Devan mengerjapkan mata dan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan asing tempatnya terbaring lemas.
Wajah pucat dan keringat dingin mulai mengucur deras membasahi pelipis pria itu.Nafas Devan mulai tersengal dan tenggorokannya mendadak tercekat. Hatinya menjerit, namun mulutnya tak sanggup mengeluarkan suara sedikitpun.Manik mata Devan melotot ke arah remaja laki-laki yang tergeletak tak jauh darinya. Darah yang mengalir deras di lantai membuat tubuh pria itu bergetar hebat dilanda kepanikan."I-ibu ... aku takut!" gumam Devan lirih."Aku takut!" gumamnya lagi diiringi air mata yang sudah mengalir membasahi pipi."Kenapa dengan pria ini?" gumam Berlin menatap Devan yang mengingau dengan tubuh berkeringat dingin.Ternyata kepanikan dan ketakutan Devan hanyalah sebuah mimpi buruk yang menyapanya dengan kenangan kelam yang pernah dilaluinya dulu.Devan terus meracau tidak jelas dengan mata tertutup, sementaBerlin membuka mata dan mendapati kamar megah tempatnya beristirahat sudah kosong tanpa adanya sosok Devan yang menemani.Gadis itu duduk sejenak untuk menghilangkan kantuk sembari meraba-raba ranjang tempatnya berbaring untuk mencari ponsel."Sebaiknya aku pergi ke panti sekarang," gumam Berlin kemudian bersiap untuk memenuhi permintaan dari ibu asuhnya, Bu Wanda untuk berkunjung.Berlin hanya mengirim pesan singkat pada Devan, kemudian bergegas keluar dari hotel meski dengan langkah tertatih.Dengan bermodalkan uang saku yang ditinggalkan Devan, Berlin duduk nyaman di dalam taksi tanpa harus berdesakan di dalam kendaraan umum yang sering ditumpanginya.Jalanan yang lenggang membuat Berlin dapat sampai dengan cepat di panti asuhan kecil yang sempat menjadi rumahnya selama belasan tahun.Berlin tertegun sejenak begitu ia melihat suasana ramai di panti meskipun hari masih pagi."Ada apa ini?" gumam Berlin penasaran denga
Berlin duduk tanah pemakaman tempat ibu asuhnya beristirahat dengan tenang. Rintik hujan yang turun seakan menambah kencangnya badai yang tengah melanda hati sanubarinya.Berlin tak menghiraukan lagi pakaian hitamnya yang sudah basah dan jari-jari tangannya yang mulai mengeriput karena kedinginan."Aku masih berhutang penjelasan pada Ibu. Aku belum sempat mengatakan apapun mengenai uang yang kudapatkan untuk menyelamatkan bangunan panti. Masih ada banyak hal yang ingin kukatakan pada Ibu. Kenapa Ibu justru pergi tanpa berpamitan?"Derai hujan yang makin deras mengguyur, membuat tangisan Berlin ikut mengucur bertambah deras membanjiri wajah cantiknya. Rasa sesal dan kesal mulai bersarang di relung hati gadis muda itu tanpa tahu bagaimana ia harus melampiaskannya.Sebanyak apapun air mata yang ia keluarkan, takkan bisa mengembalikan lagi sang ibu asuh yang telah pergi.Seberapa besarpun rasa sesal yang ia rasakan, takkan bisa membuat waktu
"Berliana!" Arkan menarik tangan Berlin dan menghentikan langkah gadis itu sebelum Berlin benar-benar pergi.Gadis itu sudah tak peduli lagi dengan pendidikannya yang akan hancur berantakan. Karena dirinya yang menjadi sugar baby, gadis itu terpaksa harus kehilangan beasiswa di universitas impiannya dan karena melakukan tugas sugar baby pula, Berlin kehilangan kesempatan bertemu dengan Bu Wanda untuk yang terakhir kalinya.Gadis berusia dua puluh satu tahun itu benar-benar menyesal sudah menghabiskan masa mudanya menjadi mainan ranjang para pria. Meskipun Berlin berhasil mendapatkan banyak uang dan dapat membantu mengurus panti asuhan, namun nyatanya uang yang tidak berkah itu membuat Berlin kehilangan segalanya."Pak Arkan pasti tahu kenapa beasiswa saya dicabut, kan?" tanya Berlin dengan tatapan mata nanar."Karena rumor itu, kan? Jika kau mau berhenti melakukan hal itu, aku akan membantumu kembali belajar di kampus. Kau mahasiswi yang
"Ini dari Ibu?" tanya Berlin sebelum gadis itu membuka isi amplop.Mei mengangguk pelan, kemudian meninggalkan kamar untuk memberikan waktu privasi pada Berlin."Tidak mungkin ini isinya uang, kan?" gumam Berlin dengan senyum kecut.Gadis itu melihat kembali ke dalam isi kotak dan menemukan syal yang pernah difotokan oleh Bu Wanda beberapa hari yang lalu."Sebenarnya apa yang ingin Ibu katakan? Apa ada sesuatu yang kulewatkan? Sepertinya dokter tidak mengatakan kalau Ibu mengidap penyakit serius," gumam Berlin lagi-lagi menyesali dan meratapi kepergian ibu asuhnya secara mendadak.Dibukanya amplop berisi surat yang sudah ada di tangannya itu. Berlin mulai membaca perlahan isi surat yang ditulis langsung oleh Bu Wanda, sebelum wanita paruh baya itu berpulang kembali pada sang Pencipta."Ibu berharap, kau tidak akan pernah membaca surat ini sampai kapanpun. Ibu harap semua yang Ibu tulis dalam surat ini dapat Ibu sampaikan secara l
Berlin merobek surat-surat dari Bu Wanda dengan geram, kemudian mengobrak-abrik seisi kamar ibu asuhnya itu untuk mencari barang-barang yang bisa ia jadikan bahan untuk mencari penjelasan.Berlin segera meraih ponsel Bu Wanda dan memeriksa seisi ponsel jadul itu dengan seksama.Gadis itu hanya berhasil mendapatkan beberapa pesan lama yang dikirimkan Bu Wanda pada saudara yang berada jauh di kampung halaman.Berlin juga memeriksa riwayat panggilan di ponsel tersebut, dan hanya menemukan beberapa histori panggilan dari nomor-nomor tak dikenal."Sial! Omong kosong apa yang ditulis oleh Ibu? Aku adalah korban penculikan? Ibu adalah penculik? Lelucon macam apa ini?" gumam Berlin frustasi.Gadis itu nampak gusar mencari-cari petunjuk dan orang-orang yang bisa ia tanyai mengenai kebenaran cerita dari Bu Wanda.Kesedihan Berlin atas kepergian Bu Wanda langsung berubah menjadi rasa kesal, benci dan penasaran pada wanita paruh baya yang ba
"Mei, bisa kau tolong masak makan malam untuk anak-anak? Kakak ada urusan mendadak di luar," ujar Berlin melimpahkan tugas menjaga anak-anak untuk sementara waktu pada anak panti yang paling besar di sana."Tentu, Kak. Aku akan memasak makan malam," jawab Mei tanpa rasa keberatan sedikitpun.Berlin menyodorkan beberapa lembar uang untuk Mei, kemudian berpamitan pada anak-anak dengan tergesa-gesa."Mei, sebentar lagi akan ada orang dari Dinas Sosial yang datang menjemput kalian semua. Segera kemasi barang-barang kalian," titah Berlin."Orang Dinas Sosial? Kami akan dibawa pergi dari sini?" tanya Mei mulai menampakkan wajah murung.Setelah hidup lama di panti dan diasuh oleh Bu Wanda, tentu sangat wajar jika seluruh anak-anak panti merasa enggan meninggalkan bangunan panti apalagi jika mereka harus hidup terpisah setelah ini.Berlin mengusap lembut rambut adik yang sudah beberapa tahun terakhir dirawat olehnya itu. Berlin sendiri t
Berlin duduk bersama Vernon di pinggir jalan sembari menyeruput es teh yang terbungkus plastik di genggaman tangan mereka.Dengan mata yang masih memerah dan ingus yang mengalir kemana-mana, Berlin meminum habis minuman dingin dalam bungkus plastik itu hingga ludes tak tersisa.Terlalu lama menangis, membuat Berlin dehidrasi dan kerongkongannya mengering seketika. Tak hanya haus yang melanda, perut gadis itu pun mulai keroncongan karena seharian penuh belum terisi oleh secuil makanan pun."Apa tidak apa-apa kita hanya meminum teh di wadah plastik ini? Aku bisa membelikan Nona minuman yang—""Tidak perlu. Terima kasih Kakak sudah membelikanku minuman," tukas Berlin berusaha bersikap sopan pada Vernon dengan memanggil asisten dari Devan itu dengan sebutan "kakak"."K-kakak apanya? Aku hanya pegawai yang digaji oleh Bos Devan, sedangkan Nona adalah teman kencan Bos Devan.""Sudah tidak lagi!" sergah Berlin.Gadis itu menata
Kediaman Devandra.Devan terus mengotak-atik ponsel dengan kesal dan berusaha menghubungi asistennya berkali-kali, namun sayangnya Vernon tak juga menerima panggilan telepon darinya.Pria itu sudah menunggu kedatangan Berlin sejak tadi, tapi Vernon tak kunjung muncul di rumahnya dengan membawa gadis yang ia minta."Pergi kemana pria malas itu? Awas saja saat aku bertemu denganmu besok!" omel Devan meneriaki ponselnya dengan geram.Mendadak ponsel pria itu berbunyi dengan kencang, namun sayangnya panggilan yang masuk ke ponselnya bukan berasal dari Vernon, melainkan dari sang kekasih."Untuk apa wanita menyebalkan ini menelepon?" gerutu Devan kesal melihat nama Sheena yang terpampang di layar ponselnya."Halo?" Devan menjawab panggilan telepon dari calon istrinya dengan ketus."Besok Ayah ingin bertemu denganmu. Luangkan waktu untuk makan malam bersama keluargaku," ujar Sheena tanpa basa-basi."Apa-apaan ini? Memangny
"Kenapa kau terus saja melamun selama beberapa hari ini? Kau sedang tidak enak badan?" tegur Devan pada Berlin.Berlin yang tengah menatap jendela dengan tatapan kosong, segera menyadarkan diri dari lamunan dan melirik Devan yang sudah duduk di sampingnya. "Tidak. Aku tidak melamun," cetus Berlin."Kau gugup?" tanya Devan lagi.Tentu saja Berlin sangat gugup menyambut hari bahagianya yang akan datang esok hari. Ya, besok dirinya akan menikah dengan Devan. Berlin akan menjadi pengantin.Devan sudah menyiapkan sebuah pesta kecil untuk Berlin, sebelum keluarga besar mereka membuatkan pesta untuk mereka. Devan sengaja ingin membuat acara sendiri yang sesuai dengan keinginannya. Meskipun pada akhirnya nanti, Devan harus menuruti keinginan kedua orang tuanya, tapi setidaknya ia juga ingin memiliki kesempatan untuk merancang acaranya sendiri. "Aku hanya menyiapkan pesta kecil yang akan dihadiri oleh keluarga inti saja. Tidak apa-apa, kan? Setelah itu, masih akan ada acara yang dibuat oleh
“Ayah, ayo cepat!” Nyonya Sella menarik tangan sang suami dan hendak mengajak Tuan Wildan untuk mengunjungi keluarga Berlin, yaitu Nyonya Firda dan Tuan Mahesa. Apalagi alasan Nyonya Sella mengunjungi Nyonya Firda dan keluarga jika bukan untuk membahas tentang pernikahan Berlin serta Devan.“Kita tidak akan mengajak Devan? Ada baiknya, kita lamar dulu Berlin untuk Devan sebelum membahas tentang pernikahan seperti ini,” tukas Tuan Wildan ingin membantu sang putra melewati tahapan yang benar sebelum meresmikan hubungan dengan Berlin.Nyonya Sella tentu tidak akan melibatkan Devan. Wanita paruh baya itu tahu jika Devan hanya akan mengomel padanya jika Nyonya Sella ikut campur. Daripada mendengar penolakan Devan dan omelan putranya, lebih Nyonya Sella bertindak seorang diri dan langsung menembak orang tua Berlin.“Abaikan saja Devan! Ibu tidak ingin mendengar suara cerewet Devan,” cetus Nyonya Sella.Tuan Wildan sendiri juga hanya akan memancing keributan, jika dirinya berbicara dengan pu
Devan dan Vernon mengamati Sheena dan Berlin dari kejauhan tanpa berani mendekat. Kedua pria itu terus melirik ke arah Berlin yang mencoba mengajak Sheena berbicara baik-baik.Kedua wanita itu duduk di meja yang terdapat di pojokan cafe, sementara Devan dan Vernon duduk di bangku yang cukup jauh dari meja Berlin. "Menurutmu apa yang akan dibahas oleh Berlin dengan Sheena?" tanya Devan pada Vernon meminta pendapat."Hm? Entahlah! Mereka anak kandung dan anak angkat dari Nyonya Firda, kan? Kedua wanita itu juga memperebutkan pria yang sama, bukan? Pasti ada banyak hal yang bisa dibahas oleh Berlin dan juga Sheena," tukas Vernon."Meskipun tidak mengenal secara langsung, tapi mungkin kalau hanya sekedar nama saja, kau pasti tahu, kan? Aku Berlin. Kau Sheena, kan?" Berlin mulai membuka perbincangan ringan dengan anak angkat dari orang tua kandungnya itu.Sheena hanya diam dan menatap sinis ke arah Berlin. Pertama kali Sheena melihat Berlin adalah saat Sheena dirawat di rumah sakit, bersam
"Sheena!" Lamunan Sheena pun buyar begitu suara Vernon menggema di telinganya. "Hm?" Sheena langsung mengalihkan pandangannya dari Berlin dan Devan yang berdiri tak jauh di seberang sana.Vernon melirik ke arah tempat yang dilihat oleh Sheena, dan melihat dengan jelas sosok Devan dan Berlin. "Kau ingin menyapa mantan kekasihmu dan juga saudaramu?" cibir Vernon menggoda Sheena."Cih, saudara apanya? Aku tidak kenal!" sergah Sheena tak memiliki niat sedikit pun mengenal akrab Berlin, apalagi setelah wanita itu mendapat omelan dari sang ibu.Saat ini Vernon dan Sheena tengah berkeliling di pusat perbelanjaan untuk membeli barang-barang baru bagi Sheena. Sheena kembali meninggalkan rumah dan tak jadi mengambil barangnya di rumah sang ibu, usai ia terlibat pertengkaran kecil dengan Nyonya Firda.Dengan menggunakan uang simpanan Vernon, Vernon pun berbaik hati membelikan barang kebutuhan Sheena dan akan mengajak Sheena untuk tinggal bersama dengannya."Kita pergi saja! Melihat orang-orang
Berlin, Arkan, dan Sarah pun memasuki sebuah cafe yang ada di pusat perbelanjaan. Dosen dari dua mahasiswi cantik itu menikmati es krim bersama dengan dua gadis yang bersedia menemaninya melahap makanan manis.Berlin terlihat tidak nyaman saat Arkan terus mencuri pandang ke arahnya. Gadis itu terus mengalihkan pandangan dan berharap acara makan es krim mereka segera usai. "Berlin, kudengar kau mengajukan cuti? Bukankah kau akan kembali? Kenapa kau tiba-tiba mengajukan cuti?" tanya Arkan membuka perbincangan.Berlin berhenti mengaduk mangkok es krimnya dan melirik Sarah yang terlihat tak peduli dengan suara Arkan. "Em, ada hal mendesak yang harus aku lakukan dan tidak bisa ditinggal. Jadi, aku memutuskan untuk cuti daripada kuliahku nanti terganggu," terang Berlin."Hal mendesak? Hal mendesak apa?" tanya Arkan begitu senang mencampuri urusan Berlin dan membuat Berlin risih."Em, itu ... aku ada urusan pribadi," jawab Berlin singkat tanpa memberikan penjelasan apa pun.Arkan mulia mene
"Berlin, kenapa kau tiba-tiba mengambil cuti lagi? Apa terjadi sesuatu padamu?" Sarah nampak cemas saat menghubungi sang teman yang baru saja hendak kembali ke kampus, tapi mendadak Berlin justru mengajukan cuti dan menunda melanjutkan pendidikannya sampai waktu yang tidak ditentukan."Aku ... ada kepentingan mendadak. Jadi, aku ingin mengambil cuti saja," jawab Berlin tak ingin membahas tentang kehamilannya yang hampir menginjak dua bulan.Saat ini kekasih Devan itu tengah duduk di dalam kamarnya dengan bosan sembari mengangkat telepon dari sang teman. Devan sudah berangkat ke kantor, dan Berlin berada di rumah bersama dengan pelayan yang menjaganya."Benar kau baik-baik saja? Kau tidak mengalami kecelakaan atau semacamnya, kan?" tanya Sarah membuat Berlin berkeringat dingin seketika.Memang kecelakaan yang dimaksud oleh Sarah, berbeda dengan "kecelakaan" yang dialami oleh Berlin. Namun, tetap saja wanita itu memang mengalami "kecelakaan" yang membuatnya harus menunda keinginan untuk
"Ayah, Ibu ingin berbicara sebentar!" Nyonya Sella menghampiri sang suami yang saat ini tengah sibuk membaca surat kabar sembari menyeruput kopi manis yang masih panas di tangannya.Tuan Wildan masih fokus pada surat kabarnya saat sang istri mendekat dan mengajak dirinya berbincang. "Apa? Katakan saja!" tukas Tuan Wildan.Nyonya Sella nampak tak sabar memberikan berita gembira pada sang suami mengenai kehamilan Berlin dan status mereka yang akan berubah menjadi kakek dan nenek. "Devan tidak lama lagi akan menjadi ayah!" ungkap Nyonya Sella dengan senyum sumringah.Tuan Wildan langsung menyemburkan kopinya begitu ia mendengar berita mengejutkan dari sang istri mengenai putra mereka. "Apa? Ibu tidak salah bicara, kan? Menjadi ayah apanya?" tanya Tuan Wildan dengan alis terangkat tinggi."Ayah tidak salah dengar! Memang benar kalau sebentar lagi Devan akan menjadi ayah. Pacarnya sedang hamil," jelas Nyonya Sella.Tuan Wildan memang tak mengetahui apa pun mengenai kegiatan sang putra, apa
Tok, tok! Pagi-pagi sekali, kediaman Tuan Mahesa sudah kedatangan tamu tak terduga yang berkunjung. Nyonya Firda terkejut bukan main saat ia melihat sesosok gadis yang muncul di depan pintu rumahnya. “SHEENA!” pekik Nyonya Firda kegirangan begitu ia melihat sosok sang putri yang mendadak kembali ke rumah mereka.Nyonya Firda memeluk Sheena dengan erat dan tanpa sadar, manik mata wanita paruh baya itu mulai berkaca-kaca. “Kenapa kau tidak menghubungi Ibu sama sekali? Ayah dan Ibu mencarimu ke mana-mana,” omel Nyonya Firda pada sang putri angkat.Sheena hanya diam tanpa banyak bicara. Vernon yang mengantarkan Sheena, melihat dari kejauhan saat gadis itu dipeluk erat oleh sang ibu. “Dugaan Sheena salah. Orang tua Berlin benar-benar menyayangi Sheena,” gumam Vernon. “Sheena sangat beruntung.”Nyonya Firda langsung menarik tangan Sheena untuk masuk ke dalam rumah dan memasak banyak makanan untuk sang putri. Sheena celingukan di dalam rumah, mencari sosok putri asli dari keluarga Mahesa. ‘K
Devan kini tengah menemani Berlin duduk di dalam kamar, usai Nyonya Firda berpamitan untuk pulang. Devan mengambilkan minuman hangat untuk Berlin dan mencoba menghibur wanita yang baru saja bertengkar dengan ibunya itu.Berita kehamilan Berlin ternyata semakin memperburuk keadaan dan memperumit hubungan antara Berlin dan Nyonya Firda. Devan nampak bingung bagaimana ia harus menghibur sang kekasih hati, sementara dirinya sendiri juga tak cukup akur dengan sang ibu.“Minum dulu, Berlin! Kau terlalu banyak berteriak,” ujar Devan menenangkan Berlin dengan cara yang basi.Berlin meraih cangkir minuman yang ada di tangan Devan dan menyeruput minuman hangat yang kekurangan gula itu. “Kau ini membenciku, ya? Kenapa minumannya tidak terasa manis?” protes Berlin pada Devan.“Benarkah?” Devan merebut cangkir yang ada di tangan berlin, kemudian mencicipi minuman dalam gelas tersebut. “Rasanya enak. Cukup manis,” sergah Devan.“Manis apanya? Rasanya seperti teh tawar. Hambar tidak berasa,” omel Be