“Apa-apaan kamu?!” Seorang lelaki dengan tangan kekarnya menahan tangan Yunita yang masih terangkat ke atas.Angga dengan sigap mencegah Yunita yang akan melayangkan tamparan mautnya padaku. Tidak tahu bagaimana jadinya jika Angga tidak datang. Mungkin sekarang pipiku sudah memar. Namun, seharusnya jika itu terjadi, aku bisa melaporkannya ke polisi. Angga tidak hanya menyelamatkanku, tapi juga menyelamatkan Yunita.Yunita menepis tangan Angga dengan kasar. Wanita itu mendengus kesal.“Mbak Gita gak apa-apa?” tanya Angga dengan raut cemas. Tangannya seolah ingin menggapai kedua bahuku namun aku sedikit mundur.“Saya baik-baik aja, Pak,” jawabku.“Syukurlah saya datang tepat waktu,” keluhnya sambil mengelus dada, lalu mengalihkan tatapan dingin kepada Yunita. “Kamu ada keperluan apa kesini?” tanya Angga pada Yunita dengan nada ketus.Yunita membalas tatapan Angga dengan tajam. “Bukan urusan anda!” Wanita dengan sepatu heels hitam itu bergegas meninggalkan butik dengan perasaan kesal, ka
“Selamat pagi, benar ini dengan ibu Gita Lisrani?” Suara seorang lelaki menyapa saat aku menjawab panggilan dari nomor asing.“Benar, saya sendiri,” sahutku dengan kening bertaut.“Ini ada surat dari Rumah Sakit, Bu. Saya sudah di depan rumah,” ucap seseorang yang ternyata adalah kurir.Hari ini, aku tidak ingin berlama-lama di rumah. Setelah subuh tadi, aku langsung bergegas ke Butik. Kuabaikan Bang Arlan yang tidur di kamar Chika. Gawat, jika surat itu sampai ke tangan bang Arlan.“Oh, itu. Mas! Tolong jangan panggil orang di rumah itu, bisa antarkan ke alamat ini?” Aku agak panik dan buru-buru mengirim alamat Butikku pada sang kurir melalui pesan. “Cek pesan ya, Mas! Saya sedang tidak di rumah. Surat itu penting dan tidak boleh diterima orang lain, kecuali saya,” ujarku menjelaskan.“Baik, Bu. Saya segera kesana.”Aku mengusap dada dengan perasaan lega. Aku tidak akan membiarkan Bang Arlan melihat hasilnya lebih dulu.Setelah tiga puluh menit, akhirnya sang kurir tiba di Butik. Aku
“Saya keluar sebentar, ya.” Aku pamit pada Mayang dan Luna saat mereka baru saja tiba di Butik.Keduanya mengangguk dan tersenyum.“Kalian udah sarapan?” tanyaku sebelum membuka pintu keluar.“Sudah Mbak,” jawab Mayang.“Kalau saya belum, tapi ini saya bawa bekal, Mbak.” Luna mengangkat lunch bag yang dia tenteng di tangan kirinya.Aku mengangguk sebelum akhirnya pergi.Di perempatan sebelum masuk ke kawan rumahku, Aku berhenti di penjual nasi uduk pinggir jalan dan membelinya dengan lauk telur ceplok. Kesal dan tidak ikhlas aku melakukan ini. Tapi terpaksa kulakukan sebab tidak ingin Bang Arlan terus mengangguku dengan mulutnya yang berisik itu.Saat sampai di depan pintu, aku urungkan niat untuk menekan knop. Kudekatkan telinga ke daun pintu yang sedikit terbuka.“Iya, Sayang. Pasti dong, kita kan udah sepakat untuk melakukan itu, kamu tenang aja!” Suara Bang Arlan terdengar lembut tapi menjijikkan bagiku.“Kita ketemuan dimana? Hari ini? Ya udah abis sarapan aku kesana jemput kamu.
“Aku minta maaf.” Angga menunduk.Aku menarik napas sekali lagi dan berusaha meredam amarah.“Kamu tau, kan? Kalau membuka surat penting orang lain tanpa izin itu gak sopan!” sungutku.Dia hanya mengangguk dan merasa bersalah. “Aku tau. Tapi, aku benar-benar gak sengaja. Saat aku mau merapikan mejamu, aku melihat kertas itu,” jelasnya.“Ya, tapi tetap aja…” Aku kehabisan kata, dan tiba-tiba malas melanjutkan perdebatan dengan siapapun, apalagi masih pagi begini.Seharunya aku memulai hari dengan hal yang baik, tapi kenapa harus ada dua pria yang membuat pagiku jadi suram.“Ya udah, kamu boleh pergi. Lupakan apa yang baru aja kamu ketahui,” ujarku dengan nada dingin.Aku balik badan hendak masuk ke dalam butik kembali, tapi Angga memanggilku.“Gita!” Angga menegakkan tubuhnya. Dia bergerak mendekatiku. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. Aroma parfum mahal menguar terkena angin yang tiba-tiba semilir. Angga terlihat begitu maskulin.“Ada apa lagi?” tanyaku, malam.“Aku akan ban
“Gita?” Wanita itu juga tak kalah terkejutnya. “Kamu ngapain disini?” tanyanya sambil menyentuh bahuku dengan lembut.Sejurus kemudian, aku memeluknya karena perasaan rindu. Namun, seketika aku tersadar, bahwa wanita ini adalah ibunya Yunita, yang biasa kusapa dengan panggilan…“Tante Rusni, apa kabar?” Aku membawanya menuju sofa tamu di sudut kanan ruang butik paling depan dekat dengan jendela dan dinding yang seluruhnya terbuat dari kaca tebal.“Kamu belum jawab pertanyaan tante,” ujarnya dengan mulut mencebik seperti anak kecil yang merajuk manja.Aku tersenyum lebar melihat tingkahnya yang masih sama seperti dulu. Masih menyayangiku seperti anaknya sendiri lantaran diriku yang bersahabat dekat dengan anaknya—Yunita. Tetapi, sekarang, apakah Tante Rusni mengetahui bahwa hubungan kami saat ini tidak sedang baik-baik saja. Atau, kedatangannya kesini justru untuk ikut andil dalam permasalahan kami?“Kok bengong?” Pertanyaannya memaksaku untuk menyudahi praduga dan prasangka terhadapny
“Engga, Mbak. ini udah bener alamat Butiknya, penerimanya atas nama Gita Lisrani.” Abang kurir Gufud menjelaskan sambil menujukkan layar ponselnya yang tertera alamat yang memang sudha benar. Nomor HP juga tertulis milikku.“Siapa pengirimnya, Bang?” tanyaku penasaran.“Nama akunnya sih, Sophia. Tapi, pas saya telpon tadi yang jawab laki-laki, katanya namanya Angga,” jelas lelaki berjaket hijau itu.Aku menerima semua makanan yang dibawanya dan mengucapkan terima kasih.Saat masuk ke dalam, Luna dan Mayang sudah selesai makan siang. Aku membaginya untuk mereka juga. Karena sangat banyak, kami menyisakan sebagian untuk cemilan sore nanti.“Baik banget, Mbak Gita… kalo kayak gini, gak bisa aku tuh diet,” kata Luna dengan bibir mencebik. Luna memang gadis dengan badan sedikit gempal tetapi dia cantik dan berkulit putih.“Iya bener. Kalo aku, semangat tambah berat badan, biar gak dikatain cungkring mulu ama temen-temen,” sahut Mayang.Mereka terkekeh, aku pun ikut tertawa mendengar celote
“Bapak kok bisa ada disini?” tanya Bang Arlan sopan, masih menghormati mantan bos-nya itu.“Saya kebetulan lewat,” jawab Angga bohong. “Kenapa ribut-ribut?” Angga mengalihkan kebingungan Bang Arlan yang mungkin masih heran kenapa CEO perusahaan ternama bisa singgah ke klinik kecil ini.“Ah, ini urusan keluarga saya, Pak. Bapak boleh pergi,” ujar Bang Arlan terlihat tidak nyaman dengan kehadiran Angga.“Masalah biaya pengobatan adikmu sudah saya lunasi. Kalian tinggal menunggu obat.” Angga menyampaikan dengan sikap wibawanya. “Mbak Gita, ayo kembali ke butik, masih banyak pekerjaan yang harus kamu lakukan!” Angga beranjak keluar dengan arogan.“Kamu dengar itu? udah lunas dibayar Pak Angga!” Aku hendak berbalik badan menyusul Angga, tapi Bang Arlan menarik lenganku dengan sangat keras.“Kamu ada hubungan apa sama dia, hah?” Tatapan Bang Arlan sangat mengerikan. “Awas ya! Kamu ingat, Gita! Kita belum bercerai. Kalau sampai kamu selingkuh, hak asuh Chika akan jatuh ke tangan saya!” ancam
“Loh, Mbak?” Luna terheran saat ada mobil pick up beserta beberapa orang membawa lemari dan tempat tidur ke dalam butik.Aku tak sempat menanggapi. Kuarahkan mereka yang membawa barang-barangku untuk ke lantai dua, dimana ada ruang istirahat yang ukurannya lumayan lebih besar dibandingkan kamarku di rumah. Kuabaikan Luna dan Mayang yang masih terlihat bingung.Setelah kejadian tadi malam, aku memutuskan untuk pergi dari rumahku sendiri dengan membawa semua yang kubutuhkan.“Kamu beneran gila, Bang?” Aku menatap pada Bang Arlan setelah tawaku reda. “Kenapa aku harus keluar dari rumahku sendiri? Kalian yang numpang disini! Seharusnya kalian tau diri, dong.”“Gita!” Bang Arlan berdiri dengan sorot mata tajamnya. “Setidaknya hormati Mamaku. Dia orang tua juga. Kalau kamu gak mau menurutinya untuk membiayai hidup kami, biarkan Mama tinggal disini dengan nyaman tanpa ada kamu,” ujarnya tanpa memikirkan perasaanku.“Uwaahh… Aku benar-benar bisa gila hidup di antara kalian semua.” Tak ingin b
“Memang saya pelakunya,” ucap Tante Rusni dengan kepala menunduk.Setelah ketahuan bahwa dirinya menemui Aditya yang merupakan mantan calon menantunya untuk membantunya mencari Yunita yang beberapa hari ini menghilang, aku tidak berhenti bertanya hingga akhirnya tante Rusni lelah dan mengakui bahwa dirinyalah yang telah menjebakku di acara reuni sekaligus pengumuman oleh Yunita bahwa dirinya akan menikah. Saat itu, aku bahkan tidak mengingat wajah calon suami Yunita.“Kenapa tante tega ngelakuin itu sama Gita? Apa salah Gita sama tante?” Aku mulai terisak. Perih sekali hati ini ketika wanita yang sama kuhormati seperti ibuku sendiri ternyata diam-diam menyakiti lahir dan batinku.Percakapan kami saat ini sedang direkam video oleh Angga sebagai bukti untuk berjaga-jaga. Sebab, orang jahat dan licik bisa mengulangi perbuatannya jika ada kesempatan.“Tante minta maaf, Gita. Tante sudah memberikanmu minuman untuk menghilangkan kesadaranmu, lalu menyuruh Aditya untuk berhati-hati dan janga
“Kamu yakin gak mau ambil lagi rumah itu? Atau kamu mau aku renovasi semua bentuknya agar kamu bisa melupakan Arlan?” Angga berujar tanpa menoleh padaku, sedang tangannya sibuk menyusun berbagai stok makanan di dalam kulkas.Aku tidak mengindahkan ucapannya, yang kuperhatikan sejak tadi adalah, perhatiannya soal makanan. Lelaki ini sangat hobi membelikan makanan untuk orang lain. Aku duduk di mini bar dengan tangan menyanggah dagu. Semakin kuperhatikan, Angga semakin tampan meski wajahnya terlihat kaku dan jarang tersenyum, apalagi ekspresinya yang datar itu.“Kamu denger aku ngomong, gak?” Angga menyalakan kompor dan mendidihkan air, lalu menatapku dari dekat.Aku terkesiap ketika tiba-tiba mendapati dua bola matanya berada tepat di depanku. Bersamaan dengan degup jantung yang berdebar tak menentu.“Malah senyam-senyum sendiri. Apa aku terlihat seperti suami idaman?”Aku mendecih. “PD amat,” gumamku sambil melipat tangan ke dada.Dia tertawa keras dan menyiapkan mie instan ke dalam m
“Baru kali ini aku mengenal orang segila Angga.” Aku menghela napas panjang dengan mata menatap langit-langit kamar.Hari yang melelahkan. Akhirnya aku kembali ke butik dan menginap di kamar lantai tiga, sebab rumah itu sudah kuserahkan pada Angga.Aku memang ingin menjualnya dan menebus kembali tanah peninggalan ayah. Tetapi, uang itu sudah diserahkan seluruhnya pada Bang Arlan.Kemarin, saat pertemuan terakhir kami, Bang Arlan masih dengan rasa gengsinya dan merasa harga dirinya dijatuhkan oleh Angga.“Saya tidak bisa menerima uang ini!” tegas Bang Arlan. Dari raut wajahnya, sepertinya dia memang serius. Aku jadi heran, kenapa dia menolak, padahal selama ini yang dia kejar hanya uang.“Apa permintaan saya susah, Pak Arlan?” tanya Angga dengan wajah yang ketat.Aku pun mengira setelah menerima uang miliaran, mereka akan pergi dan berhenti mengangguku, tapi ternyata Bang Arlan belum selesai.“Apa lagi yang kamu inginkan, Bang?” tanyaku dengan perasaan putus asa. “Kita selesaikan sampa
“Pak Angga?” Yunita bersuara, memecahkan keheningan suasana yang menegang.Bang Arlan yang tadinya terpelongo karena terkejut, kini berubah pandangan menjadi sinis.“Kamu?” Aku juga tak sabar, kenapa bisa Angga yang menjadi pembelinya.“Apa anda tidak mau melayani saya sebagai pembeli rumah ini?” Angga bertanya dengan angkuh pada Bang Arlan yang seketika memasukkan ponselnya ke dalam tas setelah menekan tombol merah, mengakhiri panggilan.“Si*l!” Bang Arlan menggerutu dengan tangan mengepal dan rahang mengeras. “Sampai kapan kau akan terus ikut campur urusanku, hah?” Mata Bang Arlan melotot pada Angga dengan gigi yang dirapatkan, geram.Angga tertawa kecil dan melangkah maju, mendekati Bang Arlan.“Sampai kamu berhenti menganggu Gita.” Angga menyondongkan wajahnya dan sedikit berbisik pada Bang Arlan.“Wah, Cah Bagus! Apa kamu akan memberikan uang pada ibu kalau ibu berhasil membujuk Arlan untuk berhenti mengganggu Gita?” tanya Mamanya Bang Arlan dengan mata berbinar. Di kepalanya han
“Chika ingat!” Putri kecilku itu berujar dengan tegas. “Nomornya B xx23 NJ.”Aku terperangah mendengar ucapan Chika. “Kamu cerdas sekali, Nak.” Aku berlutut, meraih tangannya. Dia hanya diam dengan ekspresi datar. Biasanya dia akan tersenyum manis jika kupuji, tapi hari ini, dia berubah sensi.“Chika mau ke kamar Nini dulu. Bunda boleh pergi selesaikan urusan dengan Ayah. Chika disini aja sama Nini.” Gadis kecilku itu melepas genggaman tanganku. “Nini, Chika ke kamar dulu ya, tinggal digoreng aja kan, donatnya?” Dia mengalihkan pandangan pada ibuku sambil berdiri, bersiap untuk meninggalkan dapur.Ibuku hanya mengangguk dengan senyum cerah. Gadis kecilku itu langsung pergi ke kamar Nini-nya dan mengunci pintu.Ibu mengusap bahuku dengan lembut. “Kamu yang sabar, ya, Nak. Chika, anak sekecil itu terlihat aneh jika bersikap seperti orang dewasa, tapi itu semua terjadi sebab tekanan batin yang dia rasakan. Bagaimana bisa dia menerima kenyataan secara tidak sengaja bahwa seorang pria yang
“Sayang … sini, biar bunda jelasin.” Aku merentangkan tangan, memintanya untuk datang ke pelukanku.Chika menggelengkan kepalanya sambil menangis sesenggukan. “Bunda sama ayah jahat! Bunda sama ayah gak sayang Chika!” Dia menjerit, meluapkan emosinya.“Chika … cucu Nini … sini sama Nini, Nak!” Ibuku yang sudah tenang berusaha membujuk gadis kecil itu, sedang aku terduduk di lantai menundukkan kepala.Meski dia benci dengan ayah bundanya, beruntung masih ada Nini yang menjadi labuhan hatinya.“Jangan terus menyalahkan bunda, Nak. Nanti kalau kamu udah besar, pasti mengerti kenapa semua ini terjadi,” ujar Ibuku memberikan Chika nasihat.Chika menenggelamkan kepalanya dalam pelukan ibu. “Tapi Chika gak mau ayah sama bunda pisah dan berantem, Nini. Chika maunya tante itu pergi jangan ganggu ayah lagi. Chika mau buang aja semua bonek itu!” Gadis kecil dengan dress rumahan berwarna merah muda itu membalik badan seketika dan menunjuk mainan baru yang diberikan Yunita.“Kalau Chika benci sama
“Astaghfirullah …” Ibu meneteskan air mata.Beliau sangat terkejut setelah mendengar semua ceritaku tentang Bang Arlan dan Yunita. Setelah tadi ibu memegangi dadanya dan mengatakan dia baik-baik saja, hanya reaksi terkejut saat merespon berita yang kusampaikan. Ibu memintaku menceritakan semuanya tanpa ada yang ditutupi.“Bu … tapi Gita sekarang baik-baik aja. Ibu gak usah khawatir.” Aku berusaha menghiburnya yang tampak sangat terpukul menatapku dengan mata yang bergetar.“Bagaimana bisa kamu bilang baik-baik aja kalau ternyata Chika itu bukan anaknya Arlan. Lalu dia anaknya siapa, Nak?” Ibu sedikit berbisik dan mendekatkan wajahnya padaku. Air mata ibu akhirnya lolos setelah sejak tadi dia tahan.Aku terdiam sesaat.“Tentang itu, Gita juga sedang mencari tau, Bu. Dan sekarang sudah mendapat titik terang. Ada Angga yang membantu Gita.” Aku menjelaskan semuanya agar membuat Ibu tidak berpikir keras.Wanita yang melahirkanku itu menangis. Kepalanya menunduk dalam, dengan bahu terguncan
“Kamu…” Tante Rusni menunjukku dengan tangan gemetar. Dia seperti hendak protes. Dan mempertahankan sandiwaranya.Namun, aku mengalihkan keadaan ketika mendengar ponsel yang terus bergetar dari dalam tas.Aku menyibak rambut baru yang lurus sebahu berwarna kecoklatan ini lalu merogoh tas. Seketika panggilan yang sejak tadi berdering mati. Aku tak sempat menjawab panggilan dari ibu. Bola mataku melebar ketika pesan dari ibu sudah sejak tadi memberitahukan bahwa mantan suamiku datang bersama Yunita dan Mamanya Arlan.“Gita permisi dulu, Tante. Urusan kita belum selesai. Ada hal yang lebih penting saat ini.” Aku segra menyandang menyandang tasnya dan berlari terburu-buru menuju mobil.Tante Rusni ikut berjalan menuju pintu keluar dan melihatku dengan perasaan heran. Belum sempat dia mengutarakan apa pun yang sebenarnya sangat ingin kudengar, tetapi aku langsung pergi tanpa mendengarkan penjelasannya.“Ibu… ayo dong angkat telepon Gita!” Berkali-kali aku menekan tombol panggilan pada nomo
“Tante, gimana kabarnya? Tante lagi dimana?” Aku menelepon Tante Rusni, alias Mamanya Yunita dengan niat mengajaknya bertemu.“Kabar tante baik, Tante lagi di Bandung, ada apa, Git? Apa Yunita bikin masalah lagi sama kamu?” Suaranya terdengar mendayu terdengar sedang tak enak hati. “Tante minta maaf banget sama kamu ya, Gita. Kamu…”“Tante, maaf saya potong. Gimana kalau kita ketemuan aja buat bicarain semuanya?” ajakku.Dari seberang telepon aku mendengar desahan napas beratnya. Aku menerka, dia sedang keberatan dengan ajakanku.“Emm… gimana ya, tante agak sibuk belakangan ini, Git.” Dia akhirnya menolak.“Biar Gita aja yang ke Bandung, Tante. Gita sekalian mau ke rumah ibu. biar Gita mampir ke tempat tante,” ujarku menepis tolakannya.Dia terdiam sesaat, namun akhirnya menyetujui.“Oke deh. Kapan kamu mau datang?” tanya wanita itu.“Hari ini, Tante.”“Oke,” sahutnya dan telepon berakhir.Setelah kemarin mendengar penjelasan dari karyawanku yang bernama Chika, ciri-ciri yang dia sebu