"Aku takut, Gil," keluh Rara lirih sambil merebahkan kepalanya di dada Gilang. "Sebentar lagi perutku membesar."
Mereka sedang duduk berdua di pantai Ancol. Masalah ini tak bisa dibicarakan di pondokan. Teman-temannya menguping bahaya, terutama ibu kos.
Gilang membelai rambutnya dengan lembut. "Aku juga takut, Ra. Tapi itu tidak cukup untuk menghadapi semua ini."
"Kita tidak mungkin begini terus sampai jabang bayi lahir."
"Kamu ingin kita menikah?"
Rara diam. Siapapun ingin hidup bersama pria yang dicintainya, pria pilihannya. Tapi kalau sebelum masanya?
Mendengar tak ada jawaban, Gilang curiga. Dia mengangkat dagu gadis itu. Ditatapnya lamat-lamat. "Benar apa yang kukatakan, Ra? Kamu ingin kita segera ke penghulu?"
"Aku ingin kamu segera lulus," desah Rara getir. Disingkirkannya lengan Gilang dengan halus. "Kamu harus berhasil mencapai cita-citamu."
"Kamu juga."
"Aku sudah gagal."
Cita-cita Rara sudah k
Perumahan itu cocok untuk mengasingkan diri. Lokasinya di pinggiran kota, jauh dari keramaian, sangat sepi. Yang kurang cocok bangunannya. "Sederhana banget," komentar Gilang sambil mengeluarkan barang-barang Rara dari bagasi mobil. Kemudian membawanya memasuki halaman sempit. "Tidak ada tempat kos yang lebih baik?" "Sederhana banget..." gerutu Rara keki. "Makanya sekali-sekali hidup jadi orang biasa. Jangan diam di istana terus. Aku beli rumah ini empat ratus juta." Gilang kaget. "Beli?" "Kebetulan ada yang lelang. Pemiliknya kembali ke kampung." "Uangnya?" "Aku batal membeli mobil." "Kan sudah indent?" "Aku over ke teman." Rara membuka pintu rumah. Mereka masuk. Barang bawaan diletakkan di ruang tamu. Perabotan rumah kosong. Diangkut pemilik sebelumnya. Rumah ini cukup besar untuk ukuran masyarakat biasa. Di dalamnya ada ruang tamu, ruang tengah, tiga kamar tidur, ruang makan, dapur, dan kamar mandi. U
Kartika mengeringkan rambut dengan hair dryer di depan cermin rias. Suaminya tertidur pulas di pembaringan. Tua bangka itu sangat kelelahan habis bertempur karena ingin membuat sang istri menyerah, padahal Kartika hanya pura-pura terpuaskan demi menyenangkan suami sehingga sudi menulis cek sesuai permintaan. Suaminya semakin jarang pulang. Dia mempunyai simpanan di desa lain. Kebiasaan bejatnya ternyata tidak berhenti sampai kampung ini saja. Dia berkeliling memetik bunga yang baru mekar dan mengimingi dengan kilauan harta. Maka itu setiap kali suaminya pulang Kartika menyusun daftar kebutuhan yang tidak masuk akal dan jadi masuk akal setelah diselesaikan di ranjang. Kartika pergi ke dapur untuk meminta si Mimin menyiapkan makan siang sesuai dengan menu permintaan suaminya. Tua bangka itu semakin hari semakin tidak betah di rumah. Bukan pulang ke rumah istri tua, malah pergi ke istri muda di desa tetangga yang baru sebulan dinikahi. Kartika tak pe
"Stop." Taksi berhenti. Rara terkejut melihat colt pick up bermuatan barang elektronik parkir di jalan depan rumahnya. Gadis itu segera mendatangi Gilang yang duduk di kursi teras bersama dua orang pria berseragam sebuah toko elektronik. Pasti pemuda itu yang membeli kursi teras. Dia tidak pernah memesan. Rara menarik Gilang untuk menjauh dari mereka dan berhenti di sudut halaman. "Jangan hambur-hamburkan uang. Simpananku habis. Lebih baik kamu kumpulkan buat biaya kelahiran bayi." "Aku sudah siapkan biaya untuk itu," sahut Gilang santai. "Kamu tinggal pilih caesar apa normal. Aku ingin kamu caesar biar tak ada perubahan." Rara memandang gemas. "Aku ingin punya anak sebanyak-banyaknya, kamu ingin perutku banyak sayatan?" "Aku tidak butuh perutmu, aku butuh di bawah perutmu," sahut Gilang kurang ajar. "Aku tidak peduli perutmu banyak jahitan." Rara pergi dengan keki. Mereka sudah menunggu di depan pintu. Ambu memperhatikan gerak-gerik a
Siang itu mereka berangkat ke rumah Dennis, adik ipar Ambu. Kunjungan itu dilakukan lebih awal karena Gilang dihubungi ibunya agar segera pulang untuk menghadiri resepsi pernikahan keponakan ayahnya. Dennis adalah pegawai negeri sipil di tingkat kota madya. Di usia yang relatif muda, dia sudah menduduki jabatan yang lumayan penting. Pembawaannya kalem, cenderung pendiam, penurut kepada istri, tapi tidak bisa dikatakan suami takut istri. Istri Dennis sedang membawa anaknya jalan-jalan ke mall saat mereka tiba di rumahnya. Hari Sabtu adalah jadwal rutin untuk wanita keturunan ningrat itu mengasuh anaknya mandi bola atau wahana lain yang sesuai dengan usianya, sekalian perawatan kecantikan di salon langganan. Ambu jadi leluasa untuk menyampaikan maksud kedatangannya, bercerita secara terus terang tentang semua peristiwa yang terjadi. Dia bertamu bersama Rara, sementara Gilang menunggu di mobil. Urusan sudah beres baru diperkenalkan. Dia takut Dennis mencak-menca
Mobil Gilang meluncur kencang melewati jalan perkebunan yang sepi. Mereka dalam perjalanan untuk menghadiri resepsi pernikahan sepupunya. "Tumben tidak berhenti," kata Karlina. "Sudah dapat dari Tarlita?" "Aku tidak bertemu dengan Tarlita minggu ini." "Jadi ada yang baru?" Karlina tahu Gilang tidak mungkin meminta kepada Rara untuk memenuhi kebutuhan batin. Dia hanya ingin menyentuh gadis itu pada malam pertama. Dia tidak mau mengotori kesucian cintanya. Perlakuan itu kadang membuat hatinya iri. Karlina hanya jadi budak nafsu. Gilang beraksi dengan liar setiap kali mereka bercumbu, tanpa ada bumbu cinta sebagai penyedap. Dia sekali-sekali ingin diperlakukan dengan lembut, melakukan hubungan intim atas nama cinta. Harapan Karlina tentu sulit terwujud. Sebuah kenyataan yang unik sebenarnya. Bagaimana seorang laki-laki brengsek seperti Gilang hanya memiliki satu cinta, dan cinta itu cuma untuk istrinya kelak, Rara! "Kita mau mengh
Kantor Urusan Agama sepi ketika mereka tiba di sana. Tidak ada tamu antri mengurus keperluan. Barangkali masih pagi. Hanya ada beberapa karyawan sibuk bekerja. Di depan pegawai yang berwenang, Gilang menceritakan kisah mereka dengan jujur sehingga terjadi pernikahan diam-diam. Dia tak mau berdusta untuk sebuah mahligai yang mulia. Petugas KUA terkejut sekaligus prihatin. Demikian mudahnya mereka terbujuk rayuan sesat, padahal orang terpelajar. Dia terpaksa meluluskan permohonan mereka daripada terjebak dosa yang lebih besar. Hidup serumah tanpa ikatan. "Pernikahan kalian tidak sempurna," kata petugas KUA selesai melangsungkan akad nikah. "Tapi berusahalah menjadi pasangan suami istri yang sempurna. Berserah diri kepada Allah sebelum Dia mengunci pintu taubat buat kalian." Air mata Rara jatuh menitik. Dia tidak tahu entah air mata bahagia atau sedih. Dia pernah berangan-angan ingin melangsungkan perkawinan dengan sebuah pesta besar. Dihadiri bany
Mimin segera turun dari mobil untuk membuka pintu garasi. Ambu dan Nita langsung masuk rumah. Rara tidak berani turun karena memakai baju pengantin. Dia duduk di belakang supaya tidak menarik perhatian tetangga. Tetangga tahunya mereka sudah menikah. Rara baru turun setelah mobil masuk dan pintu garasi tertutup. Dia membuka pintu garasi yang menghubungkan ke ruang tamu dan berjalan melintasi ruangan. Dia melihat ibunya duduk istirahat di ruang tengah sambil menonton televisi. Ambu tidak berpakaian adat seperti dirinya. Jadi tidak perlu ganti baju untuk bersantai. Nita keluar dari dalam kamar dengan berpakaian seragam SMA dan menggendong tas daypack. Dia hendak berangkat ke sekolah. "Kamu masuk?" tanya Gilang. "Aku masuk setengah hari. Acara kakak kebetulan cepat selesai. Jadi bisa berangkat lebih awal." "Pakai mobilku biar lekas sampai ke sekolah." "Dia biasa naik becak," sahut Rara. "Belum punya SIM juga." Gilang berkata
Gilang langsung pulang selesai mengikuti ujian. Mata kuliah siang ini cuma satu. Dia biasanya mampir di taman untuk bertemu dengan Luki. Teman bertualangnya itu tidak ada jam kuliah hari ini. Lagi pula, Gilang sudah tak ada kepentingan dengannya. Dia tidak butuh obat untuk memuluskan petualangan. Dia sudah berhenti. Luki sedang duduk santai di taman apartemen saat Gilang tiba. Dia kelihatan tak ada beban dalam hidupnya karena setiap masalah diselesaikan secara kontroversial. Gilang parkir motor sport di jalan pelataran taman. Dia letakkan helm di stang dan menghampiri temannya. "Tumben naik motor," komentar Luki saat Gilang duduk di sebelahnya. "Katanya takut masuk angin." Gilang selama ini jarang sekali naik motor. Dia tidak suka pamer kemesraan membonceng pacar di depan umum. Dia melakukan sesuatu bukan untuk cari perhatian atau mendapat pujian, tapi untuk kenikmatan. Gilang hampir tidak pernah jalan bergandengan tangan dengan pacar. M
Bulan-bulan pertama orang tua Gilang sulit melupakan kesalahan anaknya. Mereka benci pada anaknya yang durhaka itu. Tak peduli seandainya pergi ke dasar neraka sekalipun.Lebih-lebih Umi. Setiap kali mendengar gunjingan tetangga setiap kali pula kemarahannya berkobar. Kehormatan keluarga yang dibangun susah payah hancur berkeping-keping karena kedunguan anaknya.Karena tidak tahu ke mana harus menumpahkan kemarahan, Wisnulah yang jadi sasaran. Hampir tiap hari kena damprat. Apa-apa yang dilakukan seolah tidak ada yang benar. Semua salah. Kupingnya sampai bising.Pergaulan Wisnu pun dibatasi. Tidak boleh keluar malam. Apalagi nongkrong di mall pulang sekolah. Selesai sekolah selesai pula kebebasan yang dimilikinya. Kembali ke sangkar emas.Satu-satunya yang diperbolehkan adalah bepergian dengan Karlina. Selain itu, hanya boleh bergaul dengan Andini. Gadis itu masih memiliki secercah harapan untuk bersanding dengan pujaan hatinya. Umi memberi lampu hijau ke
Idyla berhasil diselamatkan. Dia terhindar dari cengkeraman maut yang hampir merenggutnya. Semua penderitaan berakhir di meja operasi. Tapi ketika tim dokter hendak melakukan operasi kedua, Bradley menolaknya. Padahal operasi itu adalah operasi yang paling penting untuk masa depan Idyla. Tentu saja Rara marah. "Kenapa?" tatapnya sengit. "Kamu tak mampu bayar?" "Satu-satunya yang tidak mampu kubayar adalah kamu," senyum Bradley tanpa mengalihkan pandangannya dari Idyla yang berbaring di kamar perawatan. "Aku ingin membawa anakmu ke Tokyo." "Kau yakin dokter Tokyo lebih baik?" "Aku tak mengatakan dokter Tokyo lebih baik. Mereka sudah biasa melakukan hal itu." "Biasa? Kau mau bawa anakku dalam keadaan seperti ini karena biasa? Kau dengar kata dokter Hengky tadi, kan? Dia bisa mengganti kuping anakku!" "Yang kuinginkan bukan sekedar bisa. Aku ingin memberikan yang terbaik buat anakmu karena dia pantas mendapatkannya." Rara
Gilang terkejut mendengar kabar itu. Kartika bercerai. Dan perceraian itu menimbulkan bencana bagi dirinya. Sejak awal Gilang sudah menduga Datuk Meninggi dan Sastro bukan orang baik-baik, seorang bandot tua yang berjiwa kambing muda. Sisa umurnya digunakan untuk menikmati perempuan. Mereka punya peluang buat melalap daun muda dengan ancaman nistanya itu. "Kenapa Kartika tidak menempuh jalur hukum?" tatap Gilang kelu. "Kartika tidak memiliki bukti surat apapun." "Surat gampang dibikin, sekarang banyak mafia tanah." "Satu-satunya orang yang dapat membuktikan surat itu asli atau palsu adalah Abah, dan dia tidak ketahuan di mana rimbanya." Atau boleh jadi Kartika sudah membunuh Abah, pikir Gilang kelu. Dia tahu surat itu palsu, tapi tidak berani mengadukan ke polisi karena akan membuatnya terjerat kasus hukum. Kartika sudah dihantui perasaan bersalahnya. Dia bisa saja menuntut mereka untuk membuktikan keabsahan surat itu dengan me
Wajah Rara masih kelihatan buram meski berada di tengah keramaian pusat perbelanjaan. Kalau kebutuhan anaknya tidak habis, dia sebetulnya malas keluar rumah, kecuali pergi kerja saja. Mimin tidak bisa belanja. Dia sibuk membantu di toko. Bu Marto lagi kurang enak badan. Hiruk pikuk orang-orang di sekeliling seakan tak mampu menghalau kabut yang sejak beberapa waktu lalu hinggap di matanya. Dia hanya tersenyum pedih setiap kali mendengar celotehan Idyla yang berjalan dalam bimbingannya. Tidak lama lagi dia bukan cuma kehilangan celotehan Idyla, seluruh kehidupan puterinya akan berlalu dari sisinya! Rara sampai tak sadar saat berjalan menuju ke kasir ada seseorang yang berdiri terpukau melihatnya. Dia baru tersentak ketika sebuah seruan melecut telinganya: "Rara!" Seruan itu bukan hanya mengejutkan Rara, juga menghembuskan getaran yang entah sejak kapan sirna di hatinya. Lama tidak mendengar suara itu dan dia masih ingat baik-baik siapa pemilikn
Kartika menjalankan mobil lambat-lambat memasuki halaman rumah. Matanya yang bercahaya meredup dan menguncup. Senyum kepuasan yang menggantung sepanjang perjalanan langsung jatuh terpecah. Cerita mesra yang bersemayam indah di kepala terbang berhamburan. Datuk Meninggi dengan dua pengawal setianya berdiri menunggu kedatangannya. Kartika turun dari mobil dengan bertanya-tanya, wajahnya diselimuti rasa penasaran menggunung, kemudian menuangkan rasa ingin tahunya dalam sebentuk kalimat, "Ada apa ini?" "Dari mana kamu?" tanya Datuk Meninggi dengan sinar mata tajam dan dingin. "Latihan senam," sahut Kartika santai. "Di desa tetangga." "Habis senam?" "Shopping." "Habis shopping?" "Aku tidak perlu menjelaskan acara hari ini secara detail. Aku cape." Datuk Meninggi memandang jijik. "Dasar perempuan murahan!" Lelaki itu mengangkat tangan hendak menampar wajah Kartika, seorang pengawal segera memegang tangannya dan mencob
Melihat wajah dokter Patologi Anatomi itu, Gilang sudah tahu bagaimana hasil biopsi Idyla. Air muka dokter itu bercerita dengan sendirinya. Ya Tuhan! Akhirnya petaka itu datang juga! "Puteri Anda kena kanker jenis langka," ujar dokter sambil menaruh berkas hasil penelitian di atas meja. "Berbahaya kalau tidak dioperasi secepatnya." "Kanker?!" cetus Rara histeris. Matanya mengawasi Idyla yang berada di pangkuan suaminya dengan nanar. Tidak! Tidak! Oh, Tuhan! Mengapa Kau limpahkan azab ini pada anakku? Aku yang berbuat dosa! Aku yang membuat dia ada! Mengapa bukan nyawaku yang Kau ambil? "Paru-parunya masih bersih," kata dokter. "Belum ada gambaran coin lesion. Masih besar harapan untuk dapat tertolong." Seluruh tubuh Gilang terasa dingin. Wajahnya pucat tak berdarah. Dia sudah bisa membaca ke mana arah pembicaraan dokter. Bukan sekedar operasi biasa, tapi opersi...ya Tuhan! Dia tak sanggup membayangkannya! "Dokter," desis Gilang bergetar. "Kala
Mula-mula Rara mengira benjolan kecil di daun telinga puterinya cuma benjolan biasa, akibat digigit serangga atau terkena sesuatu. Maklum Idyla sudah pandai berjalan. Sedang lucu-lucunya. Sedang nakal-nakalnya pula. "Aduh, kenapa, Sayang?" hibur Rara ketika Idyla menangis keras-keras seperti kesakitan. "Kupingnya kok dipegangi terus? Coba Mama lihat. Ah, tidak apa-apa. Masa anak Mama segitu saja nangis?" Bermacam cara Rara mencoba membujuknya. Usahanya berhasil. Idyla sudah bisa tertawa-tawa lagi dan kembali bermain. "Bantu aku periksa rumah, Min," kata Ambu. "Cucuku kayaknya digigit binatang kecil." Seharian mereka mencari sarang serangga dengan hasil nihil. Rumah ini sangat bersih, tidak ada barang berdebu. Lalat pun malu untuk bertamu. Malam harinya Idyla menangis lagi dengan masalah serupa. Dua hari kemudian pun begitu. Muncul rasa sakitnya tidak tentu. "Minggu ini anak kita sering sekali menangis," kata Gilang yang terbangun mende
Penghasilan Gilang sehari-hari sebenarnya cukup lumayan. Banyak orang yang tertarik dengan jasanya. Malah ada ibu-ibu berlangganan antar jemput puteranya ke sekolah, bayar bulanan. Anak orang kaya aneh-aneh. Dia merasa lebih keren naik Moge daripada diantar sedan mewah dengan sopir tua. Tidak seru katanya. Kalau bercerita, pasti tentang Jakarta tempo dulu, asal-usul tugu peringatan. Bosan. Asal-usul papinya saja, mereka tidak ingin tahu. Apalagi tampang Gilang tidak seperti berandalan, ramah, sopan, simpatik, dan satu lagi, sangat tampan. Tak heran pelanggan kebanyakan perempuan berumur dua puluh lima ke bawah. Kalau belanja, tidak kelihatan seperti pembantu dan tukang ojek. Gadis-gadis seksi itu merasa bagaikan pasangan romantis di film Bollywood. Lagi pula, motor bisa menyelinap dengan lincah di keramaian lalu lintas, lebih cepat sampai tujuan. Tapi hidup di kota besar sungguh mahal. Baru dapat penghasilan sedikit lebih besar, harga-harga membumbung naik, seolah in
Mata Rara tak dapat terpejam. Sudah jam sembilan malam Gilang belum pulang, padahal tak pernah pulang telat. Dia takut terjadi apa-apa dengan suaminya. Tidak mungkin masih mencari pekerjaan. Kantor tentu telah tutup. Sekalipun buka, bukan untuk urusan tenaga kerja. Handphone suaminya dihubungi tidak aktif. Mungkin lowbat. Untuk menyapu keresahan, Rara merubah posisi tidurnya. Matanya tertumpu ke sosok mungil yang berbaring di sampingnya. Idyla tampak terlelap. Pulas sekali. Tak sadar Rara tersenyum. Hatinya selalu terhibur melihat wajah yang polos itu. Idyla sudah mengerti bahasa isyarat. Sudah bisa diajak bercanda. Cuma Rara belum sempat mencarikan baby sitter untuknya. Belum ada waktu yang tepat buat mendiskusikan dengan suaminya. Dia cukup repot untuk bolak-balik ke tempat penitipan bayi, mendingan diurus dan dirawat oleh tenaga tersendiri. Gilang masih disibukkan dengan masalah pekerjaan. Dia masih terus mencari dan mencari. Entah kapan ditemukan. Mendapa