Kesal karena ditinggalkan di hotel sendirian oleh sang suami, Lea melempar selimut yang membungkus tubuhnya ke lantai dengan kasar. Wanita itu menelan pil yang ada di atas nakas dengan bantuan air mineral yang tersedia. Tak peduli apakah itu benar aspirin atau pil kontrasepsi. Kemudian dia berjalan dalam keadaan telanjang menuju kamar mandi. Rasanya sudah tidak sabar untuk merendam tubuh lengket akibat percintaan liarnya dengan Zen semalam dalam air hangat.
“Kau memang pria berengsek!” umpat Lea sembari menceburkan tubuhnya ke dalam bathtub.
Satu minggu. Hanya dalam waktu satu minggu Zen betah meninggalkan bisnis. Nyatanya setelah pernikahan itu terlaksana, Zen sudah tidak sabar untuk kembali terjun secara langsung mengurus semua bisnisnya.
Lea mendengkus pelan lalu menggeleng kepala. “Sampai kapan kau harus berakhir menyedihkan seperti ini, Lea? Ditinggal sendirian di kamar hotel setelah malam pengantin? Hah! Yang benar saja?!” Tawa miri
āJangan bunuh saya, Tuan.ā Sopir taksi itu memohon dengan suara bergetar. Dari tempatnya duduk, Lea dapat melihat bagaimana ketakutan sopir taksi tersebut. Wanita itu menghela napas seraya memejamkan mata, merasa sangat lega karena dirinya masih bisa selamat dari sopir cabul itu. Seseorang yang ada di luar terdengar sangat serius dengan ancamannya. Melihat si Sopir Taksi yang tak kunjung membuka kunci, pria itu semakin mendekatkan moncong senjata pada kepala sopir taksi sembari berkata, āAku tidak pernah main-main dengan ucapanku, Pak Tua. Jika kau masih ingin hidup, cepat lakukan apa yang kukatakan!ā Merasa penasaran dengan pria tersebut, Lea membungkukkan badan agar dapat melihat wajah pria yang menolongnya melalui kaca jendela. Saat melihat wajah pria itu, Lea membuka mulut dengan ekapresi tak percaya. āMatt?ā ucapnya spontan. Bagaimana bisa pria itu berada di sana? Lea sudah pergi dengan cara sembunyi-sembunyi, dan Matt masih bisa menemuka
Untuk beberapa saat, Lea membiarkan Grace menangis dalam pelukannya. Dia harus menahan diri dari rasa penasaran terhadap apa yang menimpa wanita itu. Yang Lea tahu, Grace adalah wanita yang kuat, dia juga cukup berani dalam mengambil tindakan. Jadi, ketika wanita itu terlihat sangat rapuh seperti itu, Lea yakin bahwa ada sesuatu yang sangat buruk telah terjadi pada Grace. āAku merindukanmu,ā lirih Grace setelah cukup lama menangis dalam dekapan Lea. Grace menjauhkan dirinya dari Lea lalu mengusap air mata dengan punggung tangan. Lea membantu dengan menyekanya menggunakan ibu jari. Lantas dia menyelipkan rambut Grace yang tampak berantakan ke belakang telinga. Dia tersenyum hangat, memberikan tatapan teduh pada wanita dengan wajah penuh lebam di hadapannya. āAku juga merindukanmu,ā balas Lea. Seolah ingin menyembunyikan sesuatu, dalam sekejap ekspresi Grace langsung berubah. Wanita itu membersit ingus lalu memasang senyum lebar di wajahnya dan berlagak
Lea memutar tubuhnya ke kanan dan ke kiri, melihat jalanan yang tak begitu ramai dengan lalu lalang kendaraan. Ya, Lea tahu ini adalah jalan menuju dermaga. Namun dalam pesannya, Zen mengatakan bahwa pria itu akan pergi untuk beberapa hari ke depan. Mengapa tiba-tiba Arthur mengatakan Zen mengubah rencana? Lea merasa was-was dengan apa yang akan terjadi pada dirinya. Dia percaya Arthur, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa Arthur juga berbalik melawan Zen, bukan? Sungguh, pikiran Lea saat ini sudah tidak karuan.Dari kaca spion, Arthur dapat membaca gelagat Lea. Pria itu memaklumi apa yang ditakutkan oleh Lea karena apa yang dialami wanita itu beberapa bulan terakhir ini memang sangat mengerikan. Dia lantas mengambil sebuah ponsel dari dashboard dan mengulurkannya ke arah Lea.“Anda dapat menghubungi Tuan Zen menggunakan ponsel ini, Nyonya,” kata Arthur.Lea memalingkan wajah ke depan, lalu pandangannya jatuh pada benda pipih yang ada di tangan Arthu
Sebelum Zen datang, Lea berinisiatif untuk mengganti pakaian terlebih dahulu. Seperti yang dikatakan Arthur, apa pun alasannya ā¦ Zen bisa saja murka jika melihat dirinya memakai mantel milik pria lain sementara gaun yang dia kenakan koyak. āDia bisa membunuhku jika tahu apa yang terjadi di dalam taksi tadi,ā gumam Lea. Namun sesaat kemudian dia menahan napas sembari menipiskan bibir. āAish ā¦ bodoh! Tentu saja dia tahu. Pengkhianat itu pasti tak hanya melapor pada Arthur,ā gerutunya. Siapa lagi pengkhianat yang dia maksud jika bukan Matt? Wanita itu menilik sekitar, mencari keberadaan lemari pakaian di kamar tersebut. Namun dia tidak menemukan apa pun selain ornamen-ornamen khas yang berhubungan dengan kapal dan laut. āDi mana aku bisa menemukan pakaian-pakaian itu?ā tanya Lea pada dirinya sendiri. Sembari menggigit bibir, Lea kembali berjalan menyusuri setiap sudut kamar tersebut. āPasti ada sesuatu di sini. Pintu rahasia mungkin?ā gumamnya sembari me
Berbagai jenis pakaian dapat Lea temukan di dalam walk in closet, persis seperti ketika dirinya sedang berada di mansion.“Kau sungguh-sungguh mempersiapkan semua ini, Zen?” Lea yang tengah mengenakan gaun selutut bermotif bunga krisan, menoleh sekilas pada Zen yang juga tengah mengenakan kemeja berwarna biru tua.“Haruskah aku menjawabnya?” Zen tersenyum miring.Pria itu telah selesai berpakaian, lalu dia berjalan ke arah Lea yang hanya berjarak sekitar tiga langkah darinya. Kemudian pria itu memeluk istrinya dari belakang, meletakkan dagu di pundak sang istri.“Kau yakin tidak akan kedinginan dengan gaun seperti ini?” tanya Zen, memandang wajah sang istri melalui pantulan cermin di hadapan mereka.Lea terkekeh lalu menyentuh wajah Zen seraya membalas tatapan suaminya di dalam cermin.“Jika aku kedinginan, aku bisa datang padamu dan mencari kehangatan dalam pelukanmu, Honey,” ucap wanita itu d
“Selamat pagi,” sapa Zen ketika Lea menggeliat dan membuka sedikit kelopak matanya.Pergulatan panas semalam menyisakan rasa lelah yang teramat sangat hingga Lea betah meringkuk di bawah selimut dengan tubuh polos. Wanita itu terlalu nyaman berada di sana, sampai dia terbangun di saat matahari sudah bergerak semakin tinggi. Rasa lelah akibat bercinta dengan sang suami membuatnya ingin menghabiskan waktu lebih banyak untuk tetap berada di atas tempat tidur. Bergelung di bawah selimut seharian terdengar seperti sebuah ide yang brilian untuk memulihkan tenaga sebelum Zen kembali “menghajarnya” tanpa ampun.“Kau sudah bangun?” tanya Lea dengan suara serak yang semakin terdengar serak karena baru bangun dari tidur. Wanita itu menarik dan merapatkan selimut hingga batas leher.Zen berjalan ke arah ranjang dengan sebuah cangkir keramik di tangannya. Aroma kafein yang begitu harum, menyapa indera penciuman Lea selagi Zen mengikis jara
Keterdiaman Zen semakin memperbesar tanda tanya di benak Lea. Untuk beberapa saat mereka sama-sama diam, bertahan dengan ego masing-masing. Lalu Zen menarik kedua sudut bibirnya ke atas, menimbulkan suara dengkusan pelan.“Kemarilah,” pinta Zen seraya beringsut merapatkan diri dengan Lea.Pria itu menghela napas sembari mendekap sang istri dan menciumi kepalanya. “Kau perlu sedikit santai, Sweet Cake. Terlalu tegang tidak akan baik untuk kesehatanmu,” ucap Zen.Lea menengadah, melihat wajah sang suami dari bawah. “Jangan mengalihkan pembicaraan, Zen. Apa menurutmu aku sebodoh itu?” tanya Lea.Zen tidak mengira kalau Lea sudah sepenasaran itu terhadap masalah yang dia hadapi. Namun ini belum saatnya bagi Lea untuk mengetahui terlalu jauh tentang urusannya, bahkan mungkin Zen tidak akan membiarkan Lea terlalu jauh terlibat. Ah, salah! Zen tidak akan pernah membiarkan wanita itu terlibat dalam segala urusan yang berhubunga
āMerindukanku, Tuan Aberdein?ā Darah dalam tubuh Zen rasanya mendidih melihat senyum lebar dari pria yang sedang memutar haluan superyacht keluar dari jalur yang semestinya itu. Tatapan elangnya sama sekali tak beralih dari sosok tersebut. āBagaimana kabarmu?ā tanya pria itu, yang tak lain adalah Brewster. Zen mengatupkan bibir rapat-rapat, sama sekali tak berniat menjawab pertanyaan tersebut meski di dalam hatinya mnyimpan pertanyaan besar yang membuat hasrat membunuhnya kembali terpanggil. Bagaimana bisa Brewster berdiri di hadapannya dalam keadaan baik-baik saja? Memang terdapat bekas luka tambahan di wajahnya, yaitu bekas luka bakar yang memanjang di sisi kiri wajah pria itu. Masih tampak memerah, dan bisa dipastikan bahwa luka itu belum lama tertanam di sana. āTerkejut melihatku masih hidup?ā Brewster merentangkan kedua tangan dengan senyum lebar yang semakin membuat Zen ingin segera menghabisinya. Menarik napas pelan, mengontrol emosi ya
Sebuah mobil jeep melaju dengan guncangan yang terasa lumayan keras di jalan yang bagian kanan dan kirinya ditumbuhi rumput liar. Sruktur tanah yang tidak rata menjadi penyebabnya. Sehingga, jalanan yang sebenarnya landai itu menimbulkan efek guncangan yang amat terasa. āAku heran, kenapa Zen tidak membangun tempat ini dengan lebih baik,ā ujar Clint yang tak melepaskan tangan dari pegangan agar tidak terlempar keluar dari jeep saat terjadi guncangan. āAku rasa ā¦ ini adalah ide Nyonya Lea, Dokter,ā sahut Arthur sembari mengatur kecepatan agar mobil yang dia kemudikan tetap dapat melaju dengan stabil meski harus berkali-kali merasakan sensasi seperti akan terbalik. āAh, kau benar!ā Clint berpaling ke arah Arthur. āWanita itu adalah kryptonite bagi Zen.ā Pria itu lantas menggeleng lalu mengalihkan pandangan pada tanaman anggur yang sedang berbuah di sepanjang kanan dan kiri jalan. āDari seorang bajingan yang kejam, sekarang menjadi petani anggur.
Keinginan Lea memang terdengar seperti perintah bagi Zen. Dan ya, Lea menginginkan mereka untuk memiliki keturunan. Setelah berhasil mengungkap apa yang dia inginkan di hadapan sang suami, wanita itu semakin memperjelasnya dengan mengatakan bahwa setidaknya dia ingin memiliki dua anak, laki-laki dan perempuan.“Itu terdengar menyenangkan, Zen. Kelak kau bisa mengajari anak laki-laki kita berbisnis, untuk meneruskan tampuh kepemimpinan The Great Palace—no no no! Aku tidak akan mengizinkamu mengajarinya bisnis gelap. Cukup kau saja yang tersesat di sana. Aku tidak ingin anak-anakku ikut tersesat bersamamu.” Lea segera membenetengi ucapannya sebelum Zen menyela.Kemudian dia melanjutkan lagi apa yang dia ucapkan, karena memang belum selesai.“Lalu aku bisa mengajari anak perempuan kita untuk memasak, bermain musik, menanam bunga, dan menyulam. Kita bisa tinggal di rumah sederhana yang tenang dan jauh dari hiruk pikuk masalah, t
Melihat kedekatan Zen dan Zac membuat sudut hati Lea berdenyut. Ada rasa cemburu serta sedikit rasa terabaikan dengan pemandangan yang tersuguh itu.Semenjak kembali ke mansion beberapa waktu lalu, Zen bahkan belum menyentuh sesuatu yang lain selain Zac. Entah karena Zac yang merasakan kerinduan membuncah hingga tak ingin melepaskan Zen sedikit pun. Atau memang Zen yang merasa berat meninggalkan anak itu. Yang jelas, keduanya seperti tidak dapat terpisahkan.Lea memutar mata jengah sembari bernapas panjang dan dalam. Terdengar begitu berat. Sampai akhirnya wanita itu memutar badan, meninggalkan Zen dan Zac yang sedang bermain puzzle."Oh, yang benar saja?! Kenapa aku merasa cemburu pada Zac? Ayolah, Lea ... dia hanya anak kecil!"Dalam perjalanannya menuju kamar, Lea terus bergumam. Memarahi dirinya sendiri yang terlalu mudah cemburu oleh bocah laki-laki itu.Memasuki kamarnya, Lea berniat untuk segera membersihkan diri. Keringat berc
Selama dalam perjalanan menuju mansion, Lea sama sekali tak melepaskan tangannya dari lengan Zen. Bahkan dia nyaris tidak pernah mengangkat kepalanya dari bahu sang suami.“Aku bersumpah aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi, Zen. Aku tidak akan sanggup hidup tanpa dirimu,” ungkap Lea seraya mendusal di dada Zen yang sengaja membuka tangan lalu meminta Lea untuk masuk dalam rengkuhannya.“Tidak akan, Sweet Cake. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi,” balas Zen.Melihat kemesraan Zen dan Lea, Arthur hanya bisa memalingkan wajah. Merutuki pikiran untuk memiliki seorang wanita yang dia cintai dan mencintai dirinya seperti sang tuan. Namun, sejenak kemudian, pria itu lantas menggeleng samar sambil memejamkan mata. Mengusir pemikiran yang dia rasa begitu konyol dan sangat bukan dirinya.Sayangnya … hal tersebut dapat dilihat oleh Zen. Apa yang dilakukan Arthur—menggeleng samar dengan wajah berpaling ke j
“Arthur!”Zen menjatuhkan lututnya di atas tanah, tepat di samping Arthur yang tergeletak dengan tubuh lemas. Ada perasaan tak bisa dimengerti yang bercokol di dalam dada pria tersebut. Kehilangan, kesedihan, kemarahan, semua bercampur menjadi satu hingga terasa begitu sulit untuk mengidentifikasinya sendiri.Matt bahkan menyusul dan berdiri di belakang Zen dengan raut cemas yang sama. Ingin menenangkan sang tuan, namun nyalinya tak cukup besar untuk melakukan hal itu. Dia tidak sama dengan Arthur yang sudah terasa seperti saudara sendiri oleh Zen. Matt hanyalah pengawal pribadi Lea yang selalu setia melindungi nyonyanya tersebut.“Aku tidak mengizinkamu mati hari ini, Art! Bangun, Keparat!” sentak Zen dengan raut panik saat melihat anak buahnya itu tidak berdaya.Sementara itu, beberapa meter darinya, Lea yang tergugu tampak berusaha untuk bangkit. Dengan tubuh gemetar dan wajah yang berlinang air mata berwarna kehit
“Tidak!”Lea menjerit sambil mengerutkan badan. Menyembunyikan wajah di bahu karena dia tidak akan sanggup melihat orang kepercayaan suaminya itu terkena tembakan yang berasal dari senjata di tangannya.Namun, rupanya hingga beberapa saat kemudian, tidak terdengar suara letusan senjata api. Lea juga tak merasakan entakan kuat seperti saat dirinya menembakkan senjata sebelumnya.Sampai beberapa waktu kemudian, Lea merasakan genggaman tangan Jonathan di tangannya mengendur. Disusul suara kekehan dari balik kepalanya.Jonathan terkekeh, kemudian melepaskan tangannya dari Lea. Entah apa yang pria itu lakukan, namun Lea merasa seperti baru saja mendapatkan napasnya kembali.“Aku tidak akan melakukannya untukmu, My Dear,” ucap Jonathan seraya memberi jarak antara tubuhnya dengan Lea. Berjalan mundur dua langkah dengan kedua tangan yang terselip di saku celana.“Tidak! Aku tidak bisa melakukannya.”
Tarikan napas panjang yang dilakukan Jonathan membuat dagu tertutup jambangnya terangkat. Pada saat mengembuskannya kembali, Jonathan terlihat seperti seorang ayah yang lagi-lagi mendapatkan laporan atas ulah nakal yang diperbuat oleh anaknya. Dari kejauhan, Zen dapat melihat pria itu tersenyum. Tampak dari garis wajahnya yang terangkat serta matanya yang sedikit menyipit seolah tertarik ke atas. Kemeja mahal yang membungkus tubuhnya terlihat begitu elegan. Tak berselang lama kemudian, deru mesin beberapa kendaraan terdengar kian mendekat. Sampai pada akhirnya Zen dapat melihat beberapa Range Rover masuk satu persatu ke arena pacuan kuda, berjajar di sisi kanan dan kiri helikopter. Atau lebih tepatnya mengapit pria yang mereka sebut āSuperiorā, seolah ingin menegaskan betapa besar kekuasaan yang dimiliki oleh seorang Jonathan Graham dari Ordo Messier. Berbeda dengan Zen, kali ini hanya ada dua mobil yang mengawal pria itu. Salah satunya adalah
“Pesta dimulai!” gumam Zen seraya menginjak pedal gas secara perlahan, melajukan mobil yang dia kendarai menuju jalan raya.“Mereka mengikuti kita, Zen,” kata Lea seraya menoleh ke arah spion kanan di mana sebuah mobil terlihat berusaha mengejar laju mereka.Zen melirik spion dan dia juga melihat apa yang dilihat Lea, di mana sebuah mobil melaju zig zag seolah tak ingin kehilangan jejak.“Masih ada beberapa mobil lain di belakangnya,” kata Zen seraya mengarahkan pandangan pada jalanan di depan yang lumayan padat.“Kau yakin?” Lea berpaling sekilas ke arah Zen.“Kau akan mengetahuinya lagi nanti setelah kita tiba di St. Robert Avenue. Jalanan di sana sepi. Aku memprediksi mereka akan memblokade jalan kita di sana,” kata Zen.“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” Lea terlihat panik, cemas, khawatir, dan … takut.“Kau tenang saja. Aku sudah
Padang rumput yang membentang sejauh mata memandang, menampakkan beberapa bunga ilalang yang terbang terkena embusan angin. Beberapa kuda yang tampak berlari bebas saling berkejaran, seolah tak bertuan. Rumah kayu bercat putih yang terlihat begitu lengang, nyatanya menyembunyikan sepasang suami dan istri yang tengah bersiap untuk menghadapi hari besar.“Kau yakin tetap akan melakukannya?” tanya Zen kepada Lea saat wanita itu mengikat sabuk dengan sebuah revolver kecil pada pahanya.Lea menegakkan punggung seraya menurunkan bawahan gaun sutera panjang berwarna hitam yang memiliki belahan samping hingga setengah paha. Gaun model simple dengan tali spaghetti yang menggantung di bahu itu sungguh terlihat begitu elegan ketika melekat di tubuh proporsional Lea. Lipstik warna merah menyala yang memoles bibir wanita itu pun menambah kesan seksi dan berbahaya yang mampu membuat siapa saja yang melihatnya merasa terintimidasi oleh Lea.Menarik na