Share

Bab 4. Keinginan

Penulis: Fithri Aulia
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Seno mengikuti gerak langkah dari ketukan heels si cantik bertubuh langsing itu. Rambut pirangnya terurai menutupi punggung yang berbalut gaun merah darah. Heels setinggi tujuh senti begitu padu di kaki jenjang cantiknya.

 

“Ada yang mau saya bicarakan, Mas. Duduk!” pinta Bella, mempersilakan Seno duduk di sofa seberangnya.

 

Seno duduk sungkan sebab Bella selalu ramah pada setiap pegawai rumahnya. Senyumnya saja membuat para lelaki di rumah itu berdebar karenanya.

 

“Saya dapat laporan, katanya Mas Seno minta setengah gaji di muka, benar?” tanya Bella.

 

Seno mengangguk malu. Kalau bukan karena Arumi, dia enggan mengiba seperti ini. Uang gajinya tentu sudah untuk istri dan anaknya. Sebab kasihan pada Mirza, terpaksa dia meminjam uang ekstra pada majikannya ini.

 

“Iya, Non. Untuk bapak saya di kampung.”

 

“Baik, nanti saya transfer. Gaji bulan depan sisanya ya, Mas.”

 

Seno mengangguk syukur. Saat Bella beranjak, tiba-tiba Seno teringat pada Mirza yang sedang menganggur di sana. Kali saja Mirza bisa mendapat pekerjaan dan peruntungan sepertinya di ibukota ini.

 

“Non, begini, teman saya dari kampung butuh pekerjaan. Mungkin ada lowongan-”

 

Bella menggeleng, lalu berkata, “Masih belum ada kalau untuk di rumah ini, Mas. Nanti saya pikirkan.”

 

Seno pun pergi meninggalkan si cantik Bella yang menaiki tangga untuk masuk ke kamar. Direbahkannya punggung untuk melepas lelah. Kesibukan dan jadwal di dunia bisnis dan model begitu menyita hari-harinya.

 

Kling!

Perhatiannya teralihkan pada dering ponsel di saku. Pesan masuk dari sang kekasih membuat tersenyum sendiri. Tak dia sadari ibunya masuk ke kamar. Wanita itu tersenyum manis meski bias wajah tuanya memucat.

 

“Kenapa, sih? Seneng banget, kayaknya.”

 

Bella menegakkan duduk, membimbing sang ibu untuk duduk di sampingnya.

 

“Ini Bastian, ngajak ketemuan besok. Dia, kan, seminggu ini dinas di Semarang.”

 

“Pacaran jangan lama-lama, langsung nikah aja! Umur udah berapa, Sayang!” seru sang ibu sambil mengusap kepalanya.

 

Bella tersenyum kecut begitu ibunya menyinggung umurnya. Tahun ini dia menginjak tiga puluh tahun. Sang ayah memang juga tak menaruh paksaan padanya untuk menikah jika belum siap. Hanya saja semenjak belakangan ini ibunya sakit, beliau selalu membujuk Bella untuk segera menemukan pendamping.

 

“Aku belum sempat tanya Bastian, Ma! Tapi aku mikirnya, kalau aku nikah, gimana dengan karirku?”

 

Bella kembali menegakkan duduk sambil memegang tangan ibunya. 

 

“Daripada Bastian kerja di perusahaan orang, mending dia handle perusahaan kita, kan, Ma? Jadi setelah nikah, aku di rumah aja. Semua kerjaan perusahaan jadi tugas dia.”

 

"Kalau memang dia yang terbaik, nggak masalah. Segeralah menikah!" ulas sang ibu, beriring senyum di bibir pucatnya.

 

*

 

Mirza merapikan tampilannya di cermin. Berkas lamaran sudah disiapkan di atas meja. Tentu dia harus segera mencari pekerjaan baru agar Arumi tak terus mengomel padanya.

 

“Tumben hari ini dia cepat bangun,” ujarnya sambil menoleh pada penunjuk waktu di dinding. Sudah jam sembilan.

 

Didengarnya saat keluar kamar tadi, aktifitas Arumi di dapur. Pagi-pagi istrinya itu pergi belanja, lalu mulai memasak seolah akan ada pesta besar.

 

“Dia lagi ngidam apa, ya? Sampai masak segala. Harusnya irit sama uang pesangon kemarin.”

 

Mirza keluar membawa berkas, bersiap untuk pergi. Sampai di ruang tengah, baru dia dengar suara cengkrama para wanita di luar sana. Meja makan sudah terhidang begitu banyak cemilan yang disiapkan.

 

“Rum!”

 

Mirza tergesa mendekati, menyenter makanan yang disiapkan. Sebagian dia membeli, sebagian memasak. Ada beberapa kue khas bakery, sedangkan camilan gorengan dan minuman lain dia siapkan sendiri.

 

“Ini kamu ada apa? Kenapa tiba-tiba masak gini? Banyak sekali, Rum! Kamu tau, kan, uang kita lagi menipis?!” Mirza mencecar dengan geram, meski tetap harus menekan emosi agar Arumi tak lebih berang.

 

Arumi belum menyahut, melepaskan celemek dan mengambil secangkir teh untuk dihidangkan pada sang suami.

 

“Ini, minum teh dulu sebelum berangkat kerja. Jangan malas! Cari sampai ketemu, ya! Nganggur lama-lama bikin aku malu,” gerutu Arumi, menyindir.

 

Mirza menggebrak meja sebab marah dengan sikap enteng sang istri akan protes yang dia ajukan. “Rum! Aku tanya serius sama kamu. Jawab!”

 

Arumi mengambil serbet, menyahut tanpa menoleh sopan pada sang suami. “Ini giliran aku arisan, Mas. Lagian kenapa, sih? Masak gini aja, kamu perhitungan banget! Percuma sholat, ngaji, masa nggak ngerti sama yang namanya sedekah?”

 

Mirza menghela napas panjang. Istrinya ini selalu pandai saja menjawab. Diteguknya teh hangat untuk mengisi perut. Melihat kue-kue mahal tersaji di depannya saja sudah membuatnya kenyang. Berapa lembar uang merah yang dikeluarkan Arumi untuk membeli semua ini?

 

“Mas, kan, alim. Rajin sholat, pasti rejekinya lancar. Lagian, aku takut apa? Kayaknya sebentar lagi bakal dapat duit banyak,” angan Arumi.

 

Dirinya terkekeh kecil saat mengingat janji Sukma padanya untuk mencarikan Mirza pekerjaan.

 

“Mas, kalau nggak dapat kerja juga, nanti aku tanya temenku. Mana tau ada yang bisa ngasih Mas kerjaan.”

 

Mirza tak menanggapi, lekas beranjak sambil menenteng sepatu kets yang diambil dari rak. Arumi mengikuti dari belakang sambil membawa nampan berisi hidangan untuk tamunya itu. Pendopo bambu sejuk yang berada di halaman sudah dipenuhi enam temannya yang ikut arisan.

Mirza memaksakan senyum pada mereka, duduk di kursi teras sambil mengikat tali sepatunya.

 

Dari ujung kepala sampai ujung kaki, para teman Arumi menyenter penampilannya, terutama Sukma yang tak berkedip sejak tadi. Arumi bolak-balik dan selesai menghidangkan kudapannya di sisi mereka.

 

“Suami kamu itu ganteng banget ya, Rum. Seger bener kalau liat suami begitu tiap hari.”

 

Temannya, Maya, memuji Mirza sambil menerima gelas sirup yang disodorkan Arumi. "Suamiku, mah, boro-boro. Lebar banget kayak gentong air. Percuma aku perawatan kalau dianya bentuk begitu. Nggak bisa dibawa kondangan."

 

Gelak tawa terdengar di antara mereka.

 

“Ganteng doang tapi nggak bikin kenyang, buat apa?” Arumi mencecar, penuh remeh. Bahkan dia merasa tak perlu menurunkan nada suaranya agar tak didengar Mirza.

 

“Mending punya suami yang pas-pasan aja, tapi juragan tanah, atau boss-nya perusahaan. Kantong penuh. Hidup terjamin sampai anak cucu.”

 

Perih hati Mirza saat mendengar sang istri merendahkannya di depan teman-temannya. Seorang istri adalah pakaian bagi suaminya. Tapi Arumi, dia bahkan tak peduli jika orang-orang merendahkan suaminya ini karena nyatanya, dirinya pun tak menaruh hormat sedikit pun pada Mirza.

 

“Aku pergi, Rum! Assalamualaikum!”

 

Terburu Mirza ngeloyor pergi dengan sepeda motornya. Bahkan dirasanya malas mengulurkan tangan untuk dicium oleh Arumi sebagaimana berpamitan setiap harinya. Tanpa penghormatan yang berarti.

 

Arumi tertawa dengan teman-temannya, mengocok arisan untuk minggu berikutnya dengan tumpukan uang yang minggu ini jadi miliknya.

 

“Suk, soal kerjaan itu, gimana?” tanya Arumi lagi, mengingatkan.

 

“Aku udah bicara sama Mas Bagas, katanya dia oke-oke aja. Kamu sendiri, udah tanya sama Mirza, belum? Kalau dia mau, bisa langsung berangkat,” tandas Sukma, bersemangat.

 

“Kerja apa, Suk?” Temannya yang lain ikut penasaran dengan tawaran kerja Sukma. “Aku juga mau, dong! Atau cuma untuk laki-laki aja? Suamiku juga mau.”

 

“Iya, aku mau juga.”

 

Arumi tertawa mendengar Maya dan Siti ikut berminat pada pekerjaan yang ditawarkan Sukma.

 

“Jangan mimpi, deh! Kalau melihat bentuk Agus sama Danu, pasti nggak masuk hitungan. Ya, kan, Suk?” seru Arumi, menyindir dua suami temannya yang sangat jauh berbeda tampannya dari Mirza.

Bab terkait

  • SUAMI YANG TERGADAI DEMI RUPIAH   Bab 5. Garis Takdir

    Sukma mengangguk saja, kembali meneguk sirup jingga pada gelas kristal.“Memangnya kerja apa, sih? Sampai tampang jadi syarat utama? Memangnya mas-mu itu bakal diterima?” keluh Siti.“Iya, dong! Mas Mirza, suamiku itu ganteng,” ujar Arumi dengan penuh bangga. “Sukma bilang, kerjanya di permodelan gitu. Ya, kan? Padahal part time, tapi gajinya aja sampai lima juta.”Arumi bersikap jumawa di depan para temannya, sedangkan Sukma menyimpan tawa di balik senyum di bibir merah meronanya.“Iya, yang ganteng kayak Mirza itu jadi prioritas, sih! Badannya bagus, proporsional. Gantengnya alami. Agak kucel aja karena kerjanya nguli. Dipoles dikit juga kinclong kayak aktor Korea.” Sukma lanjut berkata.Begitu tenang para wanita ini bergosip di pagi hari. Entah jika tugas rumahnya sudah beres semua. Arumi pun puas menikmati hidupnya hasil dari tumpukan uang yang dia dapat belakangan ini.Sore harinya, Arumi duduk santai di ruang tengah sambil mengumpul uang arisan yang dia peroleh. Pesangon dari Mi

  • SUAMI YANG TERGADAI DEMI RUPIAH   Bab 6. Degup yang Masih Tersisa

    Mirza tiba di rumah sekitar pukul sepuluh malam. Arumi yang tadinya duduk santai di depan televisi, terkejut melihat tampilan lusuh suaminya itu. Pakaiannya kucel dengan bekas noda lumpur. Masih lembab setelah bermandikan hujan tadinya.“Kamu apa-apaan, sih, Mas? Kamu nyari kerja yang bener, ya! Aku nggak mau kamu jadi tukang gali gorong-gorong atau mungutin sampah jalanan!” Arumi memekik sambil menarik-narik krah sang suami. Mirza tak menyahuti. Sia-sia rasanya berdebat dengan Arumi. Masih terasa nyeri luka akibat sabetan belati tadi. Akan tetapi, pedulikah istrinya ini? Dirinya menepis tangan Arumi, masuk ke kamar karena harus membersihkan dirinya sebelum sholat isya.Arumi pun tak puas dengan sikap Mirza. Lekas ditariknya tangan sang suami ketika berhasil mencekalnya masuk ke dalam toilet kamar.“Mas! Udah mulai berani kamu nyuekin aku, ya! Jangan bikin aku malu sama temen-temen arisan dan tetangga kalau kamu kerja nguli dan keliatan gembel gini!” tukas Arumi, geram.Mirza sedikit

  • SUAMI YANG TERGADAI DEMI RUPIAH   Bab 7. Menghabiskan Uang

    Mirza tersenyum miris melihat hidangan sarapan yang ada di atas meja. Hanya secangkir teh dan ubi rebus saja. Padahal dia harus pergi sepagi ini seharian untuk mencari lowongan pekerjaan lagi di kota."Makan yang ada aja!" sahut Arumi saat menyadari Mirza tak menarik kursi untuk duduk.Wanita itu meletakkan sepiring nasi lagi dengan telur mata sapi dan juga botol kecap sebagai tambahan."Selama masih belum dapat kerja, aku berhemat dulu. Kalau mau makan enak, buruan kasih aku uang lagi," kecam wanita berambut sebahu itu.Uang dan uang. Tiap hari Arumi selalu membuat kepalanya pusing dengan tuntutan materi itu. Padahal baru kemarin dia memberikan pesangon, belum lagi Arumi yang baru saja mendapatkan segepok uang hasil dari arisan yang diikutinya. Itu pun dari uang gaji Mirza yang diambilnya tiap bulan."Nggak mau duduk?" tanya Arumi lagi dengan senyum sinis.Mirza mengalah saja. Dia pun menyantap menu seadanya untuk mengisi perut. Istrinya itu hanya tersenyum sambil menikmati segelas s

  • SUAMI YANG TERGADAI DEMI RUPIAH   Bab 8. Kejutan yang Mengejutkan

    Setelah tiba di mall, Bella menghabiskan waktu belanja berkeliling. Tak sabar rasanya menyambut kekasih yang sudah seminggu ini berjarak darinya. Hanya membeli seutas dasi, jam tangan, dan beberapa camilan lain yang bisa dihabiskan sambil bercengkrama."Udah, deh, ini aja dulu. Nanti beli cake aja. Dan sekalian juga, aku harus tanya Bastian tentang rencana pernikahan. Apa beneran dia nggak ada niat serius?"Bella terus mendengkus sebal. Jika bukan kedua orangtuanya yang terus merongrong mengakhiri masa lajang, dia lebih memilih untuk single dan berkarir saja. Sama seperti dirinya yang puas memandangi tampilannya di layar televisi di dalam mall."Udahlah, nikah itu ibadah, Bel. Harus diusahakan."Sambil menjinjing beberapa paper bag, Bella bersiap pulang. Ditunggunya beberapa menit sebab Seno tadinya hendak memperbaiki sedikit kerusakan mobil."Masih lama, Mas?" tanya Bella ketika panggilan telepon terhubung."Ini udah mau nyampe ke mall, Non. Ntar aja pulang dari apartemen Mas Bas, sa

  • SUAMI YANG TERGADAI DEMI RUPIAH   Bab 9. Pengkhianatan

    Hancur. Cinta dan kesetiannya selama lebih dari sepuluh tahun dipatahkan oleh Bastian yang ternyata selingkuh di belakangnya. Bella menekan panggilan pada Bastian. Suara dering terdengar, pria bernama Bastian itu malas mengangkatnya karena dirasa gangguan saat bergumul mesra.“Mas, itu kenapa teleponnya nggak diangkat dari tadi? Kayaknya itu Bella.”Suara centil wanita itu terdengar memuakkan bagi Bella. Dia yang tak lain adalah Leona, sahabatnya yang kini mencuri kekasihnya sendiri. Bella belum beranjak, menikmati sejauh mana dua orang kepercayaannya itu tega menusuknya seperti ini.“Iya, nanti malam aku ada janji sama dia. Tapi sebelum itu, aku lebih kangen sama kamu, Leona,” sahut Bastian lagi.Bella menahan gemuruh di dadanya. Dua orang itu mengolok persahabatan dan kepercayaan yang ditanamkan. Seno tak sampai hati melihat ketegaran nona mudanya itu.“Bella belum ada bicara soal merit, Mas?” tanya Leona sambil mencium pipi Bastian. “Iya, dia ngeluh ke aku karena papa-mamanya des

  • SUAMI YANG TERGADAI DEMI RUPIAH   Bab 10. Mengalah Demi Cinta

    "Kamu dari mana, Rum?"Arumi berlalu saja dari pertanyaan Mirza. Suaminya itu sudah pulang lebih dulu selepas senja, sementara dirinya baru saja tiba setelah aktivitas belanjanya di Jakarta."Aku bosan di rumah kecil ini, suntuk. Malah sekarang duit juga menipis. Aku ini lagi hamil, nggak boleh stres!" gerutu Arumi.Mirza tetap mengikuti langkah sang istri ke kamar. Menatap semua belanjaan baju dan juga perhiasan di atas kasur."Uang dari mana ini?" tanya Mirza, penasaran."Dari Mas Seno. Sengaja aku beliin emas, buat jaga-jaga. Nggak tau juga, bulan depan dapat gaji atau enggak dari kamu."Bulan depan. Mirza hanya mengurut sisi pelipisnya. Sudah beberapa hari sejak dia dipecat, belum ada titik terang untuk mencari rejeki lagi."Jadi gimana? Mau nganggur gini aja?"Mirza tak menyahut."Aku kalau harus hidup melarat gini, mending kita udahan aja, deh, aku minta cerai!" kecam Arumi, lagi.Binar mata Mirza melotot tajam saat sang istri berkata dengan entengnya. "Cerai apa? Kamu lagi hami

  • SUAMI YANG TERGADAI DEMI RUPIAH   Bab 11. Takdir Bertemu

    Mendengar Adel bicara seemosi itu, Bella kembali menenggak kasar minumannya. Jika ingin mabuk, dia akan melakukannya. Sayangnya, Bella masih ingin berpikir jernih menghadapi masalah.“Kayaknya gue yang bodoh banget, ya? Masa gue nggak tau mereka berdua punya hubungan padahal mereka dekat banget sama gue, Del?” gerutu Bella, mengasihani diri sendiri.Dirinya memainkan denting gelas yang beradu dengan gelas di sampingnya. “Bodoh, gue bodoh!”“Jadi lo ke sini cuma buat nangisin nasib jelek lo ini, ya?” Adel mulai tertawa. Berpikir menemani orang frustrasi ini dengan membawanya enjoy saja. “Kayaknya lo beneran cinta banget sama si Bastian.”“Cinta mati, sih, enggak juga. Cuma, ya, gila aja kalau gue masih baik-baik aja dikhianatin sahabat dan pacar gue sendiri. Bodoh! Sialan! Rasanya gue malu sama diri gue sendiri. Pengen aja gue nyemplung ke kali Ciliwung!” geram Bella sambil membenamkan wajahnya di atas meja.Adel merasa lucu dengan sikap putri konglomerat itu. Ditoyornya kepala Bella d

  • SUAMI YANG TERGADAI DEMI RUPIAH   Bab 12. Jurang Malam

    Bella tampak bingung. Tentu Mirza hanya masa lalu, apalagi teringat dengan pertemuan terakhir kali dengan Arumi tentang tawaran menjual suami seharga satu milyar itu.“Apa, sih? Enggak, bukan urusanku juga. Nanti yang ada, aku harus berurusan lagi sama si Rumi. Males banget. Tapi Mirza ...”Bella kembali masuk ke dalam kelab. Sempat dilihatnya di ujung sana, wanita berambut pendek cat merah itu mengibas-ngibas amplop tebal saat bertransaksi dengan barang bagus miliknya.Beberapa pria tinggi besar, dan juga wanita berdandan menor dengan tampilan seksi itu, memegang pipi lelaki tampan yang tak sadarkan diri, kini telah menjadi mangsanya dengan senyum penuh kepuasan.Bella mencoba abai dan kembali ke duduknya.Kepala Bella terasa pecah karena hal yang dia lihat justru hadir setelah dirinya galau dikhianati sang kekasih. Kekasihnya, Bastian bahkan tak menghubungi untuk sekadar berbasa-basi dan meminta maaf.“Beneran nggak mau mabok?”Adel kembali menawarkan segelas minuman beralkohol saat

Bab terbaru

  • SUAMI YANG TERGADAI DEMI RUPIAH   Bab 41. Semakin Terkuak

    Sejak malam Mirza menemui Arumi, hubungan mereka berubah dingin. Bella tetap menjalankan rutinitasnya sebagai istri: menyiapkan pakaian kerja dan sarapan untuk Mirza. Namun, tidak ada sapaan atau senyuman. Bahkan, pandangan pun dihindari.Mirza tahu dirinya salah. Setiap kali melihat Bella yang tak memedulikannya, hatinya terasa remuk. “Aku bodoh,” gumamnya pelan di kantor, mencoba menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Namun, bayangan sang istri terus menghantui.Usai matahari terbenam, Mirza pulang membawa martabak Mesir, makanan favorit istrinya yang sedang hamil itu. Mirza memangkas jarak untuk berdiri tepat di ambang pintu. Dari sela yang setengah terbuka, nampak di sana Bella sedang terbaring memunggunginya. Mirza menghela napas, lalu berkata dengan lembut, “Aku pulang.”Tak ada jawaban, berpikir mungkin Bella sedang tidur.Setelah membersihkan diri beberapa menit, Mirza pun masuk kamar. Istrinya itu sudah bangun, merapikan kasur yang sedikit berantakan dengan tenang. Sprei dan

  • SUAMI YANG TERGADAI DEMI RUPIAH   Bab 40. Luka Hati

    Di tengah malam yang sunyi, Mirza terbangun oleh suara notifikasi ponselnya. Dengan mata yang masih berat, dia melihat layar ponselnya. Satu pesan masuk dari Arumi, mantan istrinya.[Aku menunggumu di bawah pohon beringin, di samping paviliun.]Mirza duduk diam sejenak, menatap pesan itu. Ia melirik Bella yang tertidur pulas di sampingnya, wajahnya tenang dan perutnya besar mengandung buah hatinya. Tanpa banyak pikir, Mirza berdiri perlahan, berusaha untuk tidak membangunkan Bella. Dia tidak menyadari bahwa Bella sempat membuka matanya sedikit, mengawasi gerak-geriknya dengan cemas.Di depan pintu rumah, Mirza terhenti. Ada keraguan yang memenuhi pikirannya. Apakah ia benar-benar perlu menemui Arumi? Bagaimanapun, hubungan mereka sudah berakhir. Saat ini ia seharusnya menjaga perasaan Bella yang sedang hamil besar. Namun, ada perasaan rindu yang membawanya untuk tetap melangkah ke luar rumah.Ketika tiba di dekat beringin, Mirza melihat Arumi berdiri di sana, menunggunya di bawah baya

  • SUAMI YANG TERGADAI DEMI RUPIAH   Bab 39. Janji Cinta

    Bella menghentikan mobilnya mendadak di tengah jalan. "Aduh, ponselku!" serunya, menyadari benda penting itu tertinggal di kamar. Tanpa pikir panjang, dia memutar balik dan melaju menuju rumah. Saat membuka pintu kamar, dia mendapati Mirza, suaminya, sedang berdiri tanpa jarak dengan Arumi, mantan istrinya. Bella tercekat ketika melihat tangan Arumi menyentuh dada Mirza tanpa penolakan dari sang suami.“Mas…?” Suara Bella terdengar parau. Mirza terkejut, dengan cepat menjauh dari Arumi. Ada rasa bersalah dalam hati ketika melihat binar kekecewaan di mata sang istri.Sementara itu, Arumi tertawa sinis, menoleh pada Bella dengan ekspresi congkak. “Oh, Bella, kamu kembali rupanya. Aku dan Mirza hanya membicarakan masa lalu. Aku harap kamu tak keberatan.”Bella lekas mendekati Arumi sembari mengedarkan tatapan tajam, menahan emosi yang bergejolak. “Nggak ada yang perlu dibicarakan. Keluar kamu, Rum. Pergi dari sini!"Arumi mendengkus, tertawa meremehkan. “Santai saja, Bella. Jangan te

  • SUAMI YANG TERGADAI DEMI RUPIAH   Bab 38. Sentuhan yang Menggoyahkan

    Mentari pagi menembus tirai jendela kamar, mengisi ruangan dengan sinar lembut. Bella bangkit dan merapikan diri. Setelah bersiap, Bella melangkah ke sofa di mana suaminya masih tertidur pulas di sana. "Mas." Bella tersenyum melihat wajah Mirza. Disentuhnya rambut legam sang suami dengan lembut, lalu membisikkan namanya. “Mas, bangun. Sudah pagi.” Mirza bergerak sedikit, menggeliat malas. Perlahan, matanya terbuka, menatap Bella dengan pandangan bingung. "Kamu udah rapi sekali sepagi ini. Mau ke mana?” "Aku ada janji hari ini, mau kontrol kandungan, udah masuk bulan ketujuh, kan?" Mirza mengangguk pelan, mengusap wajahnya agar lebih sadar. “Mau kuantar?” “Nggak perlu, Mas. Aku diantar dengan Mas Ujang aja. Oh ya, aku udah siapin sarapan dan pakaian kerja kamu. Semua beres, tinggal kamu yang bangun.” Bella tersenyum genit, maju selangkah lebih dekat hingga berdiri tepat di depan Mirza. Pria itu menatap Bella sedikit bingung, tapi belum sepenuhnya sadar. “Ada a

  • SUAMI YANG TERGADAI DEMI RUPIAH   Bab 37. Ambisi dan Cinta

    Di sore yang tenang, Arumi membawa secangkir teh ke ruang kerja Hermawan. Mengetuk pintu perlahan, kemudian masuk dengan senyum menggoda.“Mas Hermawan, teh hangatnya sudah datang,” katanya lembut, melirik pria paruh baya itu yang tengah sibuk dengan berkas-berkasnya.Hermawan menoleh dan tersenyum tipis. “Terima kasih, Arumi.”Arumi meletakkan cangkir teh di meja, tetapi tidak segera beranjak. Dengan perlahan, ia menyentuh lengan Hermawan, mencoba mencari perhatian lebih. “Mas, tidak lelah bekerja terus? Mungkin ada yang bisa aku bantu?”Hermawan terdiam sejenak, lalu melepaskan pandangannya dari berkas-berkas, menatap Arumi yang berdiri di sampingnya dengan tatapan lembut namun penuh tanda tanya. “Arumi, kamu tahu bukan kalau hubungan kita ini rumit?” bisiknya, mengambil tangan Arumi dan menggenggamnya erat.Arumi mendesah, menunduk. “Aku tahu, Mas. Tapi… bagaimana dengan kita? Istri Bapak sudah meninggal tiga bulan lalu. Sampai kapan aku harus menunggu seperti ini?”Hermawan men

  • SUAMI YANG TERGADAI DEMI RUPIAH   Bab 36. Kehangatan yang Terjalin

    Hari demi hari, kesedihan berlalu. Bella mencoba bangkit demi janin yang dikandung. Dirinya juga bersyukur sebab Mirza tak meninggalkannya. Di pagi yang tenang, Bella memandang punggung Mirza yang duduk di meja makan, diam menikmati sarapan yang baru saja ia siapkan. Bella mengelus perutnya yang semakin besar, merasakan kehidupan yang tumbuh di dalamnya."Mas, mau teh atau kopi pagi ini?" tanya Bella lembut sambil menyiapkan makanan."Teh saja, lebih ringan," jawab Mirza singkat, tanpa mengangkat wajahnya.Bella tersenyum, meski dalam hati ia merasa perih dengan cara bicara Mirza yang datar. Namun, ia tahu, di balik sikap dinginnya, Mirza selalu menunjukkan kepedulian. Setiap pulang bekerja pun, Mirza tak pernah lupa membawakan makanan untuknya.Saat malam tiba, Mirza pulang dengan kantung belanja di tangannya. Ia menyerahkannya pada Bella tanpa kata-kata, hanya pandangan singkat yang langsung beralih ke hal lain."Terima kasih, Mas," ucap Bella dengan senyum tulus. "Aku suka kue ini

  • SUAMI YANG TERGADAI DEMI RUPIAH   Bab 35. Rahasia Gelap

    Di lantai bawah, suasana mencekam. Arumi berdiri gemetar di atas tangga, menatap tubuh Mayang yang tergeletak tak sadarkan diri. Wajahnya pucat, tak menyangka dorongan kecil yang ia lakukan bisa berujung seperti ini."Mayang! Mayang, bangun!" Hermawan mengguncang tubuh istrinya, berusaha menyadarkannya.Arumi tersentak dari keterpakuannya ketika suara langkah Mirza terdengar mendekat. Panik, ia berlari, mencoba melarikan diri dari pria yang baru saja melihat sekilas peristiwa mengerikan itu. Namun, Mirza, mantan suaminya, dengan cepat mengejarnya, memotong langkahnya di lorong sempit."Arumi, tunggu!" Mirza menggenggam lengannya erat, menatap tajam dengan amarah membara di matanya. "Apa yang kamu lakukan? Kau mencelakai Bu Mayang!"Arumi meronta, suaranya bergetar. "Mirza, dengarkan aku! Aku... aku tak sengaja! Aku tak bermaksud... aku hanya... hanya marah, tapi tak ingin menyakitinya!"Mata Mirza melembut saat melihat tangis Arumi yang penuh penyesalan. Selama beberapa detik, ia bimb

  • SUAMI YANG TERGADAI DEMI RUPIAH   Bab 34. Tragedi

    Pagi itu, Mayang terbangun dan mendapati sisi ranjangnya kosong. Tak ada Hermawan di sana. Seperti pagi-pagi sebelumnya, suaminya selalu menghilang entah ke mana. Perlahan, ia bangkit dan berjalan menyusuri lorong rumah mereka yang sunyi.Langkahnya terhenti di depan pintu kamar di sudut lantai dua—kamar Bella, putri mereka yang kini telah menikah dan meninggalkan rumah. Namun, dari dalam kamar itu, terdengar suara samar desahan seorang wanita, diikuti dengan suara yang sangat dikenalnya. Suara Hermawan.Perlahan, ia mendorong pintu yang tak terkunci, lalu terpaku saat melihat pemandangan di dalam kamar. Di atas ranjang, Hermawan dan Arumi berada dalam pelukan mesra.“Mas Hermawan! Apa yang kau lakukan?!”Hermawan terkejut, lalu buru-buru menutupi tubuhnya dengan selimut. Wajahnya tampak tegang, namun tak lama ia menghela napas, mencoba menenangkan diri.“Mayang... aku bisa jelaskan,” katanya dengan suara lemah sembari memakai kembali pakaiannya. “Apa yang perlu dijelaskan lagi?!” Ma

  • SUAMI YANG TERGADAI DEMI RUPIAH   Bab 33. Kenangan Lalu

    Pagi yang tenang, Bella berdiri di ruang tengah sambil memandangi kardus-kardus besar di depannya. Kardus-kardus itu adalah barang-barang dari kampung yang dibawa Mirza, suaminya, beberapa hari lalu. Hari ini, dia berencana mengemasi dan memindahkan barang-barang itu ke tempat baru mereka. Sambil tersenyum kecil, Bella berjongkok dan membuka salah satu kardus, mengeluarkan satu per satu barang yang ada di dalamnya.Saat sedang memilah barang, tangannya terhenti di perutnya yang kini mengandung janin kecil, buah hati yang mulai ia dambakan. Bayangan malam itu tiba-tiba kembali melintas di benaknya. Malam yang penuh emosi, dua bulan yang lalu, ketika ia menemukan Mirza di klub malam.*Saat itu, Bella tidak menyangka akan bertemu Mirza dalam keadaan tak berdaya di tempat semacam itu. Mirza, yang sudah setengah mabuk dan mungkin telah diberi obat oleh seseorang, hampir tak sadarkan diri. Dengan cepat, Bella membawanya keluar dari klub malam itu dan menuju hotel terdekat. Hatinya terasa s

DMCA.com Protection Status