Dua puluh delapan tahun yang lalu di sore hari yang sedang gerimis seorang wanita muda sudah berniat untuk mengakhiri hidupnya sendiri dengan melompat ke dermaga. Dia sudah sangat putus asa, hidup tanpa pegangan, hingga mati rasanya akan jauh lebih baik baginya.
Menjelang rembang petang kondisi dermaga juga sedang sepi karena biasanya para nelayan sudah pada pulang dan menutup pintu rumah mereka masing-masing. Tanpa berpikir lagi ia langsung melangkah dan menjeburkan diri ke dalam air yang mulai nampak gelap pekat dan bergolak.
Seorang nelayan yang ketika itu kebetulan belum pulang karena masih menggulung jaring ikan mendengar suara sesuatu yang terjebur ke air dan langsung ikut melompat untuk berenang begitu tahu jika yang terjebut itu adalah manusia. Seorang wanita yang bahkan tidak bisa berenang.
Tara cuma langsung menatap Erica yang sedari tadi menggenggam tangan dinginnya dengan perasaan cemas. Sebenarnya Tara juga tidak tahu harus protes atau marah pada siapa karena mereka sendiri juga mengalaminya dan pasti dia juga tidak akan bisa menyalahkan apa pun tindakan yang diambil Erica jika saja dirinya yang menyerah untuk memperjuangkannya.Tara hanya langsung memeluk Erica dan sadar jika wanita itu telah mengorbankan segalanya untuk memilih bersamanya. Dan memang hanya itu yang terpenting untuk Tara sekarang, tanpa ingin menoleh lagi ke belakang."Tidak akan ada yang berubah, karena semua ini memang tidak akan mengubah apapun!" tegas Tara ketika memeluk erat Erica hingga bibirnya berdesis kaku karena Tara yakin apapun itu tidak akan sedikit pun mengubah jati dirinya.Tante
Memasuki bulan ke tujuh kandungan Erica terlihat semakin besar. Tara tetap bersikeras untuk menikahinya lagi di depan semua orang. Tara ingin semua orang tahu jika mereka sudah menikah dan wanita itu adalah miliknya seutuhnya. Ia sengaja mengadakan pesta tersebut di kampung halamannya karena Tara merasa di sanalah orang -orang yang ia kenal tinggal dan dia ingin ikut berbagi kebahagiaannya dengan mereka semua. Selain Jemy dan Adam, Eric dan Emy juga datang bersama Sky dan putra kedua mereka yang baru berusia satu tahun. Ini adalah kali pertama Emy mengajak Eric dan anak-anaknya pulang ke kampung halamannya. Caroline dan Aldi juga ikut datang dari Bali.Haji Sofyan yang terlihat semakin sehat juga hadir untuk menyaksikan pernikahan mereka. Sebenarnya Tara dan Erica juga mengundang nyonya Marisa tapi sepertinya dia tidak bisa datang. Tara mengadakan pestanya di depan halaman rumah ya
"Oh, Erica! lihat perbuatan suamimu!" pekik ibunya seketika membekap mulutnya sendiri karena syok.Kebetulan mereka sedang duduk satu meja bersama Jemy, Adam, dan serta ayahnya. Jemy sempat tersendak air mineral dari sedotan, sementara Adam sepertinya justru cuma ikut ngilu membayangkan rahang sepupunya yang mungkin sudah retak.Ibu Eric langsung menghampiri Nico yang sudah sempat mendapat pukulan beberapa kali sampai sudut bibirnya berdarah.Sebenarnya Erica juga kurang setuju dengan tindakan Tara, tapi karena yang dia pukul Nico, Erica sengaja membiarkannya saja. Erica cuma menarik lengan Tara untuk dia ajak duduk lagi."Sebaiknya kau pergi dulu! " kata Erica pada Nick yang sudah digandeng ibunya.
"Aku tidak pernah bermaksud ingin mempermalukanmu dengan sifat keras kepalaku. Sejak dulu aku hanya ingin memulai usahaku sendiri, doakan saja semuanya berhasil dan kuharap kau tidak malu memiliki suami pedagang ikan keras kepala sepertiku." Tara masih menggenggam tangan Erica menunggu sampai wanita itu mengangguk."Sudah ribuan kali kukatakan aku ingin melaluinya bersamamu tak perduli kau putra siapa."Dari sejak notaris nyonya Marisa meninggalkan tumpukan berkas itu di meja Tara, Tara sama sekali tidak tertarik untuk sekedar mengintip atau membacanya. Justru Erica yang beberapa hari ini merasa tidak tenang sampai akhirnya membuka-buka lampiran berkas tersebut dan meneliti bunyi poin dalam salina wasiat nyonya Marisa."Tara sebaiknya kau temui beliau," saran Erica yang bahakan b
"Apa kau akan segera pulang?" tanya nyonya Marisa yang ternyata masih berat untuk melepas putranya. "Tolong tinggallah dulu malam ini."Tara mengangguk karena sepertinya dia juga baru bisa pulang besok."Andai kau bisa tinggal.""Maaf, aku tidak bisa,Bu. Tapi jika ibu mau tinggal bersamaku aku tidak pernah keberatan."Kali ini nyonya Marisa yang menggeleng pelan.Tara tidak bertanya lagi tapi sepertinya dia tahu apa yang dipikirkan ibunya."Istirahatlah dulu, Bu. Aku tidak akan ke mana-mana dan aku janji nanti aku dan Erica akan lebih sering mengunjungi, Ibu."Nyonya Marisa mengiku
Sementara abahnya masih bicara dengan nyonya Marisa, Larisa menunggu di luar bersama Tara dan tak berapa lama tiba-tiba Nicola datang. Seketika Larisa langsung berpaling pada kakak laki-lakinya.Nick meletakkan kotak yang ia bawa di atas meja tepat di depan Tara. "Berikan kepada perawatnya, itu semua obat untuk ibumu.""Kami akan membawanya," kata Tara ketika mendongak pada Nick dengan rahang berkedut."Apa maksudmu?" heran Nicola yang masih berdiri di depan Tara yang masih saja menatapnya dingin."Aku akan mengajak ibu pulang bersamaku.""Apa kau serius sudah memikirkan semua resikonya dengan membawa ibumu?" Nick sepertinya tidak setuju karena melihat kondisi nyonya Marisa.
SURVIVAL LOVE 3 Langit mulai gelap sepertinya akan kembali turun hujan, Tiva masih berdiri di trotoar menunggu Rio yang mengambil motor di parkiran. Rencananya mereka akan pergi dulu ke acara ulang tahun salah seorang teman Rio di kafe tak jauh dari kampus mereka, tapi tiba-tiba ponsel Tiva berbunyi dan muncul nama abangnya. "Ya, Bang." "Buruan pulang, Abang mau pergi." "Aku mau ke rumah teman dulu, Bang." "Sudah cepat pulang, anak perempuan jangan keluyuran!"
Tiva mulai cemas karena sejak berangkat kemarin abangnya belum juga memberinya kabar. Padahal tidak biasanya bang Alif seperti itu, paling tidak dia akan menelepon malam memastikan jika adiknya sedang berada di rumah. Karena gelisah sendiri rasanya juga sangat tidak nyaman, duduk tidak enak, berbaring pun juga tidak bisa memejamkan mata, akhirnya Tiva memutuskan untuk menelpon Rio. "Bang Alif belum pulang, padahal tidak biasanya dia pergi sampai lewat dua hari." Tiva mulai bercerita pada Rio mengenai kecemasannya. "Jadi kau di rumah sendirian dari kemarin? " "Aku tidak takut di rumah sendirian, tapi aku takut terjadi apa-apa sama bang Alif. Karena perasaanku sangat tidak tenang." "Apa aku harus ke situ?" Tanya Rio dari seberang te
"Bang Nathan!" Nathan langsung berpaling karena selama ini hanya Tiva yang memangilnya seperti itu, bahkan Jemy dan Erica tidak pernah memangilnya demikian. Erica lebih sering langsung memanggil namanya karena usia mereka tidak terpaut jauh. Sedangkan Jemy hanya akan memanggilnya kakak jika sedang ada maunya. Tiva baru bangun dan sedang berdiri di ambang pintu Nathan mengerutkan dahi menilai keseriusan Tiva sebelum kemudian berjalan mendekatinya. "Coba panggil aku sekali lagi?" Tiva pura-pura menggeleng untuk menggoda pria yang sedang penasaran. Setelah hampir satu tahun mengajak Tiva pergi ke berbagai tempat untuk mengumpulkan kembali semua ingatannya, perlahan sedikit demi sediki Tiva mulai mengingat beberapa tempat yang pernah mereka datangi dulu, tapi memang belum pernah Tiva memanggilnya seperti tadi. "Sepertinya aku hamil." Tiva menyentuh perutnya. "Hamil anakmu lagi, Bang." "Oh," hanya itu yang bisa Nathan ucapkan dengan takjub karena itu juga berarti banyak hal,'Tiva m
Nathan baru bangun dan mendapati Tiva sudah tidak ada di sampingnya. Nathan langsung panik dan menghubungi Jane."Jane, Tiva hilang!""Memang apa saja yang kau lakukan!" marah Jane tapi sepertinya Nathan sudah tidak mendengarkan karena sudah ikut kabur dan menutup teleponnya lebih dulu.Jane langsung menyuruh orang untuk mencari di sekitar komplek pangkalan militer, karena penjagaan di pangkalan militer cukup ketat mustahil ada yang bisa keluar masuk tanpa ijin. Lagi pula juga tidak ada yang cukup gila untuk keluar dari benteng sebab mereka jauh dari manapun. Manusia akan mati setelah beberapa mil hanya ada hamparan salju dan beruang kutub. Kecuali untuk manusia seperti Tiva, yang bahkan tidak paham dirinya sedang berada di mana. Pangkalan militer jauh dari manapun dan cuma dikelilingi
"Katakan saja jika kau mau sesuatu.""Aku mau mandi."Sebenarnya Nathan juga agak terkejut tapi sepertinya Tiva memang serius ingin mandi. Cuma masalahnya dia tidak minta ditemani lagi. Lagi pula kenapa Nathan bisa punya pikiran kotor seperti itu padahal dia tahu Tiva baru bangun setelah tidur panjang selama tiga tahun. Wajar jika Tiva butuh waktu untuk 'recovery'.Sepertinya Nathan memang harus segera membawa Tiva untuk diperiksa karena mustahil jika ia harus terus menahan diri seperti ini. Bayangkan saja setelah kerinduannya bertahun-tahun sebagai seorang pria, sekarang dia malah harus duduk seperti orang bodoh sementara ia tahu Tiva sedang menguyur tubuhnya di bilik shower. Rasanya sampai hanya tersisa sedikit sekali kewarasannya untuk tidak menyusul gadis itu segera.
Nathan segera kembali berlari keluar, sepertinya memang sedang terjadi kebakaran di lantai dasar. Walau apinya sudah bisa dipadamkan tapi asapnya masih membuat lorong-lorong penuh asap dan kekacauan belum berakhir. Beberapa tentara yang sedang di rawat harus di keluarkan dari ruang perawatannya yang juga sedang berasap. Di luar salju masih membeku Nathan berlari pada sumber kekacauan yang lain di mana beberapa prajurit sedang meneriaki seseorang dengan alat pengeras suara. Tepatnya di puncak sebuah tower berangka baja setinggi hampir empat puluh kaki Nathan melihatnya sedang memanjat, masih dengan pakaian biru pasien yang ikut berkibar-kibar tertiup angin. Nathan juga syok tapi yakin dirinya tidak sedang berhalusinasi ketika melihat seorang gadis yang memanjat rangka baja seperti orang yang sedang ketakutan dan itu adalah Tiva.
Semakin kesini Nathan semakin sadar jika dirinya benar-benar sedang sendiri. Saat orang-orang yang ia percaya pun tidak bisa berbuat banyak sepertinya jalan terbaik tetap menyelesaikannya sendiri, dengan caranya sendiri!Natha sedang tidak bisa memberikan kepercayaannya pada siapapun. Walaupun drinya punya Jane dan Erik tapi nyatanya mereka juga memiliki batas kemampuan. Nathan hanya tidak mau menyalahkan mereka sementara dirinya masih belum mau menyerah, dia masih mau berjuang untuk Tiva dan memiliki harapan walaupun mungkin yang lain sebenarnya sudah diam-diam berharap agar dirinya segera sadar jika harus segera melanjutkan hidup dan melupakannya.Ketika Jane hanya diam seperti kemarin Nathan tahu jika dia hanya tidak sanggup mengatakannya, bukannya berarti Jane tidak tahu sama sekali bakal seperti apa semua ini berakhir. Kadang Natha
Nathan ingat jika mereka bisa mati bersama jika sampai dirinya berbuat kesalahan sedikit saja. Nathan sudah berhasil membuat sensor pesawat mereka dapat melihat perisai digitalnya. Sebenarnya cuma seperti benteng transparan tapi sekarang mereka bisa melihat percikan aliran energi kebiruan yang melingkupinya seperti kerangka yang kokoh."Apa kau yakin?" Jack bertanya sekali lagi sebelum membawa pesawat mereka untuk menerobosnya.Benda itu bisa meledak seketika jika sampai terbentur perisai digital yang masih aktif menganggapnya benda asing. Tak heran selama ini banyak kapal dan pesawat yang tiba-tiba menghilang di area tersebut tanpa pernah ditemukan lagi. Padahal kemungkinan mereka tidak sengaja menabrak perisai digital dan lenyap karena hancur.Jack sudah pernah ikut dibawa masuk bers
Siang dan malam terus berlalu merentangkan waktu yang semakin panjang untuk terus dijalani tanpa kepastian. Tak perduli harus berapa lama lagi Nathan tetap tidak ingin menyerah dan akan melakukan apapun untuk kembali bisa memeluknya, kembali mendengarkan suaranya saat menggerutu atau menggoda. Kadang ketika malam semakin larut dan sunyi ia seperti bisa mendengarkan suaranya sedang berbisik seperti dulu. Namun ketika Nathan sadar dan meraba tempat tidur di sebelahnya yang masih saja kosong dan dingin seketika pula kesepian itu kembali menusuk dadanya hingga nyerinya mampu meleburkan serpihan peluru yang bersemayam di dadanya berulang kali.Kali ini Nathan sedang berada di tengah kota Hongkong yang padat tak bercelah, bahkan sampai bagian sisi bangunan tidak terkena sinar matahari sama sekali hinga gang sempitnya terlihat suram. Langkah kakinya sendiri terdengar memantul dari celah d
Sampai kapanpun Nathan memang tidak akan bisa melepas tangung jawab terhadap adik-adiknya. Karena melihat Erica seperti ini saja rasanya dia sudah tidak tahan untuk bisa kembali memeluknya dan memberitahunya jika ia baik-baik saja. Erica sudah sangat menderita karena terus jadi bahan pembicaraan sejak pernikahannya yang gagal dan sekarang kembali disepelekan karena pria pilihan hidupnya. Dan saat gadis seperti Erica dianggap remeh rasanya Nathan yang paling tidak terima.Erica adalah wanita yang tangguh dan cerdas pasti dia juga punya alasan ketika memilih siapa yang layak untuknya. Dan Nathan juga bisa menilai seperti apa pria yang tulus mencintai adik perempuannya dengan tanggung jawab, bukan hanya karena sekedar cinta atau harta. Sebagai seorang kakak laki-laki Nathan memang tidak akan pernah bisa mengabaikan tanggung jawabnya apalagi terhadap kedua adik perempuan. Selain itu ay
3 TAHUN KEMUDIAN. Tiga tahun berlalu Nathan masih berdiri sendiri di puncak tebing tertinggi menyaksikan bumi yang nampak terbentang luas di hadapannya tapi dirinya tetap hanya seorang diri. Melewat siang dan malam sendirian bukan sesuatu yang sedang mudah untuk dijalani, kadang dia juga lelah dan bosan. Nathan sudah terlalu rindu dan masih tidak tahu di mana ujung penantiannya akan berujung, karena setelah tiga tahun berlalu nyatanya tetap tidak ada yang berubah sama sekali. Gadisnya belum juga kembali, tidak ada tangan yang bisa dia genggam, dan tidak ada tubuh yang bisa ia peluk. Rindu dan kesepian bisa jadi lebih menyakitkan dari ujung pisau yang menikam jantung. Jika teringat dengan semua janji dan rencana mereka, rasanya Nathan juga tidak akan bakal sanggup untuk sedetik saja membayangkan senyum Tiva tanpa segera diterjang rasa bersalah dan dosa. Nathan mendapati rintik hujan yang jatuh di telapak tangannya ketika gumpalan awan gelap mulai merangkak mem