Yunki mengembuskan napas berat dan panjang, mencoba konsentrasi pada apa yang tengah dikerjakannya--proyek besar mengenai pembangunan smart city di daerah Busan--tetapi, fokusnya hilang saat kelebatan wajah marah Jihye terus saja muncul.
"Argh! Bisa tidak, kau tidak terus muncul, Hye!" ucapnya geram pada sosok imajiner yang mengusik otaknya.
Yunki sangat gusar, mengacak surai legamnya kasar lantas berdiri menghadap kaca besar, mencoba mencari ketenangan pada bentangan alam Seoul yang hari ini tampak cerah. Sayang, hal itu tidak berhasil, hingga bunyi dering ponsel menarik atensinya, menampilkan nama Jeongguk di layar benda pipih itu.
"Ya," jawab Yunki datar.
"Hyung, tidak lupa 'kan? Makan siang bersamaku?"
"Ya," jawab Yunki malas. Sebenarnya janji dengan adik kelasnya saat kuliah di Amerika sekaligus salah satu direktur Shin Geum Corp itu dia lupakan sama sekali.
"Oke, sampai bertemu nanti. Ada s
Tiba di apartemen, Yunki sudah ditunggu oleh Pak Ong yang berdiri di depan pintu dengan menggenggam sebuah amplop cokelat. Yunki tampak lega dan mereka langsung menenggelamkan diri dalam ruangan kerja. Sementara Jihye yang masuk aparteman beberapa saat kemudian--karena sang suami tidak menahan liftnya--tampak kebingungan harus bersikap seperti apa. Tangannya masih mengusap-usap kepala, merasa aneh dengan sikap Yunki yang selalu penuh kejutan."Apa dia cemburu, Jingoo mengacak rambutku?" monolognya lirih. "Kucing Salju itu kenapa, sih? Benar-benar membuatku bingung, tapi senyumnya kenapa bisa seimut itu, astaga jantungku ... kenapa pula degupnya harus sekencang ini."Pipi Jihye masih merona ketika Yunki menatapnya dari balik pintu ruang kerja. "Sayang, bisa tolong buatkan sarapan?"Bisa dibilang Jihye itu memiliki radar kelewat baik, dia dapat menyimpulkan dengan tepat perihal sang suami yang tiba-tiba memanggilnyaSayang."Ada siapa,Oppa
Sebuah buku berwarna toska dengan motifdreamcatcherbenar-benar mengalihkan atensinya. Buku tersebut tergeletak di atas meja dalam keadaan terbuka dengan tulisan warna-warni yang begitueye catching.Mau tidak mau pria itu mengulurkan tangan untuk meraih buku tersebut, sementara tangan lainnya masih setia menggenggam tangan Jihye. Oke, Yunki seharusnya sudah mendapatkan dua penalti saat ini, satu karena sudah mengecup Jihye tanpa izin, kedua karena telah melanggar batas privasi.Apa yang dia baca dalam berkas yang dibawa Pak Ong, benar-benar memunculkan rasa penasaran di diri Yunki dan saat ini adalah salah satu kesempatannya untuk dapat mengenal Jihye lebih jauh.Tulisan warna-warni itu mempunyai judul besar bertuliskan:Dream and to-do list-Menyelesaikan kuliah dengan nilai baikYunki mengangguk, menyetujui tanda ceklis di ujung daftar nomor satu ka
Sebagai orang yang bermimpi melangsungkan pernikahan di luar negeri, ini jelas sesuatu yang menggelikan. Dalam 24 tahun hidupnya, Jihye baru pertama kali menaiki pesawat dan sungguh tidak menyukai sensasi saat burung besi itu mulaitake off. Gadis itu mengeratkan tangannya di pegangan kursi dengan mata terpejam disertai rapalan berbagai doa. Sungguh, tidak ada daya upaya bagi seorang manusia di atas sana, kecuali kuasa Tuhan. "Aku masih ingin hidup ... lindungi aku, Tuhan," lirihnya. Kurang lebih tujuh puluh menit, waktu yang dihabiskan dalam perjalanan dari Incheon menuju bandara Jeju dan selama itu pulalah keringat dingin mendominasi seluruh tubuh Jihye. "Hye-ssi, apa kau baik-baik saja?" tanya Minhyuk tampak khawatir menatap wajah pucat Jihye. "Jangan bilang ini penerbangan pertamamu," imbuh Gaeun tampak sama khawatirnya dengan Minhyuk. Jihye memegang tangan kedua temannya itu dengan mata terpejam erat. "Kau benar Eun
Keheningan mengudara, hanya lirih deru mesin yang tertangkap dalam jarak dengar gadis itu. Dia masih enggan membuka kedua netranya, mengingat kekacauan yang dia lakukan. Entah siapa yang membawanya pergi, tetapi bila dicium dari wangi citrus dengan aromatik rempah yang bernuansawoody, Jihye tahu betul siapa pribadi yang membawanya kabur itu.Namun, tidak mungkin dia, 'kan?Mobil yang membawanya kini berhenti. "Sampai kapan kau akan pura-pura pingsan,hm?" Sebuah pertanyaan disertai kekehan akhirnya terdengar.Itu suara bass milik si Kucing Salju ....Perlahan Jihye membuka mata dan mendapati pribadi pucat itu menatapnya dengan roman tak terbaca."Shin Yunki-ssi, k-kenapa kau ada di sini?" tanya Jihye dengan kerutan dahi begitu dalam, diakhiri dengan telunjuk menyentuh lengan atas Yunki seolah memastikan itu benar suaminya."Aku datang untuk menyelamatkan pernik
Jihye membuka mata, mendapati presensi Yunki yang menopang dagu padadashboardmenatapnya teduh. Setelah ciuman yang ... ehm ... cukup panas itu, Yunki hanya mampu mengajak sang istri tidur di dalam mobil--karena keinginan Jihye--kendati hasratnya ingin mengajak ke atas ranjang empuk. Semua hotel di pulau Udo sudah dibookingatas nama Shin Geum Corp dan sangat riskan apabila mereka masuk ke salah satunya.Sudut bibir pria itu tertarik ke atas tampak begitu tulus membuat Jihye harus mengerjap saat rona merah kini merambati hangat kedua pipinya."Hai ... pemandangan pagimu indah, bukan?" ucapnya. Jihye masih merangkum pemahaman, lantas bergerak pelan dan mendapati mantel milik Yunki menyelimuti tubuhnya."Lautnya memang indah," jawab Jihye lirih sambil menggeliat malas.Yunki mendengkus. "Maksudnya, pertama kali membuka mata kau melihatku. Indah, 'kan?"Jihye tertawa lantas bertanya. "Kau bangun sudah berapa lam
“Hye ... aku merindukanmu, tetaplah berada di sisiku." Ucapan itu mengalun begitu lembut menghangatkan relung, sarat akan sebuah harapan yang ditinggikan. Efeknya sungguh tidak main-main karena pelukan Yunki perlahan menjalar nyaman menggelitik permukaan perutnya. Jihye menyambutnya dengan tulus, memberikan tepukan lembut di punggung Yunki dan diam-diam berjanji akan mulai membuka hatinya perlahan. Rindu ... bahkan mereka bertemu setiap hari, tetapi kata itu seakan pas dengan suasana yang dirasakan keduanya saat ini.Yunki mengurai pelukan mereka, dengan tatapan teduh mulai mendekatkan wajahnya, dan kedua pasang bilah itu kembali saling memagut, membiarkan poin enam terjadi begitu saja.Ah, persetan dengan poin enam, bahkan dalam benak masing-masing, keduanya tengah merobek perjanjian itu. Yunki hanya ingin memastikan, menyelami dan benar-benar menyadarkan diri, bahwa sedikit demi sedikit dia memang telah jatuh pada pesona gadis yang selama ini coba ditola
Kesibukan yang terjadi akhir-akhir ini sungguh berimbas pada hubungan dua entitas manusia yang bernaung dalam satu atap itu.Jihye sangat sibuk membuat rencana anggaran untuk Smart City bersama Jimmy dan Gaeun. Begitu pun dengan Yunki, pria itu sering pulang larut dan melewatkan makan malam yang dibuat Jihye dengan sepenuh hati. Menyesakkan, sih, tetapi Jihye selalu berusaha berpikir positif.Di rumah, Yunki tampak lebih banyak diam dengan sorot seperti orang kebingungan dan sering menghabiskan malamnya duduk di kursi mini bar menenggak whisky. Hal itu tentu saja mencuatkan tanda tanya besar dalam diri Jihye. Berkali-kali gadis itu mencoba bertanya, tetapi hanya binar penuh penolakan yang dia dapat, seolah Yunki hanya ingin tenggelam dalam kubangan masalahnya seorang diri.Jihye mencoba mengerti, hidup satu atap selama hampir empat bulan dengan Yunki tidak serta-merta membuatnya mengenal pria itu seutuhnya. Dia harus menekan kuriositasnya dan mene
Jihye memaku, mencoba mencerna silabel yang baru saja menyapa rungu, merasakan seluruh atensi peserta rapat mengarah padanya."Bagaimana? Kau mau menjadi asistenku?" tanya Yuri sekali lagi."Nona Seo itu bekerja denganku, Nona Bae," potong Jimmy tampak tidak setuju.Yuri mengedikkan bahu. "Walau tampak seperti relawan HAM, tetapi aku suka gagasan yang dilontarkannya, mungkin dia bisa memberikan intruksi saat pengembang Glory Tech mengerjakan idenya, tentu jika ShinSajangnimmenyetujuinya," ucap Yuri melirik Yunki dengan binar tidak menerima penolakan."Menurutku itu hanya akan mengganggu kinerja Nona Seo," ucap Yunki."Aku berjanji tidak akan mengganggu waktu kerjanya dengan Jimmy, aku tidak setiap hari ke sini, kan?" tukas Yuri, seperti yang Yunki ketahui bila sudah berkeinginan, wanita itu akan melakukan apa pun untuk mendapatkannya.Diam-diam Jihye menarik sebuah senyuman saat mendapati dirinya menjadi bahan rebutan. "
Ini mungkin bisa dikatakan gila! Rencana masa depan yang sudah tersusun rapi dalamdiarydi kamarnya, satu per satu menjadi kenyataan. Haruskah Jihye berkata WOW? Setelah menyelesaikan kuliah dengan gemilang, dia malah terjebak dalam sebuah pernikahan settingan yang membuahkan seorang anak menggemaskan bernama Jiyoon. Terkadang hidup memang seironi itu. Atas banyaknya air mata yang tercurah bagai rebas-rebas hujan yang tak berkesudahan. Atas pedihnya luka hati bagai disayat ribuan silet. Well, Jihye tidak akan memandang hidupnya selebay itu. Kelembutan hati yang dimilikinya membuka satu kesempatan, dengan harapan apa yang menjadi kesempatan itu turut menyembuhkan apa yang menjadi kesakitannya selama ini. Jihye berdiri di depan bentangan karpet putih di sebuah altar yang menghadap kaldera di Santorini, degup jantungnya bertalu gila. Silir angin sejuk yang menyapa lembut epidermisnya, serta riuh tepuk tangan orang-or
“Ke-kenapa kita ke sini?" Itu adalah sebuah pertanyaan sekaligus konversasi pertama yang mengudara di dalam mobil.Jihye melihat sekeliling, mengamati basemen tempat Yunki menghentikan mobilnya. Dia terlampau hafal dengan tempat ini. Tempat yang begitu banyak menghadirkan kenangan. Basemen dari sebuah apartemen tempatnya dan Yunki menghabiskan masa pernikahan dulu."Hye, maaf kalau kau tidak keberatan kita istirahat dulu di sini, sepertinya Jiyoon memerlukan tempat tidiur yang nyaman."Menatap sang putra yang kini tertidur pulas karena kenyang menyusu, Jihye menggerakkan kepala setuju. Yunki pun mengangguk, mengulas senyum tipis yang Jihye tahu benar senyuman itu tidak sampai matanya.Pria itu keluar dari mobil dan membuka pintu untuk sang wanita seraya mengambil alih Jiyoon. Di balik wajah yang kembali datar itu Jihye tetap bisa menerima kehangatan karena satu tangannya yang terbebas dari menahan tubuh Jiyoon, menggenggam tangan Jihye begitu erat w
Sinar mentari sudah merangsek masuk ke sela-sela tirai kamar beberapa jam lalu, pun dengan cicit burung pengantar hari baru bahkan sudah tidak terdengar.Jihye merasa baru saja mengatupkan pelupuk saat ranjangnya memantul diikuti teriakan gemas Jiyoon yang kini sibuk mendaratkan ciuman basah penuh salivanya ke wajah sang ibu.Pantulan lirih di sisi ranjang yang lain memperlihatkan presensi Yunki yang tampak malu-malu dengan wajah tidak enak karena membangunkannya. Tadi malam Jihye nyaris terjaga semalaman karena Yunki meminta Jiyoon untuk tidur bersama di unit miliknya.Kalau ibunya tidak mau ikut, ya sudah Jiyoon saja.Hasilnya Jihye lebih banyak terjaga karena khawatir Jiyoon akan menangis malam-malam mencari dirinya."Jam berapa sekarang?" tanya Jihye menggeliat malas mencoba mengumpulkan fragmen-fragmen nyawa yang masih berserak, "Jiyoonie sudah mandi, ya? Harum sekali," imbuhnya mengendus leher sang putra diikuti beberapa cecapan gema
Jihye cukup kerepotan mengusir Yunki tadi malam karena tanpa diduga Jiyoon terbangun dan berakhir bermanja-manja ria dengan sang ayah sampai pukul dua dini hari. Hasilnya Jihye harus mengumpat tatkala lingkaran mata panda tersemat begitu apik di wajahnya kini.“Astaga Jiyoon kenapa dekat sekali dengan pria itu, sih? Wajah eomma jadi kusut begini karena ikut bergadang,” monolog Jihye sembari menatap Jiyoon yang masih tertidur lelap. Bagaimanapun menatap wajah sang buah hati yang tertidur lelap seperti itu menghangatkan relungnya.Pukul 07.30 Jihye sudah bersiap untuk kerja, menyahut tas setelah melontarkan beberapa pesan pada Bu Kim mengenai ASI yang sedang dia hangatkan jika Jiyoon terbangun dan ingin menyusu. Sungguh menjadi seorang ibu pekerja itu kadang melelahkan juga terlebih saat kau harus berpisah dengan anak yang sedang melalui masa emasnya.Jihye menutup pintunya dan tanpa sadar menatap bilah kayu dengan besi kromium bertuliskan 506
Setelah mengatakan bahwa Yunki akan menetap di Gwangju, sekelumit ruang di sudut hati Jihye sempat bersorak dengan debaran yang sukses menggelitik perut. Namun, sosok imajiner Jihye yang mengulas kurva senyum itu kini pudar berganti sosok berawai yang kembali menggenggam sendu. Bagaimana tidak? Sudah satu minggu berlalu setelah Yunki mengatakan akan menetap di sana, pria itu tidak lagi menampakkan batang hidungnya. Kecemasan Jihye semakin menjadi tatkala Jiyoon kembali rewel mencari sang ayah.Bagaimana mungkin Jihye harus merendahkan diri untuk menghubungi pria yang bahkan hanya memberikan harapan semu bagi dirinya dan Jiyoon? Jihye tidak akan membiarkan mereka kembali menyesap pahit, getir dan jatuh pada kubangan lara yang diakibatkan orang yang sama. Bukankah sejak awal Jihye sudah menolak sedemikian rupa?Jihye menarik sudut bibirnya miris, menatap sendu Jiyoon yang baru saja tertidur pulas setelah lama berkutat dengan rewelnya. “Sabar ya, Sayang. Lebih baik
Sebuah ikatan darah, seberapa kuat dia menggenggam keyakinan bahwa Jiyoon tidak membutuhkan sosok Yunki, kenyataan yang ada menampar Jihye begitu kuat dan apa yang dikatakan Hobi benar adanya.Wanita itu menapak pada permukaan lantai keramik putih di sepanjang koridor rumah sakit, berkali-kali tatapannya ia layangkan pada dua entitas di depannya yang tentu saja menumbuhkan sensasi ganjil pada relungnya. Lega, kesal, gemas, marah atau apa pun itu yang pasti rasa cemburu yang sejak kemarin bercokol di hatinya terasa kian berat.Bagaimana tidak, itu mini-mini yang bernama Jiyoon sampai saat ini menempel bak perangko pada sang ayah. Bahkan saat Jihye akan mengambil alih kala Yunki mengurusi biaya administrasi rumah sakit, makhluk mungil yang sejak tadi tertidur itu tiba-tiba terbangun dengan rengekan tidak mau berpisah.Akhirnya Jihye memutuskan untuk mengerucutkan bibir, berjalan malas di belakang mereka dengan otak berdesing memikirkan berbagai macam ide unt
Pelukan itu berlangsung lama dan Jihye tidak segan-segan membenamkan tubuhnya pada dekapan Hobi yang senyaman rumah, mencoba membaurkan kelesah dengan afeksi yang selalu tercurah dari pria menyenangkan itu."Nyonya Janda, sepertinya ada yang sedang memperhatian kita,” bisi Hobi.“Siapa?” tanya Jihye mendongakkan kepalanya,“Mantan suamimu dari tadi melihat kita. Mau bersenang-senang sedikit?" bisik Hobi yang sudah menangkap presensi Yunki dengan visusnya di depan sana.Jihye tertawa samar lantas menjawab, "Seru sepertinya."Maka, seperti itulah. Saudara persepupuan ini saling mencubit pucuk hidung yang diiringi bentangan senyum dan tatapan sendu penuh afeksi. Siapa pun akan menyangka mereka adalah pasangan romantis yang sedang beradegan mesra, dan pria di ujung sana terlihat stagnan dengan kepalan tangan dan rahang mengerat sempurna. Astaga, cemburu menguras hati tampaknya.Ah, tentu saja Yunki tidak akan membiarkan p
Barang kali, Jihye dapat melabeli dirinya sendiri dengan kata tidak professional. Sikap jual mahal yang mati-matian dipertahankannya kini luluh lantak jika menyangkut sang buah hati. Demamnya sangat tinggi, mencapai angka 40 derajat dan sempat mengalami kejang.Dalam sengguk pilunya wanita itu dapat mendengar sang pria mengalunkan kalimat penenang dalam silabel begitu lembut. Jihye terbuai, rasa sakitnya seolah luntur tatkala digempur afeksi yang memang sangat dia rindukan selama ini, terlebih dekapan Yunki tetaplah terasa nyaman."Aku takut kehilangannya, aku bukan ibu yang baik. Dia terus memanggilmu dan a-aku--" Jihye tidak mampu melanjutkan perkataannya dan malah menangis semakin kencang. Seandainya Yunki tidak datang, barang kali dirinya hanya akan berusaha tegar dan membenamkan diri dalam rasa bersalah tatkala melihat sang buat hati yang masih saja mengucapkan katappa ppadalam igaunya."Aku ada di sini, kau tidak perlu khaw
Jihye sempat stagnan tatkala mendengar pertanyaan yang terlontar dari bilah Yunki sementara tangan mungil Jiyoon terus saja menggapai-gapai udara dengan badan yang terus dicondongkan seolah ingin di pangku sang ayah. Kalau sudah begini, Jihye yang dibuat pening. Seharusnya pertanyaan itu bersifat retoris saja. Apa Yunki tidak bisa melihat kalau anak itu sangat mirip dengannya? Apa dia ingin mendengar kalau Jiyoon adalah anak Hobi? Gila, Yunki sudah gila."Sayang, mau ke mana, sih? Tidak boleh sok akrab dengan orang asing," ucap Jihye memilih mengabaikan pertanyaan Yunki dan berusaha menjauhkan sang anak dari ayahnya.Netranya melirik Hobi meminta pertolongan, mungkin saatnya berlakon bak keluarga kecil nan bahagia kali ini,sedangkan diam-diam Yunki menatap pria itu tajam seolah membangun benteng permusuhan. Ah, Yunki tetaplah Yunki, seorang pribadi impulsif yang masih harus belajar mengendalikan diri dari sikap meledak-ledaknya."Jung Hobi," ucap Hobi meng