Tengah malam, Berlin menggeliat di atas ranjangnya sembari berguling kesana-kemari di kasur single bed tempatnya beristirahat."Kok sempit sih?" racau Berlin dengan mata tertutup.Gadis itu membuka mata perlahan dan merasa ada tubuh lain yang terbaring di atas kasur kecilnya.Benar saja! Tubuh jangkung Devan ikut terlentang di sampingnya dan membuat brankar milik rumah sakit itu terasa sesak seketika."Kenapa dia ada di sini?" gerutu Berlin kesal melihat Devan memenuhi ranjang tempatnya berbaring.Devan yang merasakan pergerakan Berlin, ikut terbangun karena gadis di sampingnya yang terus menggeliat hingga mengusik tidur lelapnya."Bisakah kau diam? Apa kau tidak lelah?" protes Devan."Siapa yang seharusnya mengomel di sini?" batin Berlin jengkel."S-sempit," rengek Berlin lirih."Apanya?""Kasurnya sempit," gerutu Berlin pelan dengan wajah cemberut."Sempit apanya? Ranjangnya sangat cukup untuk kita berdua! Berhentilah mengoceh! Aku mengantuk," omel Devan sembari menarik tubuh Berlin
Berlin mengaduk-aduk makanannya dengan pandangan kosong tanpa merasa berselera.Gadis itu masih memikirkan permintaan Devan yang mengajak dirinya pergi ke Jerman."Untuk apa dia mengajakku ke Jerman? Memangnya apa hal yang bisa kulakukan untuknya?" gumam Berlin bingung bagaimana ia harus memberikan jawaban yang tepat bagi Devan untuk menolak ajakan pria itu."Apa yang harus kukatakan padanya?" rengek Berlin frustasi.Brak!Pintu kamar Berlin tiba-tiba terbuka, dan muncullah Devan dari balik pintu. Pria itu menghampiri Berlin dengan semangat untuk menagih jawaban dari sugar baby-nya itu."Berlin, bagaimana dengan tawaranku—""M-maaf! Aku harus ke toilet!" Berlin langsung berlari menuju toilet dengan panik tanpa membiarkan Devan menyelesaikan kalimatnya.Gadis itu mengunci toilet rapat-rapat dan sengaja berdiam diri di dalam sana selama mungkin untuk menghindar dari Devan."Apa yang harus kukatakan padanya? Apa sebaiknya aku bilang saja pada Devan kalau aku sudah tidak ingin menjadi sug
"Aku ingin pernikahanku dan Devan dipercepat!" ujar Sheena pada ibunya, Nyonya Firda."Untuk apa terburu-buru, Sayang? Tuan Wildan bilang, Devan akan kembali ke Jerman untuk sementara waktu. Kita tunggu saja sampai Devan kembali," tukas Nyonya Firda."Justru karena Devan akan kembali ke Jerman, aku harus menikah dengan Devan sebelum Devan kembali ke Jerman!" pinta Sheena."Devan akan berangkat dalam minggu ini, Sheena. Mana bisa kita mengatur—""Setidaknya daftarkan dulu pernikahanku dengan Devan! Aku bisa mengurus pesta pernikahan di Jerman nanti," potong Sheena.Nyonya Firda menggelengkan kepala pelan begitu mendengar permintaan putrinya yang memaksa untuk segera dinikahkan dengan Devan."Tunggu saja nanti saat waktunya sudah tiba, Sheena. Kau tidak perlu tergesa-gesa—""Bagaimana kalau Devan tidak kembali lagi? Sampai kapan aku harus menunggu? Bagaimana kalau Devan menemukan gadis lain di Jerman?" cetus Sheena mulai tak tenang setelah melihat tunangannya berpelukan dengan gadis lai
"Berlin!" Devan segera berlari menangkap Berlin, sebelum gadis itu melarikan diri dari kejarannya."Jangan harap kau bisa melarikan diri lagi!" sentak Devan sembari menarik tangan Berlin."A-aku tidak melarikan diri—"Devan langsung membungkam mulut Berlin dengan kecupan ganas untuk menghentikan ocehan gadis itu.Pria itu meraup bibir merah Berlin dengan ciuman yang menuntut dan menyesakkan nafas. Devan menyesap bibir lembut gadis itu makin dalam dan menyelami kenikmatan sesapan madu bersama Berlin di kamar tempat Berlin dirawat."J-jangan di sini!" protes Berlin sembari menatap pintu kamarnya yang tidak tertutup rapat.Bukannya mendengarkan permintaan Berlin, Devan justru semakin terbakar gairah karena sudah beberapa hari tak menjamah tubuh Berlin.Pria itu menarik pakaian Berlin dengan kasar dan tak mempedulikan banyaknya perban luka yang masih menempel di tubuh gadis itu.Suara lenguhan dan desahan pun mulai memenuhi ruangan pasien tersebut. Devan dengan santainya "menancapkan bende
Cklek!Siang hari, Nyonya Firda datang berkunjung ke ruangan calon menantunya yang masih mendapatkan perawatan di rumah sakit. Namun sayangnya, wanita paruh baya itu tak menemukan seorang pun di dalam ruangan Devan."Kenapa sepi? Bukankah Devan masih dirawat di sini?" gumam Nyonya Firda.Wanita paruh baya itu merogoh ponsel di tas kecilnya untuk menghubungi ibu dari Devan, Nyonya Sella. Namun, karena terlalu fokus mengulik ke dalam isi tas, wanita paruh baya itu pun tanpa sengaja menabrak seorang gadis yang tengah berjalan di lorong rumah sakit.Bruk!Bingkisan buah yang dibawa oleh Nyonya Firda pun terlepas dari genggaman tangannya meluncur bebas ke lantai."M-maaf, Nyonya! Saya tidak sengaja," ucap seorang gadis yang tak lain ialah Berlin.Berlin segera memunguti bingkisan buah milik Nyonya Firda, kemudian menyerahkan wadah buah itu pada sang pemilik."Terima kasih banyak. Bibi yang salah karena terlalu sibuk melihat tas. Kau tidak apa-apa, kan?" tanya Nyonya Firda merasa tak enak h
"Kau kenapa?" tanya Devan begitu melihat wajah Berlin yang terlihat pucat selama perjalanan menuju bandara."Hm? Tidak apa-apa," jawab Berlin lirih."Kau sakit? Tidak enak badan? Ada luka yang terbuka lagi?" cecar Devan sembari meraba-raba perban luka di tubuh Berlin."Tidak ada. Aku baik-baik saja," tukas Berlin."Baik-baik saja apanya? Bibirmu pucat," cetus Devan."Aku ... seperti ingin mun—"Belum sempat Berlin menuntaskan kalimatnya, gadis itu tiba-tiba memuntahkan isi perutnya tepat di celana Devan.Pria itu benar-benar terkejut saat melihat kakinya yang sudah kotor karena muntahan Berlin."BERHENTI!" pekik Devan pada supir yang mengemudikan mobilnya."M-maaf, Tuan. Aku ... aku takut naik pesawat," rengek Berlin pada Devan."Apa kau bilang?" tanya Devan dengan dahi berkerut."Aku sangat gugup sampai aku tidak tahan ingin memuntahkan isi perutku. Maafkan aku. Aku akan bersihkan," ujar Berlin dengan air mata berlinang."Jangan sentuh! Bersihkan dirimu di toilet sana! Cari toilet um
"Hei! Bangun!" Devan memenceti hidung Berlin dan mengguncang-guncangkan bahu mungil gadis itu."Berlin! Kau tidak mati, kan? Cepat bangun sebelum aku menggelindingkanmu dari pesawat!" omel Devan sembari menepuk-nepuk pipi gadis cantik yang tertidur lelap disampingnya itu.Setelah tertidur pulas selama belasan jam, Berlin pun terbangun dari istirahat panjangnya akibat obat tidur yang diberikan oleh Devan."Hoam!" Gadis itu menguap lebar-lebar dan hampir saja menyedot nyamuk masuk ke dalam mulutnya."Kita sudah sampai," ujar Devan, kemudian menarik tangan Berlin untuk bangkit dari bangku."Kita berada di mana sekarang?" tanya Berlin linglung."Berlin,""Hm?""Kita ada di Kota Berlin sekarang," ungkap Devan."Benarkah? Aku ... berada di luar negeri sekarang?" pekik Berlin tak percaya. Gadis itu segera berlarian keluar dari pesawat, diikuti oleh Devan yang mengekor di belakang Berlin seraya menenteng tas kecil yang berisi barang-barang Berlin."Aku pergi keluar negeri?" gumam Berlin masi
"Sial! Sepertinya aku terlambat!" gerutu Vernon begitu masuk ke dalam ruangan Berlin dan mendapati ruangan itu sudah kosong.Vernon mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan mendapati tas kecil yang masih tergeletak di dalam ruangan Berlin. Pria itu meraih tas kecil lama milik Berlin dan memeriksa isi wadah tersebut.Hanya tersisa dompet yang sudah kosong di dalamnya, serta beberapa foto yang tersimpan di sana. Foto tersebut tak lain ialah lembar foto yang diambil oleh Berlin dari panti asuhan. Berlin masih menyimpan rapi foto kecil Berlin serta foto masa kecil Devan yang sempat diambil oleh gadis itu dari kamar Bu Wanda.Vernon juga menemukan syal kecil yang tersimpan rapi di atas meja di ruangan pasien yang ditempati oleh Berlin sebelumnya."Berlin benar-benar dibawa oleh Bos ke Jerman?" guman Vernon tak menyangka jika Devan akan kabur ke Jerman dan membawa Berlin ikut serta.Devan bahkan tidak berpamitan pada kedua orang tuanya, dan pergi begitu saja dari rumah sakit tanpa iz
"Kenapa kau terus saja melamun selama beberapa hari ini? Kau sedang tidak enak badan?" tegur Devan pada Berlin.Berlin yang tengah menatap jendela dengan tatapan kosong, segera menyadarkan diri dari lamunan dan melirik Devan yang sudah duduk di sampingnya. "Tidak. Aku tidak melamun," cetus Berlin."Kau gugup?" tanya Devan lagi.Tentu saja Berlin sangat gugup menyambut hari bahagianya yang akan datang esok hari. Ya, besok dirinya akan menikah dengan Devan. Berlin akan menjadi pengantin.Devan sudah menyiapkan sebuah pesta kecil untuk Berlin, sebelum keluarga besar mereka membuatkan pesta untuk mereka. Devan sengaja ingin membuat acara sendiri yang sesuai dengan keinginannya. Meskipun pada akhirnya nanti, Devan harus menuruti keinginan kedua orang tuanya, tapi setidaknya ia juga ingin memiliki kesempatan untuk merancang acaranya sendiri. "Aku hanya menyiapkan pesta kecil yang akan dihadiri oleh keluarga inti saja. Tidak apa-apa, kan? Setelah itu, masih akan ada acara yang dibuat oleh
“Ayah, ayo cepat!” Nyonya Sella menarik tangan sang suami dan hendak mengajak Tuan Wildan untuk mengunjungi keluarga Berlin, yaitu Nyonya Firda dan Tuan Mahesa. Apalagi alasan Nyonya Sella mengunjungi Nyonya Firda dan keluarga jika bukan untuk membahas tentang pernikahan Berlin serta Devan.“Kita tidak akan mengajak Devan? Ada baiknya, kita lamar dulu Berlin untuk Devan sebelum membahas tentang pernikahan seperti ini,” tukas Tuan Wildan ingin membantu sang putra melewati tahapan yang benar sebelum meresmikan hubungan dengan Berlin.Nyonya Sella tentu tidak akan melibatkan Devan. Wanita paruh baya itu tahu jika Devan hanya akan mengomel padanya jika Nyonya Sella ikut campur. Daripada mendengar penolakan Devan dan omelan putranya, lebih Nyonya Sella bertindak seorang diri dan langsung menembak orang tua Berlin.“Abaikan saja Devan! Ibu tidak ingin mendengar suara cerewet Devan,” cetus Nyonya Sella.Tuan Wildan sendiri juga hanya akan memancing keributan, jika dirinya berbicara dengan pu
Devan dan Vernon mengamati Sheena dan Berlin dari kejauhan tanpa berani mendekat. Kedua pria itu terus melirik ke arah Berlin yang mencoba mengajak Sheena berbicara baik-baik.Kedua wanita itu duduk di meja yang terdapat di pojokan cafe, sementara Devan dan Vernon duduk di bangku yang cukup jauh dari meja Berlin. "Menurutmu apa yang akan dibahas oleh Berlin dengan Sheena?" tanya Devan pada Vernon meminta pendapat."Hm? Entahlah! Mereka anak kandung dan anak angkat dari Nyonya Firda, kan? Kedua wanita itu juga memperebutkan pria yang sama, bukan? Pasti ada banyak hal yang bisa dibahas oleh Berlin dan juga Sheena," tukas Vernon."Meskipun tidak mengenal secara langsung, tapi mungkin kalau hanya sekedar nama saja, kau pasti tahu, kan? Aku Berlin. Kau Sheena, kan?" Berlin mulai membuka perbincangan ringan dengan anak angkat dari orang tua kandungnya itu.Sheena hanya diam dan menatap sinis ke arah Berlin. Pertama kali Sheena melihat Berlin adalah saat Sheena dirawat di rumah sakit, bersam
"Sheena!" Lamunan Sheena pun buyar begitu suara Vernon menggema di telinganya. "Hm?" Sheena langsung mengalihkan pandangannya dari Berlin dan Devan yang berdiri tak jauh di seberang sana.Vernon melirik ke arah tempat yang dilihat oleh Sheena, dan melihat dengan jelas sosok Devan dan Berlin. "Kau ingin menyapa mantan kekasihmu dan juga saudaramu?" cibir Vernon menggoda Sheena."Cih, saudara apanya? Aku tidak kenal!" sergah Sheena tak memiliki niat sedikit pun mengenal akrab Berlin, apalagi setelah wanita itu mendapat omelan dari sang ibu.Saat ini Vernon dan Sheena tengah berkeliling di pusat perbelanjaan untuk membeli barang-barang baru bagi Sheena. Sheena kembali meninggalkan rumah dan tak jadi mengambil barangnya di rumah sang ibu, usai ia terlibat pertengkaran kecil dengan Nyonya Firda.Dengan menggunakan uang simpanan Vernon, Vernon pun berbaik hati membelikan barang kebutuhan Sheena dan akan mengajak Sheena untuk tinggal bersama dengannya."Kita pergi saja! Melihat orang-orang
Berlin, Arkan, dan Sarah pun memasuki sebuah cafe yang ada di pusat perbelanjaan. Dosen dari dua mahasiswi cantik itu menikmati es krim bersama dengan dua gadis yang bersedia menemaninya melahap makanan manis.Berlin terlihat tidak nyaman saat Arkan terus mencuri pandang ke arahnya. Gadis itu terus mengalihkan pandangan dan berharap acara makan es krim mereka segera usai. "Berlin, kudengar kau mengajukan cuti? Bukankah kau akan kembali? Kenapa kau tiba-tiba mengajukan cuti?" tanya Arkan membuka perbincangan.Berlin berhenti mengaduk mangkok es krimnya dan melirik Sarah yang terlihat tak peduli dengan suara Arkan. "Em, ada hal mendesak yang harus aku lakukan dan tidak bisa ditinggal. Jadi, aku memutuskan untuk cuti daripada kuliahku nanti terganggu," terang Berlin."Hal mendesak? Hal mendesak apa?" tanya Arkan begitu senang mencampuri urusan Berlin dan membuat Berlin risih."Em, itu ... aku ada urusan pribadi," jawab Berlin singkat tanpa memberikan penjelasan apa pun.Arkan mulia mene
"Berlin, kenapa kau tiba-tiba mengambil cuti lagi? Apa terjadi sesuatu padamu?" Sarah nampak cemas saat menghubungi sang teman yang baru saja hendak kembali ke kampus, tapi mendadak Berlin justru mengajukan cuti dan menunda melanjutkan pendidikannya sampai waktu yang tidak ditentukan."Aku ... ada kepentingan mendadak. Jadi, aku ingin mengambil cuti saja," jawab Berlin tak ingin membahas tentang kehamilannya yang hampir menginjak dua bulan.Saat ini kekasih Devan itu tengah duduk di dalam kamarnya dengan bosan sembari mengangkat telepon dari sang teman. Devan sudah berangkat ke kantor, dan Berlin berada di rumah bersama dengan pelayan yang menjaganya."Benar kau baik-baik saja? Kau tidak mengalami kecelakaan atau semacamnya, kan?" tanya Sarah membuat Berlin berkeringat dingin seketika.Memang kecelakaan yang dimaksud oleh Sarah, berbeda dengan "kecelakaan" yang dialami oleh Berlin. Namun, tetap saja wanita itu memang mengalami "kecelakaan" yang membuatnya harus menunda keinginan untuk
"Ayah, Ibu ingin berbicara sebentar!" Nyonya Sella menghampiri sang suami yang saat ini tengah sibuk membaca surat kabar sembari menyeruput kopi manis yang masih panas di tangannya.Tuan Wildan masih fokus pada surat kabarnya saat sang istri mendekat dan mengajak dirinya berbincang. "Apa? Katakan saja!" tukas Tuan Wildan.Nyonya Sella nampak tak sabar memberikan berita gembira pada sang suami mengenai kehamilan Berlin dan status mereka yang akan berubah menjadi kakek dan nenek. "Devan tidak lama lagi akan menjadi ayah!" ungkap Nyonya Sella dengan senyum sumringah.Tuan Wildan langsung menyemburkan kopinya begitu ia mendengar berita mengejutkan dari sang istri mengenai putra mereka. "Apa? Ibu tidak salah bicara, kan? Menjadi ayah apanya?" tanya Tuan Wildan dengan alis terangkat tinggi."Ayah tidak salah dengar! Memang benar kalau sebentar lagi Devan akan menjadi ayah. Pacarnya sedang hamil," jelas Nyonya Sella.Tuan Wildan memang tak mengetahui apa pun mengenai kegiatan sang putra, apa
Tok, tok! Pagi-pagi sekali, kediaman Tuan Mahesa sudah kedatangan tamu tak terduga yang berkunjung. Nyonya Firda terkejut bukan main saat ia melihat sesosok gadis yang muncul di depan pintu rumahnya. “SHEENA!” pekik Nyonya Firda kegirangan begitu ia melihat sosok sang putri yang mendadak kembali ke rumah mereka.Nyonya Firda memeluk Sheena dengan erat dan tanpa sadar, manik mata wanita paruh baya itu mulai berkaca-kaca. “Kenapa kau tidak menghubungi Ibu sama sekali? Ayah dan Ibu mencarimu ke mana-mana,” omel Nyonya Firda pada sang putri angkat.Sheena hanya diam tanpa banyak bicara. Vernon yang mengantarkan Sheena, melihat dari kejauhan saat gadis itu dipeluk erat oleh sang ibu. “Dugaan Sheena salah. Orang tua Berlin benar-benar menyayangi Sheena,” gumam Vernon. “Sheena sangat beruntung.”Nyonya Firda langsung menarik tangan Sheena untuk masuk ke dalam rumah dan memasak banyak makanan untuk sang putri. Sheena celingukan di dalam rumah, mencari sosok putri asli dari keluarga Mahesa. ‘K
Devan kini tengah menemani Berlin duduk di dalam kamar, usai Nyonya Firda berpamitan untuk pulang. Devan mengambilkan minuman hangat untuk Berlin dan mencoba menghibur wanita yang baru saja bertengkar dengan ibunya itu.Berita kehamilan Berlin ternyata semakin memperburuk keadaan dan memperumit hubungan antara Berlin dan Nyonya Firda. Devan nampak bingung bagaimana ia harus menghibur sang kekasih hati, sementara dirinya sendiri juga tak cukup akur dengan sang ibu.“Minum dulu, Berlin! Kau terlalu banyak berteriak,” ujar Devan menenangkan Berlin dengan cara yang basi.Berlin meraih cangkir minuman yang ada di tangan Devan dan menyeruput minuman hangat yang kekurangan gula itu. “Kau ini membenciku, ya? Kenapa minumannya tidak terasa manis?” protes Berlin pada Devan.“Benarkah?” Devan merebut cangkir yang ada di tangan berlin, kemudian mencicipi minuman dalam gelas tersebut. “Rasanya enak. Cukup manis,” sergah Devan.“Manis apanya? Rasanya seperti teh tawar. Hambar tidak berasa,” omel Be