"Saya dan Abrina berselisih paham dan sampai detik ini anak itu membenci saya," terang Haris jujur."Oh."Hanya itu yang keluar dari mulut Gibran. Tidak sopan baginya jika harus bertanya lebih. Sedangkan Livia yang tahu alasannya memilih untuk menyimak saja. Tentu dia tahu penyebab putusnya hubungan antara ayah dan anak itu adalah masuknya sang kakak ke dalam kehidupan Haris."Tapi, Pak Haris, kalo saya perkenalkan Abrina pada teman produser saya ini bagaimana?" izin Gibran kemudian."Tentu saya senang karena karir menyanyi Abrina akan ada kemajuan, tapi balik lagi. Semua keputusan ada di tangan dia," balas Haris terdengar jujur."Intinya Pak Haris setuju kan?""Iya."Bibir Gibran tersenyum tipis. Entah mengapa dia merasa bahagia. Seolah baru saja mendapatkan lampu hijau dari calon mertua.Waktu pun beranjak kian sore. Gibran berpamitan pada Haris. Pemuda itu meningalkan kantor Haris dengan perasaan berbunga. Langkahnya diringi Livia hingga masuk mobil.Sementara itu Haris bergegas me
"Assalamualaikum!" Suara lembut Livia terdengar. Gadis itu baru saja pulang dari kantor. Di sampingnya berjalan si Leon yang masih mengenakan seragam SMA. "Sore, Mas Haris," sapa Livia sambil meringiskan bibir. Sedangkan Leon hanya menganggukkan kepalanya dengan sopan sebagai tanda sopan. Sayangnya Haris tidak merespon salam hangat kedua adik iparnya. Hatinya masih cukup mangkel menghadapi kenyataan hidup yang sedang dihadapi. Wajahnya yang terlihat dingin membuat Livia dan Leon menjadi sedikit segan. Kedua kakak adik itu sadar jika Haris sedang bermasalah dengan Lusi. Livia sendiri juga langsung ingat jika Haris tengah mengalami masalah serius di perusahaan. Karena itulah gadis itu memilih untuk menggandeng Leon menjauh dari tempat itu. "Tunggu!"Livia dan Leon segera menghentikan langkahnya begitu mendengar harus mencegah. Keduanya sama-sama berpaling ke arah kakak iparnya itu. "Leon sini!" Haris melambai. Leon menghela napas. Entah mengapa dia merasa ada sesuatu hal buruk ya
"Mas, ingat aku istri kamu. Ibu dari putra kesayangan kamu," sahut Lusi berusaha meluluhkan hati sang suami. "Mulai detik ini kamu bukan istriku lagi, Lusi," putus Haris dengan lantang, "detik ini juga aku ceraikan kamu!"Tubuh Lusi membeku mendengar kata yang terlontar dari mulutnya Haris. " Mas, tolong jangan main-main dengan kata cerai," mohonnya sambil kembali memasang wajah nelangsa. Dia bahkan sengaja mengucek matanya agar terasa perih, lalu mengeluarkan air mata. "Aku nggak main-main, Lusi, detik ini kamu sudah bukan istri aku lagi. Leon dan Livia adalah saksinya.""Mas--""Pergi dari sini dan bawa semua barang-barang kamu jangan sampai ada yang ketinggalan!" usir Haris tidak terbantahkan. Lusi mengusap sudut matanya yang sedikit basah itu. "Oke, aku akan pergi dari rumah ini, tapi Al ikut dengan aku," ancamnya tegas. "Berani kamu membawa Al dari rumah ini, maka siap-siap kamu gak akan bisa melihat hari esok." Haris balas mengancam. "Mas Haris, kamu memang boleh punya uan
"Aduh, Livia! Tolong jangan membuat kepala saya menjadi tambah pusing," omel Haris sedikit menggertak. "Kami sudah memesan taksi online tapi belum datang-datang juga," tambah Livia kian meyakinkan. "Pak, Adek Al tetap gak mau minum susu."Laporan dari suster Eva benar-benar membuat Haris menjadi pusing tujuh keliling. "Lusiii!" Akhirnya dia meneriakkan nama tersebut. Di dalam kamar Lusi bersorak senang mendengar namanya dipanggil oleh Haris. Namun dia membuat taktik dirinya tidak segera keluar. Wanita itu terus berpura-pura mengemasi barangnya. Dia baru Menoreh kala pintu ketika mendengar Haris menggelegar. "Ada apa?" tanya Lusi dengan santainya. "Cepat susui Alsaki!" titah Haris tajam. Bibir Lusi mencibir. "Aku belum pergi lho dari rumah ini, tapi kamu sudah lebih dulu membutuhkan aku.""Gak usah banyak bicara!" sergah Haris dingin, "malam ini aku izinkan kamu dan adik-adikmu menginap di sini, tapi besok pagi kalian harus segera angkat kaki dari sini."Setelah berkata demikian
Lusi memacu mobilnya dengan kecepatan yang lumayan kencang. Wanita itu menembus pekatnya malam. Jalanan yang cukup sepi memudahkannya untuk mengebut.Alamat Arman adalah tujuannya. Tentu siapa lagi yang bisa melindungi dirinya selain laki-laki itu menurut Lusi. Karena itulah dia sudah membulatkan hati untuk menyerahkan masa depannya bersama patner in crime-nya tersebut.Seharusnya butuh waktu sekitar enam puluh menit jika jalanan sedang padat. Namun, berkat kecepatan mobilnya yang lumayan tinggi Lusi sudah tiba di kediaman Arman setelah empat puluh menit berkendara.Lusi membunyikan klakson mobil. Dia berharap Arman segera keluar rumah untuk membukakan pintu pagar. Sayang sampai klakson yang kelima tidak ada tanda-tanda Arman menampakkan batang hidungnya."Hufff!" Lusi mendengkus kesal, "pasti dia sedang ngelayap."Lusi segera melepas sabuk pengamannya. Wanita itu turun dari sedan berwarna hitam metalik tersebut. Kakinya mengarah ke pintu pagar. Saat ia arahkan pandangannya pada halam
"Kenapa aku harus menyerahkan diri ke polisi?" balas Arman dengan seringai sinis, "aku gak ada masalah dengan Haris jadi hidupku fine-fine aja," jelasnya dengan percaya diri."Saya gak ada masalah dengan Haris." Lusi mengulangi perkataan Arman dengan nada sinis, "Mas Haris bahkan sudah tahu tiap bulan kamu dapat aliran dari aku, itu kamu bilang nggak ada sangkut pautnya dengan dia?""Ck!" Arman hanya bisa berdecak."Inget juga kalo Mas Haris pernah mendapatkan foto-foto mesra kita pas belanja di super market," kata Lusi lagi, "belum lagi data tentang seberapa seiringnya aku check in di Sky hotel. Dan yang paling membuat aku gak bisa berkutik, Mas Haris mulai sadar kalau kita bekerja sama membuat fitnah untuk mendapat Miranti dari rumahnya.""Argghhh!" Arman meluapkan kekesalannya sang dengan meninju tembok rumah."Udah nggak usah banyak berpikir, Man, kita harus cepat meninggalkan rumah ini sebelum Polisi datang menjemput kita." Lagi-lagi Lusi mengingatkan."Gak semudah itu, Lusi.""A
Malam telah berganti pagi. Perlahan gelapnya malam berangsur terang. Kini bahkan di ufuk timur mentari mulai mengintip di balik bukit. Arman masih mengendarai mobil. Pria itu melirik ke samping tampak Lusi yang tengah tertidur. Dia mendengkus pelan. Sebenarnya Arman sudah cukup lelah. Namun, dia belum menemukan tempat yang pas untuk beristirahat. Dirinya juga harus berhati-hati memilih tempat. Arman tidak mau ada yang sampai mengenalinya kendati sekarang sudah jauh ke luar dari kota Jakarta. Akhirnya setelah berjam-jam Arman menemukan tempat untuk berehat. Di sebuah kedai makan pria itu menepikan mobil. "Bangun!" Arman cukup keras menonyor kepala Lusi. Hal tersebut membuat kepala Lusi sedikit terantuk sehingga mengenai kaca jendela mobil. Otomatis Lusi terbangun karenanya. Entah ke mana perginya rasa cinta yang pernah singgah di hati pria itu pada Lusi. Sehingga dengan entengnya Arman melakukan hal tersebut. Arman sendiri memang mulai ilfil bahkan muak sama Lusi ketika merasa di
"Ada nih." Arman menyahut dengan wajah yang semringah. Pria itu segera memasang kartu tersebut ke ponselnya sendiri. Lusi sendiri cukup senang melihat muka Arman cerah. Karena itu tandanya mood Arman sedang baik. "Punya kamu mana?" tanya Arman kemudian. "Ada tuh di dalam tas," sahut Lusi sambil fokus mengemudi. Arman meraih tas Lusi yang ada di jok belakang. Dia pun segera memasang kartu SIM yang satunya ke ponsel tersebut. Dirinya merasa beruntung ada perdana yang sudah aktif. Sehingga tidak lagi repot-repot registrasi. Karena saat ini baik Arman maupun Lusi tentu tidak membawa Kartu KK sebagai salah satu syarat resgistrasi nomor. Akhirnya setelah dipasang kartu perdana yang ada quota internetnya, Arman bisa searching hotel-hotel terdekat. Seperti biasa dirinya memilih beristirahat di hotel bintang tiga. Selain untuk berhemat dan memang tidak ada juga hotel bintang lima di kawasan tersebut. Arman memesan satu kamar untuk berdua. Tiba di kamar dia dan Lusi langsung menjatuhkan b
Di lain pihak, jenazah Arman dikebumikan. Livia yang mengurusi administrasinya. Itu semua atas permintaan Lusi. Pada saat pemakaman Lusi diizinkan oleh petugas untuk menghadiri. Dengan menaiki kursi roda perempuan itu menangis di depan makam Arman yang merah. Pada acara pemakaman tersebut Abrina turut hadir bersama Gibran. Meski Arman adalah seorang penjahat, tapi pria itu pernah berjasa saat mengobati Miranti dengan fisioterapinya. Hanya saja Miranti tidak hadir dalam acara tersebut. Meski keadaan perempuan itu dan Gavin sudah membaik, tapi Abrina melarangnya untuk menghadiri acara tersebut. Menurut Abrina, sang ibu lebih cocok untuk menjaga ayahnya saja. Sedangkan Gavin juga masih lemah. Pemuda itu memilih beristirahat di rumah. "Abrina!" Abrina dan Gibran yang akan pergi meninggalkan makam Arman menghentikan langkah saat namanya dipanggil. Dia menoleh ke belakang. Tampak Lusi menatapnya dengan sayu. Dirinya pun bergerak mendekati perempuan yang dulu sangat ia benci itu. "Ada
"Dia siapa, Mbak?" cecar Abrina penasaran. Tentunya dia tidak berharap jika orang yang dimaksud Livia adalah sang ayah. "Bukan papah aku kan yang gak selamat?" kejarnya penasaran. Livia hanya menarik napas dalam-dalam. "Jawab dong, Mbak Livia!" suruh Abrina merasa gregetan. "Vi, kalau cerita tolong jangan setengah-setengah dong," timpal Gibran ikutan gemas. Livia menatap Gibran dengan sendu. "Bukan Mas Haris yang gak selamat," tuturnya pelan. Tangannya mengusap matanya yang tampak mulai basah. "Maksud kamu orang itu Arman?" tebak Gibran langsung. Livia mengangguk pelan. "Syukur lah." Abrina menghela napas dengan lega. "Jadi Arman meninggal?" tanya Gibran meyakinkan. Lagi, Livia hanya mengangguk. "Kenapa kamu keliatan sedih begitu?" tanya Gibran merasa aneh, "dia orang jahat lho, Vi," tambahnya mengingatkan. "Arman gak punya keluarga, Bran," jawab Livia pelan. Di luar jam kerja dia memang selalu memanggil Gibran tanpa embel-embel Bapak. "Siapa yang akan mengurusi jenazahnya?
"Masih ada meski sudah lemah," ujar petugas tersebut pada Geri. Di tempatnya Gavin menghembuskan napas panjang. Pemuda itu benar-benar merasa lega telah lolos dari maut. Kini tiba-tiba dia merasa rasa lelah yang teramat. Maklum saja Gavin harus menghadapi Arman yang juga pintar ilmu bela diri. Pemuda itu merebahkan badannya di lantai berdebu tersebut. Dia ingin istirahat. Namun, terdengar bunyi sirine. Tidak lama datang beberapa orang berpakaian serba putih. Mereka membawa dua buah brankar. Orang yang pertama diangkat ke dalam brankar adalah Haris. "Aku ikut."Miranti bersikeras menemani mantan suaminya di dalam ambulans. Karena terus memaksa, petugas medis pun mengizinkan. Petugas yang lain mengangkat tubuh Arman juga. Pria itu dimasukkan ke dalam mobil ambulans yang kedua. Dan yang menjaga dia adalah petugas polisi. "Gavin, kamu ikut saya," ajak Geri melihat Gavin yang masih terbengong."Terus mobil aku bagaimana?" tanya Gavin lemah. Sungguh dia benar-benar lelah. "Tenang saj
DORRR! Miranti dan Gavin yang sedang berlari sontak berhenti. Keduanya langsung berpaling ke belakang. Tampak Haris tengah meringis sembari memegang dada atas sebelah kirinya. "Mas Haris!" pekik Miranti cukup histeris melihat baju mantan suaminya yang sudah bersimbah darah. Wanita itu bergegas berlari. Dia menyongsong tubuh Haris yang akan roboh. Sehingga badan Haris justru jatuh ke dalam pelukan Miranti. "Mas Haris, bertahanlah," pinta Miranti begitu membaringkan tubuh Haris di tanah. "Kamu harus kuat, Mas," lanjutnya dengan berurai air mata. Di lain pihak Arman terpaku melihat hasil perbuatannya. Meski dia orang jahat, tapi baru kali ini dirinya menyakiti orang. Dan sejujurnya Arman berubah jadi orang jahat setelah dijebloskan Lusi ke penjara. Kebengongan Arman tidak disia-siakan oleh Gavin. Diam-diam pemuda itu bergerak mendekat. Tanpa banyak bicara dia segera menendang Arman dari belakang. Mendapat serangan mendadak Arman tentunya terkejut. Apalagi Gavin menendangnya dengan
"Mas Haris yakin akan menyerahkan semuanya pada Arman?" tanya Livia dengan wajah tidak percaya."Semua ini tidak ada artinya kalo Miranti kenapa-napa," sahut Haris datar. Di tempatnya Abrina dibuat bingung dengan jawaban sang ayah."Tapi kami susah payah membawanya dari Jogja, Mas. Belum lagi anak buah Mas Geri juga berjuang banget buat gak ngambil pundi-pundi Arman yang ada di motel.""Livia, semua uang dan emas ini adalah milik saya. Jadi saya bebas akan melakukan apa saja, yang penting Miranti selamat," tegas Haris serius."Sebenarnya apa yang terjadi dengan Mamah, Pah?" tanya Abrina sudah sangat penasaran.Haris menatap putrinya dengan sendu. "Mamah kamu diculik oleh Arman.""Apahhh?" Abrina tersentak seketika."Tapi kamu gak perlu khawatir, papah akan segera menolong mamah kamu," janji Haris dari hatinya.Ketika akan melanjutkan pembicaraan, ponsel Haris berbunyi. Semua orang tampak tegang terutama Haris. Hal tersebut membuat Abrina bingung.Namun, kebingungannya segera terjawab
"Seminggu yang lalu, Gibran request suruh aku buatin baju buat kamu," ujar Tante Mona sambil melangkah menuju koleksi baju-bajunya. "Karena designnya simple dan yang ngerjain karyawan spesial makanya udah jadi dua," tuturnya seraya menunjuk dua dress yang tengah dipakai oleh manekin.Abrina sendiri cukup terkesima melihatnya. Dua buah dress yang sama-sama lucu dan manis. Satu berwarna salem dengan model one shoulder. Satunya lagi midi dress berwarna hitam ala korea yang sangat manis."Ya ampun cantik banget," puji Abrina pada minidress tersebut.Dia tidak menyangka jika bajunya sudah jadi. Gadis itu bepikir jika nanti akan dibuat bingung saat harus memilih aneka dress. Kendati begitu Abrina benar-benar bersyukur karena tidak perlu pusing memilih. Sehingga kekhawatiran Gavin tidak pernah akan terjadi."Udah sana kamu coba di fitting room," suruh Tante Mona lembut.Abrina mengangguk manut. Dia yang memang sudah jatuh cinta pada minidress hitam tersebut segera mencobanya. Senyumnya begit
Bell pulang berbunyi. Anak-anak berseru gembira termasuk Abrina. Gadis itu segera berkemas dengan memasukkan alat tulisnya ke dalam tas."Gimana, Nggi, jadi ikut aku temani nyari baju gak?" tanya Abrina begitu memakai tas punggungnya."Aduh sorry, Bi," tolak Anggi langsung menggelengkan kepala. "Aku baru inget kalo ternyata hari ini aku ada jadwal kasih les privat," terangnya seraya melihat jam tangannya, "jadi maaf banget ya aku nggak bisa nemenin kamu," ucapnya serius."Ya udah gak papa," jawab Abrina dengan santai, "aku jalan dulu ya," pamitnya disertai senyuman.Anggini mengangguk. Matanya menatap kepergian sang sahabat. Tampak Gavin buru-buru mengikuti langkah Abrina.Anggini menghela nafas. Gadis itu sudah berdamai dengan hati. Tidak ada kecemburuan melihat kedekatan Gavin dan Abrina. Dirinya juga sadar diri kalau memang Gavin dari dulu tidak pernah menaruh hati padanya.Meski masih susah, tapi Anggini mulai belajar untuk mendukung Gavin mendapatkan hati Abrina. Setelah cukup la
Pria itu kembali memutar otaknya. Merasa buntu dia mengeluarkan rokok dari tas pinggangnya. Sudah habis satu batang Arman belum juga menemukan cara untuk menghabisi Haris."Kayaknya terlalu sulit kalo aku mendekati Haris. Pastinya dia kelilingi anak buahnya atau polisi," ujar Arman membuat analisa.Arman mengelus jenggot palsunya. "Kalo aku gak bisa langsung menghabisi Haris, maka aku akan mengalihkannya pada orang-orang yang dia cintai."Arman mengangguk yakin. "Kalau aku culik putra kesayangannya, sepertinya susah karena pasti dia menyewa bodyguard untuk menjaganya.""Berarti pilihan lainnya adalah putri pertamanya," ujar Arman sembari mengingat wajahnya Abrina, "tapi Lusi bilang kalo gadis itu digilai anak-anaknya Pak Gandi. Terutama yang nomor kedua karena satu kelas."Arman menatap jam tangannya. "Jam segini juga kayaknya dia masih di sekolah."Arman membuang putung rokoknya. Lalu menginjaknya dengan kuat-kuat."Berarti pilihanku jatuh ke Mbak Ranti lagi," putusnya kemudian.Tanp
"Saudara Arman, Anda sudah menjadi DPO selama enam bulan. Jadi sekarang waktunya untuk menyerahkan diri," tutur seorang petugas yang tampak lebih senior dari yang satunya.Tidak hanya Arman yang terkaget dengan keberadaan petugas, kedua kawannya pun mengalami hal yang serupa. Terutama pria yang barusan membeli mobilnya. Karena dia sama sekali tidak tahu jika Arman adalah seorang buronan."Ayo sekarang angkat tangan, Saudara. Dan mendekatlah!" perintah si petugas.Arman memang bergeming. Namun, otak dan tangannya tidak tinggal diam. Pria itu merogoh pistol yang terselip di celananya.Tanpa berpikir panjang menembakkan pelurunya ke arah tangan salah satu petugas. Meski bukan penembak mahir, tapi hasil tembakannya berhasil mengenai tangan petugas. Alhasil senapan di tangan petugas tersebut terjatuh.Arman bergerak cepat. Dia kembali menembakkan pelurunya ke arah lawan. Untung kali ini tembakannya meleset.Petugas dan anak buah Geri secepatnya mencari tempat berlindung. Agar terhindar dar