Jaipongan masih menjadi primadona di kampung kami, minimal seminggu ada dua acara tanggapan terkadang di acara hajatan atau panggung-panggung hiburan malam.
Penghasilan tetap aku dan Cahyati per bulan minimal delapan ratus ribu sampai dengan satu juta sebagai seorang penari pemula. Sedikit demi sedikit aku dan Cahyati bisa membantu keluarga kami.
Seperti hari ini, aku dapat membawa uang 150.000 karena Pak Agus juragan kambing memberikan kami saweran 50.000 seorang.
Apa lagi Teh Arum ya, pasti banyak penghasilan dari hasil sawerannya. Pantas saja pakaian, sandal, make-up dan rumahnya semakin hari semakin bagus dan selalu ada perubahan, dia juga menjadi primadona di kampung, laki-laki banyak yang mengejarnya karena cantik, tapi para perempuan-perempuan di kampungnya sebaliknya mereka iri dan selalu menghina Teh Arum dan kawan-kawannya, kemungkinan esok-esok bisa aku dan Cahyati.
Dan aku rasa teh Arum ada yang berbeda deh. Aku pun teringat ucapannya saat pertama kali manggung. Ya teh Arum punya bedak khusus, bedak yang sudah di doakan. Saat mendandaniku dia pernah bercerita tentang bedak khusus itu.
Aku pun berlari ke rumah Cahyati. Aku berlari ke bawah kamarnya. Aku ketuk jendela kamarnya, berhubung ini sudah malam. Aku harus pelan-pelan agar tidak membangunkan keluarga Cahyati.
"Yati........"
"Apa Lastri, kenapa malam-malam kesini?"
"Cepat keluar sebentar, ada yang mau Aku tanyakan Kepadamu."
"Apa Aku sudah mengantuk Tari?"
"Yat, Kamu ingat tidak, bedak yang di pakai oleh Teh Arum dan Teteh-Teteh lainnya"
"Ya bedak doa, bedak khusus katanya sih."
"Iya, pintar Kamu, besok Aku mau bertanya ke teh Arum, Kamu mau ikut tidak?"
"Kamu mah ada-ada saja Tari."
"Mau ikut tidak?"
"Iya deh Aku akan mengantarmu besok."
"Iya sudah, Aku pulang dulu ya, mengantuk."
"Astaga Lestari, sekarang dia pulang setelah ganggu tidurku."
Keesokan harinya, setelah selesai membereskan rumah aku pun siap pergi ke rumah teh Arum bersama Cahyati. Dari semalam aku tidak bisa tidur karena memikirkan bedak doa atau bedak khusus yang mereka miliki itu.
"Assalamualaikum Teh."
"Waalaikum salam, eh ada Tari sama Yati, masuk sini Neng, ada apa tumben main dadakan."
"Iya teh, ini Tari ada yang mau di tanyakan ke Teteh."
"Ya, boleh ayo masuk dulu, silakan minum Aqua gelasnya dulu ya, Teteh mau buatkan teh manis dulu."
"Jangan Teh Arum, sudah cukup kok air putih saja, maaf Teh Kami main kesini ingin menanyakan sesuatu, tentang bedak Teteh yang sering di pakai manggung."
"Oh bedak pengasih yang punya Teteh dan kawan-kawan ya, itu sih bedak biasa Teteh beli sama di toko kosmetik, Kalian sekarang usia sudah berapa tahun?"
"Kami sudah 15 tahun Teh."
"Seperti yang teteh bilang beberapa bulan lalu, kalau sebagai penghibur Kita itu wajib cantik, mau jadi penyanyi, penari, artis, bintang film bahkan Marketing atau SPG zaman sekarang mah jarang Neng yang polosan."
"Maksudnya polosan Teh?"
"Ya kalau Artis mereka kan ke salon, bayar dokter perawatan ratusan juta, kalau seperti Kita yang cantiknya biasa saja ya harus pakai aura, istilahnya gurah aura."
"Apa itu Teh?"
"Macam-macam Neng caranya, ada pakai bedak pengasih, ada pakai mandi kembang, ada pakai puasa, ada pakai susuk ya ritual-ritual seperti itu sama orang pintar."
"Teh bukannya yang seperti itu sirik ya Teh dan dosa?"
"Iya bagaimana Kita memandangnya Neng, kalau dunia hiburan itu dunia ke hingar bingaran, Kita dituntut untuk selalu harus cantik, menarik dan menggoda serta menjual, saingan juga tidak sedikit, semua penari Mak Lastri tidak ada yang polosan Neng, maka Kita selalu ramai tanggapan dari grup lainnya."
"Oh begitu Teh."
"Iya, hanya Kalian saja kali yang belum pakai karena masih baru."
"Iya Teh."
"Kalau Kalian minat kapan mau Teteh antarkan ke Ki Slamet, ya Kalian pikir-pikir dulu saja dulu di rumah."
"Iya Teh, Kami pikir-pikir dulu ya Teh."
"Teh, ada efek sampingnya pakai susuk dan lain-lain begitu? Teteh sudah berapa tahun memakainya?"
"Kami dulu di kenal kan sama Mak Lastri kepada Ki Slamet, ya Ki Slamet sudah pegang dua generasi sejak zaman Mak Lastri jadi penari, Teteh sudah 5 tahun lebih memakainya belum ada efek samping yang macam-macam sih."
"Begitu Teh."
"Iya, enggak ada efek samping yang ada cuma pantangan saja seperti jangan makan timun dan daun kelor, nanti khasiatnya pudar."
"Kami baru tahu Teh."
"Ha...ha...ha....ini mah ilmu turun temurun dari Nenek Moyang Neng, besok Kalian coba saja turun jaipongan bersama Kami, coba selendang siapa yang akan lebih awal di tarik oleh penonton."
"Iya Teh."
"Kita sih sudah terlanjur masuk ke dunia ini Neng, dunia hitam, kalau Kalian tanggung-tanggung dapat uangnya untuk apa?"
"Iya Teh, ada pengaruh dengan penghasilan ya?"
"Dunia Kita dunia penghibur Neng, lembah dosa, tempat maksiat, pikirkan langkah Kalian sebelum terlalu jauh melangkah, apakah mau lanjut atau mau berhenti sampai di sini, segala yang Kalian lakukan kan untuk mendapat penghasilan."
***
Aku pun memikirkan apa yang di bilang oleh Teh Arum, bagiku semua kata-kata dari teh Arum banyak yang benar aku sudah terlanjur melangkah ke pekerjaan malam ini, kalau aku tidak bekerja sebagai penari aku mau apa? kalau hanya di rumah, nikah dan ke sawah yang ada beban hidup yang makin bertambah. Apalagi aku sebagai anak yang paling tua, iya jika menikah dan masih tinggal di rumah abah dan emak, kalau harus jauh dari mereka? Oh tidak, aku masih harus berjuang untuk membantu dan menyekolahkan adik-adikku dahulu, dan pasti itu dapat aku lakukan jika aku masih bebas dan belum menikah.
Sekarang kondisi abah dan emak sudah tua, sedang adik-adik masih Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama semua. Apalagi jika ingat masa-masa paceklik boro-boro bisa makan nasi, ketemu tiwul sama gaplek saja sudah bersyukur.
Hampir satu tahun ini aku berjuang untuk menjadi seorang penari hanya bisa untuk beli makanan dan sekolah adik- adikku saja, sama beberapa lembar bilik dan genteng untuk perbaikan rumah kemarin. Benar kata Teh Arum aku harus nekat, sudah terlanjur basah. Biar lah nanti saja saat tua dan menikah aku akan taubat. Jika adik-adik aku sudah lulus sekolah dan bekerja. Biarkanlah aku yang mengalah demi keluargaku. Berkorban, dan menerima perlakuan atau hinaan dari mereka yang tidak suka melihat kami sebagai seorang penari jaipong. Semua resiko baik dan buruknya biar aku yang terima dan hadapi. Karena hidup perlu perjuangan dan proses agar ada perubahan tentunya.
Malam ini kami pun pentas kembali, ada acara pernikahan anaknya pak Camat di desa Suka Warna, seperti apa yang menjadi tantangan teh Arum, selain menjadi penari pembukaan acara resepsi kami pun ikut melengser. Melengser istilah tarian malam hari, yang identik dengan duit saweran dan tarian selendang yang sedikit menggoda kaum laki-laki. Kami turut duduk di antrean penari senior. Kami pun siap berlempar selendang dan menari bersama lawan jenis. Tampak beberapa pemuda dan bapak-bapak yang mulai naik ke panggung dan memberi saweran kepada kami, benar saja Teh Sekar Arum orang pertama dan turun dari bangku penari. Dan di susul oleh penari-penari senior lainnya, aku pun terus berdecap kagum, pasti penghasilan mereka yang di dapatkan akan lebih banyak dari kami. Kami yang sering di bilang teh Arum sebagai penari pemula dan polosan. Sungguh apa yang mereka pakai ternyata ada pengaruhnya, teh Sekar Arum dan ke empat penari senior lainnya telah menari terlebih dahulu, sedang
Sudah satu bulan aku menggunakan bedak pengasih dari Ki Slamet sama dengan temanku yang lainnya. Kini penghasilan aku dan Cahyati semakin membaik, terkadang kami membawa pulang uang sampai Rp 300.000 sekali tampil. Lumayan bukan, sedikit demi sedikit aku dapat membelikan furnitur untuk Emak di rumah. Kemarin sudah terkumpul dua juta rupiah, aku membeli kasur dua set untuk kamar emak dan kamarku. Melihat adik-adik tidur dengan layak di atas kasur membuatku sangat senang. Setidaknya tentu saja mereka tidak akan merasakan sakit dan dingin seperti dulu lagi. Bedakku pun sudah hampir habis, aku harus segera pergi ke rumah Ki Slamat lagi. Kalau bisa, kali ini aku pergi kesana sendiri dan diam-diam saja, dalam hatiku terbesit pikiran andai aku bisa mendapat Mustika atau sejenisnya sebagai pemikat yang berbeda dari teman-teman biasanya. Mungkin aku bisa mendapat duit saweran lebih banyak lagi. "Cahyati, Aku mau ke rumah Ki Slamet Kamu mau ikut bareng tidak?"
Dan akhirnya aku pun pergi ke rumah ki Anom, dengan sengaja menyewa sebuah mobil beserta sopirnya. Aku bilang kepada abah dan emak ingin main ke kota mengunjungi teman lama dan mungkin menginap di sana jika tidak pulang atau terlambat pulang. Aku sengaja pergi dari rumah menjelang subuh, dan aku yakin Cahyati tak akan memergokiku, perjalanannya lumayan lama, ke Ciamis lebih dari 5 jam aku baru sampai ke dusun abah Anom. Dusun yang aku cari sudah benar, hanya saja aku harus bertanya kepada warga di mana rumah abah Anom tepatnya. “Permisi Bu.” “Iya Neng ada yang bisa ibu bantu?” “Saya mau bertanya alamat rumah Abah Anom Bu apa ibu kenal?” “Oh abah Anom? Dia rumahnya ada di atas bukit sana neng, neng lurus saja dari sini naik ke bukit, tapi tidak bisa bawa mobil neng.” “Ya, baik Bu.” Aku akan meminta pak sopir menunggu di sini, lagi pula biar saja pak sopir beristirahat dulu saja sejenak, karena aku tahu pasti beliau lelah saat dalam perj
"Neng bangun." "Iya Mak, Neng masih mengantuk ini." "Bagaimana tidak mengantuk, Kamu pulang itu hampir subuh Neng." "Masa Mak? Lestari kenapa tidak ingat ya?" "Ya Kamu sangat lusuh dan sangat terlihat lelah semalam, Mak tidak mau mengganggumu, ya sudah lekas mandi dan berganti pakaian." "Iya Mak." Ya aku pasti lupa, tapi kenapa ya sampai larut malam begini, bahkan menjelang pagi. Apakah memang kami mendapatkan banyak tanggapan dan saweran semalam. Aku pun berdiri dari kasurku, aku mengambil tas pribadiku dan aku buka, astaga duitnya banyak sekali. Aku pun hitung lembar-demi lembar uang yang ada. Totalnya ada dua puluh juta rupiah, doa gepok uang pecahan 100.000. Duit siapa ini? oh iya aku pun ingat saat aku mau naik ke panggung aku melihat ada Abah Rahmat di sana. Sungguh dia memberikan aku uang sebanyak ini dalam satu malam saja saat menari? Aku pun bergegas mandi dan mengganti pakaianku, aku ingin sarapan dahu
Aku harus tetap menari, agar teman-temanku tidak curiga dengan kejanggalan- kejanggalan yang terjadi ini. Memang benar aku memperoleh banyak uang dari itu semua, tapi haruskah aku mengorbankan seseorang demi syarat Nyi Mas Srinti. Hampir setiap malam pun aku memimpikannya mimpi yang aneh dan sangat menakutkan, mimpi yang sama terus berulang-ulang tentang Nyi Mas Srinti yang meminta bantuanku untuk membalaskan dendamnya. Terkadang aku juga bermimpi, mimpi tentang kehidupan masa lalu Nyi Mas Srinti sebagai seorang penari jaipong. Tampak sosoknya yang memiliki paras yang ayu dan sangat piawai menari. Rasanya ingin berhenti dari semua kehidupan dan mimpi-mimpi buruk ini, tapi sepertinya tidak mungkin, masih sangat berat dan terlanjur semua, aku sudah terlambat untuk mundur. "Teh...." "Iya ada apa Asep dan Jaja?" "Asep sebentar lagi lulus Sekolah Menengah Pertama, Asep mau kerja saja ya? biar dapat bantu Teteh dan Abah." "Jangan! Asep dan J
“Lestari Aku makin curiga sama Kamu.” “Curiga apa sih Cahyati? Kamu ada-ada saja deh pakai acara curiga segala sama aku.” “Ya, Aku sering merasa Kamu itu aneh Lestari kalau sedang tampil di panggung. Kamu tidak seperti yang aku kenal sejak dulu tau, kamu makin aneh setiap malamnya.” “Aku baik-baik saja Cahyati, percaya deh, hanya saja Aku ingin total kalau sedang tampil.” "Tidak, kamu kalau tampil seakan tidak kenal dan tidak dekat kepadaku, bahkan kamu suka pergi sendiri tanpa pamit padaku." Gawat, Cahyati sudah sering menegurku sikap dan kelakuanku saat manggung. Sedangkan aku sungguh-sungguh tidak sadar dengan semua yang aku lakukan setiap harinya. Ya tuhan, sampai kapan aku harus berkelit seperti ini. Dan aku pun telah di tegur mak Lastri kemarin. Apa iya aku sangat berbeda jika sedang manggung. Aku pun terus melipat pakaian yang baru saja aku ambil dari halaman rumahku, terus menyibukan diri agar diriku tidak melamun. Tamp
Bertubi-tubi dalam setahun ini Nyi Mas Srinti menjalankan aksinya untuk balas dendam. Aku benar-benar merasa stress dan ketakutan sekali, rasanya nyaris aku tidak bisa menjalani kehidupanku dengan tenang. Dalam satu bulan terakhir ini saja sudah ada emoat orang yang meninggal, dan aku rasa semua karena perbuatan balas dendam Nyi Mas Srinti dan semua kisah kematiannya mereka nyaris sama mati terbunuh secara misterius. Nyi Mas Srinti membunuh pak Asep, korban ke 4 empatnya, kemudian juragan Pepen dan pak Waluyo. Mereka terbunuh dengan motif yang sama, malam di mana telah berjaipong denganku, meninggal dengan kisah yang sama tragisnya. Hari ini tepat tanggal 1 Suro, seperti kesepakatanku dengan abah Anom. Aku harus menggelar ruwatan mandi kembang di kediamannya. Aku berangkat dari rumah menggunakan bus umum, aku tak ingin seorang pun tahu apa yang aku lakukan. Hal ini aku lakukan untuk menjaga khasiat dari susuk-susuk yang aku gunakan di tubuhku. Dan satu
Badanku terasa sakit, makin hari aku semakin drop dan stres. Memang sih aku aman, tak ada bukti yang mengarah kepadaku. Tapi sadar dan tak sadar aku paham dengan apa yang terjadi. jika aku sanggup aku ingin lari dari kenyataan ini. Tapi semua tidak mungkin dan aku tak bisa.Sabtu besok tanggal 5 Malam Jumat Suro kami akan tampil dalam ruwatan kampung Jati Bahagia. Aku sungguh takut, akankah malam itu Nyi Mas Srinti akan meminta tumbalnya yang ke tujuh. Siapa lagi nyawa yang akan ia rebut dengan perantara aku."Tok....tok....tok...., Assalamualaikum.""Waalaikumsalam""Eh Aa Faizal, kapan pulang dari Bogor Aa?""Tiga hari lalu Neng.""Aa dandanannya bikin Tari pangling sekarang, sudah seperti bapak-bapak ustaz."
Kujalani hariku kini tanpa Cahyati. Dia sahabat kecilku. Aku sering meneleponnya hampir satu minggu sekali. Dari kabar yang aku terima, dia betah hidup di Manado. Bahkan terkadang mereka mengirimkan ikan asap dan kerupuk ikan untuk kami di sini. Emak sangat suka, karena di sini ikan tersebut sudah mulai jarang dan langka. Dia bilang insya Allah lebaran nanti akan pulang ke Karawang. Menemui keluarga dan aku sahabatnya. Semoga saja, semua niatan dan keinginannya di lancarkan. Dia mengabarkan kalau dirinya pun tengah hamil 1 bulan. Alangkah senangnya kami mendapat kabar baik ini. Kandunganku masuk usia 7 bulan, Alhamdulillah dokter bilang prediksi kehamilan anak kami kembar. Hanya saja jenis kelaminnya belum terlihat. Jabang bayi kami selalu malu-malu dan belum menampakkan kelaminnya jika saat di USG oleh dokter. Perkiraan tanggal 23 November anak-anakku akan lahir. Aku ditemani oleh Emak dan Mas Faiz memberi keperluanku di pasar. Baju bayi, tempat tidur, aksesoris bay
Akhirnya tiba juga hari yang kami nantikan, yaitu hari pernikahan Cahyati sahabatku. Aku pun bersiap pagi ini, dengan menggunakan gamis warna cream, dan koko senada telah aku siapkan untuk A Faiz. Begitu juga hadiah dan kenangan untuk sahabatku, perlengkapan Shalat dan sebuah Alquran kecil aku bungkus, begitu pula 1 foto keluargaku semua sudah aku persiapkan untuk menjadi hadiah. Jika nanti dia rindu saat di Manado dia bisa langsung melihat foto kami. Foto itu permintaannya kepadaku. Dan aku dengan senang hati memberikannya. *** Jam telah menunjukan puku 09.00 tepat, kami sekeluarga besar pun hadir melihat dan menyaksikan acara ijab kabul mereka. Cahyati dan ustad Ipram tampak serasi sekali menggunakan gamis dan koko senada warna biru tua. Proses ijab kabul Cahyati mengingatkan aku pada proses pernikahanku dulu. Tampak di wajahnya berkaca-kaca menahan tangis serta rasa bahagia yang bercampur baur. Kami pun mulai mendekat, bersalaman dan
Penantian aku dan Faiz tak sia-sia, hampir satu tahun kami menikah, dan kini aku pun berhasil hamil anak pertamaku. Seminggu ini aku merasa pusing dan mual-mual. Alhamdulillah setelah aku cek ternyata aku telah hamil 3 minggu. Sempat hampir putus asa dan ingin program kehamilan kepada dokter spesialis kandungan. Saat pemeriksaan terakhir kami sama-sama sehat, hanya saja ada sedikit gangguan hormon dirahimku. Bahagia sekali rasanya, akhirnya segala yang kami inginkan kini telah menjadi nyata. Bagaimana rumah tangga kami akan seru jika belum ada anak. Tapi doa dan penantian kami kini telah telah di kabulkan oleh Allah. **" Hal yang membahagiakan lainnya bagiku adalah, Cahyati minggu besok dia akan dilamar oleh ustad Ikram, Akhirnya dia bertemu calon imamnya juga. Mas Ikram adalah salah satu sahabat dari Mas Faiz saat di pondok kyai Jaya dahulu. Beliau orang Manado. Rela tak rela nanti akan kehilangan Cahyati. Karena ia akan di boyong ikut menetap di san
Tak terasa pernikahanku telah masuk enam bulan, aku masih saja dihantui mimpi Nyi Mas Srinti, padahal ustad Jaya telah mewanti-wanti aku agar tidak lepas Shalat dan tadarus Alquran. Malam ini, malam 1 Suro aku dan Aa Faiz tadarus Quran di rumah, Asep, Jajang, Fatimah dan Aliya pun turut mengaji. Mereka telah duduk bangku Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Pertama. Alhamdulillah ku syukuri segala nikmat, adikku kini mulai tumbuh dewasa. Setelah lelah belajar mengaji mereka pun beristirahat di kamar, Aliya dan Fatimah, serta Jajang bersama Asep. Sedikit-sedikit rumah dan toko pun kami renovasi menjadi lebih luas. Dulu rumah yang hanya terbuat dari bilik dengan 2 kamar dan hampir roboh sekarang sudah memiliki 5 kamar, ruang tamu dan ruang keluarga yang cukup luas, serta toko sembako yang cukup besar. "Lestari...." Astaga siapa yang malam-malam memanggil namaku. "Lestari...." Aku pun terbangun, dan aku membangunkan Faiz segera.
"Lestari... Kau telah menghianati aku lestari kau meninggalkanku." "Lestari Kau di mana....?" Sesosok penari jaipong muncul tepat di hadapanku, wajahnya tua, rambut putih terurai acak-acakan dan panjang, kulitnya peot dengan badan yang bau amis, dan penuh sisik. Dia mendekati tempat tidurku. Matanya melotot, dia tersenyum sinis padaku. Dia naik ke tempat tidurku, dia duduk di perutku, dia mencekitku, mencekik leherku. "Lestari, kau harus ikut denganku." "Sakit Mak, ammmmpun Mak..." "Kau mati Tari, Kau harus ikut denganku." "Tidak.....tidak....tidak Mak." "Sayang, bangun..." Mas Faiz membangunkan aku dan memelukku. "Sayang Kamu mimpi." "Alhamdulillah Ya Allah, seram Aa, ngeri, mimpinya seperti nyata sekali." "Ya sudah, ini minum dulu ya biar tenang, habis itu Kita bangun ya Shalat tahajud dulu, sebelum kamu tidur lagi." "Iya Aa." Aku dan Faiz Shalat tahajud, kami lanjutkan dengan b
Ternyata hari pernikahan aku dan Faiz sudah di depan mata persiapan yang hanya dua Minggu cukup membuat kami kalang-kabut. Di rumahku tetangga sudah banyak berkumpul, begitu pun paman dan bibiku dari kampung. Ada yang sibuk membuat dodol, membuka kelapa, menyiapkan janur dan membersihkan halaman yang akan di pasang tenda pernikahanku dengan A Faizal. Semalam keluarga mas Faiz juga sudah resmi melamarku dan memberikan uang pernikahan. Pagi ini kulihat emak dan abah sibuk belanja bulak-balik ke pasar. Masih ada 2 hari sih, tapi mereka sangat antusias sekali mempersiapkan hari pernikahanku. Aku dan Cahyati akan pergi ke tukang jahit, mengambil baju gamisku yang terbuat dari bahan brukat. Begitu juga Cahyati dia antusias menjadi pagar ayu dalam pernikahanku. Aku membuat gamis pernikahan berwara merah muda, sedangkan mas Faiz aku buatkan koko berwarna merah marun, yang senada dengan kerudungku.tak lupa aku membelikan seragam untuk teman-teman ya siapa lagi yang ak
Malam ini, aku menunggu Faiz kembali dari kampung. Hatiku sedikit tenang di sini ada Teh Sinta dia putri dari ustad Jaya. Beliau mengajak aku berkeliling pondok pesantren. Pondok yang sangat asri, tepat berada di bawah kaki gunung, teh Sinta bilang lokasinya tepat di bawah kaki gunung salak. Teh Sinta meminjamkan aku sajadah dan Alquran, abah bilang aku harus Shalat 5 waktu mulai hari ini tanpa tertinggal. Dan membaca Alquran di kala waktu senggang. Siang tadi mereka melalukan rukiah aku, aku jerit-jerit tidak karuan, aku muntah-muntah mual dan sakit sekali seluruh tubuhku. Terutama pipiku, dan anggota tubuh yang pernah aku pasang susuk dulu. Mereka bilang minimal 1 minggu akan melakukan rukiah yang sama. Agar semua keburukan yang ada dalam diriku benar-benar sirna. Ya Allah, ternyata tidak mudah mengeluarkan barang itu dari tubuhku, abah bilang jika sampai aku tidak jujur dan kelak meninggal, saat sakaratul maut aku akan merasa sakit yang sangat sakit
Faizal, Malam ini, entah mengapa batinku tidak tenang, ingin rasanya aku melihat pertunjukan Lestari. Aku dengar jika malam ini di Balai Desa Group sanggar Jaipong Tari akan tampil. Hatiku berkata aku harus melihatnya malam ini. "Ke sana jangan ya?" Ya Allah, kenapa hati ini resah gelisah, tak pernah aku khawatir seperti ini. Bismillah, ya sudahlah aku akan ke sana saja, biar aku tenang dan tidak khawatir seperti ini. Aku bergegas mengeluarkan motor dalam garasi. Segera Aku pacu motorku. Lima menit aku tiba di sana sangat tergesa-gesa dan was-was. Sungguh ramai warga kampung yang berkumpul. Ternyata masih tarian anak-anak. Aku pun duduk di kursi di bawah tarup. Sungguh jarang sekali bahkan nyaris tak pernah aku melihat tontonan seperti ini. Baru kali ini mengapa langkahku ingin sekali membawaku kesini. Melihat wanita yang aku cintai tampil dalam sanggar jaipongan, mengapa hatiku sedih dan tidak ikhlas. Tari dan Cahyati sangat tidak pantas berada di ac
Badanku terasa sakit, makin hari aku semakin drop dan stres. Memang sih aku aman, tak ada bukti yang mengarah kepadaku. Tapi sadar dan tak sadar aku paham dengan apa yang terjadi. jika aku sanggup aku ingin lari dari kenyataan ini. Tapi semua tidak mungkin dan aku tak bisa.Sabtu besok tanggal 5 Malam Jumat Suro kami akan tampil dalam ruwatan kampung Jati Bahagia. Aku sungguh takut, akankah malam itu Nyi Mas Srinti akan meminta tumbalnya yang ke tujuh. Siapa lagi nyawa yang akan ia rebut dengan perantara aku."Tok....tok....tok...., Assalamualaikum.""Waalaikumsalam""Eh Aa Faizal, kapan pulang dari Bogor Aa?""Tiga hari lalu Neng.""Aa dandanannya bikin Tari pangling sekarang, sudah seperti bapak-bapak ustaz."