Walaupun mereka sudah bercinta berulang kali sepanjang malam tapi pipi Erica masih saja merona tiap kali melihat Tara yang bisa sangat tidak senonoh langsung keluar dari kamar mandi begitu saja tanpa memakai apa-apa.
"Tara aku sudah berpakaian rapi dan harus segera berangkat bekerja kau mau apa? " Erica langsung waspada bergitu pria itu berjalan mendekatinya.
"Sebentar saja, ayolah.... "
Tara tetap mendekati Erica yang sedang duduk di ujung ranjang sambil memakai kaus kaki."Aku datang jauh-jauh kemari dan kau akan meninggalkanku untuk bekerja seharian."
"Aku akan pulang cepat."
Erica mendongak dan tepat di situ Tara sudah begitu mencuat menginginkannya. Walaupun mereka sudah s
Walaupun sudah tiba sejak kemarin, baru malam ini Tara berkunjung ke rumah mertuanya. Mereka sedang makan malam dan Erica membahas kondisi kehamilan Jemy yang berkembang pesat. Terakhir Adam mengabarkan jika Jemy sudah mulai kerepotan untuk duduk dengan perut besarnya, tapi Jemy tetap bersikeras untuk tinggal di pulau sampai bulan depan walaupun Erica sudah memperingatkan agar mereka segera pulang. Kadang Jemy memang keras kepala dan mereka semua paham dengan sifatnya yang satu itu.Sejauh ini Jemy juga belum mengetahui perihal pernikahan Erica dengan Tara, karena Adam bisa sangat keras jika menyangkut apa-apa yang berpotensi mengganggu kehamilan istrinya. Tidak ada yang boleh memberi berita macam-macam kepada Jemy, bahkan saat Erica harus masuk kedalam buih pun Jemy tidak boleh diberi tahu. Jemy juga belum Tahu jika Mina sudah tiada. Karen itu sepertinya nanti akan ada begitu banyak PR
Sama sekali bukan kemauan Tara untuk selalu berjauhan seperti ini dan meninggalkan wanitanya sendirian. Tara masih membelai pipi Erica dengan netra birunya yang nanar karena tidak mau berpisah. Sehebat apapun dirinya, Erica merasa bisa jadi tidak kalah rewel dari anak-anak jika dalam kondisi seperti ini. Erica juga bisa takut, takut akan banyak hal.Sungguh Tara juga ingin membawa wanita itu bersamanya andai bisa."Maafkan aku karena seharusnya aku membuatmu bahagia, bukannya malah sedih seperti ini." Tara memeluk Erica sekali lagi. "Aku akan segera pulang untukmu."Erica cuma mengangguk dan rasanya sangat menyakitkan bagi Tara apalagi dia juga masih tidak tahu harus berapa kali lagi seperti ini. Tara tidak ingin terlalu banyak berjanji, dia hanya ingin segara layak untuk bisa me
Semua tamu undangan sudah berkumpul di sebuah ballroom mewah lengkap dengan layar super lebar di samping meja podium tempat kali ini Erica sedang berdiri untuk memberikan sambutan dan ucapan terima kasih kepada para undangan yang mau hadir di acara amalnya. Semua yang hadir malam itu adalah masyarakat kalangan kelas atas, mulai dari pengusaha, politikus dan pejabat.Erica terlihat sangat cantik dengan gaun biru metalik berleher V. Cantik dengan kombinasi yang menyenangkan karena kepandaiannya komunikasinya untuk berinteraksi dengan para donatur yang hadir di acara tersebut. Setelah dia menjelaskan beberapa rencana pembangunan rumah sakit dan pengembangan yayasan mereka, Erica juga mempersilahkan para donatur untuk bertanya dan memberikan masukan untuk semua program mereka yang barusan sudah Erica presentasikan di depan layar lebar.Dari tadi sebenarnya Nicola tidak bisa fokus pada projek yang sedang dijabarkan oleh Erica karena dia cuma fokus pada Erica yan
Erica kembali di kejutkan oleh suara ponselnya yang tiba-tiba berdering. Buru-buru dia mencari benda itu ke dalam tasnya yang ada di atas nakas dan ternyata telepon dari Tara. Walau masih belum siap dan takut untuk sekedar bicara di telepon tapi Erica tetap harus mengangkat panggilannya."Akhirnya kau angkat juga teleponmu." Sepertinya Tara agak kesal."Maaf,aku baru bangun," jujur Erica yang memang belum menemukan ide apapun untuk berbohong. Erica hanya bersyukur karena cuma panggilan suara bukan panggilan video."Apa kau sakit?" Tara langsung terdengar khawatir."Tidak aku hanya lelah.""Aku meneleponmu sejak semalam.""Sepertinya aku langsung tertidur setelah dari acara amal.""Jangan lupa jaga kesehatanmu, akhir bulan ini aku baru bisa pulang."Seharusnya Erica senang mendengar suaminya akan pulang tapi entah kenapa sepertinya dia malah takut seperti ini."Aku merindukanmu," tanbah Tara, "sangat merinduka
Erica masih belum bisa ikut pulang bersama Tara karena minggu ini Adam dan Jemy akan datang."Sebenarnya aku juga ingin bertemu Jemy tapi aku takut Adam masih tidak suka melihatku.""Dia memang agak berlebihan, kudoakan semoga nanti anak mereka jadi mirip denganmu biar Adam tambah kesal.""Semoga persalinannya lancar, sampaikan saja salamku untuknya.""Pasti." Erika memeluk Tara sebentar sebelum membiarkan pria itu masuk ke pintu keberangkatan dan kembali melambai dengan berat karena tidak rela untuk berpisah.Erica juga masih belum tahu sampai kapan mereka harus terus berpisah seperti ini. Kadang dia juga takut, takut dengan banyak hal yang bisa membuat pria itu tidak akan kembali p
Setelah hampir dua minggu mendapat pengawasan intensif, akhirnya Jemy dinyatakan siap untuk menjalani persalinan sang cara cesar, karena memang terlalu beresiko untuk persalinan normal. Semua keluarga menunggu cemas sementara Adam menemani istrinya di dalam ruangan operasi.Erica yang sudah biasa menghadapi situasi seperti ini pun ternyata juga gelisah ketika adik perempuannya sendiri yang sedang berada di ruang operasi. Untungnya persalinan tersebut berjalan lancar dan ketiga bayi serta ibunya dinyatakan baik-baik saja.Erica langsung ikut menangis memeluk ibunya karena sama-sama luar biasa terharu dengan tiga anggota baru keluarga mereka. Ketiga anak laki-laki yang pasti juga akan bisa menjadi obat bagi mereka semua atas kepergian Nathan."Akan ada anak laki-laki lagi di keluarga kita."Ibu Adam juga tidak kalah antusias setelah selama ini hanya memiliki Adam seorang dan tiba-tiba mendapatkan hadiah tiga orang cucu sekaligus.Sementara Jemy masih
Tara kembali mendayung papan selancarnya untuk meluncur menghadang gelombang. Setiap kali hanya itu yang bisa dia lakukan ketika sangat menginginkan wanitanya tapi sedang tidak tahu lagi harus berbuat apa karena nyatanya jarak tetap akan menjadi kesenjangan yang paling nyata untuk dia hadapi setiap hari dan setiap malam. Semakin hari semakin berat dan Tara sendiri tidak tahu sampai kapan akan tahan seperti ini. Selalu berjauhan dari wanita yang dicintainya.Tara meluncur lebih cepat untuk mengejar gulungan ombak yang lebih tinggi. Suara desingan angin dan permukaan air yang bergesekan keras dengan papan selancarnya ikut memacu andrenalin Tara untuk terus meluncur lebih cepat, tanpa henti, dan tanpa lelah. Mungkin Tara memang hanya ingin membuang sebanyak mungkin energinya yang sudah nyaris meledak karena sudah terlalu merindukan wanitanya tapi tiap kali yang bisa dia lakukan hanyal
Tara melihat ada kerumunan di depan warung kopi tempat biasanya dia duduk menunggu kapal motor. Dia langsung menghampiri kerumunan tersebut dan alangkah terkejutnya Tara ketika melihat Erica sedang di kelilingi anak-anak dan ibu-ibu yang keheranan karena tidak pernah melihat orang asing berada di dermaga. Erica memang terlihat mencolok dengan rambut pirang alami dan manik mata biru seperti laut dalam, persis seperti boneka yang cantik, sangat cantik meski sedang mengunakan sendal jepit yang Tara tahu dipinjam dari ibunya. Ketika Tara menyeruak kedalam kerumunan Erica terlihat masih berjongkok untuk memberikan penjepit rambut pada anak perempuan kecil berambut kemerahan yang tadi memuji kecantikan jepit rambutnya. "Bagaimana kau bisa sampai kemari?" "Aku mencarimu." Erica langsung bangkit berdiri.
"Bang Nathan!" Nathan langsung berpaling karena selama ini hanya Tiva yang memangilnya seperti itu, bahkan Jemy dan Erica tidak pernah memangilnya demikian. Erica lebih sering langsung memanggil namanya karena usia mereka tidak terpaut jauh. Sedangkan Jemy hanya akan memanggilnya kakak jika sedang ada maunya. Tiva baru bangun dan sedang berdiri di ambang pintu Nathan mengerutkan dahi menilai keseriusan Tiva sebelum kemudian berjalan mendekatinya. "Coba panggil aku sekali lagi?" Tiva pura-pura menggeleng untuk menggoda pria yang sedang penasaran. Setelah hampir satu tahun mengajak Tiva pergi ke berbagai tempat untuk mengumpulkan kembali semua ingatannya, perlahan sedikit demi sediki Tiva mulai mengingat beberapa tempat yang pernah mereka datangi dulu, tapi memang belum pernah Tiva memanggilnya seperti tadi. "Sepertinya aku hamil." Tiva menyentuh perutnya. "Hamil anakmu lagi, Bang." "Oh," hanya itu yang bisa Nathan ucapkan dengan takjub karena itu juga berarti banyak hal,'Tiva m
Nathan baru bangun dan mendapati Tiva sudah tidak ada di sampingnya. Nathan langsung panik dan menghubungi Jane."Jane, Tiva hilang!""Memang apa saja yang kau lakukan!" marah Jane tapi sepertinya Nathan sudah tidak mendengarkan karena sudah ikut kabur dan menutup teleponnya lebih dulu.Jane langsung menyuruh orang untuk mencari di sekitar komplek pangkalan militer, karena penjagaan di pangkalan militer cukup ketat mustahil ada yang bisa keluar masuk tanpa ijin. Lagi pula juga tidak ada yang cukup gila untuk keluar dari benteng sebab mereka jauh dari manapun. Manusia akan mati setelah beberapa mil hanya ada hamparan salju dan beruang kutub. Kecuali untuk manusia seperti Tiva, yang bahkan tidak paham dirinya sedang berada di mana. Pangkalan militer jauh dari manapun dan cuma dikelilingi
"Katakan saja jika kau mau sesuatu.""Aku mau mandi."Sebenarnya Nathan juga agak terkejut tapi sepertinya Tiva memang serius ingin mandi. Cuma masalahnya dia tidak minta ditemani lagi. Lagi pula kenapa Nathan bisa punya pikiran kotor seperti itu padahal dia tahu Tiva baru bangun setelah tidur panjang selama tiga tahun. Wajar jika Tiva butuh waktu untuk 'recovery'.Sepertinya Nathan memang harus segera membawa Tiva untuk diperiksa karena mustahil jika ia harus terus menahan diri seperti ini. Bayangkan saja setelah kerinduannya bertahun-tahun sebagai seorang pria, sekarang dia malah harus duduk seperti orang bodoh sementara ia tahu Tiva sedang menguyur tubuhnya di bilik shower. Rasanya sampai hanya tersisa sedikit sekali kewarasannya untuk tidak menyusul gadis itu segera.
Nathan segera kembali berlari keluar, sepertinya memang sedang terjadi kebakaran di lantai dasar. Walau apinya sudah bisa dipadamkan tapi asapnya masih membuat lorong-lorong penuh asap dan kekacauan belum berakhir. Beberapa tentara yang sedang di rawat harus di keluarkan dari ruang perawatannya yang juga sedang berasap. Di luar salju masih membeku Nathan berlari pada sumber kekacauan yang lain di mana beberapa prajurit sedang meneriaki seseorang dengan alat pengeras suara. Tepatnya di puncak sebuah tower berangka baja setinggi hampir empat puluh kaki Nathan melihatnya sedang memanjat, masih dengan pakaian biru pasien yang ikut berkibar-kibar tertiup angin. Nathan juga syok tapi yakin dirinya tidak sedang berhalusinasi ketika melihat seorang gadis yang memanjat rangka baja seperti orang yang sedang ketakutan dan itu adalah Tiva.
Semakin kesini Nathan semakin sadar jika dirinya benar-benar sedang sendiri. Saat orang-orang yang ia percaya pun tidak bisa berbuat banyak sepertinya jalan terbaik tetap menyelesaikannya sendiri, dengan caranya sendiri!Natha sedang tidak bisa memberikan kepercayaannya pada siapapun. Walaupun drinya punya Jane dan Erik tapi nyatanya mereka juga memiliki batas kemampuan. Nathan hanya tidak mau menyalahkan mereka sementara dirinya masih belum mau menyerah, dia masih mau berjuang untuk Tiva dan memiliki harapan walaupun mungkin yang lain sebenarnya sudah diam-diam berharap agar dirinya segera sadar jika harus segera melanjutkan hidup dan melupakannya.Ketika Jane hanya diam seperti kemarin Nathan tahu jika dia hanya tidak sanggup mengatakannya, bukannya berarti Jane tidak tahu sama sekali bakal seperti apa semua ini berakhir. Kadang Natha
Nathan ingat jika mereka bisa mati bersama jika sampai dirinya berbuat kesalahan sedikit saja. Nathan sudah berhasil membuat sensor pesawat mereka dapat melihat perisai digitalnya. Sebenarnya cuma seperti benteng transparan tapi sekarang mereka bisa melihat percikan aliran energi kebiruan yang melingkupinya seperti kerangka yang kokoh."Apa kau yakin?" Jack bertanya sekali lagi sebelum membawa pesawat mereka untuk menerobosnya.Benda itu bisa meledak seketika jika sampai terbentur perisai digital yang masih aktif menganggapnya benda asing. Tak heran selama ini banyak kapal dan pesawat yang tiba-tiba menghilang di area tersebut tanpa pernah ditemukan lagi. Padahal kemungkinan mereka tidak sengaja menabrak perisai digital dan lenyap karena hancur.Jack sudah pernah ikut dibawa masuk bers
Siang dan malam terus berlalu merentangkan waktu yang semakin panjang untuk terus dijalani tanpa kepastian. Tak perduli harus berapa lama lagi Nathan tetap tidak ingin menyerah dan akan melakukan apapun untuk kembali bisa memeluknya, kembali mendengarkan suaranya saat menggerutu atau menggoda. Kadang ketika malam semakin larut dan sunyi ia seperti bisa mendengarkan suaranya sedang berbisik seperti dulu. Namun ketika Nathan sadar dan meraba tempat tidur di sebelahnya yang masih saja kosong dan dingin seketika pula kesepian itu kembali menusuk dadanya hingga nyerinya mampu meleburkan serpihan peluru yang bersemayam di dadanya berulang kali.Kali ini Nathan sedang berada di tengah kota Hongkong yang padat tak bercelah, bahkan sampai bagian sisi bangunan tidak terkena sinar matahari sama sekali hinga gang sempitnya terlihat suram. Langkah kakinya sendiri terdengar memantul dari celah d
Sampai kapanpun Nathan memang tidak akan bisa melepas tangung jawab terhadap adik-adiknya. Karena melihat Erica seperti ini saja rasanya dia sudah tidak tahan untuk bisa kembali memeluknya dan memberitahunya jika ia baik-baik saja. Erica sudah sangat menderita karena terus jadi bahan pembicaraan sejak pernikahannya yang gagal dan sekarang kembali disepelekan karena pria pilihan hidupnya. Dan saat gadis seperti Erica dianggap remeh rasanya Nathan yang paling tidak terima.Erica adalah wanita yang tangguh dan cerdas pasti dia juga punya alasan ketika memilih siapa yang layak untuknya. Dan Nathan juga bisa menilai seperti apa pria yang tulus mencintai adik perempuannya dengan tanggung jawab, bukan hanya karena sekedar cinta atau harta. Sebagai seorang kakak laki-laki Nathan memang tidak akan pernah bisa mengabaikan tanggung jawabnya apalagi terhadap kedua adik perempuan. Selain itu ay
3 TAHUN KEMUDIAN. Tiga tahun berlalu Nathan masih berdiri sendiri di puncak tebing tertinggi menyaksikan bumi yang nampak terbentang luas di hadapannya tapi dirinya tetap hanya seorang diri. Melewat siang dan malam sendirian bukan sesuatu yang sedang mudah untuk dijalani, kadang dia juga lelah dan bosan. Nathan sudah terlalu rindu dan masih tidak tahu di mana ujung penantiannya akan berujung, karena setelah tiga tahun berlalu nyatanya tetap tidak ada yang berubah sama sekali. Gadisnya belum juga kembali, tidak ada tangan yang bisa dia genggam, dan tidak ada tubuh yang bisa ia peluk. Rindu dan kesepian bisa jadi lebih menyakitkan dari ujung pisau yang menikam jantung. Jika teringat dengan semua janji dan rencana mereka, rasanya Nathan juga tidak akan bakal sanggup untuk sedetik saja membayangkan senyum Tiva tanpa segera diterjang rasa bersalah dan dosa. Nathan mendapati rintik hujan yang jatuh di telapak tangannya ketika gumpalan awan gelap mulai merangkak mem