Tara melihat ada kerumunan di depan warung kopi tempat biasanya dia duduk menunggu kapal motor. Dia langsung menghampiri kerumunan tersebut dan alangkah terkejutnya Tara ketika melihat Erica sedang di kelilingi anak-anak dan ibu-ibu yang keheranan karena tidak pernah melihat orang asing berada di dermaga. Erica memang terlihat mencolok dengan rambut pirang alami dan manik mata biru seperti laut dalam, persis seperti boneka yang cantik, sangat cantik meski sedang mengunakan sendal jepit yang Tara tahu dipinjam dari ibunya. Ketika Tara menyeruak kedalam kerumunan Erica terlihat masih berjongkok untuk memberikan penjepit rambut pada anak perempuan kecil berambut kemerahan yang tadi memuji kecantikan jepit rambutnya.
"Bagaimana kau bisa sampai kemari?"
"Aku mencarimu." Erica langsung bangkit berdiri.
"Rasnya masih sulit dipercaya ada bagian dari diriku yang sedang tumbuh di dalam sana. " Tara kembali mencium perut Eica yang masih berbaring seusai mereka bercinta."Kadang aku juga berpikir demikian.""Seperti apa rasanya?" tanya Tara benar-benar penasaran."Sebenarnya masih belum terlalu terasa.""Berapa usianya? ""Mungkin dua bulan.""Dua bulan? " kutip Tara dan langsung mendongak pada wanitanya."Sebenarnya aku hanya ingin memastikan sebelum memberitahumu." Sebenarnya Erica tidak berbohong dia hanya tidak mengatakan apa yang sebenarnya sedang dia pastikan dan berulang kali Erica kembali ngeri jika teringat ketakutannya kemarin."Belum ada yang tahu jika aku sudah mengandung anakmu.""Nanti kita akan menyampaikanya bersama. "Kali ini Tara merangkak naik untuk mencium kening Erica."Terimakasih, " ucap Tara masih sambil menghirup dalam puncak kepala istrinya."Bulan depan Jemy dan Adam akan mengad
Sudah berulang kali Erica coba memperhatikan motif ukiran lumba-lumba yang pernah dibuat oleh ayah Tara di tiang gubuknya. Erica yakin ada sesuatu yang ingin di sampaikan dalam rangkaian cerita lumba-lumba tersebut tapi Erica masih juga belum bisa menemukan jawaban apa-apa. Erica coba memperhatikan masing-masing lumba-lumba dan cuma ada begitu banyak nama Tara dan Mina karena menurut Tara ayahnya buta huruf dan hanya bisa menulis nama kedua anaknya karena itu nama Tara dan Mina juga tidak memiliki nama belakang agar mudah untuk dihafal ejaannya.Erica sudah membolak-balik rangkaian gambar tersebut tapi masih juga belum menemukan jawaban apa-apa hingga akhirnya ia putus asa dan merasa bodoh dengan pikirannya sendiri.Sepertinya Erica juga bukan tipe wanita yang bisa diam di rumah hanya untuk menunggu suaminya pulang bekerja. Baru sehari
Erica semakin sering terlihat ikut Tara ke dermaga untuk sesekali membantu di klinik pelabuhan. Walaupun kadang yang ditanganinya hanya sekitar sakit kepala dan sakit perut tapi cukup untuk mengisi kegiatan Erica dibanding dirinya hanya diam di rumah menunggu Tara pulang bekerja. Menjelang akhir bulan ketiga perut Erica juga sudah mulai terlihat membuncit walaupun masih belum terlalu nampak jika dirinya berpakaian longgar, tapi Tara senang melihat Erica seperti itu. Entah bagaimana wanitanya bisa terlihat lebih cantik dan mengemaskan dengan perut sedikit buncitnya.Tara meraih Erica yang hendak berlalu setelah meletakkan cangkir kopi di depannya. Dia membawa Erica untuk duduk di pangkuanya dan menciumnya sebentar. Erica mengeser topi yang dipakai Tara karena agak mengganggu."Sudah hentikan aku malu dilihat ibu.""Ibu masih mandi." Tara terus mencium sisi leher Erica ambil mengosok-gososk perut istrinya. "Apa kau mau ikut ke dermaga lagi?""Ya.""I
Adam masih memperhatikan perut Erica yang terlihat membuncit di balik gaun biru lautnya."Jadi benar kau akan tinggal dengannya?""Ya.""Aku tidak percaya wanita sepertimu bisa hidup di sana.""Sebenarnya itu tak seburuk kau yang membawa adik perempuanku untuk tinggal di pulau," balas Erica."Apa karena dia tampan?"Sama seperti yang lain pasti semua yang melihat mereka akan berpikir seperti itu, karenanya Erica juga tidak bisa menyalahkan Adam dan penilaian dangkalnya."Tara memang tidak memiliki kemewahan seperti kalian, tapi jika aku memiliki waktu aku hanya ingin menghabiskan b
Semua orang ikut panik karena nyonya Marisa tiba-tiba pingsan. Untungnya tidak sampai jatuh ke lantai karena Tara yang kebetulan masih menjabat tangannya juga segera sigap untuk menangkap tubuh nyonya Marisa yang tiba-tiba lemas.Nico terlihat ingin marah tapi dia juga tidak punya alasan untuk menyalahkan Tara. Dengan mengabaikan Nico, Tara segera mengangkat tubuh lemas nyonya Marisa ke atas sofa dan membaringkannya di sana. Erica langsung memeriksa nadinya, telapak tangannya dingin dan wajahnya pucat. Sepertinya nyonya marisa mengalami kekurangan oksigen dalam waktu yang sangat cepat, mungkin karena pengaruh dari kinerja jantungnya yang memang lemah."Telepon ambulan !" perintah Erica.Mereka segera memanggil ambulan dan menunggu cemas sampai ambulan datang untuk segera membawa
Setelah Tara keluar dari kamar nyonya Marisa, Nick segera bergantian untuk masuk tanpa menghiraukan Tara sama sekali. Tara juga langsung menghampiri Erica dan menggenggam tangan istrinya tanpa mau ambil pusing dengan kekesalan Nicola."Nyonya Marisa ingin bertemu ibuku," kata Tara dan pastinya Erica juga semakin terkejut."Kenapa bibi Marisa ingin bertemu ibu? ""Aku juga tidak tahu, " jawab Tara sambil menggeleng polos dan mengedikkan bahunya dengan acuh.Sebenarnya tadi Tara hanya merasa prihatin melihat kondisinya dan akhirnya mengangguk setuju."Aku harus memastikan kondisinya dulu apa mungkin untuk bisa dibawa dalam perjalanan jauh."Tara tidak berkomentar karena dia memang cuma masih bingung dengan semua yang mendadak jadi serba aneh dan benar-benar tidak habis pikir dengan semua ini."Kita tunggu dulu perkembangannya beberapa hari lagi, " saran Erica dan Tara juga asal setuju.Setelah kondisi nyonya Marisa dinyatakan sta
Dua puluh delapan tahun yang lalu di sore hari yang sedang gerimis seorang wanita muda sudah berniat untuk mengakhiri hidupnya sendiri dengan melompat ke dermaga. Dia sudah sangat putus asa, hidup tanpa pegangan, hingga mati rasanya akan jauh lebih baik baginya.Menjelang rembang petang kondisi dermaga juga sedang sepi karena biasanya para nelayan sudah pada pulang dan menutup pintu rumah mereka masing-masing. Tanpa berpikir lagi ia langsung melangkah dan menjeburkan diri ke dalam air yang mulai nampak gelap pekat dan bergolak.Seorang nelayan yang ketika itu kebetulan belum pulang karena masih menggulung jaring ikan mendengar suara sesuatu yang terjebur ke air dan langsung ikut melompat untuk berenang begitu tahu jika yang terjebut itu adalah manusia. Seorang wanita yang bahkan tidak bisa berenang.
Tara cuma langsung menatap Erica yang sedari tadi menggenggam tangan dinginnya dengan perasaan cemas. Sebenarnya Tara juga tidak tahu harus protes atau marah pada siapa karena mereka sendiri juga mengalaminya dan pasti dia juga tidak akan bisa menyalahkan apa pun tindakan yang diambil Erica jika saja dirinya yang menyerah untuk memperjuangkannya.Tara hanya langsung memeluk Erica dan sadar jika wanita itu telah mengorbankan segalanya untuk memilih bersamanya. Dan memang hanya itu yang terpenting untuk Tara sekarang, tanpa ingin menoleh lagi ke belakang."Tidak akan ada yang berubah, karena semua ini memang tidak akan mengubah apapun!" tegas Tara ketika memeluk erat Erica hingga bibirnya berdesis kaku karena Tara yakin apapun itu tidak akan sedikit pun mengubah jati dirinya.Tante
"Bang Nathan!" Nathan langsung berpaling karena selama ini hanya Tiva yang memangilnya seperti itu, bahkan Jemy dan Erica tidak pernah memangilnya demikian. Erica lebih sering langsung memanggil namanya karena usia mereka tidak terpaut jauh. Sedangkan Jemy hanya akan memanggilnya kakak jika sedang ada maunya. Tiva baru bangun dan sedang berdiri di ambang pintu Nathan mengerutkan dahi menilai keseriusan Tiva sebelum kemudian berjalan mendekatinya. "Coba panggil aku sekali lagi?" Tiva pura-pura menggeleng untuk menggoda pria yang sedang penasaran. Setelah hampir satu tahun mengajak Tiva pergi ke berbagai tempat untuk mengumpulkan kembali semua ingatannya, perlahan sedikit demi sediki Tiva mulai mengingat beberapa tempat yang pernah mereka datangi dulu, tapi memang belum pernah Tiva memanggilnya seperti tadi. "Sepertinya aku hamil." Tiva menyentuh perutnya. "Hamil anakmu lagi, Bang." "Oh," hanya itu yang bisa Nathan ucapkan dengan takjub karena itu juga berarti banyak hal,'Tiva m
Nathan baru bangun dan mendapati Tiva sudah tidak ada di sampingnya. Nathan langsung panik dan menghubungi Jane."Jane, Tiva hilang!""Memang apa saja yang kau lakukan!" marah Jane tapi sepertinya Nathan sudah tidak mendengarkan karena sudah ikut kabur dan menutup teleponnya lebih dulu.Jane langsung menyuruh orang untuk mencari di sekitar komplek pangkalan militer, karena penjagaan di pangkalan militer cukup ketat mustahil ada yang bisa keluar masuk tanpa ijin. Lagi pula juga tidak ada yang cukup gila untuk keluar dari benteng sebab mereka jauh dari manapun. Manusia akan mati setelah beberapa mil hanya ada hamparan salju dan beruang kutub. Kecuali untuk manusia seperti Tiva, yang bahkan tidak paham dirinya sedang berada di mana. Pangkalan militer jauh dari manapun dan cuma dikelilingi
"Katakan saja jika kau mau sesuatu.""Aku mau mandi."Sebenarnya Nathan juga agak terkejut tapi sepertinya Tiva memang serius ingin mandi. Cuma masalahnya dia tidak minta ditemani lagi. Lagi pula kenapa Nathan bisa punya pikiran kotor seperti itu padahal dia tahu Tiva baru bangun setelah tidur panjang selama tiga tahun. Wajar jika Tiva butuh waktu untuk 'recovery'.Sepertinya Nathan memang harus segera membawa Tiva untuk diperiksa karena mustahil jika ia harus terus menahan diri seperti ini. Bayangkan saja setelah kerinduannya bertahun-tahun sebagai seorang pria, sekarang dia malah harus duduk seperti orang bodoh sementara ia tahu Tiva sedang menguyur tubuhnya di bilik shower. Rasanya sampai hanya tersisa sedikit sekali kewarasannya untuk tidak menyusul gadis itu segera.
Nathan segera kembali berlari keluar, sepertinya memang sedang terjadi kebakaran di lantai dasar. Walau apinya sudah bisa dipadamkan tapi asapnya masih membuat lorong-lorong penuh asap dan kekacauan belum berakhir. Beberapa tentara yang sedang di rawat harus di keluarkan dari ruang perawatannya yang juga sedang berasap. Di luar salju masih membeku Nathan berlari pada sumber kekacauan yang lain di mana beberapa prajurit sedang meneriaki seseorang dengan alat pengeras suara. Tepatnya di puncak sebuah tower berangka baja setinggi hampir empat puluh kaki Nathan melihatnya sedang memanjat, masih dengan pakaian biru pasien yang ikut berkibar-kibar tertiup angin. Nathan juga syok tapi yakin dirinya tidak sedang berhalusinasi ketika melihat seorang gadis yang memanjat rangka baja seperti orang yang sedang ketakutan dan itu adalah Tiva.
Semakin kesini Nathan semakin sadar jika dirinya benar-benar sedang sendiri. Saat orang-orang yang ia percaya pun tidak bisa berbuat banyak sepertinya jalan terbaik tetap menyelesaikannya sendiri, dengan caranya sendiri!Natha sedang tidak bisa memberikan kepercayaannya pada siapapun. Walaupun drinya punya Jane dan Erik tapi nyatanya mereka juga memiliki batas kemampuan. Nathan hanya tidak mau menyalahkan mereka sementara dirinya masih belum mau menyerah, dia masih mau berjuang untuk Tiva dan memiliki harapan walaupun mungkin yang lain sebenarnya sudah diam-diam berharap agar dirinya segera sadar jika harus segera melanjutkan hidup dan melupakannya.Ketika Jane hanya diam seperti kemarin Nathan tahu jika dia hanya tidak sanggup mengatakannya, bukannya berarti Jane tidak tahu sama sekali bakal seperti apa semua ini berakhir. Kadang Natha
Nathan ingat jika mereka bisa mati bersama jika sampai dirinya berbuat kesalahan sedikit saja. Nathan sudah berhasil membuat sensor pesawat mereka dapat melihat perisai digitalnya. Sebenarnya cuma seperti benteng transparan tapi sekarang mereka bisa melihat percikan aliran energi kebiruan yang melingkupinya seperti kerangka yang kokoh."Apa kau yakin?" Jack bertanya sekali lagi sebelum membawa pesawat mereka untuk menerobosnya.Benda itu bisa meledak seketika jika sampai terbentur perisai digital yang masih aktif menganggapnya benda asing. Tak heran selama ini banyak kapal dan pesawat yang tiba-tiba menghilang di area tersebut tanpa pernah ditemukan lagi. Padahal kemungkinan mereka tidak sengaja menabrak perisai digital dan lenyap karena hancur.Jack sudah pernah ikut dibawa masuk bers
Siang dan malam terus berlalu merentangkan waktu yang semakin panjang untuk terus dijalani tanpa kepastian. Tak perduli harus berapa lama lagi Nathan tetap tidak ingin menyerah dan akan melakukan apapun untuk kembali bisa memeluknya, kembali mendengarkan suaranya saat menggerutu atau menggoda. Kadang ketika malam semakin larut dan sunyi ia seperti bisa mendengarkan suaranya sedang berbisik seperti dulu. Namun ketika Nathan sadar dan meraba tempat tidur di sebelahnya yang masih saja kosong dan dingin seketika pula kesepian itu kembali menusuk dadanya hingga nyerinya mampu meleburkan serpihan peluru yang bersemayam di dadanya berulang kali.Kali ini Nathan sedang berada di tengah kota Hongkong yang padat tak bercelah, bahkan sampai bagian sisi bangunan tidak terkena sinar matahari sama sekali hinga gang sempitnya terlihat suram. Langkah kakinya sendiri terdengar memantul dari celah d
Sampai kapanpun Nathan memang tidak akan bisa melepas tangung jawab terhadap adik-adiknya. Karena melihat Erica seperti ini saja rasanya dia sudah tidak tahan untuk bisa kembali memeluknya dan memberitahunya jika ia baik-baik saja. Erica sudah sangat menderita karena terus jadi bahan pembicaraan sejak pernikahannya yang gagal dan sekarang kembali disepelekan karena pria pilihan hidupnya. Dan saat gadis seperti Erica dianggap remeh rasanya Nathan yang paling tidak terima.Erica adalah wanita yang tangguh dan cerdas pasti dia juga punya alasan ketika memilih siapa yang layak untuknya. Dan Nathan juga bisa menilai seperti apa pria yang tulus mencintai adik perempuannya dengan tanggung jawab, bukan hanya karena sekedar cinta atau harta. Sebagai seorang kakak laki-laki Nathan memang tidak akan pernah bisa mengabaikan tanggung jawabnya apalagi terhadap kedua adik perempuan. Selain itu ay
3 TAHUN KEMUDIAN. Tiga tahun berlalu Nathan masih berdiri sendiri di puncak tebing tertinggi menyaksikan bumi yang nampak terbentang luas di hadapannya tapi dirinya tetap hanya seorang diri. Melewat siang dan malam sendirian bukan sesuatu yang sedang mudah untuk dijalani, kadang dia juga lelah dan bosan. Nathan sudah terlalu rindu dan masih tidak tahu di mana ujung penantiannya akan berujung, karena setelah tiga tahun berlalu nyatanya tetap tidak ada yang berubah sama sekali. Gadisnya belum juga kembali, tidak ada tangan yang bisa dia genggam, dan tidak ada tubuh yang bisa ia peluk. Rindu dan kesepian bisa jadi lebih menyakitkan dari ujung pisau yang menikam jantung. Jika teringat dengan semua janji dan rencana mereka, rasanya Nathan juga tidak akan bakal sanggup untuk sedetik saja membayangkan senyum Tiva tanpa segera diterjang rasa bersalah dan dosa. Nathan mendapati rintik hujan yang jatuh di telapak tangannya ketika gumpalan awan gelap mulai merangkak mem