"Ayo ikut aku!" bentak Rosi sambil melotot. Tampang judesnya itu selalu membuatku ingin mencabik-cabiknya."Mau apa!" kataku. "Pergi dari warungku, jangan cari masalah di sini!" "Kamu mau aku ribut di depan pelangganmu?" ancam Rosi.Gerak-gerik kami mengundang perhatian pembeli. Daripada mereka tak nyaman, lebih baik aku mengikuti ke mana Rosi mengajakku. Kuserahkan urusan warung pada Sumi, dan memintanya untuk mencariku seandainya aku lama tak kembali. Perkara dengan Rosi bukan hal main-main. Terminal ini sepi kalau sore hari, apalagi di bulan puasa seperti sekarang. Dan Rosi membawaku ke belakang sebuah bengkel yang sudah tak terpakai. Tak ada seorang pun lewat ke sini, karena keadaannya kotor dan bau menjijikan. Aku sampai harus menahan napas berkali-kali."Gara-gara kamu gak ngasih pinjam uang, Bu Onah jadi maksa minta semua gaji Kang Agung!" hardik Rosi, membuat rahangku gemeretak menahan geram. Kalau mertuanya minta uang sama anaknya, kenapa aku yang disalahkan?"Kok kamu mala
"Innalillahi wa innaillaih roji'un," ucapku ketika mendengar kabar meninggalnya Bu Ida.Bu Ida adalah istri Pak Yudi, yang—menurut cerita Yuni—memergoki permainan selingkuh suaminya dengan Nia. Tiba-tiba, aku jadi teringat cerita Dewi yang melihat Bu Onah keluar dari rumah Mbah Kyoto."Memangnya sebelum meninggal, Bu Ida muntah apa, Bu?" tanyaku."Belatung," jawab ibu sambil berbisik, membuatku mual membayangkannya.Jika benar Bu Ida meninggal karena ada sangkut pautnya dengan ilmu hitam, berarti ada seseorang yang 'menjahilinya'. Aku menduga Bu Onah lah pelakunya, dan jika benar dia berani pakai ilmu hitam, maka ancamannya terhadap warungku malam itu bukan main-main. "Sih ...." Ibu berbisik memanggilku, kedua alisnya bertautan dengan ekspresi wajah yang terlihat khawatir. Aku tahu yang ditakutkannya sama denganku.Aku membawa ibu ke ambang pintu warung, untuk menjaga jarak dari Dewi. Sepertinya, sedari tadi Dewi menyimak percakapanku dengan Ibu."Sudah, Bu. Jangan terlalu dipikirka
Aku berusaha menyembunyikan rasa terkejutku di hadapan Bu RT dan Pak RT, saat mendengar kabar itu."Siapa sekarang yang jadi korban, Bu?" tanyaku."Cahyani," jawab Bu RT pelan. "Teman sekantor Pak Agung, mantan suamimu itu lho.""Astaghfirulloh, saya ikut prihatin mendengarnya," responku sambil mengusap dada. "Oh, iya, saya permisi dulu ya Bu, Pak ... takut kesiangan." Aku menghela napas, dan segera pamit setelah mendengar nama Kang Agung disebut, takut kalau-kalau Bu RT malah membahas mantan suamiku.Matahari sudah terbit lumayan tinggi. Aku meneruskan perjalanan. Namun, jalan yang biasa aku lalui untuk pergi ke pasar sedang dalam perbaikan dan ditutup, sehingga terpaksa aku harus berputar arah melewati ruko Pak Asep.Sebenarnya malas, karena aku pernah dilarang melewati jalan ini lagi oleh Pak Asep. Tapi bagaimana nasib warungku kalau hari ini tak belanja ke pasar? Akhirnya aku cuek saja lewat di depan tokonya, lagipula ini kan jalan umum."Masya Alloh, Neng Asih ... makin cantik s
Dewi seakan terkejut mendengar pertanyaanku, mungkin ia merasa tersinggung juga. "Saya bisa 'melihat' sesuatu yang tak kasat mata, tapi tak bisa menjahili orang dengan kelebihan saya ini," jawab Dewi. "Hanya saja saya memang pernah berdoa kepada Alloh untuk membisukan Kak Yuni, tapi malah anaknya yang kena. Itu semua kehendak Alloh, Bu. Saya kan sudah pernah cerita," lanjutnya.Aku menganggukkan kepala, namun dalam hati masih meragukan pengakuannya. Memang, kuasa Alloh itu sangat nyata adanya, tapi baru kali ini aku menyaksikan sendiri suatu hal yang rasanya sangat mustahil dan di luar logika, anak Yuni yang tadinya cerewet mendadak jadi gagu."Begitu, ya. Maaf ya, Wi. Saya gak maksud nuduh macem-macem. Hanya saja, tadinya saya mau minta tolong, kalau kamu memang bisa melakukan sesuatu dengan kelebihanmu itu," kataku."Minta tolong apa, Bu? Insyaalloh saya siap, asal bukan menjahili orang.""Bukan lah, Wi ... niat saya bukan untuk jahil, tapi supaya jadi pelajaran saja," kataku, lalu
"Keluarga mereka memang bikin ngelus-ngelus dada, kudu banyak istighfar kalau berhadapan dengan mereka," ujar yang lain.Aku berjalan beriringan dengan ibu-ibu yang usianya jauh di atasku. Mereka tak henti membicarakan keuarga Kang Agung."Sejak nikah dengan Rosi, keluarga Pak Agung jadi berubah, ya. Meskipun kaya raya, tapi sepertinya hidup mereka gak tenang. Maklumlah, namanya juga dekat dengan ilmu hitam ya begitu. Jauh dari kedamaian, bawaannya panas hati melulu," timpal Bu Saodah yang rumahnya dekat dengan rumah Kang Agung."Kasihan ya, Pak Agung. Dia kan guru SD sekaligus guru ngaji, sekarang jadi hilang wibawa gara-gara tingkah laku istri dan ibunya. Dia diberhentikan oleh ketua DKM, tidak diperbolehkan mengajar ngaji lagi," balas Bu Siti dengan pelan."Lho, kenapa Bu?" tanyaku. Aku kecewa mendengar kabar pemecatan Kang Agung sebagai guru ngaji. Kalau begitu kenyataannya, Zulfa akan kesulitan bertemu ayahnya lagi. Hanya saat mengajilah mereka bisa bertemu. "Itu lho, gara-gara
"Katanya, ayam goreng di sana dari ayam tiren. Terus dia juga bilang warungnya jorok, gak higienis, makanannya kotor," jawab pemuda itu."Kalian percaya gitu aja?" tanya Mang Duloh."Iya. Saya percaya, karena pas saya deketin warungnya mau pilih menu ... kok kecium bau busuk banget! Ya sudah, saya ajak kawan-kawan pergi lagi karena jijik!"Mang Duloh mengernyitkan dahi. "Heh, apa bener yang kamu bicarakan itu? Saya kenal baik dengan pemilik warungnya, dia orangnya sangat resik! Kalian jangan macam-macam, ya!" ancamnya."Kalau Mang tidak percaya, silakan saja datang sendiri ke warung itu! Jangan paksa kami untuk beli di sana," balas si pemuda sambil menstarter motor, diikuti anak buahnya. Mereka hendak melanjutkan perjalanan.Mang Duloh menghentikan mereka. "Eh-eh! Saya belum selesai bicara!" katanya sambil menahan motor ketua geng. "Dengar, saya gak maksa kalian jajan di sana, saya cuma mau minta supaya kalian tidak ngomong macam-macam ke orang lain. Warung itu lagi ada yang menjahili
Geramnya hatiku menerima perlakuan Rosi. Harusnya dia bicara seperti itu pada dirinya sendiri! Bu Onah dan Nia ikut mendekat dengan ekspresi terkejut melihatku ada di sini, sekaligus senang karena punya sasaran empuk untuk dibully. Mereka berdiri tepat di samping Rosi dan mulai membuka mulut hendak ikut memakiku. Beruntung ada Kang Adnan—supir angkot, ia segera membantuku keluar dari kerumunan dan meninggalkan keributan."Lagian kenapa Neng Asih datang ke sana, sih?" tanya Kang Adnan sambil mengemudikan angkot. Aku kini berada di kursi penumpang, diantar Kang Adnan kembali ke warung."Saya tadinya cuma mau lihat aja kenapa jalan raya dekat warung kok sepi, gak ada kendaraan lewat. Kirain ada kecelakaan di perempatan. Eh, ternyata Rosi jualan takjil juga di sana," jawabku."Kenapa gak minta tolong Mang Duloh, atau tunggu saya datang," katanya.Aku tak menjawab pertanyaannya, karena tahu betul ada sesuatu di balik perhatian Kang Adnan. Sejak pertama bertemu, ia selalu memberi perhatian
"Apa itu, Asih?" tanya Kang Agung."Didiklah keluargamu dengan benar, sehingga mereka tak mengganggu hidupku lagi! Kalau kau berhasil membuat mereka berhenti mengusikku, aku akan memaafkanmu!" tegasku."Apakah ... itu berarti kita bisa bersama lagi? Aku bisa menceraikan Rosi untukmu." ucapnya penuh harap.Apa yang ada di pikirannya sampai-sampai berpikir untuk mengorbankan pernikahannya saat ini!"Tidak, Kang! Memaafkan bukan berarti menerimamu lagi! Permisi," jawabku penuh rasa kesal, seraya meninggalkannya sendirian.Tak ada tempat untuk seorang penghianat. Walau pada saat itu Kang Agung berada dalam pengaruh pelet, tetap saja tak bisa mengubah kenyataan bahwa ia telah berpaling dariku. Rasa cinta pada Rosi yang masih tertanam di hatinya, memberi celah pelet itu masuk mengganggu akal sehatnya.*"Hari ini warung buka sampai malam, Bu?" tanya Dewi saat membuka tirai warung."Iya, kita buka seperti biasa," jawabku.Lima puluh cup takjil untuk dikirim ke masjid sudah siap dalam keresek
"Waalaikumsalam," kulangkahkan kaki menghampiri pemilik suara di depan warung.Tiga orang bapak-bapak berpeci hitam. Mengenakan baju koko dan bersarung. Mereka pasti baru pulang sholat berjamaah di masjid. Aku tak mengenali mereka."Ini warung Neng Asih?" tanya seorang di antara mereka."Betul, Pak. Ada apa ya?" tanyaku, sedikit kaget karena takut mereka ada sangkut pautnya dengan warungku. Ingin menutupi warung karena dikira melihara jin, misalnya."Kami mau beli takjil dan berbuka puasa di sini, tapi rupanya warungnya sedang tutup, ya?" Aku menghembus napas lega. Ternyata mereka mau membeli, tak seperti perkiraanku."Boleh, Pak. Silakan masuk. Kami sedang berbuka, jadi tutup sebentar."Mereka duduk di meja makan, dan sambil menungguku menyiapkan makanan, mata mereka berkeliling ke sekitar warung dengan rasa kagum."Enak ya, suasananya. Adem dan segar," gumam mereka. "Biasanya kami makan masakan Neng Asih di masjid, tapi sudah beberapa hari ini kami tidak mencicipinya. Makanya kami
Semenit kemudian, aku dan Sumi sudah ada di pinggir jalan dengan membawa tulisan 'Warung Takjil Katresna Akang', diiringi tanda panah mengarah ke warungku. Beberapa warga sekitar terminal memiringkan bibirnya ketika melihat kami promosi, seakan sangsi caraku akan berhasil.Entah ada angin apa, hari ini jalanan kembali ramai seperti biasa, para pengendara tidak semuanya lewat perempatan lagi. Sebuah kesempatan bagus. Apalagi ketika lima buah motor berbelok dan parkir di depan warungku. Gegas kuhampiri mereka, dan meminta Sumi tetap promosi sendirian."Selamat sore, adik-adik. Silakan duduk dulu," sambutku. Mereka masuk warung dan menunggu di kursi panjang yang kusediakan untuk para pengantre, agar mereka tak perlu berdiri di depan warung lagi ketika menunggu pesanan siap. "Wah ... seger sekali warung ini," ucap salah satu dari mereka, seraya melihat sekeliling dengan tatapan kagum. "Adem, ya," lanjutnya."Alhamdulillah kalau betah," kataku. "Mau pesan apa?" "Takjil sama lauknya ya,
"Asih, ini tadi kok ada yang ngirim bahan-bahan kue ke rumah?" tanya Ibu dari kejauhan, setengah berteriak. Aku memesan bahan kue itu tadi pagi sebelum berangkat ke warung. "Asih mau buka pesanan kue kering untuk lebaran, Bu," jawabku setelah sampai di halaman rumah. Ibu menggelengkan kepala, ia menyuruhku menyimpan dua dus bahan kue ini ke dalam rumah. "Kamu yakin mau membuka pesanan kue? Gak takut rugi? Apa ada yang mau beli? Warungmu aja masih sepi," kata Ibu sangsi. "Justru itu yang membuat Asih makin semangat!" jawabku singkat. "Kamu suka nantangin orang. Entar mereka malah makin kesel sama kamu!" balas Ibu sambil terkekeh, ia tahu maksudku. "Mereka yang nantangin duluan, Bu. Dikiranya Asih bakalan diem aja warung dijatuhkan dengan gunjingan-gunjingan mereka. Mereka kan inginnya melihat Asih terpuruk, bangkrut, enggak dagang lagi. Ya gak bakalan Asih wujudkan keinginan mereka!" "Tapi, nanti kalau daganganmu gak laku lagi, apa gak malu?" tanya Ibu menggodaku. "Setidakny
"Sa-saya masih mau kerja di sini, Bu," jawab Yuni sambil terisak. Ia pasti sangat malu sekaligus tersinggung. Mungkin dalam hatinya ia ingin lari dari sini, kemudian mencari pekerjaan lagi di tempat lain, tetapi sadar bahwa susah mencari pekerjaan lagi. "Kalau begitu, mulai sekarang buang sifat jelekmu. Kalau mau kerja di sini harus kerjasama, gak boleh saling menjatuhkan. Saya ingin warung saya sukses lagi. Kalau kamu membuat rekan kerjamu gak nyaman, bagaimana semua itu bisa terwujud?" kataku.Yuni tertunduk cukup lama. Wajahnya sangat tegang. Siapa suruh memantik emosiku? Belum reda amarah karena Rosi, Yuni malah membuatku semakin panas. Mau tak mau ini harus terjadi—aku memarahinya.Tak ada lagi berani membuka suara untuk memecah keheningan. Kuperintahkan mereka untuk kembali bekerja. Kali ini waktunya masak. Bukan untuk dijual, melainkan untuk disedekahkan ke masjid."Masak menu seperti biasa. Bahan-bahannya ada dalam keresek di dapur, di atas bangku," kataku.Mereka berpandanga
"Bu, Sudah Bu! Nanti dia bisa mati!" Sumi berusaha melepaskan tanganku dari Rosi. "Istighfar, Bu. Sudah cukup. Rosi sudah merasakan kesakitan. Wajahnya sudah memerah, dia seperti orang sekarat. Astaghfirulloh ... ya Alloh!" Yuni panik. Ia membantu Sumi menyingkirkan tanganku. Aku tahu batasanku, meski marahku seperti orang kerasukan, tapi aku tahu kapan harus berhenti. Kubiarkan Rosi bernapas lega kembali. Dia mengambil napas berkali-kali, dan menghembuskannya sepuas mungkin. Kedua tangannya memegangi leher, mungkin dia sedang mengucap syukur karena aku tak sampai memutuskan urat nadinya. Sudah cukup aku memberinya peringatan. Mulai sekarang, kupastikan dia tidak akan berani menggangguku lagi. "Apa maumu? Kalau aku merebut Kang Agung darimu, kamu mau apa, hah? Berkali-kali kamu ngirim santet, tak ada satu pun yang mempan. Sekarang kamu datang ke sini untuk menjual rasa cemburu, agar aku kasihan dan menjadi lembek. Setelah itu, kamu akan mengintimidasiku. Itu kan, rencanamu? Busuk!
Sengaja aku mengambil jalan ke perempatan, agar lewat di depan toko Pak Asep, berharap bertemu dengan Rosi. Akan kuseret ia ke tempat sepi dan membuat perhitungan dengannya. Pagi hari dia bekerja di toko, sore hari berjualan takjil. Kulihat toko itu sudah buka dan cukup ramai. Beberapa karyawan melayani pembeli dan dua orang kuli angkut mengangkut barang yang baru datang dari mobil sales. Aku memperlambat langkah kaki, sambil terus mencari keberadaan Rosi di dalam sana. Namun, hanya tas kulit warna hitam miliknya yang kulihat di meja kasir. Aku berhenti sejenak. Amarahku terpanggil. Jika emosiku sedang dalam kondisi seperti ini, maka aku bisa berubah ganas. Tak akan peduli rasa malu dan kasihan, segala hal mengerikan bisa saja terjadi. Kakiku hendak melangkah ke dalam toko untuk mencari keberadaan Rosi, namun tertahan."Kalau kamu bisa bersabar dengan kemarahanmu, kamu akan terhindar dari penyesalan, Asih!" Tiba-tiba aku teringat nasihat ibu. Ia pernah mengatakannya ketika aku baru
Kami langsung menghampiri Dewi ke dapur dan mendapati ia tengah terduduk sambil menutup wajah dengan kedua tangannya."Ada ular di lemari itu, Bu!" kata Dewi ketakutan, jari telunjuknya mengacung ke arah lemari di dalam warung.Aku duduk di sampingnya, dan merangkul tubuh Dewi. "Iya, Wi. Sekarang semuanya sudah selesai. Makhluk itu sudah pergi," kataku menenangkannya.Yuni dan Sumi juga ikut menenangkan, mereka memberikan air minum dan takjil untuk Dewi yang lemas setelah bangun dari pingsan."Tadi, pas saya sudah bisa melihat bahwa ada ular dalam lemari itu, mata saya tiba-tiba buram dan langsung gak sadarkan diri pas mau ngasih tahu Ibu."Dewi menceritakan penglihatannya. Ternyata, jin itu dikirim di hari yang sama dengan dibuangnya sampah-sampah dari TPS belakang terminal oleh Kang Agung. Namun, karena waktu itu aku masih sering mengaji sebelum mulai memasak di warung, jin itu kesulitan beraksi. Baru hari inilah rupanya ia bisa menjalankan perintah 'tuannya' untuk mengganggu warung
Aku terpaku beberapa detik saat melihat Dewi jatuh pingsan. Kemudian berubah panik dan ikut membantu Yuni dan Sumi memangku tubuh Dewi ke dapur. Tidak ada tempat lagi, karena tak mungkin membaringkannya di dalam warung."Jangan-jangan Dewi lemas berpuasa," ucap Yuni."Gak kok, dia gak puasa, lagi M katanya," balas Sumi.Aku mendengar seseorang memanggil dari depan warung, lekas kuhampiri dan menyuruh mereka berdua untuk menjaga Dewi.Sudah hampir Maghrib, rupanya Bu RT sekeluarga yang datang. Sepertinya mereka baru pulang ngabuburit. "Mau pesan apa?" tanyaku setelah mereka duduk di meja paling pojok, dekat lemari."Takjil dan semua menu yang ada, saya mau mencobanya, Neng," jawab Pak RT. "Ini pertama kalinya kami jajan di warungmu, iya kan, Bu?" lanjutnya."Betul. Jadi pengen nyobain masakan Neng Asih yang viral seantero Kampung Asem. Kebetulan saya gak masak, karena kesorean pulang ngabuburit," jawab Bu RT, kemudian mengusap rambut anaknya. "Ayo, sapa Bu Asih dulu," titahnya pada an
"Apa itu, Asih?" tanya Kang Agung."Didiklah keluargamu dengan benar, sehingga mereka tak mengganggu hidupku lagi! Kalau kau berhasil membuat mereka berhenti mengusikku, aku akan memaafkanmu!" tegasku."Apakah ... itu berarti kita bisa bersama lagi? Aku bisa menceraikan Rosi untukmu." ucapnya penuh harap.Apa yang ada di pikirannya sampai-sampai berpikir untuk mengorbankan pernikahannya saat ini!"Tidak, Kang! Memaafkan bukan berarti menerimamu lagi! Permisi," jawabku penuh rasa kesal, seraya meninggalkannya sendirian.Tak ada tempat untuk seorang penghianat. Walau pada saat itu Kang Agung berada dalam pengaruh pelet, tetap saja tak bisa mengubah kenyataan bahwa ia telah berpaling dariku. Rasa cinta pada Rosi yang masih tertanam di hatinya, memberi celah pelet itu masuk mengganggu akal sehatnya.*"Hari ini warung buka sampai malam, Bu?" tanya Dewi saat membuka tirai warung."Iya, kita buka seperti biasa," jawabku.Lima puluh cup takjil untuk dikirim ke masjid sudah siap dalam keresek