Jihye berlari tergesa sesaat setelah turun dari mobil, menapaki satu per satu anak tangga yang akan membawanya bertemu seseorang. Berita yang dia terima membuatnya khawatir, terlebih dia sampai dijemput oleh supir malam-malam.
Kakinya berhenti di depan pintu kayu cokelat, mengatur deru napas lantas mendorong papan kayu itu perlahan. Suara deritnya sukses menarik atensi semua orang yang ada di dalam ruangan.
"Nenek ...," ucapnya lirih, pelupuknya menghangat tatkala melihat sang nenek terbaring dengan sebelah tangan digips.
"Apa yang terjadi?" Dengan penuh kelembutan Jihye mengusap lembut tangan wanita tua itu lantas menatap Yunki.
"Nenek tadi terjatuh dengan tangan menumpu tubuh hingga membuatnya cedera," terang Yunki, roman yang senantiasa dingin itu tampak melembut dan Jihye cukup yakin sempat melihat embun di pelupuknya sesaat sebelum pria pucat itu mengalihkan pandangan.
Masih punya kehangatan rupanya.
Mendengar suara cucu menantu yang sangat dia sayangi serta-merta wanita tua yang tengah tertidur itu membuka mata. "Apa itu, Jihye?" ucap Shin Sunhee.
"Ya, Nek. Ini aku." Bentangan senyum meneduhkan terpampang pada wajah Jihye.
"Mana buburnya, aku ingin disuapi Jihye." Ucapan Shin Sunhee tentu saja menimbulkan kerlingan muak dari orang-orang yang berada di dalam ruangan tersebut.
"Ibu, Jihye baru saja datang, biar aku saja yang menyuapimu, ya?" ucap seorang wanita paruh baya yang tampak berkelas dengan riasan tegas. Dia Choi Minkyung--ibu Yunki.
"Tidak-tidak, aku hanya mau disuapi Jihye, kalian keluar saja." Ucapan Sunhee serta-merta membuat yang lain segera pergi dari ruangan itu.
Sorot benci, kesal dan marah semua orang layangkan pada sosok Jihye yang saat ini hanya menundukkan kepala, gadis itu menolak segala bentuk penghakiman yang dilayangkan orang-orang di sana. Walau dia sangat yakin bahwa yang ada di ruangan ini sangat membencinya tanpa terkecuali Shin Yunki--sang suami.
Perlakuan Shin Sunhee terhadapnya memang sangat spesial dan menimbulkan tanda tanya besar. Sebenarnya apa yang dilakukan Jihye hingga membuat sang nenek begitu menyayanginya.
Yunki beranjak setelah menerbitkan senyum miring kelewat dingin pada Jihye. Tungkainya sudah akan mencapai pintu saat sebuah panggilan menghentikannya. "Yunki-ya, kau di sini juga."
Wanita tua itu menunjuk kursi kosong agar Yunki duduk di samping Jihye. "Aigo ... kalian itu benar-benar pasangan sempurna, cantik dan tampan. Aku ingin segera menimang cicit dari kalian." Binar wanita tua itu begitu teduh penuh pengharapan, berbanding terbalik dengan pasangan di depannya yang muak satu sama lain. "Yun, kau jangan terlalu sibuk. Bisa-bisanya kalian menunda bulan madu. Setelah proyekmu selesai kalian harus sering-sering menghabiskan waktu berdua. Biar Nenek yang mengurus semuanya, tinggal bilang saja kalian mau pergi ke mana."
"Baik, Nek. Aku juga tidak sabar ingin segera menghamili istriku ini." Yunki melirik Jihye dengan senyum menggemaskan seraya memberikan remasan lembut saat tangannya dengan santai mengalung di salah satu pundak sang istri.
Tawa Sunhee menggelegar. Demi apa pun, lewat lirikan kelewat tajam lagi-lagi Jihye membayangkan mencekik pria di sebelahnya itu.
"Sayangnya, cucumu ini terlalu sering kelelahan, Nek," ucap Jihye melirik Yunki dengan seringai.
"Astaga, apa itu berarti dia kurang perkasa?"
Jihye hanya memberi tawa kecil tanpa menjawab secara gamblang yang tentu saja menimbulkan sorot permusuhan baru pada binar sang suami.
Gelak tawa Sunhee menghiasi candaan sarkasme yang mengudara lewat interaksi Jihye dan Yunki. Bahkan bubur yang sejak satu jam lalu ditolak Sunhee mentah-mentah kini tandas dan wanita tua itu akhirnya tertidur lelap. Dengan penuh ke hati-hatian Jihye keluar menyusul Yunki, memasuki kamar yang disediakan untuk dirinya dan sang suami.
"Jadi kau mempertanyakan keperkasaanku, hm?" Yunki menarik Jihye sesaat setelah gadis itu memasuki kamar dan mendorongnya ke atas ranjang, menindih gadis itu.
"Apa yang k-kau--" Tanpa sadar gadis itu meneguk saliva kendati sorotnya masih terlihat tajam menantang Yunki yang menatap intens.
"Kau ingin bukti? Tak perlu cinta jika ingin melakukannya, apa kau benar-benar ingin pembuktian dariku, hm?" Jemari dengan otot maskulin itu menyentuh surai kecokelatan Jihye lalu turun ke wajah dan tulang selangkanya.
Sekuat tenaga gadis itu mencoba melepaskan diri, tetapi kuncian sang suami di atasnya begitu kuat.
"Aku tidak menginginkanmu, Yun. Ti-tidak sedikit pun. Aw! kau menyakitiku." Dengan seringai yang menghiasi wajahnya, pria itu melumat bilah ranum Jihye dengan penuh paksaan mengabaikan pukulan yang gadis itu layangkan di dada bidangnya.
Gadis itu meronta dengan sekuat tenaga, tetapi tangannya kini dikunci di atas kepala menimbulkan jutaan friksi yang berkecamuk di dalam dada. Jihye menangis dalam pagutan mereka, merasa begitu terhina dengan perlakuan kasar sang suami.
"Aku akan melaporkanmu!" ucapnya dalam upaya penolakan itu.
"Siapa yang akan memenjarakan suami yang menyetubuhi istrinya sendiri, hm?"
Namun, rupanya Tuhan masih menyayanginya karena celah untuk melarikan diri itu kini terbuka lebar tatkala Yunki mulai mengendurkan cengkeramannya dan mulai menelusupkan tangan di tengkuk Jihye untuk memperdalam ciuman mereka.
BUGH ....
Tangan Jihye berhasil mendorong tubuh Yunki dan berhasil melayangkan satu tendangan di perutnya. Tanpa menunggu pria itu tersadar akan apa yang dilakukannya, gadis itu berlari, menyeka air matanya dan pergi meninggalkan rumah megah itu.
Kalau bukan karena nenek, sungguh aku tidak mau berhubungan dengan semua orang di rumah ini.
TTT
Mari kita kembali pada beberapa minggu lalu. Hari itu, Jihye merasa mendapatkan jackpot tatkala dihubungi untuk menjadi pegawai pengganti dari orang yang mendapatkan cuti melahirkan selama sepuluh hari. Namun yang terjadi jelas merontokkan kebahagiannya.
"Kalau kalian tidak mengganti uangku, aku akan memberi kalian review yang sangat buruk! MENGERTI!"
Gadis itu menjauhkan gagang teleponnya sejauh jangkauan tangan dengan kernyitan begitu dalam. Cacian, makian dan hinaan mungkin akan menjadi makanan sehari-harinya ketika gadis itu memutuskan untuk menerima pekerjaan paruh waktu di bagian
pengaduan sebuah perusahaan jasa tersebut. Percayalah, orang-orang zaman sekarang kalau marah kebanyakan tidak menggunakan otaknya."Baik, Tuan. Kami akan menindaklanjuti aduan Anda, terima kasih. Semoga hari Anda menyenangkan." Ucapan-ucapan dengan nada ceria seperti itu selalu keluar dari bilahnya tak peduli betapa murkanya si penelepon di seberang sana.
Gadis itu lalu melentingkan tubuh ke belakang diikuti gerakan patah pada lehernya ke kiri dan kanan. Helaan napas kelewat berat dari mulutnya mengindikasikan bahwa sehebat apa pun gadis itu mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Hal itu tidak serta-merta membuat dirinya terbebas dari siksaan batin yang menerpa.
"Pantas saja gajinya besar, risiko kehilangan pendengaran karena menerima makian setiap hari sangat besar," ucapnya lirih seraya mengembuskan napas berat.
Pekerjaan menjadi bagian call center selesai untuk hari ini dan manajer restoran tempat dia bekerja paruh waktu lainnya sudah beberapa kali menghubungi menyuruhnya untuk segera datang.
Hujan baru saja mengguyur Kota Seoul lumayan deras, menghasilkan petrikor yang menyeruak menyapa penghidu. Bau tanah yang mengudara akibat gempuran air hujan itu begitu khas dan Jihye adalah salah satu penyukanya. Gadis itu berlari kecil, meloncat-loncat menghindari kubangan air di atas aspal yang basah.
Sesekali dia melirik jam di tangan, masih banyak waktu tersisa untuk mencapai restoran, jadi dia memutuskan untuk mampir sebentar ke sebuah toko untuk membeli roti kismis.
Jihye mendapat diskon besar untuk dua roti kismis dengan tanggal kedaluwarsa besok. Bersyukur karena roti tersebut biasanya selalu sold out di tempat itu. Masih dengan senyum mengembang karena bahagia dengan keuntungan tersebut, tiba-tiba sebuah desibel nyaring merangsek masuk menyapa rungunya.
"Dasar nenek tua tak tahu diri! Aku bilang PERGI YA PERGI!"
Jihye mengalihkan atensinya pada seorang wanita muda yang sedang memaki seorang nenek tua. Hal seperti itu tentu saja tidak pernah bisa diterima nalarnya, serta-merta Jihye berlari dan datang tepat waktu untuk menahan bobot tubuh si nenek yang kini terhuyung karena didorong si wanita muda yang tampak murka.
"YAK! APA-APAAN KAU?" teriak Jihye dengan kilat berbahaya, "mana sopan santunmu, EOH?"
"Itu bukan urusanmu, nenek tua itu terus saja mengikutiku. Aku tidak mengenalnya!"
"Tetap saja kau tidak berhak berlaku kasar!" Jihye mendongakkan kepala dengan mata melotot dan rahang mengeras, demi apa pun dia akan sangat marah kalau melihat sesuatu yang kasar seperti ini
"Itu bukan urusanku, urus saja dia olehmu!"
Wanita muda itu berlari meninggalkan mereka. Jihye bahkan harus mengepalkan tangannya geram guna merendam emosi.
"Nenek, tidak apa-apa? Apa Nenek terluka?" tanya Jihye khawatir.
Wanita tua itu menggeleng lalu mengusap perutnya. "Nenek lapar," jawabnya lirih.
"Ah ... lapar, ya." Dengan anggukkan penuh pengertian Jihye membuka keresek belanjanya, mengambil salah satu roti kismis dan karton susu yang dibeli tadi. "Kebetulan aku membeli roti. Nenek boleh menghabiskannya."
Dengan penuh kehati-hatian gadis itu memapah sang nenek ke arah kursi taman terdekat.
"Makanlah, kalau Nenek belum kenyang aku masih punya satu lagi."
"Kau baik sekali, siapa namamu, Nak."
"Seo Jihye," ucap gadis itu dengan senyum membentang sempurna. "Ngomong-ngomong, di mana rumah, Nenek?"
Masih sibuk dengan kunyahan rotinya, wanita tua itu mengernyit lantas menggeleng tampak kebingungan.
"Astaga jangan bilang Nenek tersesat." Jihye mengedarkan pandangannya mencoba mencari siapa pun yang tampak kehilangan seseorang.
Jihye mulai memutar otak dan langsung berasumsi bahwa pribadi di hadapannya itu mempunyai penyakit lupa.
"Cantik," ucap wanita tua itu lirih seraya menjulurkan tangannya mengusap lembut pipi Jihye.
Ketika Jihye menatap manik teduh wanita tua itu, dia memutuskan untuk menangkup tangannya mencoba menyalurkan afeksi. "Setelah makan, Nenek ikut aku saja, ya. Aku takut ada yang jahat lagi."
Barangkali Jihye harus merelakan pekerjaan paruh waktunya hari ini, keadaan wanita tua itu sangat memprihatinkan terlebih kekerasan yang baru saja terjadi memecut sisi kemanusiaan Jihye untuk menjaganya.
Baru saja Jihye memeta otak memikirkan langkah apa saja yang akan dia lakukan guna menolong sang wanita tua. Beberapa pria bersetelan jas hitam diikuti seorang wanita paruh baya dengan raut khawatir menghambur, lantas membungkuk begitu dalam di hadapannya.
"Maafkan kelalaian kami, Nyonya Shin." Wanita paruh baya itu lantas menatap Jihye. "Terima kasih, Nona." Jihye jelas terperangah menatap gerombolan yang lebih mirip seperti mafia itu.
Gadis itu masih mencerna apa yang terjadi saat si wanita tua digiring menuju mobil.
"Yak! Kalian siapa?" teriak Jihye sesaat setelah mendapat kesadaran penuh.
"Nyonya hilang dari pengamatan dan kami akan membawanya pulang," terang si wanita paruh baya.
"Jihye-ya, mainlah ke rumah," ucap sang wanita tua.
Jihye hanya mengangguk, sungguh dirinya dibuat sangat kebingungan dengan keadaan di depannya ini.
Masih dengan tatapan kelewat heran, Jihye menatap mobil mewah itu menjauh dan menghilang di tikungan. "Nenek ternyata seorang kaya raya, astaga apa tidak apa-apa memakan roti yang kedaluwarsa besok? Belum kedaluwarsa, sih, tapi perut orang kaya dan rakyat jelata kan berbeda. Semoga nenek tidak sakit perut."
Gadis itu menggeleng. "Ah sudahlah ... yang pasti aku akan dimarahi Manajer Hwang karena terlambat," ucapnya lirih lantas berlari nyaris tunggang langgang.
TTT
Bayangan tentang hari itu bahkan masih terpeta jelas pada lobusnya. Sialan memang, bahkan pintu gerbang utama tidak mau terbuka saat Jihye memerintahkan kepala keamanan untuk membukanya.
Terjebak di rumah super besar keluarga Shin, Jihye kini menenggelamkan diri, tepekur di atas kursi taman yang menghadap kolam ikan dengan air mancur mewah di tengahnya.
Meratapi nasib yang kelewat buruk, isakannya harus terhenti tatkala sebuah jaket menyampir menutupi pakaiannya yang sedikit terkoyak.
Tepekur di atas kursi taman yang menghadap kolam ikan, lobus frontalisnya merepetisi setiap kejadian di masa lampau dengan penuh penyesalan. Kata andai yang mengiringi setiap embusan napas yang terpeta pada luruhan di kedua pipi menjadi saksi bahwa pribadi tangguh itu kini tengah mencapai titik lelah. Segala bentuk penghakiman yang dilayangkan orang-orang di dalam rumah mewah itu terkadang begitu menyakitkan, terlebih suami yang seharusnya menjadi tameng kokoh pelindung ikut serta menjadi penyebab lara. Tangannya tengah sibuk menghapus jejak air mata di pipi tatkala menyadari sebuah jaket menyampir apik di kedua pundaknya. "Kau kenapa,Noona? Di sini dingin." Dia Jimmy--adik Yunki--salah satu penghuni di rumah mewah keluarga Shin yang bersikap ramah seperti Sunhee. Pria bersurai keemasan itu membentangkan senyum kelewat tulus yang serta-merta menghangatkan hati Jihye. "Apa Yunkihyungmenyakitimu? Aku melihatmu berlari
Jihye sedang tidak bermimpi, di balik gemingnya mengatur tangis tertahan di atas ranjang besarnya bersama Yunki, lagi-lagi dia harus merangkum setumpuk masalah yang menderanya akhir-akhir ini. Pertemuannya dengan Shin Sunhee dan pertemuannya dengan Yunki mengantarkan mereka pada sebuah perjanjian yang ternyata membuat hidupnya menjadi penuh drama.Kembali ke hari itu, saat Shin Sunhee akhirnya meninggalkan mereka berdua di kafe. Tensi yang terjadi di antara keduanya cukup menurun."Apa kita bisa berbicara baik-baik, Nona Seo Jihye? Kita bisa mendiskusikan kembali poin-poin itu kalau kau keberatan." Tangan pucat dengan otot kebiruan yang menonjol pada setiap ruasnya itu menyerahkan kembali amplop cokelat yang serta-merta Jihye baca kembali dengan saksama.Wedding Agreement antara Shin Yunki dan Seo Jihye1. Seo Jihye bangun lebih awal untuk menyediakan segala keperluan Shin Yunki bekerja, seperti m
Mungkin beginilah rasanya tidur di atas lautan busa kelewat empuk yang konon didatangkan langsung dari Eropa, ditambah sprei super lembut berbahan jacquard tencel yang begitu nyaman membuat siapa pun akan betah berlama-lama berbaring di sana.Sinar fajar pertama sudah tergurat pada bentangan langit di luar sana, mengundang obsidian sepekat jelaga itu untuk menyusuri garis wajah sang istri. Gadis itu tertidur pulas tampak begitu nyaman bergelung manja dalam dekapannya.Well, harus dia akui bahwa pribadi di hadapannya itu terlihat sangat cantik, polos sekaligus menantang. Jangan lupakan tangisan lirih Jihye yang mau tidak mau mengusik ketidakpeduliannya selama ini. Pribadi kelewat datar itu menyadari bahwa begitu banyak hal yang tidak dia ketahui mengenai teman hidupnya itu."Kau hampir melanggar semua poin dalam perjanjian kita," kata Yunki dengan intonasi datar tatkala pelupuk besar Jihye mulai terbuka. Terhitung sepul
Mari kita cari tahu apa saja yang sebenarnya terjadi. Pada hari itu, apa yang dikatakan dr. Kim cukup membuat suasana hati Yunki menjadi buruk. Kesehatan sang nenek yang mengalami penurunan terutama pada bagian daya ingat membuatnya mau tidak mau harus bersiap untuk mengemban tugas tertinggi di Shin Geum Corp."Ini baru gejala awal, tetapi aku menyarankan agar Nyonya Shin segera pensiun dari dunia kerja untuk menghindari beban kinerja otaknya. Sudah waktunya kau menjadi pimpinan, Yun ." Kim Junho--sahabat sekaligus dokter pribadi Keluarga Shin--menepuk pundak Yunki pelan lantas melenggang ke arahcoffeemakerdi sudut ruangan.Yunki memijat pelipisnya dan mendengkus kasar, membayangkan beban baru yang benar-benar berat itu. "Apa tidak ada obat yang bisa menyembuhkannya?""Demensia tidak bisa disembuhkan, hanya bisa diperlambat. Sebisa mungkin hindari segala sesuatu yang membuatnya stress. Bahagiakan dia, ikuti semua k
Pagi yang nahas bagi Jihye dan gadis itu tidak dapat memetakan hatinya. Teriakan Shin Sunhee yang histeris ketika mendapati dirinya dan Yunki tertidur di atas sofa yang sama dan saling menggenggam tangan, itu jelas terlihat sangat buruk. Salahkan dirinya yang mudah sekali tertidur di mana saja saat kelelahan mendera.Belum lagi tatapan menuduh pria itu, membuatnya percaya bahwa segala niat baik tidak selalu diterima dengan baik jika orang yang kita tolong tidak tepat.Setelahnya, Jihye menghabiskan sekitar satu jam duduk tepekur dengan kepala menunduk bersama Yunki di sebelahnya yang tampak masih merangkum pemahaman dengan keadaan yang ada. Mereka hanya mengangguk-angguk mendengarkan ceramah panjang lebar Shin Sunhee yang ajaibnya menatap Jihye dengan binar penuh suka cita."Kalau kalian sering bermalam seperti ini, lebih baik segera menikah," ucap Sunhee sungguh-sungguh. "Nona cantik, siapa namamu?""Se-Seo Jihye, Nyonya," cicit Jihye dengan keadaan hati
Desahan panjang bersama peluh yang membanjiri tubuh menyertai suasana paginya. Jika pikiran kalian sedangtravellingpada hal yang tidak-tidak, maka tolong segera hentikan. Karena Jihye saat ini sedang membersihkan rumah, jenis pekerjaan yang memang cukup mudah, tetapi membutuhkan energi yang sangat besar.Sejak pukul tiga dini hari, dia sudah bangun dan mulai melakukan aktivitasnya. Hari Sabtu, Jihye dan Yunki berjanji pada Sunhee akan berkunjung ke rumah besar.Apartemen sudah rapi dan bersih, sarapan pagi sudah tergelar di atas meja, dirinya pun sudah mandi dan berganti pakaian. Tugasnya sekarang adalah menyiapkan air hangat untuk sang suami dan membangunkannya.Apa yang terjadi setelah insiden tenggelam dibathtubdangkal itu? Yang dilakukan Jihye adalah bermain petak umpet. Sebanyak mungkin dia menghindari kontak mata dengan Yunki dan bagian lucunya setelah menyiapkan air hangat dibathtub, dia akan menyet
Aku tahu aku cantik, tidak usah menatapku seperti itu, Shin Yunki-ssi," ucap Jihye ringan, melupakan presensi Sunhee di ruangan itu. Kecantikan Jihye yang diam-diam Yunki kagumi itu, tiba-tiba luntur akibat kalimat yang baru saja terlontar. Pria itu memilih mengedikkan bahu dengan ulasan senyum tipis. Sementara ledakan tawa Sunhee menyadarkan Jihye. "Nenek!" Pekiknya tanpa sadar, "maaf kukira tidak ada Nenek di sini." "Aku tidak sabar menanti cicit-cicitku kelak," ucap Sunhee masih dengan tawanya. "Yunki-ya, kenapa belum juga membuat istrimu hamil,eoh?" Pribadi bermata sipit itu menatap Jihye dengan tatapan tak terartikan. "Mungkin, kalau sudah saatnya nanti, Nek." Mata Jihye sukses membola berusaha mengartikan silabel yang baru saja Yunki lontarkan. Sebelum akhirnya menggeleng samar. "Sebaiknya aku antar Nenek ke kamar, ya? Nenek harus istirahat." ***
Bila ditelaah kembali dan ditepekuri dengan tenang sambil menyesap kepulan teh hangat di kursi santai yang terdapat di balkon apartemen. Kehidupan pernikahannya bersama Shin Yunki yang sudah berumur tiga bulan lebih itu tidaklah terlalu buruk. Diam-diam Jihye mulai berhitung berapa banyak hal tidak terduga yang terjadi di dalam hubungan mereka.Setidaknya Yunki bukan seseorang yang senantiasa kasar, walau seringkali Jihye merasa jengkel setengah mati karena lembaran kewajiban yang harus dia lakukan di rumah itu kelewat banyak dan kadang membuat kesal. Seperti suhu air dibathtubyang harus bersuhu tiga puluh tujuh derajat itu, ini salah satu perintah Yunki yang tidak masuk akal dan seringkali Jihye dikomplain karena suhu airnya tidak sesuai. Kenapa tidak sekalian saja dia menyuruh Jihye menabur kelopak bunga mawar di dalamnya. Sungguh merepotkan.Gadis itu masih saja bergidik mengingat sikap manis nan keren Yunki saat di pesta minggu lalu. Mungkin di
Ini mungkin bisa dikatakan gila! Rencana masa depan yang sudah tersusun rapi dalamdiarydi kamarnya, satu per satu menjadi kenyataan. Haruskah Jihye berkata WOW? Setelah menyelesaikan kuliah dengan gemilang, dia malah terjebak dalam sebuah pernikahan settingan yang membuahkan seorang anak menggemaskan bernama Jiyoon. Terkadang hidup memang seironi itu. Atas banyaknya air mata yang tercurah bagai rebas-rebas hujan yang tak berkesudahan. Atas pedihnya luka hati bagai disayat ribuan silet. Well, Jihye tidak akan memandang hidupnya selebay itu. Kelembutan hati yang dimilikinya membuka satu kesempatan, dengan harapan apa yang menjadi kesempatan itu turut menyembuhkan apa yang menjadi kesakitannya selama ini. Jihye berdiri di depan bentangan karpet putih di sebuah altar yang menghadap kaldera di Santorini, degup jantungnya bertalu gila. Silir angin sejuk yang menyapa lembut epidermisnya, serta riuh tepuk tangan orang-or
“Ke-kenapa kita ke sini?" Itu adalah sebuah pertanyaan sekaligus konversasi pertama yang mengudara di dalam mobil.Jihye melihat sekeliling, mengamati basemen tempat Yunki menghentikan mobilnya. Dia terlampau hafal dengan tempat ini. Tempat yang begitu banyak menghadirkan kenangan. Basemen dari sebuah apartemen tempatnya dan Yunki menghabiskan masa pernikahan dulu."Hye, maaf kalau kau tidak keberatan kita istirahat dulu di sini, sepertinya Jiyoon memerlukan tempat tidiur yang nyaman."Menatap sang putra yang kini tertidur pulas karena kenyang menyusu, Jihye menggerakkan kepala setuju. Yunki pun mengangguk, mengulas senyum tipis yang Jihye tahu benar senyuman itu tidak sampai matanya.Pria itu keluar dari mobil dan membuka pintu untuk sang wanita seraya mengambil alih Jiyoon. Di balik wajah yang kembali datar itu Jihye tetap bisa menerima kehangatan karena satu tangannya yang terbebas dari menahan tubuh Jiyoon, menggenggam tangan Jihye begitu erat w
Sinar mentari sudah merangsek masuk ke sela-sela tirai kamar beberapa jam lalu, pun dengan cicit burung pengantar hari baru bahkan sudah tidak terdengar.Jihye merasa baru saja mengatupkan pelupuk saat ranjangnya memantul diikuti teriakan gemas Jiyoon yang kini sibuk mendaratkan ciuman basah penuh salivanya ke wajah sang ibu.Pantulan lirih di sisi ranjang yang lain memperlihatkan presensi Yunki yang tampak malu-malu dengan wajah tidak enak karena membangunkannya. Tadi malam Jihye nyaris terjaga semalaman karena Yunki meminta Jiyoon untuk tidur bersama di unit miliknya.Kalau ibunya tidak mau ikut, ya sudah Jiyoon saja.Hasilnya Jihye lebih banyak terjaga karena khawatir Jiyoon akan menangis malam-malam mencari dirinya."Jam berapa sekarang?" tanya Jihye menggeliat malas mencoba mengumpulkan fragmen-fragmen nyawa yang masih berserak, "Jiyoonie sudah mandi, ya? Harum sekali," imbuhnya mengendus leher sang putra diikuti beberapa cecapan gema
Jihye cukup kerepotan mengusir Yunki tadi malam karena tanpa diduga Jiyoon terbangun dan berakhir bermanja-manja ria dengan sang ayah sampai pukul dua dini hari. Hasilnya Jihye harus mengumpat tatkala lingkaran mata panda tersemat begitu apik di wajahnya kini.“Astaga Jiyoon kenapa dekat sekali dengan pria itu, sih? Wajah eomma jadi kusut begini karena ikut bergadang,” monolog Jihye sembari menatap Jiyoon yang masih tertidur lelap. Bagaimanapun menatap wajah sang buah hati yang tertidur lelap seperti itu menghangatkan relungnya.Pukul 07.30 Jihye sudah bersiap untuk kerja, menyahut tas setelah melontarkan beberapa pesan pada Bu Kim mengenai ASI yang sedang dia hangatkan jika Jiyoon terbangun dan ingin menyusu. Sungguh menjadi seorang ibu pekerja itu kadang melelahkan juga terlebih saat kau harus berpisah dengan anak yang sedang melalui masa emasnya.Jihye menutup pintunya dan tanpa sadar menatap bilah kayu dengan besi kromium bertuliskan 506
Setelah mengatakan bahwa Yunki akan menetap di Gwangju, sekelumit ruang di sudut hati Jihye sempat bersorak dengan debaran yang sukses menggelitik perut. Namun, sosok imajiner Jihye yang mengulas kurva senyum itu kini pudar berganti sosok berawai yang kembali menggenggam sendu. Bagaimana tidak? Sudah satu minggu berlalu setelah Yunki mengatakan akan menetap di sana, pria itu tidak lagi menampakkan batang hidungnya. Kecemasan Jihye semakin menjadi tatkala Jiyoon kembali rewel mencari sang ayah.Bagaimana mungkin Jihye harus merendahkan diri untuk menghubungi pria yang bahkan hanya memberikan harapan semu bagi dirinya dan Jiyoon? Jihye tidak akan membiarkan mereka kembali menyesap pahit, getir dan jatuh pada kubangan lara yang diakibatkan orang yang sama. Bukankah sejak awal Jihye sudah menolak sedemikian rupa?Jihye menarik sudut bibirnya miris, menatap sendu Jiyoon yang baru saja tertidur pulas setelah lama berkutat dengan rewelnya. “Sabar ya, Sayang. Lebih baik
Sebuah ikatan darah, seberapa kuat dia menggenggam keyakinan bahwa Jiyoon tidak membutuhkan sosok Yunki, kenyataan yang ada menampar Jihye begitu kuat dan apa yang dikatakan Hobi benar adanya.Wanita itu menapak pada permukaan lantai keramik putih di sepanjang koridor rumah sakit, berkali-kali tatapannya ia layangkan pada dua entitas di depannya yang tentu saja menumbuhkan sensasi ganjil pada relungnya. Lega, kesal, gemas, marah atau apa pun itu yang pasti rasa cemburu yang sejak kemarin bercokol di hatinya terasa kian berat.Bagaimana tidak, itu mini-mini yang bernama Jiyoon sampai saat ini menempel bak perangko pada sang ayah. Bahkan saat Jihye akan mengambil alih kala Yunki mengurusi biaya administrasi rumah sakit, makhluk mungil yang sejak tadi tertidur itu tiba-tiba terbangun dengan rengekan tidak mau berpisah.Akhirnya Jihye memutuskan untuk mengerucutkan bibir, berjalan malas di belakang mereka dengan otak berdesing memikirkan berbagai macam ide unt
Pelukan itu berlangsung lama dan Jihye tidak segan-segan membenamkan tubuhnya pada dekapan Hobi yang senyaman rumah, mencoba membaurkan kelesah dengan afeksi yang selalu tercurah dari pria menyenangkan itu."Nyonya Janda, sepertinya ada yang sedang memperhatian kita,” bisi Hobi.“Siapa?” tanya Jihye mendongakkan kepalanya,“Mantan suamimu dari tadi melihat kita. Mau bersenang-senang sedikit?" bisik Hobi yang sudah menangkap presensi Yunki dengan visusnya di depan sana.Jihye tertawa samar lantas menjawab, "Seru sepertinya."Maka, seperti itulah. Saudara persepupuan ini saling mencubit pucuk hidung yang diiringi bentangan senyum dan tatapan sendu penuh afeksi. Siapa pun akan menyangka mereka adalah pasangan romantis yang sedang beradegan mesra, dan pria di ujung sana terlihat stagnan dengan kepalan tangan dan rahang mengerat sempurna. Astaga, cemburu menguras hati tampaknya.Ah, tentu saja Yunki tidak akan membiarkan p
Barang kali, Jihye dapat melabeli dirinya sendiri dengan kata tidak professional. Sikap jual mahal yang mati-matian dipertahankannya kini luluh lantak jika menyangkut sang buah hati. Demamnya sangat tinggi, mencapai angka 40 derajat dan sempat mengalami kejang.Dalam sengguk pilunya wanita itu dapat mendengar sang pria mengalunkan kalimat penenang dalam silabel begitu lembut. Jihye terbuai, rasa sakitnya seolah luntur tatkala digempur afeksi yang memang sangat dia rindukan selama ini, terlebih dekapan Yunki tetaplah terasa nyaman."Aku takut kehilangannya, aku bukan ibu yang baik. Dia terus memanggilmu dan a-aku--" Jihye tidak mampu melanjutkan perkataannya dan malah menangis semakin kencang. Seandainya Yunki tidak datang, barang kali dirinya hanya akan berusaha tegar dan membenamkan diri dalam rasa bersalah tatkala melihat sang buat hati yang masih saja mengucapkan katappa ppadalam igaunya."Aku ada di sini, kau tidak perlu khaw
Jihye sempat stagnan tatkala mendengar pertanyaan yang terlontar dari bilah Yunki sementara tangan mungil Jiyoon terus saja menggapai-gapai udara dengan badan yang terus dicondongkan seolah ingin di pangku sang ayah. Kalau sudah begini, Jihye yang dibuat pening. Seharusnya pertanyaan itu bersifat retoris saja. Apa Yunki tidak bisa melihat kalau anak itu sangat mirip dengannya? Apa dia ingin mendengar kalau Jiyoon adalah anak Hobi? Gila, Yunki sudah gila."Sayang, mau ke mana, sih? Tidak boleh sok akrab dengan orang asing," ucap Jihye memilih mengabaikan pertanyaan Yunki dan berusaha menjauhkan sang anak dari ayahnya.Netranya melirik Hobi meminta pertolongan, mungkin saatnya berlakon bak keluarga kecil nan bahagia kali ini,sedangkan diam-diam Yunki menatap pria itu tajam seolah membangun benteng permusuhan. Ah, Yunki tetaplah Yunki, seorang pribadi impulsif yang masih harus belajar mengendalikan diri dari sikap meledak-ledaknya."Jung Hobi," ucap Hobi meng