Berlin terus menatap ke arah Devan dengan pipi merah merona. Gadis itu tak dapat memalingkan wajah sedikitpun dari Devan dan memandangi wajah tampan pria galak itu tanpa berkedip."Aku tahu aku tampan, tapi kau tidak perlu melihatku sampai seperti itu!" sindir Devan."A-apa? Aku tidak melihat! Aku ... fokus melihat tahi lalat!" kilah Berlin gelagapan sembari memalingkan wajah dari Devan."T-tuan tidak lelah? Aku bisa berjalan sendiri," ujar Berlin."Kakimu berdarah. Kalau berjalan pincang seperti siput, sampai kapan kita akan tiba di rumah sakit?" omel Devan."B-bagaimana kalau preman tadi masih di sana? Apa tidak sebaiknya kita tunggu dulu sebentar di sini sambil menunggu para preman itu meninggalkan rumah sakit?" usul Berlin."Kau masih ingin berada di sini? Dengan kaki yang berdarah? Siapa yang tadi menangis karena kakinya berdarah?" ejek Devan."A-aku hanya terkejut saja melihat darah di kakiku!" kilah Berlin.Devan mengamati Berlin lekat-lekat dan mulai menyadari wajah Berlin yan
Tengah malam, Berlin menggeliat di atas ranjangnya sembari berguling kesana-kemari di kasur single bed tempatnya beristirahat."Kok sempit sih?" racau Berlin dengan mata tertutup.Gadis itu membuka mata perlahan dan merasa ada tubuh lain yang terbaring di atas kasur kecilnya.Benar saja! Tubuh jangkung Devan ikut terlentang di sampingnya dan membuat brankar milik rumah sakit itu terasa sesak seketika."Kenapa dia ada di sini?" gerutu Berlin kesal melihat Devan memenuhi ranjang tempatnya berbaring.Devan yang merasakan pergerakan Berlin, ikut terbangun karena gadis di sampingnya yang terus menggeliat hingga mengusik tidur lelapnya."Bisakah kau diam? Apa kau tidak lelah?" protes Devan."Siapa yang seharusnya mengomel di sini?" batin Berlin jengkel."S-sempit," rengek Berlin lirih."Apanya?""Kasurnya sempit," gerutu Berlin pelan dengan wajah cemberut."Sempit apanya? Ranjangnya sangat cukup untuk kita berdua! Berhentilah mengoceh! Aku mengantuk," omel Devan sembari menarik tubuh Berlin
Berlin mengaduk-aduk makanannya dengan pandangan kosong tanpa merasa berselera.Gadis itu masih memikirkan permintaan Devan yang mengajak dirinya pergi ke Jerman."Untuk apa dia mengajakku ke Jerman? Memangnya apa hal yang bisa kulakukan untuknya?" gumam Berlin bingung bagaimana ia harus memberikan jawaban yang tepat bagi Devan untuk menolak ajakan pria itu."Apa yang harus kukatakan padanya?" rengek Berlin frustasi.Brak!Pintu kamar Berlin tiba-tiba terbuka, dan muncullah Devan dari balik pintu. Pria itu menghampiri Berlin dengan semangat untuk menagih jawaban dari sugar baby-nya itu."Berlin, bagaimana dengan tawaranku—""M-maaf! Aku harus ke toilet!" Berlin langsung berlari menuju toilet dengan panik tanpa membiarkan Devan menyelesaikan kalimatnya.Gadis itu mengunci toilet rapat-rapat dan sengaja berdiam diri di dalam sana selama mungkin untuk menghindar dari Devan."Apa yang harus kukatakan padanya? Apa sebaiknya aku bilang saja pada Devan kalau aku sudah tidak ingin menjadi sug
"Aku ingin pernikahanku dan Devan dipercepat!" ujar Sheena pada ibunya, Nyonya Firda."Untuk apa terburu-buru, Sayang? Tuan Wildan bilang, Devan akan kembali ke Jerman untuk sementara waktu. Kita tunggu saja sampai Devan kembali," tukas Nyonya Firda."Justru karena Devan akan kembali ke Jerman, aku harus menikah dengan Devan sebelum Devan kembali ke Jerman!" pinta Sheena."Devan akan berangkat dalam minggu ini, Sheena. Mana bisa kita mengatur—""Setidaknya daftarkan dulu pernikahanku dengan Devan! Aku bisa mengurus pesta pernikahan di Jerman nanti," potong Sheena.Nyonya Firda menggelengkan kepala pelan begitu mendengar permintaan putrinya yang memaksa untuk segera dinikahkan dengan Devan."Tunggu saja nanti saat waktunya sudah tiba, Sheena. Kau tidak perlu tergesa-gesa—""Bagaimana kalau Devan tidak kembali lagi? Sampai kapan aku harus menunggu? Bagaimana kalau Devan menemukan gadis lain di Jerman?" cetus Sheena mulai tak tenang setelah melihat tunangannya berpelukan dengan gadis lai
"Berlin!" Devan segera berlari menangkap Berlin, sebelum gadis itu melarikan diri dari kejarannya."Jangan harap kau bisa melarikan diri lagi!" sentak Devan sembari menarik tangan Berlin."A-aku tidak melarikan diri—"Devan langsung membungkam mulut Berlin dengan kecupan ganas untuk menghentikan ocehan gadis itu.Pria itu meraup bibir merah Berlin dengan ciuman yang menuntut dan menyesakkan nafas. Devan menyesap bibir lembut gadis itu makin dalam dan menyelami kenikmatan sesapan madu bersama Berlin di kamar tempat Berlin dirawat."J-jangan di sini!" protes Berlin sembari menatap pintu kamarnya yang tidak tertutup rapat.Bukannya mendengarkan permintaan Berlin, Devan justru semakin terbakar gairah karena sudah beberapa hari tak menjamah tubuh Berlin.Pria itu menarik pakaian Berlin dengan kasar dan tak mempedulikan banyaknya perban luka yang masih menempel di tubuh gadis itu.Suara lenguhan dan desahan pun mulai memenuhi ruangan pasien tersebut. Devan dengan santainya "menancapkan bende
Cklek!Siang hari, Nyonya Firda datang berkunjung ke ruangan calon menantunya yang masih mendapatkan perawatan di rumah sakit. Namun sayangnya, wanita paruh baya itu tak menemukan seorang pun di dalam ruangan Devan."Kenapa sepi? Bukankah Devan masih dirawat di sini?" gumam Nyonya Firda.Wanita paruh baya itu merogoh ponsel di tas kecilnya untuk menghubungi ibu dari Devan, Nyonya Sella. Namun, karena terlalu fokus mengulik ke dalam isi tas, wanita paruh baya itu pun tanpa sengaja menabrak seorang gadis yang tengah berjalan di lorong rumah sakit.Bruk!Bingkisan buah yang dibawa oleh Nyonya Firda pun terlepas dari genggaman tangannya meluncur bebas ke lantai."M-maaf, Nyonya! Saya tidak sengaja," ucap seorang gadis yang tak lain ialah Berlin.Berlin segera memunguti bingkisan buah milik Nyonya Firda, kemudian menyerahkan wadah buah itu pada sang pemilik."Terima kasih banyak. Bibi yang salah karena terlalu sibuk melihat tas. Kau tidak apa-apa, kan?" tanya Nyonya Firda merasa tak enak h
"Kau kenapa?" tanya Devan begitu melihat wajah Berlin yang terlihat pucat selama perjalanan menuju bandara."Hm? Tidak apa-apa," jawab Berlin lirih."Kau sakit? Tidak enak badan? Ada luka yang terbuka lagi?" cecar Devan sembari meraba-raba perban luka di tubuh Berlin."Tidak ada. Aku baik-baik saja," tukas Berlin."Baik-baik saja apanya? Bibirmu pucat," cetus Devan."Aku ... seperti ingin mun—"Belum sempat Berlin menuntaskan kalimatnya, gadis itu tiba-tiba memuntahkan isi perutnya tepat di celana Devan.Pria itu benar-benar terkejut saat melihat kakinya yang sudah kotor karena muntahan Berlin."BERHENTI!" pekik Devan pada supir yang mengemudikan mobilnya."M-maaf, Tuan. Aku ... aku takut naik pesawat," rengek Berlin pada Devan."Apa kau bilang?" tanya Devan dengan dahi berkerut."Aku sangat gugup sampai aku tidak tahan ingin memuntahkan isi perutku. Maafkan aku. Aku akan bersihkan," ujar Berlin dengan air mata berlinang."Jangan sentuh! Bersihkan dirimu di toilet sana! Cari toilet um
"Hei! Bangun!" Devan memenceti hidung Berlin dan mengguncang-guncangkan bahu mungil gadis itu."Berlin! Kau tidak mati, kan? Cepat bangun sebelum aku menggelindingkanmu dari pesawat!" omel Devan sembari menepuk-nepuk pipi gadis cantik yang tertidur lelap disampingnya itu.Setelah tertidur pulas selama belasan jam, Berlin pun terbangun dari istirahat panjangnya akibat obat tidur yang diberikan oleh Devan."Hoam!" Gadis itu menguap lebar-lebar dan hampir saja menyedot nyamuk masuk ke dalam mulutnya."Kita sudah sampai," ujar Devan, kemudian menarik tangan Berlin untuk bangkit dari bangku."Kita berada di mana sekarang?" tanya Berlin linglung."Berlin,""Hm?""Kita ada di Kota Berlin sekarang," ungkap Devan."Benarkah? Aku ... berada di luar negeri sekarang?" pekik Berlin tak percaya. Gadis itu segera berlarian keluar dari pesawat, diikuti oleh Devan yang mengekor di belakang Berlin seraya menenteng tas kecil yang berisi barang-barang Berlin."Aku pergi keluar negeri?" gumam Berlin masi