Ash menjelaskan beberapa hal yang akan dilakukannya nanti, termasuk mengganti sofa dan memperbaiki beberapa jendela yang memang sudah lapuk. “Akan sedikit lama, tapi…” Mae menghentikan penjelasan itu, dengan menempelkan telunjuk ke bibir Ash. “Berhenti dulu, bernapas dulu.” Mae lalu mencubit pipi Ash. “Aw?” Ash tidak merasa amat sakit, hanya heran, dan mengelus pipinya yang tidak bersalah tapi mendapat serangan. “Untuk apa itu?” tanya Ash. “Memastikan bukan mimpi,” kata Mae lalu kembali menopang kepalanya. “Kau memastikan mimpi atau bukan dengan mencubit pipiku? Biasanya memastikan mimpi atau bukan dengan mencubit diri sendiri, bukan orang lain.” Ash masih mengusap pipinya dengan heran. “Apa rasanya sakit?” tanya Mae. “Tentu.” “Well, kalau begitu ini bukan mimpi. Kau bisa merasakan sakit. Sama saja bukan? Tidak perlu aku yang sakit.” “Logika macam apa itu?” Ash antara ingin jengkel, tapi ingin tertawa juga, tapi memutuskan kalau membahas logika Mae akan menjadi panjang. Ia
“Ini! Aku menemukannya di sini! Terlihat jelas!”Dex dengan tergesa membawa laptopnya kepada Evelyn. Menunjukkan foto yang ditemukannya. Evelyn juga melakukan hal yang sama tapi Dex yang lebih dulu menemukannya. Foto pria yang menyerang Dex.Mereka sudah melapor ke polisi, tapi tentu sulit untuk membuat tuntutan karena tidak tahu identitas dari siapa yang melukai Dex.“Ini yang paling jelas.” Evelyn setuju. Iya tadi menemukan beberapa foto, tapi hanya tampak samping dan belakang. Foto yang ditemukan Dex itu lebih jelas. Pria itu berdiri sambil menatap ke depan, berjajar bersama tamu lain.“Dia bukan sedang menatap Dad, tapi jalang itu!” desis Evelyn dengan jijik, saat menyadari arah pandangan mata dalam foto itu. Mae masih ada di dekat peti mati ayahnya.“Sepertinya dia pria Mae.” Dex kini yakin.“Memang akan jalang sampai kapanpun. Berani sekali betina itu membawa pria saat pemakaman suaminya?! Lebih dari menjijikan!” Evelyn mencela sambil menggelengkan kepala. Tidak habis pikir.“La
“Kami sudah mencoba apapun, tapi tanpa transplantasi itu, tidak ada yang bisa dilakukan lagi. Komplikasinya sudah terlalu buruk.” Dokter Faraday menggeleng dengan murung.Mae bukan belum pernah mendengar hal itu, tapi rasanya sama saja. Seperti ada yang mengikat lehernya—sesak. Putus ada yang menghimpit sampai membuatnya sulit bernapas. Apalagi ditambah pembicaraan kalau keadaan ginjal Daisy yang memburuk, rasa mencekik itu semakin nyata.“Apa tidak ada yang bisa dilakukan untuk mempercepat perolehan donornya? Saya tidak bisa melihat Daisy terus seperti itu.” Mae hanya melihat, tapi Daisy yang menjalaninya, pasti lebih buruk. Hati Mae terasa tertusuk setiap kali harus membayangkan Daisy menanggung rasa sakit dengan tubuhnya yang kurus itu.Dokter Faraday tampak mengusap dagu, berpikir keras. “Ada tapi mungkin tidak akan murah.”Dokter Faraday menunduk dan berbisik di telinga Mae, berhati-hati agar tidak ada yang mendengar. “Aku biasanya tidak akan menyarankan hal ini karena bisa dikat
“Did you miss her? Kita baru pergi empat hari. Kau terlihat terlalu suram.” Ian menggoda saat melihat Ash memeriksa ponselnya. “Aku sedang memeriksa apakah ada sinyal atau tidak. jadi diamlah!” desis Ash. “Sama saja. Kau membutuhkan sinyal karena berharap ada pesan masuk atau panggilan bukan? Apa itu namanya kalau bukan rindu?” Ian menyenggol bahu Ash.“Apa kau ingin mati?!” desis Ash. “Oh, maaf…maaf.” Ian menyadari kesalahannya. Ash bukan sedang terlalu sensitif dan marah hanya karena godaan itu. Tapi senggolan bahu Ian itu baru saja menggeser moncong senapan laras panjang yang telah disiapkan Ash. “Maaf.” Ian sekali lagi meminta maaf, saat Ash menghela napas dan harus memperbaiki posisi senapan itu, agar terarah pada sasaran. Untuk menghindari pandangan mata Ash yang tajam, Ian dengan sukarela memperbaiki alat kamuflase yang menutupi mereka berdua saat ini. Terpal jaring berwarna kecoklatan dengan aneka dedaunan berwarna cokelat yang menyaru dengan bebatuan tandus di sekitar
“Kenapa polisi…” Dean berhenti bertanya, karena sudah membaca isi surat itu. Tertulis jelas.Surat itu panggilan untuk Ash, dan terancam menjadi tersangka penganiayaan. Buktinya tidak kuat, karena itu Ash tidak langsung menjadi tersangka, tapi ia tetap akan diinterogasi. Kalau Ash tidak memenuhi panggilan itu, maka mereka akan membawanya dengan paksa.“Omong kosong apa ini?!” Dean mendesis sambil meremas surat itu dengan wajah memerah.“Bagaimana mungkin masalah seperti ini malah muncul pada saat krusial seperti ini?!”Brad tidak berani berkomentar, hanya menunduk saat Dean menahan umpatannya sambil menggertakkan rahang.“Kau urus ini. Jangan sampai ada yang tahu,” kata Dean, setelah bisa sedikit menenangkan diri.Brad mengangguk. “Tentu, Sir.”“Dan panggil Ash. Aku ingin tahu apa alasannya berbuat kebodohan semacam ini!” Dean tentu tidak akan melepaskan begitu saja. Masalah ini akan menjadi buruk kalau dibiarkan.“Maaf, Sir. Tapi Mr. Cooper Jr. sedang tidak ada di Inggris. Ia sedang
“Aku tidak akan menjawab pertanyaan apapun.” Mae duduk dan menurut sejak tadi, tapi tidak akan menjawab pertanyaan polisi dengan sembarangan. Ia tidak sangat bodoh dalam urusan hukum.“Kau harus menjawab!” Polisi yang bernama Darwin itu menggebrak meja—jengkel karena sejak tadi tidak mengalami kemajuan.Sudah hampir dua jam Mae dibawa ke ruang interogasi yang suram abu-abu itu, tapi belum sedikitpun memberikan info.“Sejak kapan menjadi wajib? Aku tidak merasa ingin menjawab, dan itu hak bukan?” Mae membalas dengan tenang. Hal yang memperlihatkan perasaan Mae saat ini adalah tangan.Wajahnya terlihat datar, tapi tangannya amat merah, karena sejak tadi ia meremas keduanya tanpa henti. Mae sebenarnya panik tentu. Ia tidak mengira kedua anak setan itu bisa mewujudkan ancamannya secepat ini. Baru hampir seminggu ia meninggalkan Bakewell.“Kau akan disini lama kalau kau terus seperti ini!” sergah Darwin.“Apa kau akan membebaskanku kalau aku menjawab?” Mae bertanya dengan sinis.“Ya, itu
“Mr. Cooper, saya tahu Anda sudah melihat saya!” Brad berseru. Berusaha mengejar karena tentu langkah kaki Ash jauh lebih cepat.Ash masih berpura-pura tidak mendengar, dan terus maju.“Kau tidak akan bisa menghindar selamanya. Dia akan terus mengejar meski kau kabur ke ujung dunia.” Ian yang menyusul di sampingnya, mengingatkan keahlian Brad yang utama. Menemukan Ash.“Ck!” Ash akhirnya berhenti berjalan. “Terima kasih.” Brad ikut berhenti dengan napas terengah. Berterima kasih karena Ash tidak membuatnya berlari jauh. Tentu ia akan tetap kalah kalau Ash berlari sekuat tenaga.“Ada apa?” tanya Ash, dengan ketus.“Sir Cooper ingin bertemu Anda,” kata Brad.“Aku tahu itu! Tapi ada apa?” Kehadiran Brad untuk menjemput sudah pasti atau suruhan ayahnya, Ash tidak perlu keterangan semacam itu.“Akan lebih baik Kalau anda bicara sendiri pada beliau.” Brad tersenyum pahit saat mengatakannya.Ian menyambar bahu Ash dan berbisik. “Jangan mengindikasikan aku tahu tentang apa yang kau lakukan,
Ash mengernyit, rumahnya terlalu sepi, padahal seharusnya Mae ada di dalam. Pintu depan tidak terkunci, dan gerbang rumahnya juga terbuka tadi. “Mae?” Ash mengetuk pintu kamar Mae, bisa jadi ia tertidur, tapi kemudian Ash juga sadar kalau pintu itu tidak terkunci. Ash membuka dan keadaan normal. Ada sedikit berantakan, lipstik terjatuh. Ash mengambil dan mengembalikannya bersama make up yang lain di meja. Tapi hal itu tidak menjawab pertanyaannya dimana Mae berada. “Mae?!” Ash memanggil sedikit lebih keras, ke halaman belakang dan samping, yang mana tidak memperlihatkan apapun. Area luar rumah tua itu tidak tersentuh oleh apapun. Mae tidak mungkin tersembunyi di antara rumput tinggi, karena tidak mungkin ada hal yang bisa dilakukan di sana. Ash mengangkat kedua tangan, sambil memejamkan mata, mencoba berpikir logis. Mae tidak ada di rumah, yang menjadi masalah mobilnya masih ada di garasi. Ash melihatnya tadi saat memarkir mobilnya sendiri. Sementara sedikit mustahil kalau Mae p
“Di sini saja, lebih teduh.” Rowena menunjuk kursi di sebelahnya. Dean juga mengangguk setuju.Seluruh plot kursi taman itu sebenarnya ada di bawah pohon paling besar yang ada di taman rumah, tapi karena posisi matahari, ada bagian yang masih tersiram cahaya.Mae sebenarnya tidak keberatan mendapat siraman matahari setelah beberapa hari berada di rumah sakit, tapi ia masih ingat bagaimana nasib orang yang kali terakhir berdebat dengan Rowena—diusir, karenanya sekarang Mae memilih menurut dan duduk dengan manis di sampingnya.“Kau sudah tidak sakit?” tanya Amy yang sudah duduk dan kini menyerahkan satu cookies dari meja. Bukan buatan Mae tapi. Ia belum boleh mendekati dapur—atau melakukan apapun.“Tentu saja. Dokter tidak mungkin mengizinkan aku pulang kalau belum.” Mae melirik Ash yang juga sudah duduk di sampingnya. Orang yang tidak mungkin mengizinkan Mae pulang sebelum dokter memastikan tidak ada yang salah dari tubuhnya.Untung saja Mae kemarin berhasil membuat dokter itu merahasia
“Mae? Ada apa?”Jeritan itu tentu saja menarik perhatian Rowena, dan juga beberapa orang tamu yang bersamanya. “Mae, hentikan!” Rowena menyambar kran wastafel dan mematikannya. Ia lalu menyambar tisu dapur dan mengulurkannya untuk wanita yang kini tersedak dan terbatuk itu.“Lady Jane? Apa Anda baik-baik saja?” tanya Rowena, sambil membantu mengusap air dari wajahnya.Mae yang masih berdiri di situ sedikit menjauh. Mengeluh saat mendengar Rowena memanggilnya lady. Itu berarti Jane ini berasal dari kalangan bangsawan yang sama dengan Rowena. Ia menyombong karena tahu kedudukannya kurang lebih sama dengan Rowena.“Tidak! Wanita ini menyerangku!” Jane menuding ke arah Mae, segera begitu batuknya terhenti.“Mae? Apa—”“Pelayan ini kurang ajar. Kau harus memberinya pelajaran etika!” Jane mengadu tanpa memberi kesempatan Rowena untuk bertanya pada Mae.“Siapa? Pelayan yang mana?” Rowena bingung memandang sekitar, mengira ada orang lain yang terlibat.“Ini!” Jane menuding Mae dengan lebih je
“Aku saja yang membawa.” Mae mengambil alih piring besar berisi potongan kue yang sudah diatur rapi olehnya dari tangan pelayan. Ini karena memang jumlah orang yang membawa kurang. Mae membantu agar pekerjaan mereka cepat selesaiAcara makan sudah dimulai sejak dua jam lalu, dan kini saatnya dessert yang dihidangkan. Semua tamu ribut bicara dan menertawakan entah apa. Mereka sudah tidak lagi duduk, tapi berdiri berkelompok masing-masing. Beberapa mengerumuni Rowena sebagai tuan rumah untuk berterima kasih.“Mae.” Rowena menghentikan langkah Mae dengan meraih lengannya saat ia lewat untuk kembali ke dapur.“Kau tidak perlu bekerja lagi.” Kalimat Rowena itu terdengar seperti kalimat pemecatan, tapi Mae sudah menghapal kalau tujuan Rowena bukan itu. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”Kalimat Rowena yang menyusul berikut menjelaskan niatnya dengan lebih baik. Rowena sedang mengkhawatirkan keadaan Mae.“Ya, setelah ini aku akan beristirahat.” Mae tersenyum menenangkan, lalu meneruskan l
“Karena itu kalian bisa melapor pada—Oh? Sir.” Louis mengangguk saat melihat Ash mendekat.Tapi ia paham kenapa dan langsung bergeser, memperlihatkan sosok yang berdiri di sampingnya, lalu melanjutkan briefing. Tidak berkomentar saat Ash menarik kerah jas Ian, yang tentu saja sedang tersenyum lebar.“What the fuck are you doing here?” geram Ash, setelah mereka sampai di taman yang sepi, tidak termasuk area yang dipakai untuk menjamu tamu.“Tolonglah jangan banyak mengumpat. Untung saja tidak ada toples di sini—Oh, apa aku perlu menghitung berapa umpatan yang kau ucapkan? Jadi bisa membayar nanti?” Ian menepuk bahu Ash perlahan, menangkan sekaligus menikmati reaksinya. Ian memang sengaja tidak mengatakan apapun agar bisa menikmati reaksi itu.“Apa yang kau lakukan di sini?!” Ash mendesis sambil menatap Ian dari atas sampai ke bawah. Jas itu sangat baru, juga pin yang tersemat di dadanya—menandakan ia anggota RaSp.“Apa kau menyamar? Ada pekerjaan yang membuatmu harus menyamar di sini?
“Itu cara berpamitan yang unik.”Mae menggelengkan kepala dan tertawa. Sejenak meninggalkan spuit yang dipakainya untuk menghias cupcake untuk menatap Ash.Ia baru saja menceritakan keributan yang terjadi malam kemarin saat ayah Serena datang menjemput. Ash baru bisa menceritakannya sekarang, karena kesibukan Mae memang hampir tanpa henti. Tamu yang dimaksud Rowena tidak hanya berlangsung sehari, tapi datang bergilir selama dua hari ini. Ia menjamu para istri dari orang-orang berpengaruh yang kemarin mendukung dan berkontribusi pada kemenangan Dean. Sedikit membalas budi.Karenanya Mae juga memperlakukan pekerjaan itu dengan lebih serius. Ia tidak boleh mengacau.“Unik, tapi yang pasti aku bersyukur dia sudah kembali. Aku lelah dengan drama gila mereka.” Ash menghela napas sambil mengulurkan tangan—berusaha mencolek krim berwarna hijau yang disiapkan Mae.Tentu saja Mae mencekal lengan itu. Mae tidak mungkin mengizinkan ada yang menyentuh adonannya dengan tangan yang tidak jelas keber
“Serena?”Ian menggoyangkan bahu Serena, cukup keras, dan masih tidak bergerak. Ian berencana memakai ponsel untuk menyuarakan alarm, tapi sepertinya percuma.Suara bentakan yang dikeluarkan Val tadi kerasnya melebihi alarm dan tidak mengganggu Serena. “Tuan Putri!”Ian akhirnya berseru agak keras dan mengguncang kedua bahu Serena. Baru setelahnya mendapat respon.“Lima menit lagi, Mom.” Gumaman yang kurang lebih menjelaskan kalau ia masih bermimpi.“I'm not your Mom, so please wake up. She's waiting for you.” (Aku bukan ibumu, jadi bangunlah. Dia menunggumu)Ian berbisik di telinganya, hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat bagaimana mata Serena membuka lebar dengan tiba-tiba. Ia langsung berbalik mencari siapa yang berbicara padanya, dan menemukan Ian berbaring di sampingnya sambil menopang kepala menahan tawa.“Bangun tidur pun kau tampak mempesona, Tuan Putri. Hamba puas melihatnya,” kata Ian.“Just cut the crap! Apa maksudmu Ibuku menunggu?” Informasi itu masih diingat ole
“Miss, ada tamu untuk Anda.” Louis dengan sopan mengetuk pintu kamar Serena.“Lebih keras lagi. Dia tidak akan terbangun kalau kau mengetuk selembut itu.” Val menyarankan karena tahu kebiasaan Serena. Biasanya hanya gempa yang bisa membangunkannyaLouis mengangguk dan mengetuk lebih keras lagi. “Miss?” Pintu itu terbuka, tapi yang muncul adalah Ian. “Kau mau apa?” Ian separuh membentak dengan wajah jengkel.Tapi hanya bertahan satu detik, karena wajah itu terhantam oleh kepalan tangan Val setelahnya. Ian tidak mungkin menghindar dan nyaris terpelanting.Dengan gerakan yang terlatih, Ian langsung menegakkan tubuh dan melayangkan tendangan balasan pada siapapun yang menyerangnya. Tapi kakinya berhasil ditepis dan saat itu Ian akhirnya melihat mata amat biru yang sekarang menjadi mimpi buruknya.“Oh, shit!” makinya, sambil menurunkan tangan—membatalkan serangan, tapi tetap waspada dan bergerak menghindar saat Val menggembor marah dan melayangkan pukulan lain.“Dasar setan!” Val berseru d
“Aku bilang jangan berpikir ke arah sana!” sergah Serena, sambil mengibaskan rambut dan tengkuknya kembali tertutup.“Oh…” Ian tentu saja kecewa, tapi tidak bisa lama. Saat Serena mengangkat sepuluh jarinya, ia langsung paham masalahnya apa. “Kau tidak bisa membukanya.” Serena berbalik sambil mengangguk. Masih ada sisa pink di wajahnya tapi tidak lagi amat merah. “Aku tidak bisa memaksa membuka ini. Aku perlu sembuh cepat. Harus latihan.” Serena menunjukkan perbannya lagi. Ia bisa memaksakan untuk membuka perban itu, tapi khawatir akan memperburuk lukanya. Serena membutuhkan tangan itu untuk berlatih sebentar lagi.“Seharusnya kau mengatakannya sejak tadi. Aku akan membantu. Ini mudah.” Ian memutar tangannya. Isyarat agar Serena kembali berbalik memunggunginya.“Aku akan meminta bantuan Mae kalau dia tidak sibuk!” cetus Serena. Masih ingin menegaskan kalau Ian adalah pilihan terakhir.“Itu tidak akan seru. Seharusnya kau langsung datang padaku. Masalahnya akan cepat selesai.” Ian te
“Kenapa susah sekali!” Serena mengeluh karena jarinya tidak bisa menyentuh zipper yang sebenarnya mudah.Kalau bisa melepaskan kuncian, Serena bisa mendorong turun, tapi gerakan sederhana itu sangat membutuhkan jari. Serena menghela napas. Menyerah, ia memerlukan bantuan.Serena bisa saja melewatkan mandi, tapi tetap ingin mengganti baju. Ia sudah memakainya seharian berkeliling.Serena keluar dari kamar—mencari Mae, tapi belum sampai di kamarnya, Serena sudah melihat Mae berlari kecil ke arah dapur. Serena mengintip, dan terlihat Mae—dibantu beberapa orang pelayan yang memang bekerja di rumah itu sedang sibuk menyiapkan kue.Mae tadi hanya keluar sebentar, kini melanjutkan pekerjaannya menggiling adonan croissant berwarna merah yang harus dilipat berulang kali. Bukan saat yang tepat untuk meminta bantuan, karena Serena perlu membawa Mae ke kamar. Tidak mungkin ia membuka bajunya di dapur.“Ian ada di sana—belum pulang. Menerima panggilan.”Ash yang berusaha membantu Mae—dengan menga