Tidak ada saat di mana Zen sangat ingin menghajar Clint selain saat ini. Meneror dengan telepon lalu mengatakan bahwa ada seorang wanita yang mencoba mengakhiri hidup dan berakhir dengan kondisi yang sangat lemah. Perjalanan selama lebih dari 24 jam yang diisi dengan kecemasan dan perasan tidak tenang, rasanya sia-sia setelah Zen melihat apa yang sebenarnya terjadi di mansion, bahwa sang sahabat telah membohongi dirinya.
“Matilah aku, Art,” gumam Clint dengan meminimalisir gerakan bibir.
Di sebelahnya, Arthur pun merasa nyawanya berada di ujung tanduk. Baru saja, beberapa detik lalu, dirinya ikut tertawa ketika Clint menceritakan apa yang pria itu lakukan terhadap Zen. Menyesal? Ya, dia menyesal karena ikut menertawakan sang tuan. Namun di sisi lain, dia juga merasa senang karena sang tuan akhirnya kembali. Berkat keisengan Clint, akhirnya Zen menampakkan batang hidungnya di mansion.
“Umh … aku … ada sesuatu yang harus kukerjakan,
“Apa?”Clint melotot dengan mulut menganga, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Pria itu tengah berada di ruang kerja Zen, dan baru saja mendapat perintah untuk menyiapkan segala keperluan pernikahan Zen dan Lea dalam waktu satu minggu. Ya, hanya satu minggu.“Kau gila, Zen!” Clint bangkit dari kursi lalu berbalik seraya menyugar rambut, setelah itu dia kembali membalik badan dengan kedua tangan bertolak pinggang. Maniknya menyorot lelah pada Zen.“Kau ingin sebuah pesta pernikahan mewah dan kau hanya memberi waktu selama satu minggu?” Clint memutar mata jengah. “Bertahun-tahun aku menyelesaikan study-ku sebagai dokter dan sekarang aku hanya beakhir sebagai perencana pernikahan. Ini sangat bagus untuk karirku,” gerutu Clint.Zen menarik satu sudut bibirnya ke atas. “Siapa yang berbuat ulah harus bertanggung jawab. Kau pikir siapa yang membuat pekerjaanku berantakan, hah?”Sep
Waktu seolah berjalan semakin cepat. Dalam waktu kurang dari 72 jam, pesta pernikahan antara Zen dan Lea akan digelar. Pesta mewah yang akan menjadi puncak kebahagiaan untuk mereka. Jangan bertanya bagaimana rupa Clint saat ini. Pria yang biasanya terlihat rapi itu mendadak terlihat seperti seseorang yang selama satu minggu penuh tidak mandi dan tidak tidur. Percayalah, wajah pria itu tak lebih baik dari Frankenstein. Bahkan jika dia menyelinap dalam syuting The Walking Dead sekali pun tidak akan ada yang mengetahuinya. Dia terlihat seperti zombi.“Dokter Clint!” panggil Lea ketika berpapasan dengan pria itu di koridor.Wanita itu tersenyum ramah, dan bersiap melangkah lebih cepat untuk menghampiri pria tersebut. Namun seketika langkahnya terhenti karena isyarat dari Clint. Pria itu hanya melihat sekilas pada Lea lalu mengangkat tangan dengan maksud agar si wanita tidak mengganggunya.“Eh?” Lea menghentikan gerakan kakinya dengan kening b
Sungguh, Lea sama sekali tidak pernah berniat untuk membuat Zen marah. Dia hanya ingin memberi saran untuk kebaikan keluarga Aberdein. Ryn adalah satu-satunya keluarga yang dimiliki Zen saat ini. Lea ingin melihat kedua kakak beradik itu memulai hidup baru. Untuk menghilangkan rasa sakit yang sudah terlanjur menganga lebar mungkin tidaklah mudah, bahkan mungkin akan sangat sulit. Namun tidak ada salahnya untuk mencoba memulai hidup baru, bukan? Setidaknya dengan melupakan dendam yang ada di antara keduanya dan membagi kebahagiaan bersama.“Kalian tidak seharusnya bermusuhan seperti ini,” lirih Lea.Setelah apa yang dia ketahui dari Clint, Lea dapat menarik sebuah kesimpulan dari permasalahan antara Zen dan Ryn. Masalah yang tercipta di antara mereka sesungguhnya hanya berasal dari sebuah ketakutan. Ya, rasa takut untuk kehilangan satu sama lain. Terutama Ryn. Apa yang dialami gadis itu sangatlah buruk. Sangat-sangat buruk. Seburuk apa pun kejadian yang dial
Adakah kebahagian lain yang lebih membahagiakan bagi Zen dan Lea selain hari pernikahan mereka? Saat-saat yang ditunggu itu pun akhirnya tiba. Hari ini, Zen dan Lea resmi telah menjadi sepasang suami dan istri. Prosesi yang menurut Zen sangat membosankan itu masih akan dilanjutkan lagi dengan pesta mewah di ballroom The Great Palace.Sebagai seorang pengusaha yang memiliki nama besar di Brownsville, tamu undangan yang hadir pun merupakan orang-orang penting di kota itu, termasuk bebeapa pejabat yang membutuhkan pengawasan super ketat. Semenjak memercayakan sistem keamanan pada Skytech, Zen merasa sangat terbantu. Tak hanya di mansion, di semua hotel milik pria itu juga telah menggunakan jasa Skytech untuk sistem keamanannya. Hal ini juga membuatnya tak perlu merasa khawatir lagi dengan pengawasan dalam pesta tersebut.Segala keperluan pesta sudah siap. Seseorang datang dan mengetuk pintu ruangan tempat Lea baru saja selesai dirias. Seorang wanita, petugas Wedding Organ
Rasanya setiap detik yang terlewati selalu membawa tamu undangan baru untuk hadir di pesta pernikahan Zen dan Lea. Sudah berjam-jam mereka berdiri dan kaki Lea terasa sangat pegal. Beberapa kali Lea mencuri kesempatan untuk memijit kaki agar rasa pegal itu berkurang. “Kau baik-baik saja?” tanya Zen saat melihat Lea sedikit membungkuk dan mengangkat kaki ke belakang. “Kau pasti tahu aku berbohong kalau aku mengatakan baik-baik saja.” Lea mengangkat bahu dengan sudut bibir yang tertarik tipis ke bawah. Zen mendesah pelan lalu mengusap lengan Lea. “Aku juga bosan. Ada hal yang lebih menyenangkan untuk dilakukan daripada berada di tengah kerumunan badut semacam ini,” ujar Zen. “Jaga bicara Anda, Tuan Aberdein!” Lea menegakkan tubuh seraya mendelik, memberi peringatan pada Zen atas apa yang pria itu katakan. “Badut yang Anda maksud itu adalah orang-orang yang menjadi penggerak ekonomi di negara ini, jika Anda lupa. Tanpa mereka, negara ini akan sepi pemasu
Satu hal yang selalu menyertai sebuah pesta pernikahan selain rasa bahagia, yaitu lelah. Pesta di ballroom The Great Palace itu berakhir hampir tengah malam. Bahkan Zen sudah menyeret Lea untuk meninggalkan ballroom sebelum pesta usai. Memasang wajah ramah dan berakting menjadi orang lain selama berjam-jam rasanya membuat perut Zen semakin mual. Hingga dia merasa harus segera meninggalkan orang-orang itu sebelum timbul keinginan untuk meledakkan tempat tersebut dengan granat.“Apa tidak masalah kita meninggalkan pesta di saat tamu-tamu yang lain masih menikmati anggur mereka?” tanya Lea ketika Zen menarik tangannya keluar dari ballroom.“Itu lebih baik daripada aku meledakkan mereka semua di dalam ruangan itu,” balas Zen tanpa melihat pada Lea.“Kau kejam sekali,” komentar Lea sambil menggeleng kepala.Zen berhenti melangkah di depan pintu lift khusus lalu menoleh pada Lea dengan tatapan malas. “I am,” ujarn
Pergulatan panas semalam membuat pasangan pengantin baru itu sangat kelelahan. Keduanya tetap meringkuk di bawah selimut yang sama dengan posisi saling berpelukan. Tubuh polos mereka saling menempel, memberi kehangatan satu sama lain. Inilah yang namanya surga dunia. Bercinta hingga nyaris tak dapat bernapas lagi … Zen merasa benar-benar sudah gila. Ini adalah percintaan terlama dan terliar yang pernah dia lakukan. Hingga pria itu mengira ada sesuatu di dalam wine yang mereka minum hingga membuat gairahnya dan Lea seolah tak bisa padam. Bisa dipastikan bahwa janitor di The Great Palace harus bekerja ekstra keras saat membereskan kamar itu nantinya. Itu pun kalau tempat tersebut masih bisa disebut kamar, mengingat seberapa hancurnya ruangan itu akibat ulah Zen dan Lea. Geliat pelan si wanita membuat Zen membuka mata. Pria itu mengernyit ketika cahaya dari luar menyapa netranya, memberi sengatan hebat yang membuat otak Zen memberi perintah pada tangannya untuk menghala
Kesal karena ditinggalkan di hotel sendirian oleh sang suami, Lea melempar selimut yang membungkus tubuhnya ke lantai dengan kasar. Wanita itu menelan pil yang ada di atas nakas dengan bantuan air mineral yang tersedia. Tak peduli apakah itu benar aspirin atau pil kontrasepsi. Kemudian dia berjalan dalam keadaan telanjang menuju kamar mandi. Rasanya sudah tidak sabar untuk merendam tubuh lengket akibat percintaan liarnya dengan Zen semalam dalam air hangat.“Kau memang pria berengsek!” umpat Lea sembari menceburkan tubuhnya ke dalam bathtub.Satu minggu. Hanya dalam waktu satu minggu Zen betah meninggalkan bisnis. Nyatanya setelah pernikahan itu terlaksana, Zen sudah tidak sabar untuk kembali terjun secara langsung mengurus semua bisnisnya.Lea mendengkus pelan lalu menggeleng kepala. “Sampai kapan kau harus berakhir menyedihkan seperti ini, Lea? Ditinggal sendirian di kamar hotel setelah malam pengantin? Hah! Yang benar saja?!” Tawa miri
Sebuah mobil jeep melaju dengan guncangan yang terasa lumayan keras di jalan yang bagian kanan dan kirinya ditumbuhi rumput liar. Sruktur tanah yang tidak rata menjadi penyebabnya. Sehingga, jalanan yang sebenarnya landai itu menimbulkan efek guncangan yang amat terasa. “Aku heran, kenapa Zen tidak membangun tempat ini dengan lebih baik,” ujar Clint yang tak melepaskan tangan dari pegangan agar tidak terlempar keluar dari jeep saat terjadi guncangan. “Aku rasa … ini adalah ide Nyonya Lea, Dokter,” sahut Arthur sembari mengatur kecepatan agar mobil yang dia kemudikan tetap dapat melaju dengan stabil meski harus berkali-kali merasakan sensasi seperti akan terbalik. “Ah, kau benar!” Clint berpaling ke arah Arthur. “Wanita itu adalah kryptonite bagi Zen.” Pria itu lantas menggeleng lalu mengalihkan pandangan pada tanaman anggur yang sedang berbuah di sepanjang kanan dan kiri jalan. “Dari seorang bajingan yang kejam, sekarang menjadi petani anggur.
Keinginan Lea memang terdengar seperti perintah bagi Zen. Dan ya, Lea menginginkan mereka untuk memiliki keturunan. Setelah berhasil mengungkap apa yang dia inginkan di hadapan sang suami, wanita itu semakin memperjelasnya dengan mengatakan bahwa setidaknya dia ingin memiliki dua anak, laki-laki dan perempuan.“Itu terdengar menyenangkan, Zen. Kelak kau bisa mengajari anak laki-laki kita berbisnis, untuk meneruskan tampuh kepemimpinan The Great Palace—no no no! Aku tidak akan mengizinkamu mengajarinya bisnis gelap. Cukup kau saja yang tersesat di sana. Aku tidak ingin anak-anakku ikut tersesat bersamamu.” Lea segera membenetengi ucapannya sebelum Zen menyela.Kemudian dia melanjutkan lagi apa yang dia ucapkan, karena memang belum selesai.“Lalu aku bisa mengajari anak perempuan kita untuk memasak, bermain musik, menanam bunga, dan menyulam. Kita bisa tinggal di rumah sederhana yang tenang dan jauh dari hiruk pikuk masalah, t
Melihat kedekatan Zen dan Zac membuat sudut hati Lea berdenyut. Ada rasa cemburu serta sedikit rasa terabaikan dengan pemandangan yang tersuguh itu.Semenjak kembali ke mansion beberapa waktu lalu, Zen bahkan belum menyentuh sesuatu yang lain selain Zac. Entah karena Zac yang merasakan kerinduan membuncah hingga tak ingin melepaskan Zen sedikit pun. Atau memang Zen yang merasa berat meninggalkan anak itu. Yang jelas, keduanya seperti tidak dapat terpisahkan.Lea memutar mata jengah sembari bernapas panjang dan dalam. Terdengar begitu berat. Sampai akhirnya wanita itu memutar badan, meninggalkan Zen dan Zac yang sedang bermain puzzle."Oh, yang benar saja?! Kenapa aku merasa cemburu pada Zac? Ayolah, Lea ... dia hanya anak kecil!"Dalam perjalanannya menuju kamar, Lea terus bergumam. Memarahi dirinya sendiri yang terlalu mudah cemburu oleh bocah laki-laki itu.Memasuki kamarnya, Lea berniat untuk segera membersihkan diri. Keringat berc
Selama dalam perjalanan menuju mansion, Lea sama sekali tak melepaskan tangannya dari lengan Zen. Bahkan dia nyaris tidak pernah mengangkat kepalanya dari bahu sang suami.“Aku bersumpah aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi, Zen. Aku tidak akan sanggup hidup tanpa dirimu,” ungkap Lea seraya mendusal di dada Zen yang sengaja membuka tangan lalu meminta Lea untuk masuk dalam rengkuhannya.“Tidak akan, Sweet Cake. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi,” balas Zen.Melihat kemesraan Zen dan Lea, Arthur hanya bisa memalingkan wajah. Merutuki pikiran untuk memiliki seorang wanita yang dia cintai dan mencintai dirinya seperti sang tuan. Namun, sejenak kemudian, pria itu lantas menggeleng samar sambil memejamkan mata. Mengusir pemikiran yang dia rasa begitu konyol dan sangat bukan dirinya.Sayangnya … hal tersebut dapat dilihat oleh Zen. Apa yang dilakukan Arthur—menggeleng samar dengan wajah berpaling ke j
“Arthur!”Zen menjatuhkan lututnya di atas tanah, tepat di samping Arthur yang tergeletak dengan tubuh lemas. Ada perasaan tak bisa dimengerti yang bercokol di dalam dada pria tersebut. Kehilangan, kesedihan, kemarahan, semua bercampur menjadi satu hingga terasa begitu sulit untuk mengidentifikasinya sendiri.Matt bahkan menyusul dan berdiri di belakang Zen dengan raut cemas yang sama. Ingin menenangkan sang tuan, namun nyalinya tak cukup besar untuk melakukan hal itu. Dia tidak sama dengan Arthur yang sudah terasa seperti saudara sendiri oleh Zen. Matt hanyalah pengawal pribadi Lea yang selalu setia melindungi nyonyanya tersebut.“Aku tidak mengizinkamu mati hari ini, Art! Bangun, Keparat!” sentak Zen dengan raut panik saat melihat anak buahnya itu tidak berdaya.Sementara itu, beberapa meter darinya, Lea yang tergugu tampak berusaha untuk bangkit. Dengan tubuh gemetar dan wajah yang berlinang air mata berwarna kehit
“Tidak!”Lea menjerit sambil mengerutkan badan. Menyembunyikan wajah di bahu karena dia tidak akan sanggup melihat orang kepercayaan suaminya itu terkena tembakan yang berasal dari senjata di tangannya.Namun, rupanya hingga beberapa saat kemudian, tidak terdengar suara letusan senjata api. Lea juga tak merasakan entakan kuat seperti saat dirinya menembakkan senjata sebelumnya.Sampai beberapa waktu kemudian, Lea merasakan genggaman tangan Jonathan di tangannya mengendur. Disusul suara kekehan dari balik kepalanya.Jonathan terkekeh, kemudian melepaskan tangannya dari Lea. Entah apa yang pria itu lakukan, namun Lea merasa seperti baru saja mendapatkan napasnya kembali.“Aku tidak akan melakukannya untukmu, My Dear,” ucap Jonathan seraya memberi jarak antara tubuhnya dengan Lea. Berjalan mundur dua langkah dengan kedua tangan yang terselip di saku celana.“Tidak! Aku tidak bisa melakukannya.”
Tarikan napas panjang yang dilakukan Jonathan membuat dagu tertutup jambangnya terangkat. Pada saat mengembuskannya kembali, Jonathan terlihat seperti seorang ayah yang lagi-lagi mendapatkan laporan atas ulah nakal yang diperbuat oleh anaknya. Dari kejauhan, Zen dapat melihat pria itu tersenyum. Tampak dari garis wajahnya yang terangkat serta matanya yang sedikit menyipit seolah tertarik ke atas. Kemeja mahal yang membungkus tubuhnya terlihat begitu elegan. Tak berselang lama kemudian, deru mesin beberapa kendaraan terdengar kian mendekat. Sampai pada akhirnya Zen dapat melihat beberapa Range Rover masuk satu persatu ke arena pacuan kuda, berjajar di sisi kanan dan kiri helikopter. Atau lebih tepatnya mengapit pria yang mereka sebut “Superior”, seolah ingin menegaskan betapa besar kekuasaan yang dimiliki oleh seorang Jonathan Graham dari Ordo Messier. Berbeda dengan Zen, kali ini hanya ada dua mobil yang mengawal pria itu. Salah satunya adalah
“Pesta dimulai!” gumam Zen seraya menginjak pedal gas secara perlahan, melajukan mobil yang dia kendarai menuju jalan raya.“Mereka mengikuti kita, Zen,” kata Lea seraya menoleh ke arah spion kanan di mana sebuah mobil terlihat berusaha mengejar laju mereka.Zen melirik spion dan dia juga melihat apa yang dilihat Lea, di mana sebuah mobil melaju zig zag seolah tak ingin kehilangan jejak.“Masih ada beberapa mobil lain di belakangnya,” kata Zen seraya mengarahkan pandangan pada jalanan di depan yang lumayan padat.“Kau yakin?” Lea berpaling sekilas ke arah Zen.“Kau akan mengetahuinya lagi nanti setelah kita tiba di St. Robert Avenue. Jalanan di sana sepi. Aku memprediksi mereka akan memblokade jalan kita di sana,” kata Zen.“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” Lea terlihat panik, cemas, khawatir, dan … takut.“Kau tenang saja. Aku sudah
Padang rumput yang membentang sejauh mata memandang, menampakkan beberapa bunga ilalang yang terbang terkena embusan angin. Beberapa kuda yang tampak berlari bebas saling berkejaran, seolah tak bertuan. Rumah kayu bercat putih yang terlihat begitu lengang, nyatanya menyembunyikan sepasang suami dan istri yang tengah bersiap untuk menghadapi hari besar.“Kau yakin tetap akan melakukannya?” tanya Zen kepada Lea saat wanita itu mengikat sabuk dengan sebuah revolver kecil pada pahanya.Lea menegakkan punggung seraya menurunkan bawahan gaun sutera panjang berwarna hitam yang memiliki belahan samping hingga setengah paha. Gaun model simple dengan tali spaghetti yang menggantung di bahu itu sungguh terlihat begitu elegan ketika melekat di tubuh proporsional Lea. Lipstik warna merah menyala yang memoles bibir wanita itu pun menambah kesan seksi dan berbahaya yang mampu membuat siapa saja yang melihatnya merasa terintimidasi oleh Lea.Menarik na