“Tunggu, Ra! Kalau begitu, aku ingin kamu jadi siapa-siapaku.” Ucapannya yang ambigu membuat langkahku terhenti. Aku menoleh dengan mata sembab sisa menangis tadi.“Maksudnya?” Aku menautkan alis dan menatapnya.“Maaf jika terlalu cepat. Namun, maukah kamu menjadi istriku, Ra?” Dia tiba-tiba mengeluarkan satu buah kotak berwarna navy dari saku jasnya. Sorot mata teduhnya menatapku dengan lekat.Beberapa detik aku termangu. Kutatap kotak warna navy yang tersodor padaku itu. Namun, suara teriakan beberapa orang perempuan membuatku terkesiap dan sekaligus malu.“Terima! Terima! Terima!”Aku menoleh ke asal suara. Tampak para pembeli soto langgananku yang tengah antri bertepuk tangan berirama, mendengungkan kata terima dan menatap ke arah kami. Beberapa pembeli baklor yang ada di sebelahnya tampak ikuta. Dia ikutan berteriak-teriak.“Terima, Mbak! Masnya ganteng kayak gitu, kok!”Teriakan beberapa orang terdengar di antara para ibu yang mendengungkan kata terima. Duh, rasanya wajah ini me
Suara langkah kaki dan deheman dari atas tangga membuat obrolan kami terhenti. Aku dan Mbak Tini menoleh serempak. Seketika aku menelan saliva, gugup kembali mendera ketika melihat sosok seorang perempuan dengan long dress yang tampak mewah dan elegan itu turun. Kaca mata bertengger menghiasi hidungnya yang mancung. Rambutnya digerai sebahu. Usianya kutaksir mungkin seumuran Ibu, hanya saja beda kelas. Dia kelas konglomerat dan kami hanya kelas rakyat jelata. Aku menarik napas panjang. Sudah pasrah dan siap jika kembali harus mendengar makian. Penolakan berulang seperti sebelum-sebelumnya. Langkahnya kian dekat memangkas jarak, menyisakkan beberapa langkah lagi. Aku mengulurkan tangan untuk sungkeman. Hati ketar-ketir takut ada makian, penolakan, tetapi ternyata tidak. Dia menerima uluran tanganku. Mbak Tini menepuk bahuku dan berpamitan dengan bahasa isyarat. Dia tampak segan ketika melihat ibunya Mas Laksa. Aidan yang berada di belakang kursi sudah melarikan diri sejak Mas Laksa
Deg! Satu benturan lagi terasa mengenai dada. Maksudnya apa dari semua obrolan yang tak sengaja kudengar ini? Apakah perhatian yang Mas Laksa tunjukkan itu hanya sebatas karena amanat Mbak Keysa? Lalu kenapa Mbak Keysa mengamanatkan seperti itu. Kenapa Mas Laksa harus menikahiku? Aku dan dia pun tak berteman dekat. Justru dia temannya Mbak Rahma. Lalu kenapa harus aku yang dia pilih untuk menggantikannya? Tante Ros tak menimpali lagi sehingga setelah beberapa detik, aku memutuskan untuk berjalan menuju mereka kembali. Aku duduk di tempat semula. “Ahm, Ma. Sudah agak malam. Aku nganter Rara pulang dulu, ya!” “Oke.” Tante Ros tersenyum. “Pamit pulang dulu, ya, Tante!” Aku bangkit dan mencium punggung tangannya. “Oke, hati-hati.” Hanya itu yang terucap. Namun, segini saja aku sudah merasa syukur. Tak ada hinaan, tak ada cemoohan dan tak ada makian seperti yang sudah aku bayangkan. Mas Laksa mengantarku pulang. Dalam benak sebetulnya muncul beragam pertanyaan. Namun, entah kenapa a
Acara sudah mau dimulai. Rasa iba karena keluhan Mbak Rahma tadi pagi, perlahan berubah kesal. Sampai siang semua keluarga dari pihak suami Mbak Rahma sudah datang, tetapi tak ada satu pun yang membantu di dapur. Aku dan Ibu yang kelelahan berdua. Sementara itu, semenjak mendengar perkataan Ibu jika Mas Laksa akan melamarku, sikap Mbak Rahma berubah ketus dan tampak uring-uringan. “Ibu! Rara! Ini bekas makannya angkutin, dong!” Kudengar suara Mbak Rahma memekik dari ruang tengah. Ibu sudah hendak melangkah, tetapi aku menahannya. “Kenapa, Ra?” Ibu menatapku dengan garisan wajah lelahnya. “Biar saja, Bu. Toh mereka juga gak ngapa-ngapain dari tadi. Datang terus ngopi, makan, masa piring bekas mereka sendiri pun harus kita yang beresin. Biar, biar saja.” Akhirnya Ibu menurut. Kebetulan kami memang masih sibuk membuat bingkisan untuk para tamu nanti yang datang. “Ra, Rara!” Kudengar kali ini Mbak Rahma memekik memanggilku. Aku pun mengabaikan panggilannya. Tetap fokus membungkusi
Pertemuan yang Mas Laksa janjikan pun akhirnya usai juga. Tante Rose dan Om Seno---ayahnya Mas Laksa baru saja undur diri. Mbak Rahma yang memang tetap kuundang, wajahnya ditekuk sepanjang acara. Sesekali dia melirik barang-barang yang dibawa keluarga Mas Laksa. Beberapa parcel tertata di ruang tengah. Isinya memang tak muluk-muluk hanya buah tangan ringan seperti buah-buahan dan daging yang sepertinya mahal dari supermarket. Ada juga beberapa set pakaian lagi dan cincin mas putih yang disematkan dijemariku sebagai pengikat. Selain Mbak Rahma dan Mas Iwan, Ibu juga mengundang Pak RT dan salah satu tetangga. Setidaknya tak terlalu sepi hanya kami berdua. Ibu tak memiliki kerabat di sini. Kakak satu-satunya sudah meninggal juga. “Pak RT, silakan dibawa!” Ibu memasukkan beberapa buah-buahan yang kelihatannya mahal itu ke dalam plastik. Ada buah, biskuit dan juga susu cair. Begitu pun untuk Pak Hamid---tetangga yang lain. Ibu membekalinya dengan beberapa kudapan yang dibongkar dari parc
“Ahm, rupanya ini alasan keluargamu membatalkan perjodohan kita, Mas?” Perempuan itu mendekat dengan mengayunkan kaki jenjangnya yang terekspose sempurna. Dia hanya menggunakan mini dress tanpa lengan dengan potongan belahan dada rendah sehingga sebagian gunung kembar yang harusnya tertutup itu terlihat sebagian. Mas Laksa tetap santai. Menoleh sekilas, bahkan dia malah menusukkan lagi garpu pada steak yang tadi sudah dipotongnya lalu menyuapiku lagi. “Wah, gak nyangka ketemu di sini, Vio. Lagi ada acara?” tanya Mas Laksa. Dia hanya melirik sekilas dengan tenangnya. Mengabaikan tatapan sinis perempuan yang kini sudah menarik satu kursi di hadapan kami. “Mas, jadi dia perempuannya?” Bukannya menjawab, wanita itu kembali melontarkan pertanyaan pada Mas Laksa.Mas Laksa menoleh dan menyimpan garpu yang tadi dipegangnya. “Iya, Viola. Kenalkan ini Humaira---calon istriku.” Mas Laksa menatap tajam perempuan itu. “Ck! Kamu itu sadar gak, sih? Kamu itu gak selevel sama dia, Mas. Kamu itu
“Astaghfirulloh, Mas. Itu ‘kan Virna.” Reflek aku menarik tangan Mas Laksa dan mendekat. Virna tengah duduk di area dekat security dan meraung-raung menangis. “Sudah, sudah, Vir! Malu.” Mas Rustam tampak berusaha menenangkan perempuan itu. “Mohon maaf atas ketidak nyamanan, Mas dan Mbaknya. Kami akan segera tindaklanjuti kasus hipnotis dan penipuan ini. Mohon jelaskan di area mana kejadiannya biar kamu bantu check di CCTV.” Security tersebut tampak berusaha menangani kondisi. “Masalahnya, tadi Virna ke toilet perempuan, Pak. Di sana ‘kan gak ada CCTV, pas sudah jalan ada sekitar sepuluh menit dan kami mau makan. Saya baru sadar, kok dia gak bawa kantung belanja. Pas gitu, Virna juga tampak baru sadar, ponselnya dia gak ada, terus dompet, atm dan perhiasan yang baru kami beli juga raib.” Astaghfirulloh … kasihan sekali nasibnya. Jangan-jangan tadi ada orang yang membuntuti dia ketika dia pamer-pamer perhiasan. “Ra, ayo! Nanti keburu sore.” Suara Mas Laksa mengalihkan fokusku. “Ok
Ingin rasanya aku meminta penjelasan itu padanya. Namun, tidak sekarang. Aku rasa timingnya tidak tepat kalau sekarang aku bertanya padanya. Dia tengah terkena musibah. Bayinya masih dirawat di NICU dan juga sedang ada masalah keluarga. “Bu, aku sedih banget. Apa bisa Rara ke sini buat nemenin aku?” pintanya. Aku menautkan alis. Kenapa juga aku harus dibawa-bawa dalam masalahnya. “Kok jadi minta Rara sih, Rahma?” Ibu terdengar heran. Aku juga.“Semua keluarga Mas Iwan tak mengacuhkanku lagi, Bu.” Lagi-lagi dia terisak. Hening. Aku dan Ibu saling bertukar pandang. “Gimana, Bu? Aku benar-benar seperti hampir mau gila dan depresi.” Suaranya meninggi. “Adik kamu seminggu lagi mau nikah, Rahma. Dia tak boleh pergi ke mana-mana. Ibu tak mengijinkan dia.” Suara Ibu terdengar jernih.“Kok Ibu tega, kenapa Ibu pilih kasih? Aku butuh teman, Bu! Aku bisa-bisa gila kalau setiap hari Mas Iwan berlaku seperti ini.” Dia makin histeris. Aku dan Ibu, lagi-lagi saling lempar pandang. Aku menggel
Bab 54 Sembilan bulan kemudian. Sosok ringkih bertubuh kurus itu menatap dengan air mata mengembun. Dia tak berani menghampiri kerumunan yang ada di sebuah rumah yang baru saja selesai di renovasi. Duduk di tepi jalan dengan wajah tertutup sebagian kerudungnya. Dia pun berpura-pura memunguti botol-botol minuman bekas agar tak dicurigai. Segerombolan para Ibu melewatinya sambil membawa tentengan dengan wajah sumringah. Mereka sibuk mengobrol sambil tertawa-tawa. “Gak nyangka, ya? Nasib Si Rara mujur banget. Dulu kita kira paling kalaupun ada yang mau, duda tua yang istrinya udah metong. Eh, malah dapet duda kaya yang tajir melintir dan tampannya gak ketulungan.” “Iya, bener. Bikin iri aja, ya. Ini bingkisannya juga pasti mahal ini harganya … udah kaya, suami ganteng, anak cantik, duit banyak, beuhh … mau dong diperkosa.” “Hush!” Lalu mereka bergelak tertawa. Perempuan yang tengah menyimak obrolan itu menghela napas panjang. Ada senyuman terukir tipis. Lalu dia pun beranjak meni
“Iya, Om … semoga Viola segera bisa mendapatkan kebahagiaan.” Laksa menjawab datar. “Hanya saja, kebahagiaan dia itu, kamu, Laksa … tolonglah datang … Om mohon … anggap saja ini permintaan Om yang terakhir. Datanglah ke sini dan kuatkan dia … dia butuh kehadiran kamu, Laksa … dia butuh kamu.” Laksa menghela napas kasar. Ada rasa kemanusiaan yang tersentil, tetapi ada sebuah perasaan yang kini harus aku kedepankan juga yaitu perasaan istrinya, Humaira. “Maaf, Om. Saya tidak bisa. Ada perasaan istri saya yang harus dijaga.” Sambungan telepon diputus sepihak oleh Om Wisnu, tanpa ada kata-kata apapun lagi. Laksa tak ambil pusing. Dia langsung beralih pada setumpuk pekerjaan dan mengabaikan hal-hal yang menurutnya tak penting. Termasuk urusan Viola. *** Di tempat yang berbeda. Ibu menatap Mbak Rahma. Tubuhnya yang kurus kering tampak memprihatinkan. Kondisinya mentalnya perlahan membaik karena bantuan dari Rara yang mengkover biaya berobat pada psikolog. Ha
Kukecup keningnya lama. Perempuan yang namanya kini mulai memenuhi relung hati itu kubaringkan di atas tempat tidur. Wajahnya tampak sekali begitu menggemaskan dan bikin kangen.“Jangan banyak gerak, ya, Sayang. Kalau butuh apa-apa bisa minta tolong sama Mas.” Bukannya menjawab, sepasang bola bening itu hanya menatapnya dengan berkedip-kedip saja. Ada senyuman terkulum pada bibir merahnya yang tampak ranum. Kalau sudah begini, rasanya dunia ingin kuperintahkan saja untuk berhenti berputar. Perlahan aku menunduk, memangkas jarak untuk menyentuh bibir ranumnya. Dia tak menolak, sepasang mata itu berubah menjadi teduh. Amarah dan rasa bencinya sepertinya sudah berlari dan kini bahkan tangannya perlahan mengalung pada leherku.Krieeet!Suara daun pintu membuat aktivitasku berhenti begitu saja. Bersamaan dengan itu suara yang sangat kuhapal terdengar.“Laksa … bisa Mama bicara.” “Ahm, iy--Iya, Ma.” Sedikit gugup. Wajah Rara tampak merona, mungkin ada rasa malu ketika ketahuan sedang ber
POV 3“Andai iya, apa betul Mas bisa melakukannya?” Rara bertanya tanpa menatap wajahnya. Mas Laksa menggenggam jemari itu kian erat. Sebelum menjawab, dia tampak memejamkan mata. Namun tak lama, sebuah anggukan menjadi jawaban. “Maaf, Mas. Aku hanya ingin dengar itu. Andai pun kamu masih belum siap. Aku tak apa.” Rara berucap lirih. “Aku sudah memutuskan semuanya, Sayang.” Senyum pada bibirnya tersungging dan kehangatan tatap yang merebak membuat hati Rara yang awalnya takut, kacau dan galau perlahan menghangat. “Mas, Sayang kamu, Ra.” Mas Laksa pun mengucapkan dengan tatap penuh ketulusan. Belum sempat Rara menjawab, pintu ruangan didorong dari luar. Seorang perawat masuk membuat kamu menoleh ke arahnya. “Selamat siang, mohon izin periksa dulu, ya.” Mas Laksa mengangguk, lalu beranjak menjauh dan membiarkan perawat it memeriksa Rara. Setelahnya dia kembali meninggalkan ruangan.Hanya habis satu botol infusan hingga akhirnya Mas Laksa memboyong Rara pulang. Waktu sudah pukul
Suara obrolan, bau yang tak asing dan genggaman hangat yang kurasakan pada akhirnya membuat kegelapan ini perlahan sirna. Aku membuka mata perlahan. Kepala masih terasa sangat berat. “Alhamdulilah … akhirnya sadar ….” Suara itu, aku sudah tahu pemiliknya. Hanya saja memang pandanganku masih kabur dan perlahan menyesuaikan hingga senyuman hangat dan tatapan teduh itu berjarak begitu dekat. Dia menatapku dengan lekat. “Nanti Bapak bantukan suapi pasiennya, ya, Pak! Kami tinggal dulu.” Suara seorang perempuan mengalihkan tatapanku. Tampak seorang perempuan dengan pakaian suster berdiri sambil memegang botol minyak kayu putih di tangannya. “Baik, Sus. Terima kasih.” Suster itu pun pergi, meninggalkanku dengan dia hanya berdua di ruangan ini. Dia mengambil gelas berisi air hangat lalu membantuku minum. Setelahnya tangannya beralih pada tray makanan. “Makan dulu ya, Sayang ….” Mas Laksa mengambil tray makanan. Baunya tercium seperti amis ikan dan seketika membuat perutku memberontak.
BAB 49 - Pov LaksaJika aku membawa mobil dalam keadaan paling cepat, maka itulah sekarang. Memikirkan Humaira yang tak kunjung ditemukan membuatku seperti kesetenanan. Bahkan sejak tadi tuas gas kuinjak begitu dalam. Beberapa kali hampir mengenai pengemudi yang kadang menyebrang mendadak. Kontrol emosiku benar-benar sudah tidak berada pada takarannya. Dikarenakan berkendara dengan kecepatan tinggi, pada akhirnya aku sudah memasuki lagi, tempat di mana keberadaan Humaira dicurigai. Hanya saja, mobilku kali ini sedikit tersendat oleh kondisi pasar yang mulai ramai. Decitan rem yang nyaring menjadi pilihan ketika hampir saja mobilku menabarak penyebrang jalananan. Aku terkesiap dan mengumpulkan rasa syukur ketika melihat dia tak kenapa-kenapa. Rasa kantuk dan lelah memang mulai terasa setelah semalaman melakukan pencarian yang melelahkan. Aku tengah menetralkan rasa terkejut ketika mata ini tiba-tiba menangkap sosok yang tengah mematung di tepi jalan. Kedua netra beningnya tengah men
Pov RaraAku memilih menghabiskan hari pertamaku di dalam kamar. Tak keluar sama sekali. Hanya membeli makan dari pedagang yang lewat di depan kosan. Menjauh dari Mas Laksa kukira bisa membuat hatiku yang berkecamuk jadi tenang, tetapi malah justru semakin semrawut dan berantakan. Terlebih, kini ponselku hilang. Aku tak bisa berkomunikasi dengan siapapun. Pikiranku semakin ruwet karena takut Mas Laksa mencariku ke tempat Ibu dan nantinya Ibu malah jadi gak tenang. Gimana coba kalau Ibu nanti sakit karena kepikiran? Belum lagi beban memikirkan Mbak Rahma yang sudah hampir setengah gila.Aku menangis sesenggukkan di dalam kamar. Menjauh yang kukira bisa membuat pikiran dan hatiku tenang, ternyata tidak. Justru semua malah semakin terasa kacau. Sejak pagi, makanan yang kubeli pun tak tersentuh. Rasanya tak ada selera untuk makan. Entah kenapa, walaupun pikiran sepenuhnya membenci semua ini dan Mas Laksa. Namun hati kecilku merindukannya.“Mas … kenapa harus seperti ini?” Aku memukul-mu
Pov 3“Makasih, Bu!” Rara menyodorkan beberapa lembar uang sewa pada seorang perempuan paruh baya. Akhirnya dia menemukan juga tempat berteduh setelah sejak tadi beberapa kali berhenti dan mencari. “Sama-sama, Mbak.” Perempuan paruh baya pemilik kos-kosan itu tak banyak tanya. Meskipun melihat gelagat dari tamunya yang sekarang sudah seperti orang minggat. Namun, dia tak peduli hal itu. Baginya yang terpenting adalah uang. Rara gegas masuk dan berselonjor, mengistirahatkan kakinya setelah berjalan cukup jauh. Uang yang dibawanya tak terlalu banyak, karena itu sejak tadi shalat di masjid, dia berjalan mencari penginapan di sekitar. Akhirnya sebuah kos-kosan berukuran tiga kali empat meter dengan kasur tipis itu menjadi tempat berlabuhnya malam ini. Diletakkannya ransel berisi pakaian tersebut dan lekas Rara mencar-cari benda pipih dari dalam resleting kecilnya. “Astaghfirulloh … ponselku?” Seketika Rara merasa lemas ketika ternyata benda yang dia carinya gak ada. “Rasanya tadi wak
Pov : LaksaAku menuruni anak tangga dengan tergesa. Pikiranku kacau. Tak pernah Humaira berbuat seperti ini sebelum-sebelumnya. Misalkan dia mau pergi ke rumah Ibunya pun. Biasanya selalu menghubungiku lebih dulu untuk memberi kabar. Namun kenapa tidak dengan hari ini? Ada apa sebenarnya?Apa yang terjadi sebetulnya? Melihat kondisi kamar yang berantakan membuatku sangat yakin, jika Rara-ku sedang tak baik-baik saja. Tak pernah aku menemukan dia semarah ini sebelumnya.“Laksa mau ke mana?” Suara Mama membuatku menoleh. Rupanya dia masih duduk di ruang tengah sambil nonton tivi.“Mau jemput Rara, Ma. Mama belum tidur?” “Nunggu Papa. Papa kamu tadi lagi di perjalanan, sebentar lagi sampai.” “Hmm … pergi dulu, Ma!” “Iya, hati-hati.” Segera aku menutup pintu. Tak hendak bercerita pada Mama dulu. Aku juga belum tahu apakah Rara pergi dari rumah atas masalah apa. Jangan-jangan bertengkar juga dengan Mama? Hanya saja, rasanya bukan. Mama tampaknya sudah mulai menerima kehadirannya akhir