“Daddy, apa aku bisa melihat Ash hari ini?” Dean yang baru saja menghirup kopinya, harus menahan keluhan dalam hati. Amy menagih janjinya seketika begitu membuka mata. Bahkan turun ke ruang makan masih memakai piyama.Dean melirik Rowena yang juga sedang menikmati teh. Tidak tampak mendengar pertanyaan Amy, fokus pada ponselnya. “Nanti, Amy. Aku belum mendapat kabar lagi,” kata Dean sambil mengulurkan tangan, dan mengangkat Amy agar duduk di pangkuannya. “Kenapa belum? Aku mau sekarang!” Sepertinya pengertian yang tadi malam ada karena kantuk, karena sekarang Amy sudah siap merengek. “Tidak bisa. Kau kesana sekarang pun Ash tidak akan tahu. Ia belum sadar.” Dean sudah membaca laporan yang masuk ke ponselnya tadi pagi. Ash lebih stabil, tapi belum sadarkan diri.“Suruh bangun!” Dean ingin tertawa, tapi salah rasanya. “Seandainya semudah itu, Amy. Daddy akan meminta Ash bangun sejak kemarin.” “Aku ingin melihatnya sekarang pokoknya!”“Amy, turuti ayahmu. Nanti.” Pendek, jelas, t
Ash membuka mata kurang lebih satu jam yang lalu—atau mungkin berjam-jam. Ash tidak bisa mengira-ngira. Kesadarannya kembali perlahan, dan Ash memilih diam selama prosesnya. Ia bahkan memejamkan mata saat ada perawat yang datang memeriksa keadaannya. Tidak ingin ada keributan saat dokter datang dan lainnya. Ash memilih fokus fokus mencerna keadaannya sendiri tanpa bergerak sama sekali. Selain karena rasa sakit di lehernya, Ash juga tengah menerjemahkan dimana, kapan, apa yang terjadi pada dirinya. Ash bersyukur ingatannya tidak ada yang cacat. Ia ingat menyelamatkan sandera dan juga Ian. Peluru itu pasti untuk sandera yang sedang bersama Ian. Entah untuk siapa, tapi Ash tidak rela ada yang terluka dari keduanya. Ingatan itu juga mengherankan Ash. Seharusnya saat ini Ian bersamanya, paling tidak berlutut menyembah di kakinya sebagai ucapan terima kasih, bukan malah meninggalkannya sendiri. Ash perlahan mengangkat tangannya saat rasa lemasnya jauh berkurang. Membuka dan menutup jari
“Kalian semua libur besok dan buatlah janji dengan dokter mata!” Dean mendesis, menatap barisan RaSP yang menunduk. Tidak ada yang berani menatap matanya.“Kalian merasa hebat? Setelah semua itu kalian masih merasa perlu ada disini untuk bekerja?!” Seandainya saja tidak ada di rumah sakit—di tempat umum, Dean sudah membentak sejak tadi. Masalahnya bukan hanya para bodyguard itu yang mendengar, tapi ada juga dokter dan perawat di sana. Sama, dalam keadaan menunduk bersalah. Mereka juga seharusnya tahu di mana Ash.“Daddy, mana Ash?” Amy menggoyangkan tangan Dean untuk bertanya. Amy juga menjadi alasan Dean untuk tidak amat marah.“Sudah tidak ada di sini.” Dean mengatakannya sambil menatap barisan bersalah itu—untuk menambah beban rasa bersalah karena telah membuat Amy kecewa. Membuat anak berwajah manis seperti malaikat kecewa, seharusnya membuat hati mereka lebih terguncang.“Kami akan segera melakukan pencarian, Sir.” Komandan dari penjaga itu maju, untuk memperbaiki kesalahannya ta
“Mae, Aku mohon pelan sedikit.” Poppy mengeluh karena kecepatan berjalan Mae meningkat tajam. Dari yang sebelumnya Poppy harus sedikit menyeret tubuhnya, kini Mae hampir berlari semenjak mereka turun dari mobil. Tapi Mae tidak mendengar permohonan apapun saat ini. Ia hanya fokus pada tanda panah yang bertuliskan nama bangsal yang tadi tertulis pada pesan Ash. “Kau dulu kalau begitu.” Poppy menyerah dan akhirnya membiarkan Mae meninggalkannya. Staminanya yang hanya terbiasa merajut tidak sebagus itu. Ia tidak mungkin mengejar saat Mae benar-benar berlari saat mereka sudah sampai pada deretan bangsal tempat Ash dirawat. Poppy tidak akan berusaha menyusul. “ASH!” Mae mendorong pintu sampai terbuka, dan berlari masuk. Ian yang berdiri di samping ranjang, dan melonjak terkejut, tidak ubahnya debu bagi Mae. “Jangan dulu… Ash tid—Ya, sudah. Silakan.” Ian mengangguk saja dan menyingkir saat Mae menghambur memeluk Ash—yang memang sedang tertidur. Cukup nyenyak sebenarnya, karena pengaruh
Pintu kamar mandi itu tertutup bersamaan dengan pintu kamarnya yang terbuka. Ash langsung kembali berbaring sambil menahan keluhan dengan menggigit lidah. Lukanya terasa berdenyut menyakitkan. Tidak seharusnya ia menerima tingkat stress semacam itu saat lukanya masih cukup segar. “ASH!” Amy berteriak dan berlari masuk. Ia langsung melompat naik ke atas ranjang dan memeluk Ash juga. Lehernya kembali mendapat tekanan, seperti saat Mae datang tadi. Dan seperti Mae tadi, Ash hanya mengelus kepala Amy yang berkepang itu. Tidak mengeluhkan rasa sakitnya, karena pelukan itu adalah kasih sayang. “Katanya kau terluka, Ash. Dimana… Oh, itu.” Ash kini yakin Amy dan Mae kemungkinan berbagi sel otak yang sama, karena mirip sekali reaksinya. Begitu melihat perban di leher Ash, ia menjauh dengan wajah menyesal. “Turun, Amy.” Dean yang menyusul masuk, tentu menegur Amy. Ia lalu menatap Ash, dan dibalas dengan berani. Ash tidak merasa salah. Ayahnya tahu ia tidak mau memakai fasilitas dari Rowen
“Bisakah kita tidak membahas masa lalu? Aku ingin memperbaiki—” “Tidak bisa! Tidak semua hal bisa kau perbaiki! Ada hal yang rusak parah sampai tidak bisa kau perbaiki!” Suara Ash semakin habis. Bisikannya sudah nyaris tidak bersuara, tapi Ash akan terus menjawab kalau ayahnya masih terus merasa tidak bersalah. “Hal apa—” “Sepuluh tahun lalu! Aku meminta bantuan padamu dengan sungguh-sungguh—Aku memohon—tapi apa balasannya?! Kau malah—” Ash tidak mampu lagi. Ia memejamkan mata dan perlahan membaringkan tubuh. Lehernya terasa seperti kering dan terbakar sekarang. “Kau itu bicara apa?” Dean tampak mengernyit berpikir. “Sepuluh tahun lalu? Apa anak yang bernama Mary itu? Kenapa—” “BERANI KAU MENYEBUT NAMANYA SETELAH APA YANG KAU LAKUKAN?!” Ash berteriak meski mengerahkan tenaga dari otot yang seharusnya tidak boleh bergerak. Ayahnya tidak boleh menyebut nama Mary, karena Mae bisa jadi mendengar. Ash tidak akan mampu menjelaskan kalau Mae sampai curiga. Ash terbatuk hebat setelah i
Mae hampir saja berteriak saat merasakan pintu membentur keningnya. Ia ada persis di belakang pintu. Tentu saja dengan reflek panik, Mae mendorong balik saat merasakan pintu itu terbuka. Setelah itu, ia dengan gugup menguncinya. Karena memang tergesa, Mae tidak menguncinya tadi. Ia tadi samar mendengar percakapan lalu sunyi. Mae sedikit tidak waspada setelah itu—merasa keadaan tenang, tapi rupanya tenang sebelum badai. Mae kini menatap dengan horor bagaimana handle bulat pintu kamar mandi itu berputar kasar—dipaksa untuk terbuka. “Kau menyembunyikan apa?” Mae mendengar pertanyaan tegas, dan mendengar jawaban dari suara Ash yang menderita. “Tidak ada.” “Kau pikir aku bodoh? Kau berulang kali melirik ke sini!” Mae mendesah. Ia bisa membayangkan usaha Ash untuk tidak panik, tapi gagal. “Lepaskan! Tidak—” Mae mendengar suara berdebum yang lebih keras—dan tidak tahan lagi. Ia meraih selot dan memutarnya sampai terbuka. Mae tidak mau membuat luka Ash semakin buruk karena terus menye
“Dokter akan memberimu obat tidur yang lebih kuat kalau kau mencoba bicara lagi.” Mae memberi peringatan pertama saat melihat Ash membuka mata. Ini karena ia juga setuju dengan dokter. Ash tersenyum lalu mengangguk. Asalkan hanya Mae—tidak ada makhluk lain yang membuatnya harus melampiaskan emosi—Ash merasa sangat mudah melakukannya. “Perlahan.” Mae melihat air dalam gelas yang ada di tangannya berkurang dengan sangat cepat. Ash menyedot terlalu kuat karena memang tenggorokannya amat kering. Tapi Mae khawatir Ash akan batuk lagi kalau sampai tersedak. “Kau ingin apa?” Mae bertanya karena melihat tangan Ash terangkat dan terulur. Ash menunjuk Mae tentunya. Apalagi yang akan diinginkannya? Mae tersenyum, lalu mendekatkan wajahnya ke tangan Ash. Tangan yang tentu saja langsung mengelus, dengan puas. Menyusuri lekuk dan ceruk yang dirindukannya. Hangat yang memang diinginkannya. “Aku juga merindukanmu.” Mae berbisik sambil memejamkan mata, dan mengecup telapak tangan yang menghampir
“Di sini saja, lebih teduh.” Rowena menunjuk kursi di sebelahnya. Dean juga mengangguk setuju.Seluruh plot kursi taman itu sebenarnya ada di bawah pohon paling besar yang ada di taman rumah, tapi karena posisi matahari, ada bagian yang masih tersiram cahaya.Mae sebenarnya tidak keberatan mendapat siraman matahari setelah beberapa hari berada di rumah sakit, tapi ia masih ingat bagaimana nasib orang yang kali terakhir berdebat dengan Rowena—diusir, karenanya sekarang Mae memilih menurut dan duduk dengan manis di sampingnya.“Kau sudah tidak sakit?” tanya Amy yang sudah duduk dan kini menyerahkan satu cookies dari meja. Bukan buatan Mae tapi. Ia belum boleh mendekati dapur—atau melakukan apapun.“Tentu saja. Dokter tidak mungkin mengizinkan aku pulang kalau belum.” Mae melirik Ash yang juga sudah duduk di sampingnya. Orang yang tidak mungkin mengizinkan Mae pulang sebelum dokter memastikan tidak ada yang salah dari tubuhnya.Untung saja Mae kemarin berhasil membuat dokter itu merahasia
“Mae? Ada apa?”Jeritan itu tentu saja menarik perhatian Rowena, dan juga beberapa orang tamu yang bersamanya. “Mae, hentikan!” Rowena menyambar kran wastafel dan mematikannya. Ia lalu menyambar tisu dapur dan mengulurkannya untuk wanita yang kini tersedak dan terbatuk itu.“Lady Jane? Apa Anda baik-baik saja?” tanya Rowena, sambil membantu mengusap air dari wajahnya.Mae yang masih berdiri di situ sedikit menjauh. Mengeluh saat mendengar Rowena memanggilnya lady. Itu berarti Jane ini berasal dari kalangan bangsawan yang sama dengan Rowena. Ia menyombong karena tahu kedudukannya kurang lebih sama dengan Rowena.“Tidak! Wanita ini menyerangku!” Jane menuding ke arah Mae, segera begitu batuknya terhenti.“Mae? Apa—”“Pelayan ini kurang ajar. Kau harus memberinya pelajaran etika!” Jane mengadu tanpa memberi kesempatan Rowena untuk bertanya pada Mae.“Siapa? Pelayan yang mana?” Rowena bingung memandang sekitar, mengira ada orang lain yang terlibat.“Ini!” Jane menuding Mae dengan lebih je
“Aku saja yang membawa.” Mae mengambil alih piring besar berisi potongan kue yang sudah diatur rapi olehnya dari tangan pelayan. Ini karena memang jumlah orang yang membawa kurang. Mae membantu agar pekerjaan mereka cepat selesaiAcara makan sudah dimulai sejak dua jam lalu, dan kini saatnya dessert yang dihidangkan. Semua tamu ribut bicara dan menertawakan entah apa. Mereka sudah tidak lagi duduk, tapi berdiri berkelompok masing-masing. Beberapa mengerumuni Rowena sebagai tuan rumah untuk berterima kasih.“Mae.” Rowena menghentikan langkah Mae dengan meraih lengannya saat ia lewat untuk kembali ke dapur.“Kau tidak perlu bekerja lagi.” Kalimat Rowena itu terdengar seperti kalimat pemecatan, tapi Mae sudah menghapal kalau tujuan Rowena bukan itu. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”Kalimat Rowena yang menyusul berikut menjelaskan niatnya dengan lebih baik. Rowena sedang mengkhawatirkan keadaan Mae.“Ya, setelah ini aku akan beristirahat.” Mae tersenyum menenangkan, lalu meneruskan l
“Karena itu kalian bisa melapor pada—Oh? Sir.” Louis mengangguk saat melihat Ash mendekat.Tapi ia paham kenapa dan langsung bergeser, memperlihatkan sosok yang berdiri di sampingnya, lalu melanjutkan briefing. Tidak berkomentar saat Ash menarik kerah jas Ian, yang tentu saja sedang tersenyum lebar.“What the fuck are you doing here?” geram Ash, setelah mereka sampai di taman yang sepi, tidak termasuk area yang dipakai untuk menjamu tamu.“Tolonglah jangan banyak mengumpat. Untung saja tidak ada toples di sini—Oh, apa aku perlu menghitung berapa umpatan yang kau ucapkan? Jadi bisa membayar nanti?” Ian menepuk bahu Ash perlahan, menangkan sekaligus menikmati reaksinya. Ian memang sengaja tidak mengatakan apapun agar bisa menikmati reaksi itu.“Apa yang kau lakukan di sini?!” Ash mendesis sambil menatap Ian dari atas sampai ke bawah. Jas itu sangat baru, juga pin yang tersemat di dadanya—menandakan ia anggota RaSp.“Apa kau menyamar? Ada pekerjaan yang membuatmu harus menyamar di sini?
“Itu cara berpamitan yang unik.”Mae menggelengkan kepala dan tertawa. Sejenak meninggalkan spuit yang dipakainya untuk menghias cupcake untuk menatap Ash.Ia baru saja menceritakan keributan yang terjadi malam kemarin saat ayah Serena datang menjemput. Ash baru bisa menceritakannya sekarang, karena kesibukan Mae memang hampir tanpa henti. Tamu yang dimaksud Rowena tidak hanya berlangsung sehari, tapi datang bergilir selama dua hari ini. Ia menjamu para istri dari orang-orang berpengaruh yang kemarin mendukung dan berkontribusi pada kemenangan Dean. Sedikit membalas budi.Karenanya Mae juga memperlakukan pekerjaan itu dengan lebih serius. Ia tidak boleh mengacau.“Unik, tapi yang pasti aku bersyukur dia sudah kembali. Aku lelah dengan drama gila mereka.” Ash menghela napas sambil mengulurkan tangan—berusaha mencolek krim berwarna hijau yang disiapkan Mae.Tentu saja Mae mencekal lengan itu. Mae tidak mungkin mengizinkan ada yang menyentuh adonannya dengan tangan yang tidak jelas keber
“Serena?”Ian menggoyangkan bahu Serena, cukup keras, dan masih tidak bergerak. Ian berencana memakai ponsel untuk menyuarakan alarm, tapi sepertinya percuma.Suara bentakan yang dikeluarkan Val tadi kerasnya melebihi alarm dan tidak mengganggu Serena. “Tuan Putri!”Ian akhirnya berseru agak keras dan mengguncang kedua bahu Serena. Baru setelahnya mendapat respon.“Lima menit lagi, Mom.” Gumaman yang kurang lebih menjelaskan kalau ia masih bermimpi.“I'm not your Mom, so please wake up. She's waiting for you.” (Aku bukan ibumu, jadi bangunlah. Dia menunggumu)Ian berbisik di telinganya, hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat bagaimana mata Serena membuka lebar dengan tiba-tiba. Ia langsung berbalik mencari siapa yang berbicara padanya, dan menemukan Ian berbaring di sampingnya sambil menopang kepala menahan tawa.“Bangun tidur pun kau tampak mempesona, Tuan Putri. Hamba puas melihatnya,” kata Ian.“Just cut the crap! Apa maksudmu Ibuku menunggu?” Informasi itu masih diingat ole
“Miss, ada tamu untuk Anda.” Louis dengan sopan mengetuk pintu kamar Serena.“Lebih keras lagi. Dia tidak akan terbangun kalau kau mengetuk selembut itu.” Val menyarankan karena tahu kebiasaan Serena. Biasanya hanya gempa yang bisa membangunkannyaLouis mengangguk dan mengetuk lebih keras lagi. “Miss?” Pintu itu terbuka, tapi yang muncul adalah Ian. “Kau mau apa?” Ian separuh membentak dengan wajah jengkel.Tapi hanya bertahan satu detik, karena wajah itu terhantam oleh kepalan tangan Val setelahnya. Ian tidak mungkin menghindar dan nyaris terpelanting.Dengan gerakan yang terlatih, Ian langsung menegakkan tubuh dan melayangkan tendangan balasan pada siapapun yang menyerangnya. Tapi kakinya berhasil ditepis dan saat itu Ian akhirnya melihat mata amat biru yang sekarang menjadi mimpi buruknya.“Oh, shit!” makinya, sambil menurunkan tangan—membatalkan serangan, tapi tetap waspada dan bergerak menghindar saat Val menggembor marah dan melayangkan pukulan lain.“Dasar setan!” Val berseru d
“Aku bilang jangan berpikir ke arah sana!” sergah Serena, sambil mengibaskan rambut dan tengkuknya kembali tertutup.“Oh…” Ian tentu saja kecewa, tapi tidak bisa lama. Saat Serena mengangkat sepuluh jarinya, ia langsung paham masalahnya apa. “Kau tidak bisa membukanya.” Serena berbalik sambil mengangguk. Masih ada sisa pink di wajahnya tapi tidak lagi amat merah. “Aku tidak bisa memaksa membuka ini. Aku perlu sembuh cepat. Harus latihan.” Serena menunjukkan perbannya lagi. Ia bisa memaksakan untuk membuka perban itu, tapi khawatir akan memperburuk lukanya. Serena membutuhkan tangan itu untuk berlatih sebentar lagi.“Seharusnya kau mengatakannya sejak tadi. Aku akan membantu. Ini mudah.” Ian memutar tangannya. Isyarat agar Serena kembali berbalik memunggunginya.“Aku akan meminta bantuan Mae kalau dia tidak sibuk!” cetus Serena. Masih ingin menegaskan kalau Ian adalah pilihan terakhir.“Itu tidak akan seru. Seharusnya kau langsung datang padaku. Masalahnya akan cepat selesai.” Ian te
“Kenapa susah sekali!” Serena mengeluh karena jarinya tidak bisa menyentuh zipper yang sebenarnya mudah.Kalau bisa melepaskan kuncian, Serena bisa mendorong turun, tapi gerakan sederhana itu sangat membutuhkan jari. Serena menghela napas. Menyerah, ia memerlukan bantuan.Serena bisa saja melewatkan mandi, tapi tetap ingin mengganti baju. Ia sudah memakainya seharian berkeliling.Serena keluar dari kamar—mencari Mae, tapi belum sampai di kamarnya, Serena sudah melihat Mae berlari kecil ke arah dapur. Serena mengintip, dan terlihat Mae—dibantu beberapa orang pelayan yang memang bekerja di rumah itu sedang sibuk menyiapkan kue.Mae tadi hanya keluar sebentar, kini melanjutkan pekerjaannya menggiling adonan croissant berwarna merah yang harus dilipat berulang kali. Bukan saat yang tepat untuk meminta bantuan, karena Serena perlu membawa Mae ke kamar. Tidak mungkin ia membuka bajunya di dapur.“Ian ada di sana—belum pulang. Menerima panggilan.”Ash yang berusaha membantu Mae—dengan menga