Berlin duduk bersama Vernon di pinggir jalan sembari menyeruput es teh yang terbungkus plastik di genggaman tangan mereka.
Dengan mata yang masih memerah dan ingus yang mengalir kemana-mana, Berlin meminum habis minuman dingin dalam bungkus plastik itu hingga ludes tak tersisa.Terlalu lama menangis, membuat Berlin dehidrasi dan kerongkongannya mengering seketika. Tak hanya haus yang melanda, perut gadis itu pun mulai keroncongan karena seharian penuh belum terisi oleh secuil makanan pun."Apa tidak apa-apa kita hanya meminum teh di wadah plastik ini? Aku bisa membelikan Nona minuman yang—""Tidak perlu. Terima kasih Kakak sudah membelikanku minuman," tukas Berlin berusaha bersikap sopan pada Vernon dengan memanggil asisten dari Devan itu dengan sebutan "kakak"."K-kakak apanya? Aku hanya pegawai yang digaji oleh Bos Devan, sedangkan Nona adalah teman kencan Bos Devan.""Sudah tidak lagi!" sergah Berlin.Gadis itu menataKediaman Devandra.Devan terus mengotak-atik ponsel dengan kesal dan berusaha menghubungi asistennya berkali-kali, namun sayangnya Vernon tak juga menerima panggilan telepon darinya.Pria itu sudah menunggu kedatangan Berlin sejak tadi, tapi Vernon tak kunjung muncul di rumahnya dengan membawa gadis yang ia minta."Pergi kemana pria malas itu? Awas saja saat aku bertemu denganmu besok!" omel Devan meneriaki ponselnya dengan geram.Mendadak ponsel pria itu berbunyi dengan kencang, namun sayangnya panggilan yang masuk ke ponselnya bukan berasal dari Vernon, melainkan dari sang kekasih."Untuk apa wanita menyebalkan ini menelepon?" gerutu Devan kesal melihat nama Sheena yang terpampang di layar ponselnya."Halo?" Devan menjawab panggilan telepon dari calon istrinya dengan ketus."Besok Ayah ingin bertemu denganmu. Luangkan waktu untuk makan malam bersama keluargaku," ujar Sheena tanpa basa-basi."Apa-apaan ini? Memangny
Selesai mengangkat telepon dari Devan, Vernon segera mematikan ponselnya dan mengubur rapat-rapat benda keramat itu di bawah tumpukan pakaian dalam lemarinya di kamar."Aku sudah tidak memiliki ponsel! Anggap saja aku sudah kerampokan!" gumam Vernon dengan tubuh gemetar dan keringat dingin yang membasahi dahi.Pria itu sebenarnya tak cukup berani membantah Devan, namun karena tak tega melihat Berlin, Vernon pun terpaksa harus menanggung resiko berat jika dirinya sampai ketahuan oleh Devan."Jika Bos tahu aku menyembunyikan Nona Berlin, mungkin wajahku akan dilempari banyak vas kaca," gumam Vernon frustasi.Namun wajah frustasi pria itu tak bertahan lama begitu manik matanya menatap ke arah gadis cantik yang berkeliaran di kamarnya hanya dengan mengenakan kaos kebesaran miliknya."Mimpi apa aku semalam, bisa-bisanya ada gadis cantik di kamarku malam ini?" batin Vernon."Maaf sudah merepotkan. Terima kasih untuk pakaiannya. Besok pagi aku akan segera pergi," ujar Berlin."Pergi? Kemana?
Prang!Suara barang pecah di apartemen Vernon membuat pria itu langsung gelagapan bangun dari lantai dengan wajah linglung.Berlin pun ikut panik dan membuka mata lebar-lebar dengan wajah bantalnya, kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar Vernon.Manik mata Vernon dan Berlin pun langsung bertemu pandang dengan sorot mata tajam Devan yang sudah duduk manis di hadapan mereka."Devan?!" jerit Berlin dan Vernon dalam hati."Cepat bangun!" sentak Devan sembari melayangkan sandal tepat mengarah ke wajah Vernon.Asisten malang itu langsung disembur dengan omelan Devan sekaligus mendapatkan bonus lemparan sandal satu karung dari bos galak itu."Berani kau berbohong padaku?!" bentak Devan dengan tangan masih sibuk melempari Vernon dengan sandal karet. Sementara Vernon hanya diam tak menjawab dan berusaha menghindar dari lemparan sandal Devan."Apa-apaan ini? Kenapa aku harus melihat acara penganiayaan seperti ini?" batin Berlin merinding melihat Devan yang begitu semangat menyiksa V
"Siapa sebenarnya pria ini?" batin Berlin makin penasaran dengan sosok Devan yang tiba-tiba muncul bersamaan dengan seluruh kesialan yang menimpanya.Devan menarik pergelangan tangan Berlin dengan kasar dan bermaksud membawa gadis itu menuju kendaraannya yang terparkir di apartemen Devan.Namun baru berjalan beberapa langkah saja, tiba-tiba Devan berhenti kemudian memijat kepalanya perlahan. Pria itu mendadak sesak nafas dan berkeringat dingin, ditambah lagi bibirnya mulai memucat.Perlahan Devan melonggarkan genggaman tangannya dari pergelangan tangan Berlin dan beralih memegangi kepalanya yang terasa amat sakit."K-kau baik-baik saja?" tanya Berlin mulai cemas melihat Devan yang meringis kesakitan.Gadis itu mencoba mengusap lengan Devan, namun Devan justru mengelak dan menghempaskan tangan Berlin dengan kasar."Aku hanya ingin mencoba membantu, apa kepalamu sakit?" tanya Berlin dengan suara lembut."Jangan sentuh aku!" sentak Devan seraya melempar tatapan garang pada gadis cantik y
"Sheena, kau mau kemana?" tegur Nyonya Firda pada putri semata wayangnya yang hendak keluar rumah saat malam masih larut."Devan dirawat di rumah sakit, Bu! Aku harus melihat kondisi Devan," ujar Sheena, kekasih sekaligus tunangan Devan yang sebentar lagi akan menikah dengan Tuan Muda itu."Sudah malam, Sheena! Besok saja ke rumah sakitnya. Devan juga pasti sedang beristirahat sekarang," cegah Nyonya Firda."Tapi, Bu—""Tidak ada tapi! Masuk ke kamar dan kembali beristirahat sekarang!" omel Nyonya Firda."Devan bahkan sudah ingkar janji dan tidak datang ke acara makan malam yang sudah kita atur. Kenapa kau masih saja bersikeras mengejar pria dingin sepertinya?" omelan Nyonya Firda pada putri satu-satunya masih berlanjut."Devan tetap calon suamiku, Bu. Sudah seharusnya aku menunjukkan perhatian pada orang yang akan menemani sisa hidupku, kan?" tukas Sheena mendramatisir."Berhenti bicara yang tidak-tidak! Cepat masuk sebelum Ibu menyeretmu!" omel Nyonya Firda tak menerima bantahan put
Berlin membuka kelopak matanya perlahan dan mengerjapkan mata begitu ia melihat wajah seorang pria yang terpampang jelas di hadapannya.Gadis itu terkejut bukan main dan refleks memukul pipi pria yang berada tepat di depan wajah ayu gadis muda itu."Aakhh!"Plak! Satu tamparan pun mendarat mulus di wajah pria yang tak lain ialah Arkan, dosen muda di universitas tempat Berlin belajar."Berlin! Kau sudah sadar?" panggil Sarah pada gadis yang tergolek lemah di atas brankar pasien itu.Berlin menatap Sarah serta Arkan dengan dahi berkerut dan wajah bingung. Kepala gadis itu berisi segudang pertanyaan mengenai kedatangan dua orang yang seharusnya tak dapat dilihatnya saat ini."Mimpi macam apa ini?" gumam Berlin bingung."Kau sudah bangun, bodoh!" sentak Sarah seraya mencubit pipi Berlin dengan kencang."Kau sudah bangun, Berlin. Kami benar-benar datang menjengukmu," ucap Arkan dengan tangan mengusap pipinya yang memerah karena Berlin."B-bagaiman
Vernon memungut bunga yang dibuang Devan ke tong sampah dan membawanya masuk ke ruangan Berlin.Tatapan Berlin dan Arkan langsung mengarah ke pintu begitu mereka mendengar suara pintu yang terbuka."Kak Vernon," sapa Berlin sekenanya."Maaf, Berlin butuh istirahat. Kau bisa menjenguknya lagi nanti. Sekarang kau boleh pergi. Aku yang akan menjaga Berlin," ujar Vernon mengusir Arkan tanpa basa-basi."Kau siapa? Setahuku Berlin yatim piatu—""Kau tidak perlu tahu siapa aku! Kuharap kau bisa pergi sebelum kau mengganggu ketenangan pasien di sini!" ujar Vernon ketus pada Arkan."Ehm, Kak Vernon ... ini dosenku di kampus—""Aku sudah tahu. Kau hanya dosen, kan? Tugasmu hanya mengurus Berlin di dalam kampus. Bukan di luar kampus!" cetus Vernon makin dingin pada Arkan."Apa masalahmu sebenarnya? Aku hanya menemani Berlin di sini dan kau tidak terima?" sungut Arkan."S-sudah! Aku tidak perlu ditemani—""Diam!" sentak Vernon dan Arkan bersamaan pad
"Devan!" panggil Sheena sembari berlari kecil menghampiri sang kekasih yang tengah bersama dengan Berlin.Wanita itu menarik Devan menjauh dari Berlin, kemudian menatap Berlin dengan pandangan mata yang menusuk."Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Sheena seraya melingkarkan tangan di lengan Devan.Devan dan Berlin sontak memandangi Sheena dengan ekspresi terkejut. Berlin segera mundur beberapa langkah dari Devan dan mencari-cari alasan untuk melarikan diri."M-maaf, aku harus ke toilet!" ujar Berlin tergagap. Gadis itu langsung berlari kocar-kacir meninggalkan Devan dan Sheena, sebelum tamparan mendarat kembali ke pipi mulus Berlin."Siapa gadis itu?" tanya Sheena sarkas."Bukan siapa-siapa!" jawab Devan malas sembari berjalan menuju ruang istirahatnya."SIAPA GADIS ITU?" sentak Sheena mulai tak sabaran."Cari tahu saja sendiri kalau kau ingin tahu!" sinis Devan tak ingin meladeni amukan Sheena."Sebenarnya kau anggap aku ini apa? Pajangan?" omel Sheena masih terus mengoceh meskipun
"Kenapa kau terus saja melamun selama beberapa hari ini? Kau sedang tidak enak badan?" tegur Devan pada Berlin.Berlin yang tengah menatap jendela dengan tatapan kosong, segera menyadarkan diri dari lamunan dan melirik Devan yang sudah duduk di sampingnya. "Tidak. Aku tidak melamun," cetus Berlin."Kau gugup?" tanya Devan lagi.Tentu saja Berlin sangat gugup menyambut hari bahagianya yang akan datang esok hari. Ya, besok dirinya akan menikah dengan Devan. Berlin akan menjadi pengantin.Devan sudah menyiapkan sebuah pesta kecil untuk Berlin, sebelum keluarga besar mereka membuatkan pesta untuk mereka. Devan sengaja ingin membuat acara sendiri yang sesuai dengan keinginannya. Meskipun pada akhirnya nanti, Devan harus menuruti keinginan kedua orang tuanya, tapi setidaknya ia juga ingin memiliki kesempatan untuk merancang acaranya sendiri. "Aku hanya menyiapkan pesta kecil yang akan dihadiri oleh keluarga inti saja. Tidak apa-apa, kan? Setelah itu, masih akan ada acara yang dibuat oleh
“Ayah, ayo cepat!” Nyonya Sella menarik tangan sang suami dan hendak mengajak Tuan Wildan untuk mengunjungi keluarga Berlin, yaitu Nyonya Firda dan Tuan Mahesa. Apalagi alasan Nyonya Sella mengunjungi Nyonya Firda dan keluarga jika bukan untuk membahas tentang pernikahan Berlin serta Devan.“Kita tidak akan mengajak Devan? Ada baiknya, kita lamar dulu Berlin untuk Devan sebelum membahas tentang pernikahan seperti ini,” tukas Tuan Wildan ingin membantu sang putra melewati tahapan yang benar sebelum meresmikan hubungan dengan Berlin.Nyonya Sella tentu tidak akan melibatkan Devan. Wanita paruh baya itu tahu jika Devan hanya akan mengomel padanya jika Nyonya Sella ikut campur. Daripada mendengar penolakan Devan dan omelan putranya, lebih Nyonya Sella bertindak seorang diri dan langsung menembak orang tua Berlin.“Abaikan saja Devan! Ibu tidak ingin mendengar suara cerewet Devan,” cetus Nyonya Sella.Tuan Wildan sendiri juga hanya akan memancing keributan, jika dirinya berbicara dengan pu
Devan dan Vernon mengamati Sheena dan Berlin dari kejauhan tanpa berani mendekat. Kedua pria itu terus melirik ke arah Berlin yang mencoba mengajak Sheena berbicara baik-baik.Kedua wanita itu duduk di meja yang terdapat di pojokan cafe, sementara Devan dan Vernon duduk di bangku yang cukup jauh dari meja Berlin. "Menurutmu apa yang akan dibahas oleh Berlin dengan Sheena?" tanya Devan pada Vernon meminta pendapat."Hm? Entahlah! Mereka anak kandung dan anak angkat dari Nyonya Firda, kan? Kedua wanita itu juga memperebutkan pria yang sama, bukan? Pasti ada banyak hal yang bisa dibahas oleh Berlin dan juga Sheena," tukas Vernon."Meskipun tidak mengenal secara langsung, tapi mungkin kalau hanya sekedar nama saja, kau pasti tahu, kan? Aku Berlin. Kau Sheena, kan?" Berlin mulai membuka perbincangan ringan dengan anak angkat dari orang tua kandungnya itu.Sheena hanya diam dan menatap sinis ke arah Berlin. Pertama kali Sheena melihat Berlin adalah saat Sheena dirawat di rumah sakit, bersam
"Sheena!" Lamunan Sheena pun buyar begitu suara Vernon menggema di telinganya. "Hm?" Sheena langsung mengalihkan pandangannya dari Berlin dan Devan yang berdiri tak jauh di seberang sana.Vernon melirik ke arah tempat yang dilihat oleh Sheena, dan melihat dengan jelas sosok Devan dan Berlin. "Kau ingin menyapa mantan kekasihmu dan juga saudaramu?" cibir Vernon menggoda Sheena."Cih, saudara apanya? Aku tidak kenal!" sergah Sheena tak memiliki niat sedikit pun mengenal akrab Berlin, apalagi setelah wanita itu mendapat omelan dari sang ibu.Saat ini Vernon dan Sheena tengah berkeliling di pusat perbelanjaan untuk membeli barang-barang baru bagi Sheena. Sheena kembali meninggalkan rumah dan tak jadi mengambil barangnya di rumah sang ibu, usai ia terlibat pertengkaran kecil dengan Nyonya Firda.Dengan menggunakan uang simpanan Vernon, Vernon pun berbaik hati membelikan barang kebutuhan Sheena dan akan mengajak Sheena untuk tinggal bersama dengannya."Kita pergi saja! Melihat orang-orang
Berlin, Arkan, dan Sarah pun memasuki sebuah cafe yang ada di pusat perbelanjaan. Dosen dari dua mahasiswi cantik itu menikmati es krim bersama dengan dua gadis yang bersedia menemaninya melahap makanan manis.Berlin terlihat tidak nyaman saat Arkan terus mencuri pandang ke arahnya. Gadis itu terus mengalihkan pandangan dan berharap acara makan es krim mereka segera usai. "Berlin, kudengar kau mengajukan cuti? Bukankah kau akan kembali? Kenapa kau tiba-tiba mengajukan cuti?" tanya Arkan membuka perbincangan.Berlin berhenti mengaduk mangkok es krimnya dan melirik Sarah yang terlihat tak peduli dengan suara Arkan. "Em, ada hal mendesak yang harus aku lakukan dan tidak bisa ditinggal. Jadi, aku memutuskan untuk cuti daripada kuliahku nanti terganggu," terang Berlin."Hal mendesak? Hal mendesak apa?" tanya Arkan begitu senang mencampuri urusan Berlin dan membuat Berlin risih."Em, itu ... aku ada urusan pribadi," jawab Berlin singkat tanpa memberikan penjelasan apa pun.Arkan mulia mene
"Berlin, kenapa kau tiba-tiba mengambil cuti lagi? Apa terjadi sesuatu padamu?" Sarah nampak cemas saat menghubungi sang teman yang baru saja hendak kembali ke kampus, tapi mendadak Berlin justru mengajukan cuti dan menunda melanjutkan pendidikannya sampai waktu yang tidak ditentukan."Aku ... ada kepentingan mendadak. Jadi, aku ingin mengambil cuti saja," jawab Berlin tak ingin membahas tentang kehamilannya yang hampir menginjak dua bulan.Saat ini kekasih Devan itu tengah duduk di dalam kamarnya dengan bosan sembari mengangkat telepon dari sang teman. Devan sudah berangkat ke kantor, dan Berlin berada di rumah bersama dengan pelayan yang menjaganya."Benar kau baik-baik saja? Kau tidak mengalami kecelakaan atau semacamnya, kan?" tanya Sarah membuat Berlin berkeringat dingin seketika.Memang kecelakaan yang dimaksud oleh Sarah, berbeda dengan "kecelakaan" yang dialami oleh Berlin. Namun, tetap saja wanita itu memang mengalami "kecelakaan" yang membuatnya harus menunda keinginan untuk
"Ayah, Ibu ingin berbicara sebentar!" Nyonya Sella menghampiri sang suami yang saat ini tengah sibuk membaca surat kabar sembari menyeruput kopi manis yang masih panas di tangannya.Tuan Wildan masih fokus pada surat kabarnya saat sang istri mendekat dan mengajak dirinya berbincang. "Apa? Katakan saja!" tukas Tuan Wildan.Nyonya Sella nampak tak sabar memberikan berita gembira pada sang suami mengenai kehamilan Berlin dan status mereka yang akan berubah menjadi kakek dan nenek. "Devan tidak lama lagi akan menjadi ayah!" ungkap Nyonya Sella dengan senyum sumringah.Tuan Wildan langsung menyemburkan kopinya begitu ia mendengar berita mengejutkan dari sang istri mengenai putra mereka. "Apa? Ibu tidak salah bicara, kan? Menjadi ayah apanya?" tanya Tuan Wildan dengan alis terangkat tinggi."Ayah tidak salah dengar! Memang benar kalau sebentar lagi Devan akan menjadi ayah. Pacarnya sedang hamil," jelas Nyonya Sella.Tuan Wildan memang tak mengetahui apa pun mengenai kegiatan sang putra, apa
Tok, tok! Pagi-pagi sekali, kediaman Tuan Mahesa sudah kedatangan tamu tak terduga yang berkunjung. Nyonya Firda terkejut bukan main saat ia melihat sesosok gadis yang muncul di depan pintu rumahnya. “SHEENA!” pekik Nyonya Firda kegirangan begitu ia melihat sosok sang putri yang mendadak kembali ke rumah mereka.Nyonya Firda memeluk Sheena dengan erat dan tanpa sadar, manik mata wanita paruh baya itu mulai berkaca-kaca. “Kenapa kau tidak menghubungi Ibu sama sekali? Ayah dan Ibu mencarimu ke mana-mana,” omel Nyonya Firda pada sang putri angkat.Sheena hanya diam tanpa banyak bicara. Vernon yang mengantarkan Sheena, melihat dari kejauhan saat gadis itu dipeluk erat oleh sang ibu. “Dugaan Sheena salah. Orang tua Berlin benar-benar menyayangi Sheena,” gumam Vernon. “Sheena sangat beruntung.”Nyonya Firda langsung menarik tangan Sheena untuk masuk ke dalam rumah dan memasak banyak makanan untuk sang putri. Sheena celingukan di dalam rumah, mencari sosok putri asli dari keluarga Mahesa. ‘K
Devan kini tengah menemani Berlin duduk di dalam kamar, usai Nyonya Firda berpamitan untuk pulang. Devan mengambilkan minuman hangat untuk Berlin dan mencoba menghibur wanita yang baru saja bertengkar dengan ibunya itu.Berita kehamilan Berlin ternyata semakin memperburuk keadaan dan memperumit hubungan antara Berlin dan Nyonya Firda. Devan nampak bingung bagaimana ia harus menghibur sang kekasih hati, sementara dirinya sendiri juga tak cukup akur dengan sang ibu.“Minum dulu, Berlin! Kau terlalu banyak berteriak,” ujar Devan menenangkan Berlin dengan cara yang basi.Berlin meraih cangkir minuman yang ada di tangan Devan dan menyeruput minuman hangat yang kekurangan gula itu. “Kau ini membenciku, ya? Kenapa minumannya tidak terasa manis?” protes Berlin pada Devan.“Benarkah?” Devan merebut cangkir yang ada di tangan berlin, kemudian mencicipi minuman dalam gelas tersebut. “Rasanya enak. Cukup manis,” sergah Devan.“Manis apanya? Rasanya seperti teh tawar. Hambar tidak berasa,” omel Be