Mungkin beginilah rasanya tidur di atas lautan busa kelewat empuk yang konon didatangkan langsung dari Eropa, ditambah sprei super lembut berbahan jacquard tencel yang begitu nyaman membuat siapa pun akan betah berlama-lama berbaring di sana.
Sinar fajar pertama sudah tergurat pada bentangan langit di luar sana, mengundang obsidian sepekat jelaga itu untuk menyusuri garis wajah sang istri. Gadis itu tertidur pulas tampak begitu nyaman bergelung manja dalam dekapannya. Well, harus dia akui bahwa pribadi di hadapannya itu terlihat sangat cantik, polos sekaligus menantang. Jangan lupakan tangisan lirih Jihye yang mau tidak mau mengusik ketidakpeduliannya selama ini. Pribadi kelewat datar itu menyadari bahwa begitu banyak hal yang tidak dia ketahui mengenai teman hidupnya itu.
"Kau hampir melanggar semua poin dalam perjanjian kita," kata Yunki dengan intonasi datar tatkala pelupuk besar Jihye mulai terbuka. Terhitung sepuluh kali gadis itu berkedip hingga akhirnya dia tersadar dan berteriak seraya mendorong sang pria dengan sekuat tenaga.
"Astaga! Apa yang terjadi!" Tangannya menyibak selimut dan menatap t-shirt hijau yang terpeta longgar membalut tubuhnya.
"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, kenapa kau ada di kamar mandiku tadi malam? Dan nyaris tenggelam di sana. Cih, konyol sekali." Sebuah decihan remeh mengikuti silabel yang keluar pada bilah pria itu.
Rasanya Jihye ingin ber-dissaparate ke Antartika saja bila mantra itu memang ada. Tidak ada yang lebih memalukan dari tertangkap basah melakukan suatu hal yang melanggar, terlebih kata konyol sekali yang menyambangi rungu terdengar bagai sebuah bazooka di medan perang yang menghancurkan tubuhnya. Namun, tunggu? Di sini Jihye masih berhak menuntut sesuatu.
"Kenapa aku bisa memakai t-shirt ini? Apa yang kau lakukan padaku, eoh?" Masih dengan nada galak, gadis itu mencoba membangun kembali harga dirinya yang sudah roboh.
Yunki sukses tertawa masih dengan mempertahankan decihan remehnya. "Coba ingat-ingat lagi apa yang aku lakukan, tepatnya apa yang kita lakukan dan apa yang kau minta tadi malam," ucap pria itu enteng dan segera melenggang meninggalkan kamar.
Jihye jelas melongo dengan lobus yang berputar-putar mencoba mengingat apa yang terjadi ketika dia tenggelam di bathtub, astaga memikirkannya pun memang terdengar konyol, siapa suruh kakinya tergelincir dan panik.
Tak mendapat secercah petunjuk, kini dia mulai menggerakkkan jari-jemarinya mengeja setiap poin pada wedding agreement mereka dan mendadak ngeri saat mengingat poin 6 yang berbunyi, kontak fisik dilakukan bila diperlukan.
"Omo! Shin Yunki-ssi! Apa yang kau lakukan padaku!" Jihye berlari ke luar kamar menuntut penjelasan Yunki yang saat itu sedang membuat kopi dengan santainya.
"Dengar Jihye-ssi, tadi malam itu bukan salahku, kau sendiri yang memintanya," terang Yunki dengan ketenangan yang sedikit mengintimidasi karena tiba-tiba saja tungkainya melangkah mendekati Jihye dengan sorot lurus menantang manik besar itu.
"J-jangan bilang k-kita melakukan poin 6?" tanya Jihye dengan tegukan saliva kelewat gugup.
Yunki hanya mengulas senyum lantas mengusap lembut kedua pipi gadis itu. "Aku mandi dulu. Oiya jangan lupa, aku akan memberi penalti karena pelanggaranmu terlalu banyak dan satu lagi mungkin aku akan lama di kamar mandi, tubuhku kelelahan karena tadi malam, kau duluan saja ke kantor." Tanpa menjawab apa yang dipertanyakan Jihye, pria itu melangkahkan tungkainya menuju kamar dan segera mengisi bathtub dengan air hangat. Sungguh dia sangat menikmati menggoda Jihye seperti ini, terlebih saat gadis itu mengerjap dan berbicara dengan nada sewotnya.
Menggemaskan ... astaga polos sekali singa betina itu, batinnya.
Tanpa dia sadari kroma merah jambu mulai merambati relungnya, mengantar seulas senyum terpeta jelas di wajah pucat itu.
Masih mengudarakan kekehan geli karena hiburan pagi yang menyenangkan, Yunki segera mengabari asistennya perihal dia yang akan datang terlambat ke kantor.
Malam tadi, tiba-tiba saja investor dari Jepang membatalkan pertemuan mereka, oleh karena itu dia bisa pulang lebih awal. Tidak pernah terbesit dalam lobus Yunki jika dia akan mendapati kamar mandinya disusupi. Bahkan dia sudah mengirimkan pesan pada Jihye untuk segera memasak makan malam. Namun, pria itu malah mendapati sang istri sedang termenung sendu di dalam bathtub sambil menatap city light di bawah. Saat itu Yunki bermaksud untuk membuat Jihye malu dengan berdiri di balik pintu, tetapi yang terjadi sungguh di luar ekspektasi.
Yunki masih saja tertawa, tetapi kini yang terpeta jelas adalah tubuh polos Jihye yang sialnya begitu melekat di otaknya. Tulang selangka yang begitu seksi bersinergi dengan leher jenjang yang menggoda, dua tumpukkan kenyal dengan puncak merah muda yang tampak pas dalam tangkupan tangan besarnya, jangan lupakan desahan yang mungkin akan mengalun lembut pada bilah gadis itu. Yunki meneguk saliva dengan gelengan keras mencoba menghalau fantasi liar itu.
Kau gila Shin Yunki, singa betina itu tidak secantik Yuri.
***
Bagi Yunki, Jihye hanyalah orang yang beruntung karena berada di dekatnya saat dia sedang dalam masa sulit. Malam itu setelah bertemu dengan Bae Yuri yang serta-merta meluluhlantakkan hati, sang tungkai membawanya ke sebuah kelab malam antah-berantah di sudut kota.
Duduk di kursi yang menghadap meja bar dengan beberapa kali melontarkan kalimat menuntut pada bartender agar mengisi terus gelasnya yang kosong, Yunki tak peduli akan semabuk apa dia malam ini. Di balik hancurnya hati toh dia tetap menjadi pribadi penuh pertimbangan karena dia memberikan kartu nama pada si bartender untuk mencarikan supir pengganti bila kelak mabuknya melebih ambang batas.
Malam semakin larut, para wanita berpakaian minim datang silih berganti mencoba menggoda si wajah baru ber-mansuit mahal itu dengan harapan mendapat uang besar dari hasil menjual diri. Namun yang terjadi hanya perasaan kelewat dongkol yang mereka terima karena si wajah baru itu kerap kali melontarkan kalimat kasar hanya untuk mengusir mereka.
Ingatannya mengabur dan hanya menyisakan beberapa bagian seperti puzzle yang tidak lengkap. Hari itu di apartemennya ada Seo Jihye yang tertidur di atas sofa dan nenek yang begitu histeris melihat mereka berdua. Tidak ada yang terjadi karena mereka pun dalam keadaan memakai pakaian lengkap, tetapi Sunhee memaksa Yunki untuk segera menikahi gadis itu dan langsung merasa cocok dengannya. Satu hal yang sangat aneh dan nyaris luput dari perhatiannya, sang nenek tampak begitu menyayangi Jihye. Siapa sebenarnya gadis itu?
***
Pergi dengan bus menuju kantor seharusnya terasa lebih menyenangkan, di sana dia tidak perlu merasa risi karena berduaan dengan makhluk sedingin Yunki. Namun yang terjadi saat ini, Jihye terus saja membentur-benturkan kepalanya pada kaca bus dengan tatapan kosong. Hatinya terus bertanya-tanya apa yang terjadi setelah dia tergelincir tadi malam.
Apa yang terjadi dengan tubuh seorang wanita jika sesuatu telah terjadi padanya. Frustrasi, gadis itu mengacak surainya kasar yang tentu saja membuat penumpang bus lain menatap dengan roman khawatir.
Menjelang siang, keadaannya tidak membaik. Han Gaeun salah satu temannya di divisi administrasi sempat melayangkan protes tatkala melihat Jihye memainkan keyboard komputer dengan sangat keras. "Hye-ssi, kau bisa merusak properti kantor kalau mengetik seperti itu."
"Ah, maaf, Gaeun-ssi," ucap Jihye menghentikan ketikkannya.
"Lebih baik kita ke kantin, sudah masuk jam istirahat, aku lihat kau belum pernah ke sana. Kau akan menyesal karena makanan di sana enak-enak." Ajakan Gaeun diamini Minhyuk dan mereka berdua segera menyeret Jihye ke sana.
Mungkin menuruti ajakan Gaeun dan Minhyuk adalah sebuah pilihan tepatkarena semangkok ramen dengan patbingsoo sebagai dessert mampu mengembalikan mood Jihye sebanyak lima puluh persen.
"Benar-benar enak," ucap Jihye sesaat sebelum dirinya tersedak karena melihat presensi Yunki berjalan dengan beberapa orang pegawai memasuki kantin.
Otomatis Gaeun dan Minhyuk mengikuti arah pandang gadis itu. "Aigo ... si tampan turun gunung," seru Gaeun antusias. "Kau sampai tersedak begitu, apa kau tidak tahu siapa pria tampan itu."
"Mana mungkin Jihye tidak tahu siapa dia, kan?" ucap Minhyuk seraya memberikan air putih pada sang gadis dan menepuk-nepuk punggungnnya.
"Shin Sajangnim, aku bahkan bersedia Tuhan memotong lima tahun waktu hidupku demi tidur dengannya satu malam." Mendengar hal itu batuk Jihye semakin hebat menimbulkan lirikan serta gelengan dari kepala Gaeun, "kau kenapa sih?"
"A-apa seperti itu Shin Sajangnim di matamu?" tanya Jihye berusaha senormal mungkin menutupi kuriositasnya yang tinggi mengenai sang suami di mata gadis lain.
"Dia itu terkenal dingin. Kau tahu? Pria dingin biasanya sangat panas di ranjang." Gaeun mendramatisir nada bicaranya dan mulai berargumen dengan Minhyuk. Sementara Jihye sibuk menepuk kedua pipinya yang kini dirambati semu merah muda akibat dari anomali pada organ yang berada di dada sebelah kirinya.
"Ey ... kriteriamu terlalu tinggi Gaeun-ssi, mungkin saja Jihye-ssi lebih menyukai pria sederhana, 'kan?" protes Minhyuk.
"Sederhana sepertimu maksudnya? Jinjja? Lagi pula aku ini memakai logika, aku tidak yakin akan ada wanita bodoh yang kuat tidak berusaha menggodanya jika dia ditakdirkan hidup satu atap dengan Shin Sajangnim."
Demi apa pun, setiap untaian kata yang dilontarkan Gaeun begitu tepat sasaran.
Kau sedang berbicara dengan wanita yang kau sebut bodoh itu Han Gaeun, rutuk Jihye dalam hati.
Sejemang
netra cokelat itu bersirobok dengan iris pekat Yunki dan Jihye yakin sekali dia melihat seulas senyum sesaat sebelum dirinya memutus tatapan itu."A-aku sudah selesai, aku duluan," ucap Jihye.
"Aku juga," putus Minhyuk, ayo sama-sama ke atas Jihye-ssi.
"Aish, kalian ini, padahal aku sedang menikmati pemandangan indah, jarang sekali Shin Sajangnim turun ke sini dari ruangannya di lantai 26," protes Gaeun, tetapi akhirnya dia mengikuti Jihye dan Minhyuk.
Sore harinya, embusan napas berat mengalun dari bilah Jihye, keengganan untuk pulang terutama keharusan untuk berhadapan dengan sang suami membuat bokongnya seakan dipaku pada kursi.
"Gaeun-ssi, apa kau bisa meluangkan waktumu? Ada yang ingin aku tanyakan."
"Iya?"
"Di kafe dekat kantor saja bagaimana?"
"Oke, ayo."
Hal yang ingin Jihye tanyakan memang terlalu pribadi, tetapi kalau dia tidak memberanikan diri, bisa-bisa dia akan penasaran dan terus dirundung canggung di rumah nanti.
"Jadi apa yang ingin kau tanyakan?" Gaeun menyeruput minumannya dan bergidik sedikit saat sensasi dingin merambati otaknya. Dengan remasan pada ujung kemeja dan gigitan di dalam bibir, Jihye akhirnya memberanikan diri bertanya.
"Ini mungkin sangat privasi, tetapi aku ingin bertanya, apa yang terjadi dengan tubuh seorang gadis saat kehilangan keperawanannya?"
Gaeun sukses melongo mendengar pertanyaan Jihye tersebut. "Omo ... apa yang terjadi?"
"Bisa kau jawab saja?"
Tangan Gaeun menyilang dengan mata menyipit curiga, tetapi dia akhirnya memutuskan untuk menjawab. "Konon katanya kau akan merasakan perih di sekitar sini." Gaeun menunjuk bagian bawah.
"Konon? Apa itu berarti kau belum pernah?"
"Bukan begitu, aku melakukan untuk pertama kalinya dengan pacarku saat kami berdua mabuk. Saat itu pintu kamar sewa pacarku sampai diketuk oleh tetangga karena desahan kami kelewat keras." Gaeun tertawa dengan mata menatap ke atas membayangkan kejadian itu.
"Astaga memalukan." Kekeh Jihye. "Apa kau tidak ingat apa-apa?"
"Yang kuingat hanya sensasi addicted-nya."
Jihye mengangguk-angguk dengan perasaan semakin tidak karuan.
Ya Tuhan, kalau itu memang terjadi aku harus bagaimana?
Mari kita cari tahu apa saja yang sebenarnya terjadi. Pada hari itu, apa yang dikatakan dr. Kim cukup membuat suasana hati Yunki menjadi buruk. Kesehatan sang nenek yang mengalami penurunan terutama pada bagian daya ingat membuatnya mau tidak mau harus bersiap untuk mengemban tugas tertinggi di Shin Geum Corp."Ini baru gejala awal, tetapi aku menyarankan agar Nyonya Shin segera pensiun dari dunia kerja untuk menghindari beban kinerja otaknya. Sudah waktunya kau menjadi pimpinan, Yun ." Kim Junho--sahabat sekaligus dokter pribadi Keluarga Shin--menepuk pundak Yunki pelan lantas melenggang ke arahcoffeemakerdi sudut ruangan.Yunki memijat pelipisnya dan mendengkus kasar, membayangkan beban baru yang benar-benar berat itu. "Apa tidak ada obat yang bisa menyembuhkannya?""Demensia tidak bisa disembuhkan, hanya bisa diperlambat. Sebisa mungkin hindari segala sesuatu yang membuatnya stress. Bahagiakan dia, ikuti semua k
Pagi yang nahas bagi Jihye dan gadis itu tidak dapat memetakan hatinya. Teriakan Shin Sunhee yang histeris ketika mendapati dirinya dan Yunki tertidur di atas sofa yang sama dan saling menggenggam tangan, itu jelas terlihat sangat buruk. Salahkan dirinya yang mudah sekali tertidur di mana saja saat kelelahan mendera.Belum lagi tatapan menuduh pria itu, membuatnya percaya bahwa segala niat baik tidak selalu diterima dengan baik jika orang yang kita tolong tidak tepat.Setelahnya, Jihye menghabiskan sekitar satu jam duduk tepekur dengan kepala menunduk bersama Yunki di sebelahnya yang tampak masih merangkum pemahaman dengan keadaan yang ada. Mereka hanya mengangguk-angguk mendengarkan ceramah panjang lebar Shin Sunhee yang ajaibnya menatap Jihye dengan binar penuh suka cita."Kalau kalian sering bermalam seperti ini, lebih baik segera menikah," ucap Sunhee sungguh-sungguh. "Nona cantik, siapa namamu?""Se-Seo Jihye, Nyonya," cicit Jihye dengan keadaan hati
Desahan panjang bersama peluh yang membanjiri tubuh menyertai suasana paginya. Jika pikiran kalian sedangtravellingpada hal yang tidak-tidak, maka tolong segera hentikan. Karena Jihye saat ini sedang membersihkan rumah, jenis pekerjaan yang memang cukup mudah, tetapi membutuhkan energi yang sangat besar.Sejak pukul tiga dini hari, dia sudah bangun dan mulai melakukan aktivitasnya. Hari Sabtu, Jihye dan Yunki berjanji pada Sunhee akan berkunjung ke rumah besar.Apartemen sudah rapi dan bersih, sarapan pagi sudah tergelar di atas meja, dirinya pun sudah mandi dan berganti pakaian. Tugasnya sekarang adalah menyiapkan air hangat untuk sang suami dan membangunkannya.Apa yang terjadi setelah insiden tenggelam dibathtubdangkal itu? Yang dilakukan Jihye adalah bermain petak umpet. Sebanyak mungkin dia menghindari kontak mata dengan Yunki dan bagian lucunya setelah menyiapkan air hangat dibathtub, dia akan menyet
Aku tahu aku cantik, tidak usah menatapku seperti itu, Shin Yunki-ssi," ucap Jihye ringan, melupakan presensi Sunhee di ruangan itu. Kecantikan Jihye yang diam-diam Yunki kagumi itu, tiba-tiba luntur akibat kalimat yang baru saja terlontar. Pria itu memilih mengedikkan bahu dengan ulasan senyum tipis. Sementara ledakan tawa Sunhee menyadarkan Jihye. "Nenek!" Pekiknya tanpa sadar, "maaf kukira tidak ada Nenek di sini." "Aku tidak sabar menanti cicit-cicitku kelak," ucap Sunhee masih dengan tawanya. "Yunki-ya, kenapa belum juga membuat istrimu hamil,eoh?" Pribadi bermata sipit itu menatap Jihye dengan tatapan tak terartikan. "Mungkin, kalau sudah saatnya nanti, Nek." Mata Jihye sukses membola berusaha mengartikan silabel yang baru saja Yunki lontarkan. Sebelum akhirnya menggeleng samar. "Sebaiknya aku antar Nenek ke kamar, ya? Nenek harus istirahat." ***
Bila ditelaah kembali dan ditepekuri dengan tenang sambil menyesap kepulan teh hangat di kursi santai yang terdapat di balkon apartemen. Kehidupan pernikahannya bersama Shin Yunki yang sudah berumur tiga bulan lebih itu tidaklah terlalu buruk. Diam-diam Jihye mulai berhitung berapa banyak hal tidak terduga yang terjadi di dalam hubungan mereka.Setidaknya Yunki bukan seseorang yang senantiasa kasar, walau seringkali Jihye merasa jengkel setengah mati karena lembaran kewajiban yang harus dia lakukan di rumah itu kelewat banyak dan kadang membuat kesal. Seperti suhu air dibathtubyang harus bersuhu tiga puluh tujuh derajat itu, ini salah satu perintah Yunki yang tidak masuk akal dan seringkali Jihye dikomplain karena suhu airnya tidak sesuai. Kenapa tidak sekalian saja dia menyuruh Jihye menabur kelopak bunga mawar di dalamnya. Sungguh merepotkan.Gadis itu masih saja bergidik mengingat sikap manis nan keren Yunki saat di pesta minggu lalu. Mungkin di
Yunki mengembuskan napas berat dan panjang, mencoba konsentrasi pada apa yang tengah dikerjakannya--proyek besar mengenai pembangunansmart citydi daerah Busan--tetapi, fokusnya hilang saat kelebatan wajah marah Jihye terus saja muncul."Argh! Bisa tidak, kau tidak terus muncul, Hye!" ucapnya geram pada sosok imajiner yang mengusik otaknya.Yunki sangat gusar, mengacak surai legamnya kasar lantas berdiri menghadap kaca besar, mencoba mencari ketenangan pada bentangan alam Seoul yang hari ini tampak cerah. Sayang, hal itu tidak berhasil, hingga bunyi dering ponsel menarik atensinya, menampilkan nama Jeongguk di layar benda pipih itu."Ya," jawab Yunki datar."Hyung,tidak lupa 'kan? Makan siang bersamaku?""Ya," jawab Yunki malas. Sebenarnya janji dengan adik kelasnya saat kuliah di Amerika sekaligus salah satu direktur Shin Geum Corp itu dia lupakan sama sekali."Oke, sampai bertemu nanti. Ada s
Tiba di apartemen, Yunki sudah ditunggu oleh Pak Ong yang berdiri di depan pintu dengan menggenggam sebuah amplop cokelat. Yunki tampak lega dan mereka langsung menenggelamkan diri dalam ruangan kerja. Sementara Jihye yang masuk aparteman beberapa saat kemudian--karena sang suami tidak menahan liftnya--tampak kebingungan harus bersikap seperti apa. Tangannya masih mengusap-usap kepala, merasa aneh dengan sikap Yunki yang selalu penuh kejutan."Apa dia cemburu, Jingoo mengacak rambutku?" monolognya lirih. "Kucing Salju itu kenapa, sih? Benar-benar membuatku bingung, tapi senyumnya kenapa bisa seimut itu, astaga jantungku ... kenapa pula degupnya harus sekencang ini."Pipi Jihye masih merona ketika Yunki menatapnya dari balik pintu ruang kerja. "Sayang, bisa tolong buatkan sarapan?"Bisa dibilang Jihye itu memiliki radar kelewat baik, dia dapat menyimpulkan dengan tepat perihal sang suami yang tiba-tiba memanggilnyaSayang."Ada siapa,Oppa
Sebuah buku berwarna toska dengan motifdreamcatcherbenar-benar mengalihkan atensinya. Buku tersebut tergeletak di atas meja dalam keadaan terbuka dengan tulisan warna-warni yang begitueye catching.Mau tidak mau pria itu mengulurkan tangan untuk meraih buku tersebut, sementara tangan lainnya masih setia menggenggam tangan Jihye. Oke, Yunki seharusnya sudah mendapatkan dua penalti saat ini, satu karena sudah mengecup Jihye tanpa izin, kedua karena telah melanggar batas privasi.Apa yang dia baca dalam berkas yang dibawa Pak Ong, benar-benar memunculkan rasa penasaran di diri Yunki dan saat ini adalah salah satu kesempatannya untuk dapat mengenal Jihye lebih jauh.Tulisan warna-warni itu mempunyai judul besar bertuliskan:Dream and to-do list-Menyelesaikan kuliah dengan nilai baikYunki mengangguk, menyetujui tanda ceklis di ujung daftar nomor satu ka
Ini mungkin bisa dikatakan gila! Rencana masa depan yang sudah tersusun rapi dalamdiarydi kamarnya, satu per satu menjadi kenyataan. Haruskah Jihye berkata WOW? Setelah menyelesaikan kuliah dengan gemilang, dia malah terjebak dalam sebuah pernikahan settingan yang membuahkan seorang anak menggemaskan bernama Jiyoon. Terkadang hidup memang seironi itu. Atas banyaknya air mata yang tercurah bagai rebas-rebas hujan yang tak berkesudahan. Atas pedihnya luka hati bagai disayat ribuan silet. Well, Jihye tidak akan memandang hidupnya selebay itu. Kelembutan hati yang dimilikinya membuka satu kesempatan, dengan harapan apa yang menjadi kesempatan itu turut menyembuhkan apa yang menjadi kesakitannya selama ini. Jihye berdiri di depan bentangan karpet putih di sebuah altar yang menghadap kaldera di Santorini, degup jantungnya bertalu gila. Silir angin sejuk yang menyapa lembut epidermisnya, serta riuh tepuk tangan orang-or
“Ke-kenapa kita ke sini?" Itu adalah sebuah pertanyaan sekaligus konversasi pertama yang mengudara di dalam mobil.Jihye melihat sekeliling, mengamati basemen tempat Yunki menghentikan mobilnya. Dia terlampau hafal dengan tempat ini. Tempat yang begitu banyak menghadirkan kenangan. Basemen dari sebuah apartemen tempatnya dan Yunki menghabiskan masa pernikahan dulu."Hye, maaf kalau kau tidak keberatan kita istirahat dulu di sini, sepertinya Jiyoon memerlukan tempat tidiur yang nyaman."Menatap sang putra yang kini tertidur pulas karena kenyang menyusu, Jihye menggerakkan kepala setuju. Yunki pun mengangguk, mengulas senyum tipis yang Jihye tahu benar senyuman itu tidak sampai matanya.Pria itu keluar dari mobil dan membuka pintu untuk sang wanita seraya mengambil alih Jiyoon. Di balik wajah yang kembali datar itu Jihye tetap bisa menerima kehangatan karena satu tangannya yang terbebas dari menahan tubuh Jiyoon, menggenggam tangan Jihye begitu erat w
Sinar mentari sudah merangsek masuk ke sela-sela tirai kamar beberapa jam lalu, pun dengan cicit burung pengantar hari baru bahkan sudah tidak terdengar.Jihye merasa baru saja mengatupkan pelupuk saat ranjangnya memantul diikuti teriakan gemas Jiyoon yang kini sibuk mendaratkan ciuman basah penuh salivanya ke wajah sang ibu.Pantulan lirih di sisi ranjang yang lain memperlihatkan presensi Yunki yang tampak malu-malu dengan wajah tidak enak karena membangunkannya. Tadi malam Jihye nyaris terjaga semalaman karena Yunki meminta Jiyoon untuk tidur bersama di unit miliknya.Kalau ibunya tidak mau ikut, ya sudah Jiyoon saja.Hasilnya Jihye lebih banyak terjaga karena khawatir Jiyoon akan menangis malam-malam mencari dirinya."Jam berapa sekarang?" tanya Jihye menggeliat malas mencoba mengumpulkan fragmen-fragmen nyawa yang masih berserak, "Jiyoonie sudah mandi, ya? Harum sekali," imbuhnya mengendus leher sang putra diikuti beberapa cecapan gema
Jihye cukup kerepotan mengusir Yunki tadi malam karena tanpa diduga Jiyoon terbangun dan berakhir bermanja-manja ria dengan sang ayah sampai pukul dua dini hari. Hasilnya Jihye harus mengumpat tatkala lingkaran mata panda tersemat begitu apik di wajahnya kini.“Astaga Jiyoon kenapa dekat sekali dengan pria itu, sih? Wajah eomma jadi kusut begini karena ikut bergadang,” monolog Jihye sembari menatap Jiyoon yang masih tertidur lelap. Bagaimanapun menatap wajah sang buah hati yang tertidur lelap seperti itu menghangatkan relungnya.Pukul 07.30 Jihye sudah bersiap untuk kerja, menyahut tas setelah melontarkan beberapa pesan pada Bu Kim mengenai ASI yang sedang dia hangatkan jika Jiyoon terbangun dan ingin menyusu. Sungguh menjadi seorang ibu pekerja itu kadang melelahkan juga terlebih saat kau harus berpisah dengan anak yang sedang melalui masa emasnya.Jihye menutup pintunya dan tanpa sadar menatap bilah kayu dengan besi kromium bertuliskan 506
Setelah mengatakan bahwa Yunki akan menetap di Gwangju, sekelumit ruang di sudut hati Jihye sempat bersorak dengan debaran yang sukses menggelitik perut. Namun, sosok imajiner Jihye yang mengulas kurva senyum itu kini pudar berganti sosok berawai yang kembali menggenggam sendu. Bagaimana tidak? Sudah satu minggu berlalu setelah Yunki mengatakan akan menetap di sana, pria itu tidak lagi menampakkan batang hidungnya. Kecemasan Jihye semakin menjadi tatkala Jiyoon kembali rewel mencari sang ayah.Bagaimana mungkin Jihye harus merendahkan diri untuk menghubungi pria yang bahkan hanya memberikan harapan semu bagi dirinya dan Jiyoon? Jihye tidak akan membiarkan mereka kembali menyesap pahit, getir dan jatuh pada kubangan lara yang diakibatkan orang yang sama. Bukankah sejak awal Jihye sudah menolak sedemikian rupa?Jihye menarik sudut bibirnya miris, menatap sendu Jiyoon yang baru saja tertidur pulas setelah lama berkutat dengan rewelnya. “Sabar ya, Sayang. Lebih baik
Sebuah ikatan darah, seberapa kuat dia menggenggam keyakinan bahwa Jiyoon tidak membutuhkan sosok Yunki, kenyataan yang ada menampar Jihye begitu kuat dan apa yang dikatakan Hobi benar adanya.Wanita itu menapak pada permukaan lantai keramik putih di sepanjang koridor rumah sakit, berkali-kali tatapannya ia layangkan pada dua entitas di depannya yang tentu saja menumbuhkan sensasi ganjil pada relungnya. Lega, kesal, gemas, marah atau apa pun itu yang pasti rasa cemburu yang sejak kemarin bercokol di hatinya terasa kian berat.Bagaimana tidak, itu mini-mini yang bernama Jiyoon sampai saat ini menempel bak perangko pada sang ayah. Bahkan saat Jihye akan mengambil alih kala Yunki mengurusi biaya administrasi rumah sakit, makhluk mungil yang sejak tadi tertidur itu tiba-tiba terbangun dengan rengekan tidak mau berpisah.Akhirnya Jihye memutuskan untuk mengerucutkan bibir, berjalan malas di belakang mereka dengan otak berdesing memikirkan berbagai macam ide unt
Pelukan itu berlangsung lama dan Jihye tidak segan-segan membenamkan tubuhnya pada dekapan Hobi yang senyaman rumah, mencoba membaurkan kelesah dengan afeksi yang selalu tercurah dari pria menyenangkan itu."Nyonya Janda, sepertinya ada yang sedang memperhatian kita,” bisi Hobi.“Siapa?” tanya Jihye mendongakkan kepalanya,“Mantan suamimu dari tadi melihat kita. Mau bersenang-senang sedikit?" bisik Hobi yang sudah menangkap presensi Yunki dengan visusnya di depan sana.Jihye tertawa samar lantas menjawab, "Seru sepertinya."Maka, seperti itulah. Saudara persepupuan ini saling mencubit pucuk hidung yang diiringi bentangan senyum dan tatapan sendu penuh afeksi. Siapa pun akan menyangka mereka adalah pasangan romantis yang sedang beradegan mesra, dan pria di ujung sana terlihat stagnan dengan kepalan tangan dan rahang mengerat sempurna. Astaga, cemburu menguras hati tampaknya.Ah, tentu saja Yunki tidak akan membiarkan p
Barang kali, Jihye dapat melabeli dirinya sendiri dengan kata tidak professional. Sikap jual mahal yang mati-matian dipertahankannya kini luluh lantak jika menyangkut sang buah hati. Demamnya sangat tinggi, mencapai angka 40 derajat dan sempat mengalami kejang.Dalam sengguk pilunya wanita itu dapat mendengar sang pria mengalunkan kalimat penenang dalam silabel begitu lembut. Jihye terbuai, rasa sakitnya seolah luntur tatkala digempur afeksi yang memang sangat dia rindukan selama ini, terlebih dekapan Yunki tetaplah terasa nyaman."Aku takut kehilangannya, aku bukan ibu yang baik. Dia terus memanggilmu dan a-aku--" Jihye tidak mampu melanjutkan perkataannya dan malah menangis semakin kencang. Seandainya Yunki tidak datang, barang kali dirinya hanya akan berusaha tegar dan membenamkan diri dalam rasa bersalah tatkala melihat sang buat hati yang masih saja mengucapkan katappa ppadalam igaunya."Aku ada di sini, kau tidak perlu khaw
Jihye sempat stagnan tatkala mendengar pertanyaan yang terlontar dari bilah Yunki sementara tangan mungil Jiyoon terus saja menggapai-gapai udara dengan badan yang terus dicondongkan seolah ingin di pangku sang ayah. Kalau sudah begini, Jihye yang dibuat pening. Seharusnya pertanyaan itu bersifat retoris saja. Apa Yunki tidak bisa melihat kalau anak itu sangat mirip dengannya? Apa dia ingin mendengar kalau Jiyoon adalah anak Hobi? Gila, Yunki sudah gila."Sayang, mau ke mana, sih? Tidak boleh sok akrab dengan orang asing," ucap Jihye memilih mengabaikan pertanyaan Yunki dan berusaha menjauhkan sang anak dari ayahnya.Netranya melirik Hobi meminta pertolongan, mungkin saatnya berlakon bak keluarga kecil nan bahagia kali ini,sedangkan diam-diam Yunki menatap pria itu tajam seolah membangun benteng permusuhan. Ah, Yunki tetaplah Yunki, seorang pribadi impulsif yang masih harus belajar mengendalikan diri dari sikap meledak-ledaknya."Jung Hobi," ucap Hobi meng