"Apa kau hapal nomor ponselnya? Biar kuhubungi dengan ponselku. Obatilah rindumu dengan mendengar suara beliau." Aku tau ponselnya pasti ada di rumah kontrakannya. Karena Eko membawanya ke sini dalam kondisi pingsan.Rini mengangguk, kemudian menyebutkan beberapa digit nomor ponsel Bu Endang.Kubiarkan Rini berbicara dengan Bu Endang melalui ponselku setelah terhubung dengan ponsel beliau. Aku mencuci mukaku di wastafel yang ada di ruangan ini. Kupandangi wajahku sendiri di cermin yang ada di atas wastafel. Aku hampir tidak mengenali diriku sendiri, rambutku kusut dan mataku merah. Bahkan kemarin putraku Aldy juga menanyakan kenapa mataku merah, aku hanya beralasan alergi debu. Padahal kurasa mataku merah karena terlalu banyak menangis. Menangisi takdirku.***Hari ini Nuri pulang setelah sebulan mengikuti kegiatan diklat di Jakarta. Rini sendiri masih dirawat inap di rumah sakit, aku menyuruh Meli menjaganya dan membebaskannya dari pekerjaan kantor sementara. Meli pun tidak banyak t
Rini, gadis itu bahkan sampai melukai dirinya sendiri karena tidak sanggup berada di posisinya sekarang. Lalu aku menambah perih lukanya dengan makianku padanya. Namun sisi lain hatiku masih memendam amarah. Wajar saja aku marah, wajar saja aku memaki. Suamiku menikahinya, apapun alasannya aku tetap tersakiti, sangat tersakiti. Kutarik tubuhku menjauh dari mas Andri ketika sisi amarahku kembali menguasai. Mas Andri menatapku sayu."Maafkan Mas, Sayang. Mas bahkan tidak tau apa kata maaf bisa mengobati luka yang sudah Mas torehkan. Sungguh, Mas tidak pernah berniat bahkan tidak pernah terlintas dalam pikiran untuk menduakanmu. Katakan apa yang harus Mas lakukan agar kita kembali seperi dulu lagi. Mas bahkan belum menyentuh Rini," ucapnya. Aku menatap matanya, tidak ada kebohongan di sana, hanya ada binar kesedihan.“Mas hanya sebatas menyentuh dan memegang tangannya, itu karena dia juga rapuh, Dik. Dia sendirian tak ada tempat mengadu. Rini sungguh menghormati dan menyayangimu, Dik. Di
Dua hari setelah peristiwa yang membuatku dengan terpaksa menikahi Rini, aku tidak melihat wanita itu datang kekantor. Ada sedikit rasa khawatir dalam hatiku, apalagi Rini tinggal seorang diri di rumah kontrakannya. Entah kenapa hari ini, aku merasa penasaran apakah dia benar-benar tidak masuk kerja atau memang kebetulan tidak telihat olehku. Perlahan aku menuju divisi marketing."Selamat pagi Pak Andri," sapa Meli karyawanku di bagian marketing yang juga adalah teman seruangan Rini."Selamat pagi Meli, saya sedang mencari Rini ada yang hendak kudiskusikan dengannya. Apa kau melihatnya?" sahutku.“Rini sudah 3 hari ini tidak masuk, Pak, ponselnya juga tidak aktif. Bahkan kemarin saya ke rumah kontrakannya tapi sepertinya dia lagi tidak ada di rumah. Saya tadinya mau menanyakan ke bagaian HRD apakah Rini mengajukan cuti.”3 hari? Bukankan baru 2 hari ini dia tidak masuk kerja? Ahh iya 3 hari yang lalu hari di mana aku menikahinya dia memang tidak sempat ke kantor karena kusuruh Eko lan
"Rini mencoba bunuh diri dengan melukai pergelangan tangannya, Pak" Eko menatapku sambil menarik nafas panjang.“Astaghfirullahaladzim .... Aku tak menyangka Rini bisa senekat itu.”"Beruntung saya datang tepat waktu, Pak. Jika tidak ...." Dia tak meneruskan kalimatnya."Lalu bagaimana lukanya, Ko? Apa kata dokter?" cecarku."Bapak bisa menanyakannya sendiri nanti. Akan kurang etis jika saya yang menjelaskan karena saya bukan petugas medis." Entah mengapa aku merasa Eko sedikit sinis ketika mengucapkannya."Maaf, Pak. Bukannya saya bermaksud lancang menggurui Bapak. Saya hanya ingin mengingatkan bapak agar lebih memperhatikan Mbak Rini. Sungguh malang nasib gadis yatim itu, dan gadis itu adalah istri bapak yang sah di hadapan Allah. Sekali lagi maaf, saya hanya mengingatkan Napak sebagai sesama umat muslim," ucap Eko sambil menunduk."Tidak apa-apa, Ko. Saya mengerti. Terima kasih sudah mengingatkanku. Dan terima kasih juga sudah membawanya kemari tepat waktu. Maafkan jika tingkah la
"Aku rindu pelukan ibuku," gumamnya."Sebaiknya tahan dulu rindumu, Rin. Beliau akan sangat sedih jika melihatmu dalam kondisi seperti ini. Kumohon pulihkanlah dulu kesehatanmu agar bisa bertemu beliau dalam kondisi sehat. Apa kau sudah menghubungi beliau. Kabarilah beliau dengan berita yang baik-baik agar beliau tidak kepikiran." Rini menggeleng."Apa kau hapal nomor ponselnya? Biar kuhubungi dengan ponselku. Obatilah rindumu dengan mendengar suara beliau." Aku tau ponselnya pasti ada di rumah kontrakannya. Karena Eko membawanya ke sini dalam kondisi pingsan.Rini mengangguk, kemudian menyebutkan beberapa digit nomor ponsel Bu Endang.Kubiarkan Rini berbicara dengan Bu Endang melalui ponselku setelah terhubung dengan ponsel beliau. Aku mencuci mukaku di wastafel yang ada di ruangan ini. Kupandangi wajahku sendiri di cermin yang ada di atas wastafel. Aku hampir tidak mengenali diriku sendiri, rambutku kusut dan mataku merah. Bahkan kemarin putraku Aldy juga menanyakan kenapa mataku m
Aku tidak tau harus berkata apa, tiba-tiba ada rasa bersalah terselip dalam hatiku. Kemarin aku begitu marah dan memaki Rini dengan kata-kata kasar. Mendengar semua cerita mas Andri membuatku sedikit merasa menyesal. Rini, gadis itu bahkan sampai melukai dirinya sendiri karena tidak sanggup berada di posisinya sekarang. Lalu aku menambah perih lukanya dengan makianku padanya. Namun sisi lain hatiku masih memendam amarah. Wajar saja aku marah, wajar saja aku memaki. Suamiku menikahinya, apapun alasannya aku tetap tersakiti, sangat tersakiti. Kutarik tubuhku menjauh dari mas Andri ketika sisi amarahku kembali menguasai. Mas Andri menatapku sayu."Maafkan Mas, Sayang. Mas bahkan tidak tau apa kata maaf bisa mengobati luka yang sudah Mas torehkan. Sungguh, Mas tidak pernah berniat bahkan tidak pernah terlintas dalam pikiran untuk menduakanmu. Katakan apa yang harus Mas lakukan agar kita kembali seperi dulu lagi. Mas bahkan belum menyentuh Rini," ucapnya. Aku menatap matanya, tidak ada ke
"Ri, kamu sakit?" Andin teman sekantorku yang biasa disapa Bu Nyai itu menyapaku."Nggak Din, cuma sedikit kelelahan aja.""Istirahat kalau capek, Ri. Kamu masih ingatkan bunyi undang-undang per-ibu-an?""Undang-undang apaan tu Din?""Itu loh undang-undang yang bunyinya gini. Satu, Ibu-ibu gak boleh sakit. Dua, jika ibu-ibu sakit, maka kembali ke pasal satu."Aku tertawa. Andin memang selalu begitu, suka melucu. Tapi jangan ditanya jika lagi serius, dari mulutnya akan keluar kalimat-kalimat sakti. Oleh sebab itulah dia dijuluki Bu Nyai. Karena gaya bicaranya saat memberi masukan atau nasehat sudah seperti Bu Nyai di pesantren-pesantren."Din, aku mau nanya nih. Misalnya nih ya, seseorang dihadapkan pada kondisi di mana dia harus menikah padahal sebenarnya kedua belah pihak tidak ada keinginan menikah terlebih pihak si pria juga sudah memiliki istri. Dan pernikahan itu terjadi tanpa sepengetahuan istrinya. Itu gimana hukumnya?""Wah berat nih pertanyaanmu, Ri. Aku takut salah dalam men
Entah kenapa sekarang perasaanku sudah tenang bertemu dengannya. Sesungguhnya Allah maha membolak balikkan hati manusia. Bahkan kemarin aku masih begitu emosi dan marah ketika mendengar namanya. Tapi sekarang, tanpa dia mendatangiku pun aku pasti akan mencarinya, bukan untuk memakinya seperti yang kulakukan saat terakhir kali bertemu dengannya. Tapi untuk mengajaknya berbicara tentang bagaimana hubungan kami kedepannya. Walaupun aku sama sekali belum punya pandangan akan seperti apa hubungan kami kedepan."Nuri, Andin, besok kalian ikut saya ke Lapas pinggir kota ya. Kita akan mendampingi kasus di sana. Ini berkas kasusnya silahkan kalian pelajari dan cari solusi apa kira-kira yang akan kita ajukan." Pak Indera atasan kami di kantor memberi instruksi padaku dan Andin.Kami ditempatkan bekerja pada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Kami selalu berurusan dengan kasus-kasus yang melibatkan perempuan dan anak. Entah itu kasus KDRT, kasus eksploitasi anak, maupun kasus is
“Bang, pulang yuk! Kita nggak dianggap di sini. Dunia serasa milik mereka berdua tuh.” Andin menyebikkan bibirnya sambil menoleh pada Rizal.“Jangan pulang dulu dong, Ndin. Aku boleh minta sesuatu nggak?” tanya Nuri.“Apaan? Asal jangan meminta bayi dalam kandunganku. Kamu kan udah dapat bonus bayi dari Mas Andri.”“Sayang!” Rizal menegur lembut istrinya sambil menggelengkan kepalanya. Dia takut Andri tersinggung dengan ucapan istrinya.“Nggak apa-apa. Aku sangat terhibur dengan kalian berdua,” ucap Andri yang mengerti maksud Rizal.“Jadi minta apa, Ri?” tanya Andin.“Untuk beberapa hari kedepan bisa nggak kalian menginap di sini dulu menemani Ibu dan anak – anak.”“Maksud kamu, Ri?”“Aku dan Mas Andri berencana untuk berlibur keluar kota beberapa hari.”“Jadi kamu setuju, Dik?” tanya Andri dengan tatapan berbinar –binar.“Iya, Mas. Semoga anak-anak juga mengizinkan, ya.”“Wuihhh, aku cemburu pada kalian berdua. Yang pengantin baru siapa yang bulan madu siapa!” Andin kembali mengerucu
“Tapi kita bukan pasangan pengantin baru, Mas.” Protes Nuri. Wajahnya sedikit bersemu merah menerima tatapan menggoda dari suaminya.“Bagiku kita adalah pengantin baru, Sayang. Dan akan selalu begitu. Kita akan menjalani hari-hari kedepan seperti pengantin baru setiap harinya. Kamu mau kan?” Andri menarik mengencangkan pelukannya di bahu Nuri yang membuat tubuh wanita itu masuk kedalam dekapannya. Andri mencium pucuk kepala Nuri. “Boleh minta lagi nggak?” tanyanya mengedipkan mata.“Aku ke sini buat manggil sarapan, Mas. Ayo, sepertinya yang lain sudah menunggu kita.” Nuri menjauhkan tubuhnya. Dia pun sebenarnya susah payah menahan hasratnya untuk tetap berada dalam dekapan hangat suaminya.“Ah, padahal aku ingin sarapan yang lain.” Andri masih menggodanya.“Udah ah, Mas!”“Makanya kamu ambil cuti ya, Dik. Kita liburan berdua.”“Kita bicarakan nanti ya, Mas. Yuk, sarapan dulu.” “Morning kiss dulu, dong,” pinta Andri memajukan bibirnya.Cup! Nuri mengecupnya sekilas. Mata Andri berbin
Kembali Andri dan Nuri tak sanggup menahan keharuan ketika mereka bersujud dalam salat, sajadah keduanya basah dengan air mata penuh rasa syukur atas semua yang sudah mereka lalui.“Aku mencintaimu, Nuri-ku. Perasaanku tidak pernah berkurang meski takdir memisahkanku darimu,” ucap Andri lembut dan memberi kecupan pada kening Nuri setelah mereka melewati malam panjang berdua.“Aku juga mencintaimu, Mas,” jawab Nuri manja sambil menyandarkan kepalanya di dada lelaki yang tak pernah pergi dari hatinya itu.“Sarapan apa pagi ini, Bi?” tanya Nuri pada Bi Ina yang sedang sibuk di dapur.“Ini lagi bikin nasi goreng, pancake dan roti bakar, Bu.”“Ooh, ada yang pesan nasi goreng, Bi? Nggak biasanya sarapan nasi goreng.”“Nggak ada yang pesan, Bu. Bibi hanya membuat nasi goreng kesukaan Pak Andri.”Nuri tersenyum. Beruntung sekali dia dulu menerima Bi Ina ketika seorang keluarga jauhnya merekomendasikan Bi Ina saat Nuri sedang mencari tenaga ART. Bi Ina orang yang jujur, baik dan sangat menyaya
Andri mengetuk pintu kamar Nuri kemudian membukanya perlahan. Nuri yang sedang merapikan beberapa barang diatas meja riasnya menoleh ke arah pintu dan tersenyum melihat kehadiran Andri di sana.“Silakan masuk, Mas. Maaf aku masih merapikan beberapa barang yang tadi berantakan di sini,” ucapnya.“Mau kubantu, Dik?” tanya Andri.“Nggak usah, Mas. Sebentar lagi beres kok. Oiya, ibu masih nginap di sini?”“Ibu sudah pulang ke rumah, Dik. Katanya nggak bawa baju ganti jadi tadi minta antar pulang. Maaf nggak sempatin pamit, tadi ibu nyari kamu untuk berpamitan tapi sepertinya kamu sedang mandi tadi.”“Oh, nggak apa-apa, Mas. Insya Allah besok kita jemput ibu lagi ke sana. Kasian beliau sendirian di sana.”“Iya, Dik. Besok aku ada janji dengan perawat Bilqis juga dan ibu juga ingin ikut menengok Bilqis.”Nuri mengangguk tersenyum. “Besok kita ke sana bersama-sama ya, Mas.”“Teririma kasih, Sayang,” ucap Andri dengan suara serak. Nuri tersipu malu mendengar kata ‘sayang’ bibir lelaki itu. P
Rizal tersenyum bahagia melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah Nuri. 'Aku akan menebus kesalahanku padamu dengan menjaga Nuri, Ayah. Aku melihat senyummu di balik senyumannya,' batin Rizal. Setelah tamu satu persatau mulai meninggalkan rumah Nuri, Andri dan Nuri yang sedang duduk bersantai di ruang tengah terkejut dengan kemunculan Bi Ina dengan deraian air mata di sana.Bi Ina sedari tadi tidak kelihatan diantara para tamu karena sibuk di belakang. Dengan deraian air matanya, Bi Ina memberi selamat pada kedua majikan yang begitu dihormatinya itu.“Bi Ina kok nangis gitu? Nggak suka saya balik ke rumah ini lagi?” tanya Andri sengaja bercanda. Dia tau Bi Ina dari dulu sangat berharap dia kembali ke rumah ini. Bi Ina bahkan beberapa kali menangis memohon padanya agar majikannya itu kembali bersama seperti dulu lagi.“Tidak, Pak. Justru sebaliknya saya sangat bahagia. Saya bahagia melihat keluarga Pak Andri dan Bu Nuri kembali bersatu. Ini adalah impian saya selama ini. Saya hanya
Andri dan Nuri serta Aldy dan Nanda masih berkeliling menyapa semua keluarga mereka yang hadir di rumah Nuri. Bu Susi yang dari tadi hanya diam menyaksikan semua yang terjadi di sana memeluk Nuri dengan erat ketika Nuri dan Andri serta kedua anak mereka menghampirinya.Tak ada kata yang keluar dari bibir wanita tua itu, hanya terdengar tangisan lirih membungkus keharuan yang dirasakannya. Nuri pun kembali menitikkan air mata harunya dalam dekapan ibu mertuanya itu.“Ibu tak bisa berkata apa-apa, Nak. Kebahagiaan yang ibu rasakan tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Pemandangan ini membuat perasaan ibu sesak dengan rasa bahagia. Sayang sekali Bapak dan adikmu Nindya tak bisa menyaksikan ini,” ucap Bu Susi sambil menyeka air matanya.“Iya, Bu. Kita akan mengabari Bapak dan Nindya nanti,” sahut Nuri lembut.“Terima kasih, Bu. Andri yakin ini semua juga tak lepas dari doa – doa ibu selama ini. Terima kasih untuk selalu meminta kebahagiaan anakmu ini dalam setiap doamu Ibu,” ucap Andri d
Andri terpaku mendengar ucapan Nuri, ucapan Nuri membuatnya merasa terbang ke awan – awan. Hatinya yang tadinya sesak dengan kepedihan kini berganti sesak dengan kebahagiaan.Begitu mudahnya Allah membolak – balikkan keadaan dan hati seseorang, maka sesungguhnya kita hanya perlu berpasrah pada ketentuan-Nya. Kun Fayakun, tidak ada satu hal pun yang mustahil bagi Allah jika Dia menghendakinya.Setelah semuanya setuju, Andri duduk dengan gagahnya menggantikan posisi yang tadinya diisi Adit. Kemeja kuning pucat hadiah dari Nuri yang dikenakannya tampak serasi dengan kebaya putih kombinasi kuning gading yang digunakan Nuri.Jika dilihat sekilas, tidak akan ada yang menyangka jika posisi Andri ada di sana untuk menggantikan Adit. Semua tampak serasi, seperti telah direncanakan dengan sempurna. Ya, semua rencana Allah. Itulah yang membuat semua terlihat sempurna.“Andri Firmansyah, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan adik kandung saya yang bernama Nuri Wulandari binti Muhammad Rasyid d
Ayah Andin, yang merupakan pemuka agama khusus datang dari Kalimantan memenuhi undangan anak dan menantunya untuk memberi khutbah dan wejangan pada calon pengantin. Jantung Adit berdegup kencang ketika tiba saatnya Rizal menatap tajam padanya dan menggenggam erat tangannya, sedangkan Nuri hanya duduk tertunduk di sampingnya sambil sesekali menghela napas pelan.“Danis Raditya, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan adik kandung saya yang bernama Nuri Wulandari binti Muhammad Rasyid dengan maskawinnya berupa uang sebesar Lima Ratus Ribu Rupiah dan seperangkat alat sholat dibayar TUNAI!”Hening. Tidak ada jawaban dari Adit. Ujung mata pria itu melirik pada sesosok pria di sudut ruangan yang tertunduk dengan bahu terguncang naik turun sambil memangku gadis kecil yang terlihat heran melihat pria itu menangis. Bola mata Adit menatap tajam pada Rizal kemudian kembali melirik ke sudut ruangan lalu melirik Nuri yang hanya menunduk dan menunggunya mengucapkan ijab kabul.Rizal menyipitkan m
Andri membuka lemari pakaiannya dan memilih kemeja berwarna kuning pucat yang merupakan kemeja favoritnya. Kemeja itu menjadi hadiah ulang tahun terakhir yang dihadiahkan Nuri padanya sebelum akhirnya takdir memisahkan mereka. Bu Aisyah, Aldy dan beberapa kerabat Nuri menyambut kehadiran Bu Susi dan Andri ketika mereka ibu dan anak itu tiba di sana. Bu Aisyah tampak ramah seperti biasanya mengajak Bu Susi mengobrol membicarakan beberapa hal. Sementara perhatian beberapa orang yang ada disana terpusat pada Andri ketika pria itu datang. Nuri hanya mengundang beberapa keluarga dekatnya, dan mereka semua yang ada disana mengetahui siapa Andri. Aldy yang menyambut kedatangan papanya mengajak Andri masuk kedalam rumah dan memilih menemani papanya itu duduk di pojok ruangan. Beberapa orang terlihat hilir mudik mempersiapkan keperluan acara. Rizal menghampiri Andri ketika melihat lelaki itu duduk di pojok ruangan ditemani Aldy. Rizal dan Andri terlibat perbincangan ringan beberapa saat sebe