Bab 16Dulu, saat aku duduk di bangku SMA, Fara masih duduk di bangku kelas enam SD. Saat teman-temanku termasuk Hanan main ke rumah, Fara masih anak perempuan dengan rambut dikuncir dua. Dari semua teman-temanku, Hanan lah yang bisa mendekati Fara. Karena Hanan sering membawakan sekedar coklat atau snack buat adikku itu. Berbeda dengan teman-temanku yang lain yang kadang abai dan cuek pada keberadaan Fara. Rumahku yang tak terlalu jauh letaknya dari sekolah, memang kerapkali dijadikan tempat untuk mengerjakan tugas bersama-sama atau diskusi kelompok. Dan yang paling getol berkunjung, yaitu Hanan dan Rima. Kami bertiga memang sudah akrab sejak awal masuk SMA. Entah kenapa saat itu kami bertiga langsung nyambung saat bergaul. Suara dari arah dapur terdengar riuh. Sepertinya Ilham dan Hanan sudah selesai memancing. Aku pun berjalan untuk menghampiri anakku itu. Nampak penampilan Ilham begitu kotor. Sebagian baju dan tubuhnya terkena lumpur. "Ya Allah Ilham. Kok kotor-kotoran, Sayang!
Aku berbalik dan menatap orang itu. Ryan. Dia sudah berdiri di hadapanku. "Eh, Mas Ryan. Ada apa, ya?" tanyaku sopan. "Aku mau ngembaliin ini!" Ryan mengulurkan nampan yang tadi siang dibawanya. "Lho, kok, ada isinya?" Aku menatap sekotak martabak yang berada di atas nampan itu. "Gak apa-apa. Itung-itung sebagai ucapan terima kasih," jawabnya. "Oh, iya. Makasih kalau gitu." Aku menerima nampan itu. Wangi martabak coklat langsung menguar terendus oleh hidungku. "Sama-sama," jawabnya. "Kalau gitu, aku permisi," tambahnya sambil berbalik dan berjalan kembali menuju rumahnya. Sementara aku langsung masuk ke dalam rumah. "Dari siapa, Ra?" tanya ibu saat aku meletakkan martabak itu di atas meja. "Dari tetangga baru. Sambil ngembaliin nampan," jawabku. "Kayaknya tetangga baru itu baik, ya. Ganteng lagi," sambar Fara. "Di matamu semua cowok ganteng. Hanan ganteng, Ryan ganteng, tukang bakso yang biasa lewat juga ganteng," ledekku."Ih ... gak gitu juga kali, Mbak!" protes Fara. Ak
Sebelum Mas Hilman pulang dari liburannya, aku memutuskan untuk pulang lebih awal ke rumah. Beruntung aku bertemu dengan Ryan yang sepertinya sudah bersiap untuk menjemput rezeki sebagai driver online di depan rumahnya."Mas, aku pelanggan pertama, ya," tuturku sambil menghampirinya sambil tersenyum."Wah. Beneran nih. Mau ke mana, Mbak?" tanyanya dengan mata berbinar."Jangan panggil Mbak. Panggil Zara aja," pintaku. "Siap, Mbak, eh, Zara. Mari masuk," timpalnya sambil membuka pintu mobil. "Lekas aku masuk dan duduk di kursi belakang. Sesaat kemudian, Ryan pun masuk dan duduk di balik kemudi."Ke alamat yang kemarin, ya," ujarku mengingatkan."Oke," jawabnya singkat sambil mulai melajukan mobilnya."Sudah lama jadi driver online?" tanyaku untuk memecah keheningan."Belum, Ra. Ini sampingan aja sambil nunggu panggilan kerja," jawabnya. "Kamu sendiri, kerja atau—?" Dia tak melanjutkan ucapannya."Enggak. Aku cuma ibu rumah tangga," jawabku."Kok cuma? Ibu rumah tangga itu paling cape
Sepertinya Mas Hilman belum menyadari kalau kebersamaan mereka di-posting Anita ke laman media sosialnya. Mas Hilman memang termasuk orang yang jarang sering membuka medsos apalagi FB. "Sudahlah, Mas, gak perlu ditutupi lagi. Semua orang juga tahu kalau kamu dan Anita habis liburan ke pantai. Pakai dipamerin ke media sosial segala. Apa coba maksudnya?" timpalku lagi. "Siapa yang pamerin. Kamu ini ngomong apa?" Mas Hilman masih terlihat bingung. "Tanya aja sama sahabat, Mas, itu!" Aku menunjuk ke arah Anita dengan daguku. Mas Hilman langsung menoleh ke arah Anita. "Apa benar?" "Maaf, Mas. Aku cuma mau mengabadikan momen kebersamaan kita," tutur Anita pada Mas Hilman. "Ya ampun, Nit. Kenapa kamu lakukan itu? Kalau sampai atasan di tempat kerjaku tahu gimana? Padahal aku sudah beralasan sakit, makanya membatalkan kunjungan ke luar kota," timpal Mas Hilman terlihat kesal. "Ya, mana aku tahu. Orang kamu gak bilang. Aku pikir kamu libur panjang, makanya mau nemenin aku liburan," sahu
Bab 18 - POV HilmanBrakAku mendengar suara pintu ditutup dengan keras. Sepertinya Zara memang marah besar dan masuk ke dalam kamar Ilham setelah mendengar aku akan menikahi Anita. Aku mengacak rambut kasar. Frustasi sekali rasanya dengan keadaan seperti ini. Aku sudah meminta baik-baik pada Zara untuk bisa menikahi Anita. Ya, meskipun aku tahu, tidak akan ada wanita yang ingin diduakan di dunia ini. Tapi aku juga bingung harus berbuat apa. Di satu satu sisi, aku mencinta Anita sejak dulu. Cinta yang selama belasan tahun ini terpendam. Sementara aku juga menyayangi Zara, istriku. Zara adalah wanita yang baik, lembut, penyabar, dan sederhana. Meski terkadang aku bersikap kasar padanya, tapi dia tidak pernah membalasnya. Kecuali akhir-akhir ini. Sikapnya begitu berubah drastis. Menjadi pemarah dan pembangkang. Hingga tanpa sadar, aku sampai kelepasan menampar pipinya. Padahal, seumur-umur pernikahan, belum pernah aku menyakitinya secara fisik. Meskipun hatinya mungkin sering tersakit
Saat itu, aku berniat untuk mengutarakan perasaan cinta yang sudah mulai tumbuh sejak duduk di bangku SMA. Aku menghirup napas dalam-dalam, mulai mengatur debaran jantung yang tak karuan. Hingga ucapan Anita, membuatku mengurungkan niatku itu. "Tau gak cita-citaku setelah ini? Aku ingin menikah dengan laki-laki kaya raya dan hidup dengan tenang dan normal. Aku tidak mau terpuruk lagi. Pokoknya aku mau bahagia," ucapnya menggebu-gebu. Keinginan untuk mengutarakan perasaan cinta luntur detik itu juga. Karena aku tahu diri, aku bukanlah laki-laki kaya raya yang dia impikan. Aku takut tidak bisa membahagiakannya. Hingga akhirnya, aku memilih memendam cinta itu dalam-dalam. Bersembunyi di balik kata persahabatan agar tetap terjaga sampai kapanpun.Selang setahun kemudian, akhirnya Anita mendapatkan apa yang diinginkannya. Bos di tempatnya bekerja jatuh cinta padanya dan menikahinya. Hatiku hancur saat itu, tapi sekaligus bahagia karena cita-cita Anita akhirnya terwujud. Aku hanya bisa me
HilmanAku terdiam sejenak. Tawaran yang dilontarkan Anita membuatku sulit untuk berkata-kata. Tanpa menunggu tanggapan dariku, kepala Anita sudah terlanjur bersandar di pundakku. Matanya menatap lurus pada hamparan pantai di depan sana. Angin yang berhembus kencang, menyebabkan rambut-rambut Anita berterbangan persis menyapu hidungku. Hingga wangi shampoo begitu memanjakan indera penciumanku."Sejak aku bertemu denganmu di SMA dulu, aku tak dapat lagi merasakan kenyamanan selain berada di sisimu. Kamu orang yang paling mengerti aku. Kamu selalu berusaha menjagaku. Bagiku, kamu layaknya pelindungku. Bahkan, mantan suamiku pun tak bisa menjadi sepertimu." Anita menarik kepalanya dari pundakku, kemudian mengunci tatapannya pada mataku. Hingga menyebabkan kami saling pandang dalam waktu cukup lama. Kepalanya bahkan bergerak maju perlahan, hingga wajah kami hampir habis terkikis. Aku segera memalingkan wajah. Melemparkan pandangan ke arah ombak yang semakin kuat menerjang karang. Sekuat
***Dering telepon yang berbunyi membuat lamunanku tentang peristiwa yang dialami beberapa hari terakhir hilang dari ingatan. Lekas aku mengambil ponsel dan menatap layarnya. Nama Anita langsung terpampang di layar ponsel. "Halo, Nit. Kenapa?" tanyaku saat mengangkatnya. "Sudah bilang sama Zara kalau kita akan menikah?" tanya Anita to the point. "Sudah. Tapi dia gak mau. Dia malah minta cerai. Pusing aku," jawabku sambil memijit pelipis yang berdenyut nyeri. "Ya tinggal ceraikan saja, sih. Repot amat," timpal Anita enteng. "Gak segampang itu, Nit. Banyak pertimbangan lain juga. Salah satunya Ilham," balasku. "Terserah kamulah. Pokoknya aku gak mau tahu. Kamu harus segera nikahi aku. Apalagi setelah apa yang kita lakukan di Bali. Aku gak mau, ya, tiba-tiba hamil tapi gak ada bapaknya," tutur Anita tegas. Ia pun langsung mengakhiri panggilan tanpa menunggu tanggapan dariku. Aku melempar ponsel itu kasar ke atas tempat tidur, lalu menjambak rambut pelan. Kenapa harus seperti ini,
Aku menoleh. Lalu mengerlingkan mata ke arahnya. "Coba lihat jam dinding. Sudah hampir pukul enam, Sayang. Mau pas lagi tanggung tiba-tiba ada yang gedor pintu?" Hanan pun langsung tertawa ngakak mendengarnya. Hari ini, kami minta ijin pada kedua orang tuaku untuk pindah ke toko kelontongan. Dengan senang hati, ibu bapak mengijinkan. Melihat Fara, aku semakin yakin untuk pindah dari rumah ini. Karena bukan tidak mungkin, jika aku dan Hanan tetap tinggal di sini, Fara akan tersakiti melihat kemesraan kami. Menjelang siang, aku dan Hanan berangkat ke toko tanpa membawa banyak barang. Hanya baju-baju milikku, Ilham dan Hanan yang dibawa. Karena menurut Hanan, di sana sudah ada barang-barang rumah tangga yang cukup komplit. Sampai di sana, keadaan toko masih tutup karena Hanan memang sengaja libur dari kemarin. Tokonya lumayan besar. Apalagi lokasinya tepat di jalan utama dekat dengan pasar induk. "Yuk, masuk!" ajaknya padaku dan Ilham saat kami turun dari mobil. Kami pun memasuki
"Bangun, Sayang. Mandi dulu." Hanan berbisik tepat di telingaku. Dia juga mengecup keningku lembut saat mata ini masih tertutup. Sejujurnya, aku sudah terbangun saat merasakan pergerakan ia yang turun dari ranjang. Hanya saja, aku ingin mengetahui bagaimana caranya dia membangunkan aku setelah apa yang terjadi semalam. Ternyata semanis ini. Aku pura-pura masih terlelap dan tak menanggapinya. Berkali-kali dia mencium pipi dan keningku bergantian. Andai aku tak menahannya, sudah dipastikan aku akan tersenyum tanpa henti karena sikap romantisnya. "Sayang ... bangun! Atau ... aku perlu mengulang apa yang sudah kita lakukan semalam?" Mendengar penuturannya, mataku langsung terbuka lebar. Lekas aku beringsut dan duduk sambil menatapnya. Hanan yang duduk di pinggir ranjang langsung tertawa kecil melihat reaksiku. "Bercanda. Sebentar lagi juga subuh," tukasnya dengan sisa tawa di bibirnya. Aku pun langsung mengerucutkan bibir sambil turun dari ranjang. "Air panasnya sudah aku tuang ke da
Kami duduk saling berhadapan sambil menunggu pesanan tiba. Tidak dipungkiri, ada rasa grogi saat kembali bertemu dengannya. Apalagi saat dia terus menatapku tanpa berkedip. Rasanya pipiku sudah memerah dan memanas. "Kamu kenapa ngeliatin gitu?" tanyaku salah tingkah. Dia malah menyangga dagunya dengan tangan tanpa mengalihkan pandangan dariku. "Sebulan loh, Ra, kita gak ketemu. Aku kan udah bilang berkali-kali kalau aku kangen banget sama kamu. Apalagi, makin hari kamu makin cantik. Bagaimana mungkin aku bisa melewatkan kesempatan sebagus ini.""Ish ... udah pintar ngegombal ternyata." Aku sedikit mendelik sambil tersipu malu. "Bukan menggombal. Tapi ini kenyataan," timpalnya. "Oh, iya. Besok aku ke rumah kamu buat lamaran. Kamu juga libur, kan?" tanyanya. Aku mengangguk. Mendengar kata lamaran, jantungku kembali berlompatan. Aku serasa melayang di langit paling tinggi saking bahagianya. Hingga akhirnya pesanan bakso sampai dan kami menikmati bakso itu sambil berbincang ringan. M
Aku menangis. Meremas seprai kuat-kuat untuk menyalurkan rasa sakit yang tak tertahankan. Tiba-tiba saja aku merasa tubuhku diguncang seseorang. "Ra, bangun! Kamu kenapa?" Aku membuka mata. Memperhatikan sekeliling. Hanya ada ibu yang berdiri di pinggir ranjang dengan tatapan heran. "Kamu kenapa nangis nangis jam segini?" Ibu mengulang pertanyaannya. Aku melirik jam dinding. Ternyata baru menunjuk ke angka empat dini hari. Lekas aku mengusap wajah sambil mengucap Alhamdulillah karena semua itu hanya mimpi. "Zara gak apa-apa, Bu. Cuma mimpi buruk," jawabku tersipu malu. "Walah, kamu ini. Makanya, sebelum tidur itu baca doa, biar gak mimpi buruk kayak gitu," timpal ibu sambil berbalik dan pergi meninggalkan kamarku. Saking bahagianya, semalam aku memang lupa tidak berdoa sebelum tidur. Mungkin itulah sebabnya aku bisa mimpi mengerikan seperti itu.Untuk menenangkan debaran jantung yang masih belum beraturan, aku pun turun dari ranjang lalu mengambil air wudu. Setelahnya, aku meng
Tidak terlalu banyak percakapan di antara kami. Karena otakku juga sibuk memutar ulang momen yang baru saja terjadi. Momen bahagia yang membuatku berbunga-bunga dan tersipu tanpa sadar. Bahkan, saat kembali melanjutkan pekerjaan pun, bayang-bayang itu tak kunjung hilang dari ingatan. Membuatku sudah merindukan Hanan padahal baru berpisah beberapa jam yang lalu. Sore menjelang. Waktu pulang pun sudah tiba. Sebelum bersiap, aku mengecek ponsel untuk melihat pesan yang masuk. Karena dari tadi aku sudah gelisah menunggu kabar dari Hanan yang tak kunjung muncul. Aku menghela napas pelan saat mengetahui kalau Hanan tak mengirim pesan sama sekali. Rasa kecewa membuat dadaku tiba-tiba sesak. Namun, baru saja aku akan kembali memasukkan ponsel ke dalam tas, getarannya membuatku urung. Saat dilihat, mataku langsung berbinar melihat siapa yang mengirim pesan.[ Maaf baru ngabarin. Tadi ponselku lowbat dan mati. Alhamdulillah aku sudah sampai dengan selamat. Kamu sudah pulang belum?][ Alhamdu
Laju air mata mengalir semakin deras setelah mendengar penuturan Hanan. Kakiku rasanya lemas tak bertulang hingga hampir ambruk andai tak ada kursi yang langsung menopang tubuhku. Aku terduduk di kursi itu dengan perasaan campur aduk. "Ra ...!" Mas Ryan mendekat. Tangannya hampir memegang pundakku andai tanganku tak langsung memberi kode agar ia jangan melakukan hal itu. "Tapi kenapa, Han? Bukannya kamu sendiri pernah bilang, kalau kamu gak akan pernah pergi jika aku mengatakan perasaan yang sebenarnya." Aku kembali menatap Hanan yang masih berdiri di tempatnya. "Maaf, Ra. Aku sudah janji ke perusahaan akan segera kembali untuk mengurus semuanya," jawab Hanan."Maksudnya? Mengurus apa? Lalu aku dan Ilham?" Aku semakin terisak. Perih sekali rasanya mengetahui Hanan tetap akan pergi dan tak akan mengurungkan niatnya."Justru karena hal itulah aku terpaksa harus pergi. Pihak perusahaan memintaku untuk tetap stay di sana. Jika aku menolak, aku diminta untuk mengundurkan diri. Dan aku,
Setelah selesai solat dan tadarus sebentar, aku mengecek ponsel. Mungkin saja Hanan mengirimkan pesan padaku. Nihil. Hanya ada beberapa pesan grup yang masuk. Aku pun memandangi layar ponsel cukup lama. Berpikir untuk mengirim pesan padanya lebih dulu. Setelah menimbang-nimbang, aku pun menyingkirkan sedikit egoku untuk mengirim pesan padanya lebih dulu. [Han, kenapa belum pulang? Semuanya baik-baik saja kan?] Aku pun mengirimkannya dengan jantung berdebar. Cukup lama pesan itu hanya centang satu. Menandakan nomornya sedang tidak aktif. Aku pun semakin dilanda gelisah dan kekhawatiran. Takut terjadi sesuatu yang buruk padanya. Hingga setelah melaksanakan solat isya, barulah layar ponsel itu memendarkan cahaya. Aku langsung mengambilnya. Mataku berbinar saat tahu itu adalah balasan dari Hanan. Gegas aku pun membukanya dengan tergesa. [ Aku di rumah ibu, Ra. Sepertinya aku akan menginap di sini. Semuanya baik-baik saja kok. Gimana kabar kamu sama Ilham hari ini? Sepi banget rasanya
Aku sempat tertegun sesaat setelah mendengar penuturannya. Hingga kemudian aku tersadar bahwa Fara memang benar-benar telah mengucapkan hal demikian saat menatap wajahnya yang memang terlihat serius tanpa candaan seperti biasanya. Aku memaksakan senyum meski kecil. "Kamu ngomong apa, sih, Far?" "Aku serius, Mbak. Aku sudah tau kalau sebenarnya Mbak sama Kak Hanan itu saling mencintai. Waktu Mbak dan Kak Hanan bicara berdua sore itu, aku sebenarnya mendengar perbincangan kalian di balik pintu rumah. Aku juga sudah tanyakan langsung hal ini pada Mbak Rima. Tadi siang aku ke rumahnya. Dan Mbak Rima membenarkan hal itu," jawab Fara dengan wajah yang masih nampak sedikit sendu. "Awalnya aku sempat marah, kecewa, juga sedih. Tapi akhirnya aku sadar, akulah yang berada di tengah-tengah antara Mbak Zara dan Kak Hanan. Kalian saling mencintai satu sama lain. Apalagi Kak Hanan, dia mencintai Mbak sejak lama. Mana mungkin aku bisa memaksakan seseorang yang sama sekali tidak mencintaiku. Ayola
Pagi ini aku harus kembali bekerja. Meski pikiran masih sedikit kacau karena semua yang terjadi, namun, hidup harus tetap dijalani dengan penuh semangat. Ada orang-orang yang harus aku bahagiakan. Di sebrang sana, Mas Ryan pun nampak sudah siap. Sepertinya dia juga hendak berangkat kerja karena sudah rapi dengan kemeja yang melekat di tubuh atletisnya. Penasaran dengan nasib Nisya, aku pun menghampirinya."Pagi, Mas," sapaku ramah. "Hai. Pagi." Mas Ryan berbinar melihatku. "Nisya gimana? Di mana dia sekarang?" tanyaku. "Tadi pagi udah aku anterin ke sekolahnya. Aku titipkan ke gurunya. Nanti sore aku jemput lagi," jawabnya. "Alhamdulillah kalau gitu, Mas. Jadi gak terlalu khawatir," timpalku sambil tersenyum. "Kalau ... Mbak Anita?" "Mungkin nanti istirahat aku akan melihat keadaan dia. Mau ikut?" tawarnya. "Oh, enggak sepertinya, Mas," tolakku. "Ya sudah kalau gitu. Aku juga mau berangkat soalnya." Aku buru-buru berbalik dan kembali ke halaman rumahku. Saat sampai di teras u