Enak saja pak Aslan mau tidur disini. Dikira aku ini janda apaan. Lama-lama dia itu semakin meresahkan saja. Makin banyak tingkah. Mau batalin pernikahan semua sudah pada tahu jika kami akan menikah dalam waktu dekat ini. Lagipula kasihan sekali Kalila jika aku tidak jadi menikah dengan pak Aslan. Anakku itu sangat dekat dengan beliau.Sesaat aku terhenti disisi ranjang memandang wajah tak berdosa, Kalila, bocah kecilku sangat membutuhkan kasih sayang orang tua yang lengkap."Ma, papa, mana?" Bocah itu selalu saja bertanya keberadaan papa padaku setiap dia selesai mandi sore. Mungkin dia ingin jalan-jalan sore seperti kawannya, tetangga sebelah rumah."Kerja!" Aku berbohong. Tidak mungkin juga kan pak Aslan sering-sering ke rumah kami sementara kami belum melakukan ijab kabul."Kerja?" Dia balik bertanya dengan raut wajah kecewa. "Nanti pulang?" tanyanya lagi. "Kalila mau jalan-jalan!""Papa kerja jauh. Lama baru bisa pulang. Kalila jalan-jalan sama Mama aja ya?" Aku akan mengajak K
"Bukan urusan Anda mengkhawatirkan calon suami Saya." Aku kesal melihat ustaz Kusno yamg merasa dia paling benar. Paling banyak tau masalah ilmu agama. Seakan orang lain paling hina di mata dia."Bukan begitu, Ris. Sebagai seorang janda kamu harus mencari calon suami yang betul-betul sayang sama kamu dan anakmu. Sekarang kamu itu tidak menikah sendirian, ada anak yang harus kamu jaga. Sering kan kita mendengar kasus ayah tiri melecehkan anak tirinya bahkan memperkosa. Apa kamu mau seperti itu?"Tuhan ... ini laki betul-betul membuat emosi aku naik ke ubun-ubun. Terlalu jauh sudah dia mencampuri kehidupan pribadi aku."Tidak perlu diajari. Saya tau sendiri. Makanya kamu itu saya tolak karena orang tua kamu tidak mau menerima anak saya!" Sebenarnya bukan karena itu aja sih yang membuat aku menolak ustaz Kusno. Aku tidak ada hati sedikitpun untuk pria yang konon katamya palaing tahu masalah agama. Bagiku dia lelaki yang sangat menyebalkan. Bagus aku menjanda seumur hidup dari pada menika
"Kamu jangan menatap Mas begitu, Risma!" katanya sambil mengalihkan pandangannya tapi sekali-kali masih melirikku yang masih setia memandang wajahnya."Kenapa emangnya?" tanyaku pura-pura polos."Tatapanmu menggoda imanku. Aku ini lelaki normal!" ujarnya seraya memalingkan wajahnya. Dasar lelaki. Baru ditatap begitu saja sudah keok."Aku juga wanita normal, Mas. Tapi aku masih bisa tahan!" tawaku pecah."Aduh!" Teriakku pelan saat pak Aslan malah mencubit dagu ini dengan kencangnya. Ini geram apa emosi sih. Tidak ada mesra-mesranya sedikitpun."Lihat aja nanti kalau sudah nikah, Mas akan bantai kamu habis-habisan." Aku terkekeh mendengar ancaman yang dilayangkan oleh pak Aslan. Dikiranya aku takut apa? Hmm ... malah aku yang akan bantai dia nantinya. Lihat saja nanti."Nanti malah Mas yang Risma bantai!" kelakarku membuat mata pak Aslan melotot seakan tidak percaya dengan perkataan yang keluar dari bibirku.****Hari ini kami mulai menyiapkan berkas untuk mengajukan pernikahan ke kant
"Hei, aku seharusnya yang bertanya. Kamu itu siapa? Berani-beraninya memeluk calon suami Saya?" Aku mulai geram melihat tingkah wanita berbaju seksi tersebut. Sementara Kalila yang berada dalam gendonganku sudah mulai gelisah, mungkin dia juga merasakan ada yang tidak beres bakal terjadi pada ibu dan calon ayah sambungnya."Apa penting bagi kamu mengetahui siapa aku, Hah?" Wanita itu seakan tidak menghargai aku sedikitpun. Dia berjalan mendekati pak Aslan."Mas Aslan, apa kabarmu, Sayang? Sudah lama juga ya kita tidak berjumpa. Apa kamu tidak kangen sama Aku, Sayang?" Wanita itu memeluk calon suamiku begitu erat. Bagaikan sepasang kekasih yang sudah lama tidak berjumpa."Siapa suruh kamu kemari, Maya?" Pak Aslan menolak secara paksa pelukan yang diberikan oleh wanita berlipstik merah menyala itu."Kamu kenapa, Mas. Mentang-mentang sudah ada pengganti mulai melupakan Aku?" Wanita itu menatapku dengan tatapan sinis."Bukan begituMay, jangan ganggu saya lagi!" Pak Aslan menarik tangan in
"Mas tegaskan sekali lagi, Risma. Mas, tidak ada hubungan apa-apa dengan Maya!" Pak Aslan menatap intens mata ini. Semoga pak Aslan berkata jujur, aku berharap apa yang dikatakan Maya itu hanya bohong semata. Tapi buat apa pak Aslan berbohong? Bisa-bisa hancur karirnya kalau dia berbuat hal sehina itu. Menjatuhkan harga dirinya sendiri."Tapi Maya bilang tadi dia sudah pernah tidur sama Mas. Masak dia berani mempermalukan dirinya sendiri, Mas. Tolonglah, kalau jadi lelaki itu bertanggung jawab dengan apa yang telah Mas lakukan. Kasian anak yang dia kandung tidak memiliki ayah nantinya!" Aku tidak tahu Maya sedang hamil anak pak Aslan atau anak orang lain. Aku hanya mengingatkan supaya pak Aslan harus menjadi lelaki bertanggung jawab. "Dan kamu percaya?" tanya pak Aslan dengan nada tinggi. Untung saja Kalila tidak terbangun walaupun mendengar suara bising antara calon ayah sambung dan ibunya."Apa alasan saya tidak percaya? Mas, saya gak butuh apapun. Yang saya butuh hanya kejujuran.
Pov Aslan."Ayo kita menuju rumah sakit untuk memeriksakan, apa benar saya ini mandul. Kamu jangan main tuduh aja. Kalau tidak benar kamu harus siap resign dari pekerjaan kamu sekarang. Lagian manusia semacam kamu itu, aku rasa tidak pantas bekerja sebagai office boy. Masak seorang divisi keuangan turun jabatan jadi office boy," tantangku dengan menarik tangannya menuju ke rumah sakit terdekat disini. Kebetulan ada kawanku yang berprofesi sebagai dokter dirumah sakit yang tidak jauh dari mall ini."Ayo, Risma. Aku juga mau pembuktian aku mandul atau enggak." Aku menggandeng wanita yang akan menjadi istriku itu."Udahlah Mas. Gak perlu Mas buktikan sama dia. Mas kan sudah pernah punya anak dan anak Mas meninggal kan waktu kecelakaan beserta istri Mas? Untuk apa lalhi Mas buktikan, sih?" tanya Risma dengan kesal. Aku mengangguk tanda merespon pertanyaan wanita dua puluh enam tahun itu."Udahlah. Gak udah dilayani dia itu sudah gak waras!" Risma menarik tanganku untuk menjauh dari pria m
Semua kesaksian yang diberikan Ratih kusimpan dan aku akan menyewa mata-mata untuk mengintai perbuatan yang dikerjakan Raka selama bekerja. Apa benar seperti yang dikatakan oleh Ratih."Ran, tolong cari tau kegiatan apa saja yang dikerjakan oleh Raka. Tolong berikan laporan untuk Saya sedetilnya." Aku meminta salah satu karyawan anak perusahaan untuk bekerja diperusahaan ini sampai terungkap semua perbiatan Raka."Baik, Pak." jawab Randu kemudian berlalu dari hadapanku. Aku harus ada alasan untuk memecat Raka. Aku tidak mau dianggap mentang-mentang aku sebagai CEO, bertindak semena-mena terhadap bawahan.Lima belas menit kemudian.Kring kring Dering telepon berbunyi, kurogoh ponsel yang berada dalam saku celanaku."Ada apa, Ran?" tanyaku tatkala mengangkat telpon dari karyawan keprrcayaanku itu."Pak, ada keributan dibawah. Nampaknya bu Rita sedang ribut dengan mas Raka dan selingkuhannya!" Baru semenit memberi tugas sudah ada aja laporan yang aku terima. Tidak menyangka saja bisa s
Sekarang, hari-hari kami disibukkan dengan persiapan pernikahan yang akan dilaksanakan tiga minggu lagi. Aku dan Risma bolak balik harus keluar rumah untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan pesta pernikahan kami.Beruntungnya banyak sahabat aku dan Arkan yang bisa dimintai tolong. Salah satunya Dana selaku fotografer. Sementara pemilik wedding organizer juga merupakan sahabat Risma waktu masa sekolah dulu."Kasian ya, Kalila sering kita tinggal sendirian!" ujarku seraya wanita yang sedang duduk manis disebelahku saat ini. "Gak apa-apa, Mas. Kan ada bik Arum dan mbok Sri yang menjaga dia. Lagian mana mungkin kemana-mana membawa anak kecil!" jawab Risma malah membuat aku ingin menggodanya."Kenapa tidak mungkin kita kemana-mana bawa Kalila? Pasti kamu merasa terganggu kan?"Terganggu kenapa?""Takut kita gak bisa berduaan? ya kan? Hmmm!" jawabku menggodanya membuat wanita berhijab salem itu tersipu malu."Apa sih, Mas? Maksud Risma kan gak enak kita keluar masuk kantor ata
Matahari Bali menyambut hangat saat aku dan Mas Aslan tiba di bandara. Angin tropis yang lembut menyapu wajahku, membuatku langsung merasa rileks. Mas Aslan menggenggam tanganku erat, senyum lebar terukir di wajahnya. Dia tampak sangat bahagia, dan itu membuatku merasa tenang."Selamat datang di Bali, sayang," ujarnya dengan suara lembut.Aku mengangguk, senyumku tak pernah lepas. "Aku sudah tak sabar menjelajah tempat ini denganmu."Kami naik mobil menuju vila pribadi di Ubud, tempat yang dikelilingi hutan dan sawah hijau. Vila itu tampak begitu tenang, dengan kolam renang pribadi dan pemandangan alam yang menakjubkan. Sesampainya di sana, kami disambut oleh staf vila yang ramah. Vila ini terasa seperti surga tersembunyi, jauh dari hiruk pikuk kota.Mas Aslan segera menarikku ke teras, di mana pemandangan hamparan sawah membentang di depan kami. Langit cerah dengan awan putih yang menggantung di kejauhan. "Ini indah sekali," gumamku sambil menyandarkan kepala di pundaknya."Iya, tap
Sinar matahari pagi masuk dari celah tirai kamar, membangunkan aku dari tidur. Di sebelahku, Mas Aslan masih tertidur lelap. Aku tersenyum memandang wajahnya yang tampak damai. Tapi, pikiranku sudah melayang pada sesuatu yang harus segera aku lakukan, meminta izin kepada Kalila, putri kecil aku sama mas Raka, untuk pergi berlibur hanya bersama Mas Aslan selama tiga hari.Dengan hati-hati, aku bangun dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar menuju kamar Kalila. Dia pasti sudah bangun. Setiap pagi, Kalila selalu bangun lebih awal untuk bermain dengan mainannya di ruang tamu atau menonton kartun kesukaannya. Benar saja, begitu aku membuka pintu kamar, aku melihat Kalila duduk di sofa dengan boneka beruang di tangannya, matanya terpaku pada layar TV yang menampilkan kartun favoritnya.“Pagi, Sayang,” sapaku sambil berjalan mendekat dan duduk di sampingnya.Kalila menoleh dan tersenyum lebar. “Pagi, Mama!”Aku memeluknya erat, lalu mencium pipinya. "Lagi nonton apa nih?"“Nonton kartun!
Sinar matahari menerobos tirai kamarku, membangunkanku dengan lembut. Di sampingku, mas Aslan masih terlelap, wajahnya terlihat tenang. Aku tersenyum tipis, teringat kejadian kemarin saat kami resmi menikah. Rasanya seperti mimpi, bisa bersama pria yang dulu hanya aku lihat sebagai atasan. Tapi, hidup memang penuh kejutan, bukan?Setelah mandi dan bersiap, aku melirik ke arah jam dinding. "Waktunya bangunin suami gantrngku," gumamku. Dengan hati-hati, aku mendekati mas Aslan, lalu menyenggol bahunya pelan."Sayang, bangun, Say. Kita harus berangkat ke kantor," bisikku ditelinganya.Ia bergumam pelan, matanya masih terpejam. "Lima menit lagi, ya? Mas masih mengabtuk sekali ni! ..."Aku menggeleng, lalu sedikit menggelitik perutnya. "Nggak ada lima menit lagi. Ayo bangun!"Ia tertawa kecil, akhirnya membuka mata dan menatapku. "Baiklah, baiklah. Kamu memang nggak bisa ditolak."Pagi itu kami berdua berangkat ke kantor seperti biasa. Meskipun kami sekarang sudah resmi menikah, rutinitas
“Aku ingin Kalila tinggal bersamaku, Risma.”Kalimat itu langsung menghantam hatiku seperti petir di siang bolong. Aku menelan ludah, berusaha mengendalikan diri.“Mas, Kalila adalah hidupku. Dia nyawaku. Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa dia,” jawabku tegas namun tetap menjaga nada suaraku agar tidak terdengar terlalu emosional.Mas Raka menghela napas berat. “Aku tahu kamu sayang sama dia, Risma. Aku juga sayang sama Kalila. Tapi aku pikir, sudah waktunya dia tinggal denganku. Aku ingin lebih terlibat dalam hidupnya. Selama ini, aku merasa jauh dari dia, dan aku tahu itu salahku. Tapi aku mau memperbaikinya.”Aku bisa melihat kejujuran di matanya, tapi itu tidak membuat permintaannya lebih mudah kuterima. Aku menggenggam tanganku erat-erat, berusaha menahan emosi yang mulai membuncah.“Mas, selama ini aku yang membesarkan Kalila sendirian. Aku tahu kamu ayahnya, dan aku tidak pernah melarang Kalila bertemu denganmu. Tapi Kaluka butuh stabilitas, dia butuh merasa aman. Selama
Di tengah kabut duka itu, berita lain yang tak kalah menyakitkan datang. Mantan ibu mertuaku, ditemukan meninggal setelah melompat dari jembatan. Ia diketahui mengalami depresi berat sejak putri satu-satunya meninggal secara tragis."Mas, mantan ibu mertua Risma meninggal!" Aku memberitahukan berita duka ini pada mas Aslan."Innalillahiwainnailaihi rojiun! Sakit apa?" Mas Aslan juga kaget mendengar berita duka bertubi-tubi seperti ini. Baru saja tadi pagi berita kematian Rani, sekarang ibunya menyusul"Bvnvh diri nampaknya. Beliau lompat dari jembatan, Mas!""Apa?""Beliau malu Rani hamil diluar nikah! Jadinya stres dan depresi. Akhirnya gak sanggup, ya lompat dari jembatan!" jawabku lagi."Kasihan, ya!""Hmmm! Boleh Risma melayat, Mas?" tanyaku. Aku sih tidak memaksa jika mas Aslan melarangnya, cuma sekedar mengucapkan belasungkawa saja pada mantan suamiku."Boleh-boleh aja, sih! Apa perlu Mas antar?" "Gak usah, Mas. Sebentar lagi Mas mau meeting, kan? Kalau Risma pergi sendiri, apa
"Aku hamil," tiba-tiba Rani berkata dengan suara bergetar, tapi jelas. Matanya mulai basah dengan air mata."Mas ... kamu harus bertanggung jawab."Kalimat itu membuat suasana di meja mereka mendadak hening. Wajah istri Bayu tampak kaget, sementara Bayu hanya bisa menunduk. Aku menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya."Rani, jangan begitu..." kata Bayu akhirnya, suaranya rendah dan penuh rasa bersalah. "Aku nggak bisa bertanggung jawab. Ini... ini semua terlalu rumit.""Terus apa maksud kamu, Bayu?" Rani tidak bisa menahan emosinya lagi. "Aku ini mengandung anak kamu! Apa kamu mau lepas tangan begitu saja?"Bayu tampak semakin terpojok. Dia berusaha menghindari tatapan Rani, sementara istrinya berdiri di sana dengan mata terbuka lebar, seolah-olah tidak percaya apa yang baru saja dia dengar. Wajahnya mulai memerah, dan aku tahu, badai yang lebih besar akan segera datang."Bayu!" teriak istrinya. "Apa maksudnya ini? Dia hamil anak kamu? Kamu pikir aku bisa terima in
Rani dan pria itu tampak sangat mesra. Tangan mereka saling berpegangan di atas meja, sementara senyum tak pernah lepas dari wajah mereka. Pria itu sesekali membisikkan sesuatu di telinga Rani, yang membuatnya tertawa kecil.Selama beberapa saat, aku hanya bisa memandangi mereka. Kenangan tentang masa lalu dengan keluarga mantan suamiku menari-nari dalam ingatanku. Aku teringat betapa sombong dan angkuhnya Rani terhadapku, dulu. Mereka memperlakukan aku seperti babu walapun dirumahku sendiri.Setelah perceraian itu aku tidak pernah berjumpa mereka lagi. Aku tidak pernah menyangka akan melihat Rani dalam situasi seperti ini, apalagi dengan pria yang usianya jauh di atasnya."Itu, bukannya mantan adik iparmu, Sayang?" tanya mas Aslan dengan penuh kehati-hatian. "Hmmm!" Aku tersenyum miris melihat kelakuan mantan adik iparku. Dulu dia menginginkan mas Aslan untuk menjadi pendamping hidupnya. Sekarang, karena mas Aslan menolaknya dia malah mencari pria tua yang penting kaya."Mas kenal
"Kalau kita menikah karena digrebek, bukan kita saja yang malu, Mas. Anak-anak kita kelak juga akan menaggung malu!" jelasku sama pak Aslan. Aku tidak pernah menginginkan hal memalukan itu terjadi dalam kehidupan aku. Pak.Aslan tersentum tatkala aku jelaskan. Sepertinya dia sudah tahu tapi pura-pura saja biar diajari terus masalah agama sama calon istrinya. "Habisnya menunggu tiga minggu itu sangat lama, Risma. Aku tidak sabar menanti hari itu tiba!" ujar pak Aslan dengan wajah penuh harap. Lucu sekali melihat pak Aslan, bagaikan anak kecil yang sedang meminta mainan sama mamanya. "Gak lama tuh tiga minggu! Sebentar saja, Mas!" Aku memberi pengertian pada pria berhidung mancung itu. "Ya deh nyonya Aslan. Mas pamit pulang dulunya?" ujarnya seraya membuka pintu mobil. "Tolong jaga asupan gizi buat anakku. Beri yang terbaik untuknya sebelum Mas yang ambil alih menjaga dan memenuhi kebutuhan permata hatiku itu!" Demi apapun aku sangat terharu mendengar perkataan yang keluar dari bib
"Apa maksud kamu bicara seperti itu? Kamu hendak merebut istri aku?" tanyaku kesal.Enak saja Andre memuji calon istri aku. Dia sedikitpun tidak menghargai aku sebagai calon suami Risma. Pria yang jelas paman baginya walaupun paman jauh. "Bukan begitu, Pak. Tolong carikan Saya istri secantik istri Bapak. Buat apa Saya merebut istri orang? Aku bukan tipe pria seperti itu, Pak." Andre menjelaskan duduk persoalannya. Ternyata dia takut juga melihat aku marah-marah. "Emang kamu mau menikah dengan janda? Calon istri saya ini janda loh?" ujarku. Bukan maksud menghina Risma sih sebenarnya. Tapi aku bangga karena biarpun sudah menjadi janda Risma masih juga menarik. Dimataku dia sangat cantik, kalah gadis perawan pokoknya. "Janda?" tanya Andre dan aku menganggu sebagai tanda merespon. "Walaupun janda tapi tidak nampak ya, Pak? Masih cantik juga. Seperti gadis belia." puji Andre. Bagiku semua itu bukan oujian sih. Tapi kenyataannya. "Bapak ya. Tau aja janda cantik." "Ya taulah. Namanya j