Saga memasuki helikopter dengan cepat, dibantu oleh beberapa anggota TNI yang sudah siap sedia. Suara mesin helikopter yang bergemuruh membuat suasana semakin tegang, seakan memaksa adrenalin Saga untuk bekerja lebih cepat. Angin yang kencang menyapu wajahnya, tetapi hatinya tetap fokus pada satu tujuan: menangkap mereka sebelum Damay hilang terlalu jauh.
"Semuanya sudah siap, Pak," ujar salah satu anggota TNI yang bertugas mengawasi peralatan di helikopter.Saga hanya mengangguk, matanya menatap horizon yang semakin jauh meninggalkan Soekarno-Hatta. Di balik kecemasan yang menggelayutinta, ada tekad yang semakin menguat."Helikopter ini akan membawa kita langsung ke Juanda dalam waktu kurang dari satu jam, Pak. Kami akan mengatur jalur agar lebih cepat," lanjut anggota TNI lainnya.Saga menghela napas panjang. Pikirannya terus melayang pada Damay dan Aidan, mengetahui betapa besar ancaman yang ada di depan mata.“Setelah kita mendarat,"Jangan coba-coba kabur!" katanya, dengan nada yang lebih kasar.Begitu pintu pesawat terbuka, para penumpang mulai berdiri dan mengambil barang bawaan mereka.Suasana di dalam kabin terasa tegang, Di luar, tim keamanan bandara bersama anggota TNI sudah bersiap. Mereka berdiri dalam posisi strategis, beberapa petugas berpakaian sipil menyamar sebagai staf bandara, sementara yang lainnya terlihat berjaga di pintu keluar dengan sikap siaga penuh.Seorang petugas keamanan memasuki pesawat dengan langkah mantap."Mohon maaf, kami akan melakukan pemeriksaan. Harap semua penumpang tetap tenang," ucapnya dengan suara tegas.Mata pria kekar itu langsung berkilat waspada. Damay merasakan cengkeraman di lengannya menguat, seakan pria itu ingin memastikan dirinya tetap di tempat.Petugas mulai memeriksa satu per satu penumpang, meminta mereka menunjukkan identitas. Beberapa orang terlihat bingung, tetapi tetap menurut.Saat gi
Part 1"Dicambuk 100 kali saja biar jera atau diarak saja keliling kampung, telanjangi mereka!" teriak salah satu warga memprovokasi. "Benar, lucuti mereka sekarang aja! Lalu arak keliling desa! Biar tau rasaa! Biar gak ada lagi yang nekat berbuat mesum dan zina seperti ini! Sungguh menjijikan!" sambut teriakan riuh para warga yang lain."Hukum mereka!! Arak mereka keliling desa!!"Mereka semua saling sahut menyahut karena sudah terprovokasi. Aku hanya bisa tertunduk lesu sambil menangis sesenggukkan. Bagaimana mungkin, aku yang terjatuh terperosok ke sungai kecil, lalu ditolong lelaki itu justru dituduh berbuat mesum alias berzina? Namun penjelasan kami tak diterima oleh mereka. Bahkan berakhir dengan main hakim sendiri. Lelaki yang membantuku itu dihajar hingga wajahnya babak belur, bahkan motornya pun dirusak warga. Di bawah kaki-kaki hujan yang menitik, menjadi saksi tangisanku saat ini. Baju yang basah kuyup pun tak dihiraukan oleh mereka. Seolah mereka benar-benar tak punya
Part 2"Memangnya kamu punya mahar berapa mau nikahin anak saya?" tanya ibu dengan tatapan tajam. "Seratus ribu.""Apa?? Cuma 100 ribu? kau ini sudah gila ya? Mau nikahin anakku tapi nggak punya modal?!" seru ibu dengan wajah kesal. Bapak menepuk lengan ibu agar tenang."Coba Nak Saga ulangi lagi, berapa mahar yang akan kamu berikan buat putri kami?"Lelaki yang memakai kaos oblong dan dikuncir rambutnya dan terdapat sedikit tato di lengannya segera menoleh ke arahku. Ya, penampilannya memang seperti berandalan, dengan tatapan elang membuatku sedikit bergidik.Namun saat ini, wajahnya dipenuhi luka lebam dan babak belur akibat dihajar warga.Ah entahlah, aku tak bisa melukiskannya, karena perasaan yang bercampur padu antara kalut dan juga tegang. Aku bahkan aku tak mengenal siapa dia sebenarnya, hanya beberapa kali mengingat lelaki itu sepertinya memang pernah datang membeli kue di toko Aksara. Dia berdecak pelan, kesal mungkin gara-gara di sidang oleh pamong desa dan keluarga, se
Part 3"Makanya Mbak May jadi perempuan itu jangan murahan! Mau-maunya berhubungan sama preman jalanan seperti itu! Di tempat yang gak seharusnya pula!Dasar gak punya malu! Hiiiy jijay!!"Degg!!Tiba-tiba saja gadis itu pulang dan langsung menghardikku. Suara adik tiriku terdengar menghina membuatku menggenggam sendok dengan kuat-kuat. Saat ini aku tengah membuat adonan tepung untuk pisang goreng. Tapi kenapa harus mendengar mulut julidnya?Debar jantung masih tak menentu akibat kejadian hari ini yang mengharuskanku menikah dengan pria yang sama sekali tak kukenali."Ya terima sajalah, maharnya cuma 100 ribu. Muraaaaahh! Semurah harga dirimu, Mbak!""Kalau tidak tahu ceritanya jangan memfitnahku sembarangan, Meg!" Aku bangkit dan menatap adik tiri itu dengan tajam.Tapi dengan santainya dia justru memperlihatkan wajah yang meremehkan. "Kenapa? Aku benar kan? Mbak itu murah, mu----raaahh-an! Hahaha," ujarnya seraya menertawakanku. "Aku yakin, orang-orang di sini juga setuju kalau M
Part 4"Damaayy!!" Teriakan ibu kembali menghenyakkanku, aku segea keluar membawa teh manis itu. Padahal apa susahnya sih, Mega disuruh ke dapur dan mengambil teh ini. Kenapa harus aku?Aku menaruh gelas teh itu di meja. Mereka semua terlihat kepedasan. Tak ingin berlama-lama, aku langsung bergegas ke dapur, takut bila gorengan pisangku gosong. Sedikit takjub saat kembali dan melihat Mas Saga tengah membalik gorengan pisang itu. "Mas ...?"Dia menoleh sejenak, lalu mundur membiarkan aku mengmbil alih pekerjaanku kembali. "Mas, ini teh manis buat kamu. Kamu mau minum dimana? Di sini atau di depan?" tanyaku agak canggung."Di sini saja," jawabnya singkat.Aku mengangguk dan menyerahkan gelas itu padanya. Ia langsung duduk bersila di lantai dan menyesap teh manisnya. Aku tertegun sejenak. Mungkin dia juga merasa tersiksa sama sepertiku. Selesai, aku mengangkat gorengan yang masih panas dan meniriskannya sejenak. Lalu menghidangkannya di hadapan lelaki itu. Lelaki yang beberapa jam la
Part 5Entah mimpi apa aku semalam, hingga menemui musibah seperti ini. Beberapa jam yang lalu ...Saat aku pulang kerja dari toko kue, aku berjalan melintasi jalan desa yang di kanan dan kirinya areal persawahan ada sebuah sungai yang cukup dalam.Hujan rintik-rintik menemaniku di sepanjang jalan. Apalagi rumahku termasuk yang paling jauh, berada di ujung desa. Kali ini memang aku tak memakai motor karena motor itu sedang dipakai oleh Mega. Jikalau sampai di rumah, pikiranku akan terkuras habis karena ucapan ibu, hingga aku memilih berhenti sejenak mengambil napas dan melihat sungai yang mengalir. Setidaknya menetralisir rasa yang ada.Tiba-tiba saja, serasa ada yang mendorongku hingga aku terperosok dan terjatuh ke bibir sungai. Hujan yang belum reda sedari pagi membuat licin di semua tempat dan juga membuat debit sungai mulai naik. Aku hampir saja terseret arus bila tak berpegangan kuat di dahan kayu."Tolooooong ....!" teriakku sambil berusaha bangkit. Meski tak bisa."Tolooooon
Part 6"Baguslah, sana kerja, jangan jadi benalu!" ucap ibu sinis."Bu, jangan bicara seperti itu, Bu. Bagaimanapun juga Nak Saga sudah menjadi bagian dari keluarga kita," tukas Bapak menengahi"Heleh!" sahut ibu sinis kemudian berlalu kembali ke dalam. "Saya berangkat dulu, Pak!" pamit Mas Saga. "Kamu pasti kembali lagi 'kan? Kamu tidak berencana kabur untuk meninggalkan putri bapak?" tanya Bapak, entah kenapa Bapak bertanya seperti itu. Biarpun dia pergi, bukankah tidak masalah bagiku? Ah ya, aku paham sekarang, bapak dan yang lain tidak percaya padaku. Mungkin bapak khawatir kalau anaknya yang tidak berharga ini ditinggalkan begitu saja.Aku menghela napas dalam. Entah kenapa terasa berat sekali. Tanpa kusadari, lelaki itu memandangku sejenak dan menjawab, "saya akan kembali, Pak."Dia mendekatiku lalu memberi dompet berisi kartu identitasnya. "Pegang ini sebagai jaminan. Aku pasti akan kembali.""Lho?" Aku mengerutkan kening."Kamu tidak usah khawatir, ada atau tidak adanya dom
Part 7 "Kami mencari Damay!" ujar salah satu dari mereka dengan tegas. "Damay? Ada apa dengan dia? Dia membuat kesalahan apa lagi?" tanya ibu makin panik. "Maaf Pak, bapak sekalian mencari saya?" tanyaku menghampiri mereka dan tetap berusaha tenang, meski jantung ini berdebar cukup kencang. "Dia siapa?" Mereka memandangku dan saling berbisik "Saya Damay, Pak," jawabku. Entah kenapa keduanya tetiba membungkuk seperti memberi hormat. Ibu menghampiriku. "Damay, kamu kenal sama orang-orang ini? Jangan-jangan kamu punya hutang ya? Atau suami berandalan kamu itu yang punya hutang?" bisik ibu. Aku menggeleng perlahan. "Aku tidak tahu, Bu." "Aduuuhhh, dapet musibah apalagi ini! Apes melulu! Pasti kamu itu anak kutukan! Udah nikah aja bawa sial! Suami gak jelas, ini apa lagi!" omel ibu. Aku menghela napas dalam. "Mohon maaf sebelumnya Bu, kalau kedatangan kami mengagetkan kalian. Kami datang kesini untuk mengantarkan hadiah," jawab seorang pria sementara pria di sebelahnya justru
"Jangan coba-coba kabur!" katanya, dengan nada yang lebih kasar.Begitu pintu pesawat terbuka, para penumpang mulai berdiri dan mengambil barang bawaan mereka.Suasana di dalam kabin terasa tegang, Di luar, tim keamanan bandara bersama anggota TNI sudah bersiap. Mereka berdiri dalam posisi strategis, beberapa petugas berpakaian sipil menyamar sebagai staf bandara, sementara yang lainnya terlihat berjaga di pintu keluar dengan sikap siaga penuh.Seorang petugas keamanan memasuki pesawat dengan langkah mantap."Mohon maaf, kami akan melakukan pemeriksaan. Harap semua penumpang tetap tenang," ucapnya dengan suara tegas.Mata pria kekar itu langsung berkilat waspada. Damay merasakan cengkeraman di lengannya menguat, seakan pria itu ingin memastikan dirinya tetap di tempat.Petugas mulai memeriksa satu per satu penumpang, meminta mereka menunjukkan identitas. Beberapa orang terlihat bingung, tetapi tetap menurut.Saat gi
Saga memasuki helikopter dengan cepat, dibantu oleh beberapa anggota TNI yang sudah siap sedia. Suara mesin helikopter yang bergemuruh membuat suasana semakin tegang, seakan memaksa adrenalin Saga untuk bekerja lebih cepat. Angin yang kencang menyapu wajahnya, tetapi hatinya tetap fokus pada satu tujuan: menangkap mereka sebelum Damay hilang terlalu jauh."Semuanya sudah siap, Pak," ujar salah satu anggota TNI yang bertugas mengawasi peralatan di helikopter.Saga hanya mengangguk, matanya menatap horizon yang semakin jauh meninggalkan Soekarno-Hatta. Di balik kecemasan yang menggelayutinta, ada tekad yang semakin menguat. "Helikopter ini akan membawa kita langsung ke Juanda dalam waktu kurang dari satu jam, Pak. Kami akan mengatur jalur agar lebih cepat," lanjut anggota TNI lainnya.Saga menghela napas panjang. Pikirannya terus melayang pada Damay dan Aidan, mengetahui betapa besar ancaman yang ada di depan mata.“Setelah kita mendarat,
Pak Tom mengangguk cepat. Begitu teleponnya dimatikan, Saga segera mengarahkan tim yang ada di bandara untuk membantu situasi darurat di lokasi kebakaran. "Kita butuh tim penyelamat sekarang. Segera kirim tim ke lokasi kebakaran Pak Jerry. Mereka harus cepat, pastikan mereka berhasil menyelamatkan Pak Jerry," perintah Saga."Beberapa dari kalian ada yang ikut aku ke Juanda, dan yang lain ikut dengan Pak Tom," ujar Saga dengan tegas, memberi perintah pada timnya.Meskipun ia harus fokus pada penculikan Damay, situasi ini membuatnya semakin terbebani. "Semoga semuanya berjalan lancar," gumamnya dalam hati.Setelah Saga memberi instruksi kepada timnya di bandara, ia melangkah ke luar menuju tempat yang telah disiapkan oleh pihak TNI. Di sana, ia bertemu dengan beberapa anggota TNI yang sudah menunggu. Salah satu dari mereka, seorang perwira dengan pangkat letnan kolonel, segera mendekatinya."Pak Saga, kami sudah siap membantu. Apa yang bis
Saga tiba di bandara, wajahnya tegang dan matanya penuh tekad. Ia memerintahkan timnya untuk menyebar dan mencari setiap petunjuk yang ada. "Aku ingin kalian mengecek setiap pesawat dan setiap terminal. Mereka tidak boleh lolos begitu saja." Pak Tom mengangguk. "Kita harus menemukan mereka, Mas. Kalau tidak, semuanya akan semakin sulit." Mereka mulai bergerak cepat, menyisir setiap sudut bandara, mencari jejak yang bisa mengarah pada penculik Damay. Saga tidak bisa berpaling, hatinya masih tertinggal di rumah sakit, memikirkan Baby Rain yang tengah dirawat. "Kami sudah mengecek beberapa pesawat yang lepas landas hari ini. Dan ada satu pesawat yang kami curigai yaitu pesawat tujuan Korea." "Korea?" tanya Saga memicingkan matanya. "Benar, Mas Bos." Tangan Saga mengepal erat. "Tidak salah lagi, ini ada hubungannya dengan Aidan." Suara langkah kaki terdengar dari belakang. Seorang pr
Mereka segera menyebar, memeriksa setiap sudut bangunan terbengkalai itu. Saga memeriksa setiap pintu dan jendela, mencoba menemukan petunjuk lebih lanjut, sementara pikirannya terus berputar. Ia bisa merasakan gelisah di dalam dirinya. Damay dan Baby Rain harus segera ditemukan, sebelum semuanya terlambat.Di luar, udara mulai terasa dingin, angin berhembus kencang, membawa kabut yang mempersulit pandangan.Pak Tom, yang khawatir dengan keadaan Damay dan Baby Rain, menyarankan, “Mas, kita harus hati-hati. Kalau mereka sudah meninggalkan tempat ini, kita bisa saja kehabisan waktu.”Saga mengangguk, tatapannya tajam. “Tidak ada waktu untuk ragu. Mereka bersembunyi di luar sana, dan aku akan menemukannya.”***Baby Rain tergeletak lemas di lokasi yang sunyi, tak sadarkan diri karena dehidrasi dan kelelahan. Wajahnya pucat, tubuh kecilnya terbaring di dekat tumpukkan peti kayu.Tim Saga akhirnya sampai di lokasi, bergerak cepat deng
Saga melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, menembus jalanan yang semakin gelap karena mendung. Matanya yang tajam terus memindai jalanan di depannya, berusaha mencari tanda-tanda yang bisa membawanya ke tempat Damay dan Baby Rain. "Pak, kami menemukan Pak Sammy! Dia tergeletak di pinggir jalan, dekat dengan hutan kota. Kritis, tapi masih hidup," ujar Pak Tom memecah ketegangan. Ia masih menatap tabletnya. Saga menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya, meskipun gelombang kecemasan terus menghantam dadanya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Saga menekan gas lebih dalam. Hutan kota semakin dekat, dan jantungnya berdegup semakin cepat. Tak lama, Saga sampai di lokasi yang dimaksud. Ia melihat sebuah mobil yang tampak terbengkalai di pinggir jalan. Itu adalah mobil miliknya. Ia segera menghentikan mobil dan berlari menuju ke tubuh Pak Sammy yang tergeletak di samping kendaraan.
Aidan menghela napas panjang, matanya terfokus pada pemandangan kota yang redup di bawahnya. Keadaan semakin pelik, dan setiap langkah harus diambil dengan sangat hati-hati. Jika tidak, semuanya bisa berantakan dalam sekejap. "Jangan biarkan mereka tahu tentang keberadaan kita," perintahnya sekali lagi, suara keras dan tegas, menegaskan bahwa tidak ada ruang untuk kesalahan. "Akan segera diselesaikan, Pak Aidan," jawabnya dengan suara penuh ketakutan. Aidan mengakhiri percakapan itu dengan sebuah ketukan cepat pada layar ponselnya. Ia berbalik dan menatap ruangannya, lalu menyeringai pelan. ***Damay tersentak dari lamunannya ketika mobil van berhenti mendadak. Salah satu pria membuka pintu dan menarik Damay keluar. "Ayo turun! Jangan bikin ribut, atau anakmu jadi korban!" Damay memeluk Baby Rain erat, tubuhnya menegang. Ia digiring ke sebuah bangunan tua yang terlihat seperti gudang terbengkal
Mobil van hitam itu melaju dengan kecepatan tinggi, meninggalkan jejak debu di jalanan sepi. Damay terjepit di sudut kursi, napasnya memburu, tubuhnya gemetar. Di pelukannya, Baby Rain menangis tersedu-sedu, tangannya kecilnya mencengkeram kuat baju ibunya seolah tak mau terpisah. Damay mencoba mengatur napas, berusaha berpikir jernih. Tapi bagaimana bisa? Tangannya masih terasa sakit akibat genggaman kasar pria tadi. Lututnya lemas, tapi insting keibuannya membuatnya tetap bertahan. "DIAAMM!" suara berat pria di sampingnya menghardik. Bau rokok dari tubuhnya menusuk hidung, sementara wajahnya yang dipenuhi luka lama terlihat dingin dan tak berperasaan. Baby Rain menangis lebih keras. Damay hanya bisa memeluk Baby Rain yang terus menangis di pelukannya. Air mata membasahi wajahnya. Di tengah ketakutannya, ia terus berharap. 'Mas Saga, tolong kami,
Saga merasa gelisah mendengar informasi itu. “Luar kota?” Ia berusaha menahan emosinya. “Apakah beliau dalam keadaan baik-baik saja? Ayah tidak dirawat di Rumah Sakit?" “Tidak, Mas. Tuan meninggalkan rumah dalam keadaan sehat, tidak ada masalah. Beliau sudah memberi tahu beberapa hari lalu kalau akan berangkat ke luar kota,” jawab pelayan itu, nada suaranya tetap tenang, tetapi Saga merasakan ada yang janggal.“Kenapa istri saya mengatakan Ayah sakit? Apa ada yang menghubunginya ke rumah tadi pagi?” tanya Saga, matanya berkerut, berpikir ada yang tidak beres.“Maaf, Mas Saga, saya tidak tahu tentang itu. Tidak ada informasi lebih lanjut,” jawab pelayan itu, suaranya agak gugup.Setelah beberapa detik, Saga menutup telepon dengan keras. Ia menatap jalanan yang sibuk di depannya, perasaan semakin cemas dan marah bercampur aduk.Siapa yang berani menipu istrinya? Siapa yang ingin memanfaatkan situasi ini untuk menjebak mereka?Pak