
“Arthur!”Zen menjatuhkan lututnya di atas tanah, tepat di samping Arthur yang tergeletak dengan tubuh lemas. Ada perasaan tak bisa dimengerti yang bercokol di dalam dada pria tersebut. Kehilangan, kesedihan, kemarahan, semua bercampur menjadi satu hingga terasa begitu sulit untuk mengidentifikasinya sendiri.Matt bahkan menyusul dan berdiri di belakang Zen dengan raut cemas yang sama. Ingin menenangkan sang tuan, namun nyalinya tak cukup besar untuk melakukan hal itu. Dia tidak sama dengan Arthur yang sudah terasa seperti saudara sendiri oleh Zen. Matt hanyalah pengawal pribadi Lea yang selalu setia melindungi nyonyanya tersebut.“Aku tidak mengizinkamu mati hari ini, Art! Bangun, Keparat!” sentak Zen dengan raut panik saat melihat anak buahnya itu tidak berdaya.Sementara itu, beberapa meter darinya, Lea yang tergugu tampak berusaha untuk bangkit. Dengan tubuh gemetar dan wajah yang berlinang air mata berwarna kehit
“Tidak!”Lea menjerit sambil mengerutkan badan. Menyembunyikan wajah di bahu karena dia tidak akan sanggup melihat orang kepercayaan suaminya itu terkena tembakan yang berasal dari senjata di tangannya.Namun, rupanya hingga beberapa saat kemudian, tidak terdengar suara letusan senjata api. Lea juga tak merasakan entakan kuat seperti saat dirinya menembakkan senjata sebelumnya.Sampai beberapa waktu kemudian, Lea merasakan genggaman tangan Jonathan di tangannya mengendur. Disusul suara kekehan dari balik kepalanya.Jonathan terkekeh, kemudian melepaskan tangannya dari Lea. Entah apa yang pria itu lakukan, namun Lea merasa seperti baru saja mendapatkan napasnya kembali.“Aku tidak akan melakukannya untukmu, My Dear,” ucap Jonathan seraya memberi jarak antara tubuhnya dengan Lea. Berjalan mundur dua langkah dengan kedua tangan yang terselip di saku celana.“Tidak! Aku tidak bisa melakukannya.”
Tarikan napas panjang yang dilakukan Jonathan membuat dagu tertutup jambangnya terangkat. Pada saat mengembuskannya kembali, Jonathan terlihat seperti seorang ayah yang lagi-lagi mendapatkan laporan atas ulah nakal yang diperbuat oleh anaknya. Dari kejauhan, Zen dapat melihat pria itu tersenyum. Tampak dari garis wajahnya yang terangkat serta matanya yang sedikit menyipit seolah tertarik ke atas. Kemeja mahal yang membungkus tubuhnya terlihat begitu elegan. Tak berselang lama kemudian, deru mesin beberapa kendaraan terdengar kian mendekat. Sampai pada akhirnya Zen dapat melihat beberapa Range Rover masuk satu persatu ke arena pacuan kuda, berjajar di sisi kanan dan kiri helikopter. Atau lebih tepatnya mengapit pria yang mereka sebut “Superior”, seolah ingin menegaskan betapa besar kekuasaan yang dimiliki oleh seorang Jonathan Graham dari Ordo Messier. Berbeda dengan Zen, kali ini hanya ada dua mobil yang mengawal pria itu. Salah satunya adalah
“Pesta dimulai!” gumam Zen seraya menginjak pedal gas secara perlahan, melajukan mobil yang dia kendarai menuju jalan raya.“Mereka mengikuti kita, Zen,” kata Lea seraya menoleh ke arah spion kanan di mana sebuah mobil terlihat berusaha mengejar laju mereka.Zen melirik spion dan dia juga melihat apa yang dilihat Lea, di mana sebuah mobil melaju zig zag seolah tak ingin kehilangan jejak.“Masih ada beberapa mobil lain di belakangnya,” kata Zen seraya mengarahkan pandangan pada jalanan di depan yang lumayan padat.“Kau yakin?” Lea berpaling sekilas ke arah Zen.“Kau akan mengetahuinya lagi nanti setelah kita tiba di St. Robert Avenue. Jalanan di sana sepi. Aku memprediksi mereka akan memblokade jalan kita di sana,” kata Zen.“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” Lea terlihat panik, cemas, khawatir, dan … takut.“Kau tenang saja. Aku sudah
Padang rumput yang membentang sejauh mata memandang, menampakkan beberapa bunga ilalang yang terbang terkena embusan angin. Beberapa kuda yang tampak berlari bebas saling berkejaran, seolah tak bertuan. Rumah kayu bercat putih yang terlihat begitu lengang, nyatanya menyembunyikan sepasang suami dan istri yang tengah bersiap untuk menghadapi hari besar.“Kau yakin tetap akan melakukannya?” tanya Zen kepada Lea saat wanita itu mengikat sabuk dengan sebuah revolver kecil pada pahanya.Lea menegakkan punggung seraya menurunkan bawahan gaun sutera panjang berwarna hitam yang memiliki belahan samping hingga setengah paha. Gaun model simple dengan tali spaghetti yang menggantung di bahu itu sungguh terlihat begitu elegan ketika melekat di tubuh proporsional Lea. Lipstik warna merah menyala yang memoles bibir wanita itu pun menambah kesan seksi dan berbahaya yang mampu membuat siapa saja yang melihatnya merasa terintimidasi oleh Lea.Menarik na