Vernon memungut bunga yang dibuang Devan ke tong sampah dan membawanya masuk ke ruangan Berlin.Tatapan Berlin dan Arkan langsung mengarah ke pintu begitu mereka mendengar suara pintu yang terbuka."Kak Vernon," sapa Berlin sekenanya."Maaf, Berlin butuh istirahat. Kau bisa menjenguknya lagi nanti. Sekarang kau boleh pergi. Aku yang akan menjaga Berlin," ujar Vernon mengusir Arkan tanpa basa-basi."Kau siapa? Setahuku Berlin yatim piatu—""Kau tidak perlu tahu siapa aku! Kuharap kau bisa pergi sebelum kau mengganggu ketenangan pasien di sini!" ujar Vernon ketus pada Arkan."Ehm, Kak Vernon ... ini dosenku di kampus—""Aku sudah tahu. Kau hanya dosen, kan? Tugasmu hanya mengurus Berlin di dalam kampus. Bukan di luar kampus!" cetus Vernon makin dingin pada Arkan."Apa masalahmu sebenarnya? Aku hanya menemani Berlin di sini dan kau tidak terima?" sungut Arkan."S-sudah! Aku tidak perlu ditemani—""Diam!" sentak Vernon dan Arkan bersamaan pad
"Devan!" panggil Sheena sembari berlari kecil menghampiri sang kekasih yang tengah bersama dengan Berlin.Wanita itu menarik Devan menjauh dari Berlin, kemudian menatap Berlin dengan pandangan mata yang menusuk."Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Sheena seraya melingkarkan tangan di lengan Devan.Devan dan Berlin sontak memandangi Sheena dengan ekspresi terkejut. Berlin segera mundur beberapa langkah dari Devan dan mencari-cari alasan untuk melarikan diri."M-maaf, aku harus ke toilet!" ujar Berlin tergagap. Gadis itu langsung berlari kocar-kacir meninggalkan Devan dan Sheena, sebelum tamparan mendarat kembali ke pipi mulus Berlin."Siapa gadis itu?" tanya Sheena sarkas."Bukan siapa-siapa!" jawab Devan malas sembari berjalan menuju ruang istirahatnya."SIAPA GADIS ITU?" sentak Sheena mulai tak sabaran."Cari tahu saja sendiri kalau kau ingin tahu!" sinis Devan tak ingin meladeni amukan Sheena."Sebenarnya kau anggap aku ini apa? Pajangan?" omel Sheena masih terus mengoceh meskipun
“Bagaimana keadaanmu, Devan? Kau sudah membaik?” tanya ibunda dari Devan, Nyonya Sella.Devan terus menatap ke arah jendela dengan tatapan kosong, tanpa menghiraukan pertanyaan sang ibu yang mencemaskannya.“Ayah, bagaimana ini? Sepertinya kondisi Devan masih sama saja,” ujar Nyonya Sella pada sang suami dengan manik mata mengembun dan menatap pilu pada putranya yang malang.“Kalau begitu, tidak ada pilihan lain. Kita kirim saja Devan kembali ke Jerman!” ungkap Tuan Wildan.“Untuk apa repot-repot mengirimku ke sana lagi? Kalian malu membuat putra yang gila seperti aku?” sinis Devan tanpa menoleh sedikitpun ke arah kedua orang tuanya.“Devan baru saja pulang beberapa bulan yang lalu. Ayah ingin mengirimnya kembali ke sana?” rengek Nyonya Sella.“Tidak ada pilihan lain! Devan lebih baik menjalani pengobatan dengan psikolog di sana daripada—““Daripada apa? Daripada aku berada di sini dan membuat malu Ayah?” potong Devan dengan sindiran ketus.“Jaga bicaramu!” bentak Tuan Wildan.“Katakan
Berlin dan Devan duduk dengan canggung berdua di dalam ruangan Devan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Vernon sudah pergi menghilang entah kemana, meninggalkan kedua orang itu agar bisa saling berbincang dengan leluasa tanpa gangguan.“Maaf!” ucap Devan tiba-tiba memecah keheningan.“Kau berharap aku akan mengucapkan hal itu?” sinis Devan.“Kau masih ingin menertawaiku?” sambungnya lagi.“Aku tidak berpikir sejauh itu. Kenapa kau terus menuduh yang tidak-tidak sejak tadi?” sungut Berlin.Devan menatap nanar ke arah Berlin dengan wajah muram. “Apa aku terlihat payah? Kau pasti menganggapku gila, kan?” tanya Devan dengan senyum kecut.“Aku tidak beranggapan begitu. Tuan memang sakit, kan? Aku bisa memahaminya, tidak perlu malu dan merasa kecil hati.”“Semua orang memperlakukanku seperti pasien rumah sakit jiwa,” ungkap Devan dengan ekspresi murung.“Tuan hanya sakit. Tidak perlu berpikir berlebihan,” hibur Ber
"Apa yang sudah kau lakukan?" bisik Berlin sembari berdecak kesal di tengah kepungan preman berbadan kekar dan bertampang menyeramkan yang mengelilingi dirinya serta Devan."Tidak perlu takut! Ada aku di sini!" tukas Devan seraya menggenggam erat tangan mungil Berlin.Pria itu celingukan di sekitar lorong untuk mencari Vernon, namun sayangnya pria itu tak melihat sosok sang asisten di sekitar lorong tempatnya terkepung."Kemana perginya babu pemalas itu?" gerutu Devan dalam hati."Pelajaran apa yang akan kau berikan pada kami? Kau pikir badan kurusmu itu mampu menginjak kakiku?" cibir pria paruh baya itu pada Devan.Devan semakin mengeratkan genggaman tangannya pada Berlin tanpa mengucapkan sepatah katapun. Pria itu mengedarkan pandangan ke sekeliling lorong, mencoba mencari celah untuk melarikan diri dari kepungan puluhan preman itu."SATPAM! ADA PREMAN YANG INGIN MERAMPOK!" pekik Devan sembari menunjuk ke sembarang arah untuk mengalihkan perhatian para preman itu.Begitu seluruh pri
Berlin terus menatap ke arah Devan dengan pipi merah merona. Gadis itu tak dapat memalingkan wajah sedikitpun dari Devan dan memandangi wajah tampan pria galak itu tanpa berkedip."Aku tahu aku tampan, tapi kau tidak perlu melihatku sampai seperti itu!" sindir Devan."A-apa? Aku tidak melihat! Aku ... fokus melihat tahi lalat!" kilah Berlin gelagapan sembari memalingkan wajah dari Devan."T-tuan tidak lelah? Aku bisa berjalan sendiri," ujar Berlin."Kakimu berdarah. Kalau berjalan pincang seperti siput, sampai kapan kita akan tiba di rumah sakit?" omel Devan."B-bagaimana kalau preman tadi masih di sana? Apa tidak sebaiknya kita tunggu dulu sebentar di sini sambil menunggu para preman itu meninggalkan rumah sakit?" usul Berlin."Kau masih ingin berada di sini? Dengan kaki yang berdarah? Siapa yang tadi menangis karena kakinya berdarah?" ejek Devan."A-aku hanya terkejut saja melihat darah di kakiku!" kilah Berlin.Devan mengamati Berlin lekat-lekat dan mulai menyadari wajah Berlin yan
Tengah malam, Berlin menggeliat di atas ranjangnya sembari berguling kesana-kemari di kasur single bed tempatnya beristirahat."Kok sempit sih?" racau Berlin dengan mata tertutup.Gadis itu membuka mata perlahan dan merasa ada tubuh lain yang terbaring di atas kasur kecilnya.Benar saja! Tubuh jangkung Devan ikut terlentang di sampingnya dan membuat brankar milik rumah sakit itu terasa sesak seketika."Kenapa dia ada di sini?" gerutu Berlin kesal melihat Devan memenuhi ranjang tempatnya berbaring.Devan yang merasakan pergerakan Berlin, ikut terbangun karena gadis di sampingnya yang terus menggeliat hingga mengusik tidur lelapnya."Bisakah kau diam? Apa kau tidak lelah?" protes Devan."Siapa yang seharusnya mengomel di sini?" batin Berlin jengkel."S-sempit," rengek Berlin lirih."Apanya?""Kasurnya sempit," gerutu Berlin pelan dengan wajah cemberut."Sempit apanya? Ranjangnya sangat cukup untuk kita berdua! Berhentilah mengoceh! Aku mengantuk," omel Devan sembari menarik tubuh Berlin
Berlin mengaduk-aduk makanannya dengan pandangan kosong tanpa merasa berselera.Gadis itu masih memikirkan permintaan Devan yang mengajak dirinya pergi ke Jerman."Untuk apa dia mengajakku ke Jerman? Memangnya apa hal yang bisa kulakukan untuknya?" gumam Berlin bingung bagaimana ia harus memberikan jawaban yang tepat bagi Devan untuk menolak ajakan pria itu."Apa yang harus kukatakan padanya?" rengek Berlin frustasi.Brak!Pintu kamar Berlin tiba-tiba terbuka, dan muncullah Devan dari balik pintu. Pria itu menghampiri Berlin dengan semangat untuk menagih jawaban dari sugar baby-nya itu."Berlin, bagaimana dengan tawaranku—""M-maaf! Aku harus ke toilet!" Berlin langsung berlari menuju toilet dengan panik tanpa membiarkan Devan menyelesaikan kalimatnya.Gadis itu mengunci toilet rapat-rapat dan sengaja berdiam diri di dalam sana selama mungkin untuk menghindar dari Devan."Apa yang harus kukatakan padanya? Apa sebaiknya aku bilang saja pada Devan kalau aku sudah tidak ingin menjadi sug