Lepas pembicaraan itu, Mirza masuk ke kamar dan melihat sang istri tidur memunggunginya. Dia menghela napas lega karena Arumi tak mengancam dengan mengemasi barangnya. Berniat pulang ke kampung meninggalkan Tangerang di mana Mirza mengadu peruntungan di kota ini.
“Rum.”
Mirza duduk di tepi kasur, mengusap sisi paha sang istri dengan lembut. “Jangan patah semangat, ya! Bantu aku dengan doa aja biar dapat kerjaan. Aku juga nggak mau anak kita menderita nantinya.”
“Ya kalau gitu, cari kerja!” Arumi berbalik, tidur telentang sambil menyenter tajam wajah sendu Mirza. “Apa, kek! Mikir! Pokoknya bulan depan, aku harus dapat uang lagi,” keluh Arumi sambil menarik selimut sebatas kepala.
Suara adzan menyela keresahan hati Mirza. Dia membuka kemeja sebab gerah dan lengket. Harus menyegarkan diri sebelum melaksanakan fardhu ashar.
“Mas Mirza!”
Suara Arumi mengejutkan. Tiba-tiba istrinya itu duduk dan bersemangat bicara. Lekas Mirza berbalik, mengambil handuk untuk digantungkan pada bahunya.
“Kenapa kamu nggak kerja jadi model aja?” tanya Arumi dengan senyum sumringah. “Kamu ganteng, loh! Sayang kalau cuma kerja di depan mesin sama asap pabrik. Mukamu itu mubadzir.”
Mirza mengerutkan dahi melihat istrinya itu cengar-cengir. Arumi menyenter badan sang suami yang proporsional, tinggi tegap dan menambah kesan seksi karena keringat yang memenuhinya.
“Iya! Mukamu, badanmu, itu asset, Mas! Kerja jangan nguli aja, dipikirin gimana caranya dapat duit banyak.”
“Jangan becanda, Rum!” Mirza menyentak sedikit bernada tinggi. “Nanti aku coba ngojek dulu selagi belum ada kerjaan. Yang penting makan tiap hari terpenuhi, kan? Uang yang tadi itu, jangan pakai belanja baju dulu, beli susu sama makan buat kamu. Aku nggak apa-apa makan seadanya. Yang penting calon bayi kita.”
Binar mata teduh Mirza menatap ke arah perut Arumi yang belum terlihat. Didekatinya sang istri, tapi tangannya terburu ditepis saat hendak memegang perut Arumi.
“Cari uang dulu! Anakmu ini nggak akan mau hidup di dunia kalau punya bapak melarat kayak kamu. Cari kerja yang duitnya gede! Jangan kasih aku recehan!” kecam wanita matrealistis tersebut.
Arumi tak ingin berdebat lagi, lebih memilih keluar untuk menghirup udara sore. Ada banyak teman-teman bergosip ria sambil duduk di pos ronda. Sudah habis kesibukan mengurus rumah, para ibu-ibu itu menyisihkan waktu untuk melepas penat dengan cengkrama.
“Rum, gimana perut kamu? Sehat? Apa ada masalah? Mukamu ditekuk gitu?” seru wanita bersanggul tinggi itu sambil mengipas sisi lehernya yang gerah.
Arumi belum menyahut, hanya mencomot kue lapis yang berada di piring depan duduknya. “Nggak ada, May.”
“Liat, nih! Suamiku baru gajian, langsung aku boyong ke toko emas. Cantik, kan? Asli, loh!”
Arumi menyimpan senyum kecut saat tetangganya itu sengaja mengulurkan tangan dengan rentetan gelang emas yang memenuhi pergelangannya.
“Suamimu itu kerja apa, sih, di Jakarta, Suk? Setiap pulang, kok, kamu kinclong terus? Banyak perhiasan, baju bagus, muka juga makin cakep aja perawatan.”
Teman-temannya yang lain masih asik bertanya pada tetangganya yang memawerkan perhiasannya. Sukma namanya. Silau mata Arumi melihat kesuksesan tetangganya itu. Lepas cengkrama, sungkan Arumi mengikuti Sukma sampai ke rumah. Sadar diikuti, Sukma berbalik dan mengajak wanita cantik berdaster itu duduk di taman depan rumahnya.
“Kamu kenapa? Apa ada yang bisa kubantu? Wajah ayumu itu ndak enak dilihat kalau masam terus,” goda Sukma.
Mata Arumi tak lepas dari perhiasan mewah di pergelangan Sukma. Berlagak merengek, dia pun menceritakan sang suami yang telah dipecat dan kini masa depan suram menantinya.
“Kamu lagi hamil gini, suamimu pengangguran? Kasihan kamu, Rum,” ujar Sukma seraya menepuk punggung Arumi.
“Trus gimana, Suk? Bisa bantu, nggak? Cariin Mas Mirza kerjaan, kek. Suruh aja suamimu bawa dia ke Jakarta sana. Terserah, deh, kerja apa. Yang penting duit lancar.”
Sukma manggut-manggut sambil senyum sumringah. “Oke. Nanti aku kabarin kamu, ya! Mau kerja apa aja, kan?”
“Tapi, kerja apa, nih?” Arumi mencecar tak sabaran. “Duitnya banyak, kan?”
“Mirza itu ganteng, loh! Di kota bisa sukses. Kerjaan banyak buat dia. Tapi karena anak baru, paling juga masih part time.”
“Aku tanya gajinya, Suk. Berapa?” tanya Arumi, lagi.
Senyum licik Sukma tak disadari oleh Arumi. Wanita itu hanya silau harta dan materi yang tak bisa Mirza berikan. Bahkan dia tak peduli juga dengan janin yang dikandungnya.
“Dia itu mau jadi bapak! Enak-enakan nyantai sementara aku harus ngandung anak dia. Ogah! Mending aku gugurin aja kalau dia nggak bisa jamin hidupku sama anakku aman nantinya.”
“Tenang, Rum! Kalau masih baru, paling juga lima jutaan sekali part time.”
Arumi meneguk ludah saat Sukma berujar uang menggiurkan itu. Sekali bekerja, lima juta. Pekerjaan apa? Peduli apa dia, yang penting uang.
“Kabarin aku kalau Mas-mu setuju, ya!” pesan Sukma.
Bagai kejatuhan bintang, janji manis jutaan rupiah membuat Arumi bahagia. Berjalan di jalan setapak di antara susunan rumah pada gang sempit itu dia lalui dengan dendang tipis.
“Sekali kerja lima juta? Bisa buat nyalon terus, belanja. Makan enak!”
Bibir Arumi menggerutu, menyadari perutnya berisi janin bibit lelaki yang tak dia cintai itu. “Kalau bapakmu ngeyel, kubuang kamu, ya! Jangan manja! Nggak usah rewel segala.”
Arumi berhenti sebentar di bangku kecil di bawah pohon belimbing wuluh. Diraihnya ponsel untuk menghubungi Seno, mas-nya yang bekerja di Jakarta sana.
“Mas, kirimin aku duit, dong! Besok aku mau beli gelang! Kebutuhan rumah yang lain. Males aku ngarepin temenmu yang males itu,” cerocos Arumi begitu panggilan tersambung.
“Iya, nanti Mas transfer. Tapi nggak bisa banyak. Mas belum gajian.”
Panggilan itu ditutup sepihak.
Di seberang sana, Seno menggerutu sambil menatap layar. Sudah dipastikan memang adiknya itu akan kembali menjadi benalu setelah Mirza kehilangan pekerjaan.
“Si Rum ini gimana caranya biar tobat, sih? Mirza aja nggak mempan ngadepin dia,” gerutu Seno.
Suara klakson mobil mengejutkan Seno. Lekas dia beranjak dari pos karena mobil sedan hitam mewah itu berhenti di depan pintu gerbang besar. Digeretnya gerbang itu untuk membiarkan mobil masuk.
Sudah beberapa tahun ini, Seno bekerja di rumah Hermawan, salah seorang pengusaha garmen terkenal di Jakarta. Rumah tinggi yang cantik dilapisi marmer hijau mengkilap. Deretan mobil koleksi garasi, juga ornament taman yang ditata cantik di sekeliling air mancur desain mewah.
“Mas Seno!”
Seno terkejut saat seorang wanita cantik keluar dari mobil setelah dibukakan pintu oleh supir yang menggantikannya.
“Mas Seno kenapa? Banyak melamunnya? Masih belum nyaman kerja di pos, ya? Iya, nih! Saya juga belum terbiasa sama Mas Danu, biasanya Mas Seno yang setirin.” Bibir merah delimanya mengoceh, tapi tetap terlihat cantik.
“Non Bella dari kantor, ya?”
Nona mudanya itu pun tersenyum ramah pada setiap pekerja di hunian megah Hermawan.
Seno mengikuti gerak langkah dari ketukan heels si cantik bertubuh langsing itu. Rambut pirangnya terurai menutupi punggung yang berbalut gaun merah darah. Heels setinggi tujuh senti begitu padu di kaki jenjang cantiknya.“Ada yang mau saya bicarakan, Mas. Duduk!” pinta Bella, mempersilakan Seno duduk di sofa seberangnya.Seno duduk sungkan sebab Bella selalu ramah pada setiap pegawai rumahnya. Senyumnya saja membuat para lelaki di rumah itu berdebar karenanya.“Saya dapat laporan, katanya Mas Seno minta setengah gaji di muka, benar?” tanya Bella.Seno mengangguk malu. Kalau bukan karena Arumi, dia enggan mengiba seperti ini. Uang gajinya tentu sudah untuk istri dan anaknya. Sebab kasihan pada Mirza, terpaksa dia meminjam uang ekstra pada majikannya ini.“Iya, Non. Untuk bapak saya di kampung.”“Baik, nanti saya transfer. Gaji bulan depan sisanya ya, Mas.”Seno mengangguk syukur. Saat Bella beranjak, tiba-tiba Seno teringat pada Mirza yang sedang menganggur di sana. Kali saja Mirza bi
Sukma mengangguk saja, kembali meneguk sirup jingga pada gelas kristal.“Memangnya kerja apa, sih? Sampai tampang jadi syarat utama? Memangnya mas-mu itu bakal diterima?” keluh Siti.“Iya, dong! Mas Mirza, suamiku itu ganteng,” ujar Arumi dengan penuh bangga. “Sukma bilang, kerjanya di permodelan gitu. Ya, kan? Padahal part time, tapi gajinya aja sampai lima juta.”Arumi bersikap jumawa di depan para temannya, sedangkan Sukma menyimpan tawa di balik senyum di bibir merah meronanya.“Iya, yang ganteng kayak Mirza itu jadi prioritas, sih! Badannya bagus, proporsional. Gantengnya alami. Agak kucel aja karena kerjanya nguli. Dipoles dikit juga kinclong kayak aktor Korea.” Sukma lanjut berkata.Begitu tenang para wanita ini bergosip di pagi hari. Entah jika tugas rumahnya sudah beres semua. Arumi pun puas menikmati hidupnya hasil dari tumpukan uang yang dia dapat belakangan ini.Sore harinya, Arumi duduk santai di ruang tengah sambil mengumpul uang arisan yang dia peroleh. Pesangon dari Mi
Mirza tiba di rumah sekitar pukul sepuluh malam. Arumi yang tadinya duduk santai di depan televisi, terkejut melihat tampilan lusuh suaminya itu. Pakaiannya kucel dengan bekas noda lumpur. Masih lembab setelah bermandikan hujan tadinya.“Kamu apa-apaan, sih, Mas? Kamu nyari kerja yang bener, ya! Aku nggak mau kamu jadi tukang gali gorong-gorong atau mungutin sampah jalanan!” Arumi memekik sambil menarik-narik krah sang suami. Mirza tak menyahuti. Sia-sia rasanya berdebat dengan Arumi. Masih terasa nyeri luka akibat sabetan belati tadi. Akan tetapi, pedulikah istrinya ini? Dirinya menepis tangan Arumi, masuk ke kamar karena harus membersihkan dirinya sebelum sholat isya.Arumi pun tak puas dengan sikap Mirza. Lekas ditariknya tangan sang suami ketika berhasil mencekalnya masuk ke dalam toilet kamar.“Mas! Udah mulai berani kamu nyuekin aku, ya! Jangan bikin aku malu sama temen-temen arisan dan tetangga kalau kamu kerja nguli dan keliatan gembel gini!” tukas Arumi, geram.Mirza sedikit
Mirza tersenyum miris melihat hidangan sarapan yang ada di atas meja. Hanya secangkir teh dan ubi rebus saja. Padahal dia harus pergi sepagi ini seharian untuk mencari lowongan pekerjaan lagi di kota."Makan yang ada aja!" sahut Arumi saat menyadari Mirza tak menarik kursi untuk duduk.Wanita itu meletakkan sepiring nasi lagi dengan telur mata sapi dan juga botol kecap sebagai tambahan."Selama masih belum dapat kerja, aku berhemat dulu. Kalau mau makan enak, buruan kasih aku uang lagi," kecam wanita berambut sebahu itu.Uang dan uang. Tiap hari Arumi selalu membuat kepalanya pusing dengan tuntutan materi itu. Padahal baru kemarin dia memberikan pesangon, belum lagi Arumi yang baru saja mendapatkan segepok uang hasil dari arisan yang diikutinya. Itu pun dari uang gaji Mirza yang diambilnya tiap bulan."Nggak mau duduk?" tanya Arumi lagi dengan senyum sinis.Mirza mengalah saja. Dia pun menyantap menu seadanya untuk mengisi perut. Istrinya itu hanya tersenyum sambil menikmati segelas s
Setelah tiba di mall, Bella menghabiskan waktu belanja berkeliling. Tak sabar rasanya menyambut kekasih yang sudah seminggu ini berjarak darinya. Hanya membeli seutas dasi, jam tangan, dan beberapa camilan lain yang bisa dihabiskan sambil bercengkrama."Udah, deh, ini aja dulu. Nanti beli cake aja. Dan sekalian juga, aku harus tanya Bastian tentang rencana pernikahan. Apa beneran dia nggak ada niat serius?"Bella terus mendengkus sebal. Jika bukan kedua orangtuanya yang terus merongrong mengakhiri masa lajang, dia lebih memilih untuk single dan berkarir saja. Sama seperti dirinya yang puas memandangi tampilannya di layar televisi di dalam mall."Udahlah, nikah itu ibadah, Bel. Harus diusahakan."Sambil menjinjing beberapa paper bag, Bella bersiap pulang. Ditunggunya beberapa menit sebab Seno tadinya hendak memperbaiki sedikit kerusakan mobil."Masih lama, Mas?" tanya Bella ketika panggilan telepon terhubung."Ini udah mau nyampe ke mall, Non. Ntar aja pulang dari apartemen Mas Bas, sa
Hancur. Cinta dan kesetiannya selama lebih dari sepuluh tahun dipatahkan oleh Bastian yang ternyata selingkuh di belakangnya. Bella menekan panggilan pada Bastian. Suara dering terdengar, pria bernama Bastian itu malas mengangkatnya karena dirasa gangguan saat bergumul mesra.“Mas, itu kenapa teleponnya nggak diangkat dari tadi? Kayaknya itu Bella.”Suara centil wanita itu terdengar memuakkan bagi Bella. Dia yang tak lain adalah Leona, sahabatnya yang kini mencuri kekasihnya sendiri. Bella belum beranjak, menikmati sejauh mana dua orang kepercayaannya itu tega menusuknya seperti ini.“Iya, nanti malam aku ada janji sama dia. Tapi sebelum itu, aku lebih kangen sama kamu, Leona,” sahut Bastian lagi.Bella menahan gemuruh di dadanya. Dua orang itu mengolok persahabatan dan kepercayaan yang ditanamkan. Seno tak sampai hati melihat ketegaran nona mudanya itu.“Bella belum ada bicara soal merit, Mas?” tanya Leona sambil mencium pipi Bastian. “Iya, dia ngeluh ke aku karena papa-mamanya des
"Kamu dari mana, Rum?"Arumi berlalu saja dari pertanyaan Mirza. Suaminya itu sudah pulang lebih dulu selepas senja, sementara dirinya baru saja tiba setelah aktivitas belanjanya di Jakarta."Aku bosan di rumah kecil ini, suntuk. Malah sekarang duit juga menipis. Aku ini lagi hamil, nggak boleh stres!" gerutu Arumi.Mirza tetap mengikuti langkah sang istri ke kamar. Menatap semua belanjaan baju dan juga perhiasan di atas kasur."Uang dari mana ini?" tanya Mirza, penasaran."Dari Mas Seno. Sengaja aku beliin emas, buat jaga-jaga. Nggak tau juga, bulan depan dapat gaji atau enggak dari kamu."Bulan depan. Mirza hanya mengurut sisi pelipisnya. Sudah beberapa hari sejak dia dipecat, belum ada titik terang untuk mencari rejeki lagi."Jadi gimana? Mau nganggur gini aja?"Mirza tak menyahut."Aku kalau harus hidup melarat gini, mending kita udahan aja, deh, aku minta cerai!" kecam Arumi, lagi.Binar mata Mirza melotot tajam saat sang istri berkata dengan entengnya. "Cerai apa? Kamu lagi hami
Mendengar Adel bicara seemosi itu, Bella kembali menenggak kasar minumannya. Jika ingin mabuk, dia akan melakukannya. Sayangnya, Bella masih ingin berpikir jernih menghadapi masalah.“Kayaknya gue yang bodoh banget, ya? Masa gue nggak tau mereka berdua punya hubungan padahal mereka dekat banget sama gue, Del?” gerutu Bella, mengasihani diri sendiri.Dirinya memainkan denting gelas yang beradu dengan gelas di sampingnya. “Bodoh, gue bodoh!”“Jadi lo ke sini cuma buat nangisin nasib jelek lo ini, ya?” Adel mulai tertawa. Berpikir menemani orang frustrasi ini dengan membawanya enjoy saja. “Kayaknya lo beneran cinta banget sama si Bastian.”“Cinta mati, sih, enggak juga. Cuma, ya, gila aja kalau gue masih baik-baik aja dikhianatin sahabat dan pacar gue sendiri. Bodoh! Sialan! Rasanya gue malu sama diri gue sendiri. Pengen aja gue nyemplung ke kali Ciliwung!” geram Bella sambil membenamkan wajahnya di atas meja.Adel merasa lucu dengan sikap putri konglomerat itu. Ditoyornya kepala Bella d
Bella melangkah memasuki rumah megah keluarga Hermawan dengan hati berdebar. Setelah percakapan lalu, dia bertekad harus menemukan kebenaran. Kejadian ibunya jatuh dari tangga terasa janggal. Hati kecilnya menolak percaya itu hanyalah kecelakaan.Di ruang tamu, Bella menatap para pelayan yang berbaris di depannya. Dengan suara tegas, dia mulai mengintrogasi satu per satu."Apa kalian melihat sesuatu hari itu? Siapa yang terakhir kali bersama Mama saya?"Semua pelayan hanya menunduk."Kami tidak tahu, Nona Bella," ujar seorang pelayan tua dengan nada ragu."Benar, kami tidak tahu apa-apa," timpal pelayan lainnya.Bella menggertakkan giginya. Jawaban mereka sama, dingin dan kosong. Tak ada seorang pun yang berani memberi petunjuk. Kekecewaan meliputinya, tapi dia belum menyerah.Tiba-tiba Bella teringat sesuatu. CCTV! Di ruang tengah rumah ini ada kamera yang pasti merekam semuanya. Dia langsung melangkah cepat menuju ruang keamanan.Di sana, kepala keamanan, Pak Sarman, sedang duduk di
Sejak malam Mirza menemui Arumi, hubungan mereka berubah dingin. Bella tetap menjalankan rutinitasnya sebagai istri: menyiapkan pakaian kerja dan sarapan untuk Mirza. Namun, tidak ada sapaan atau senyuman. Bahkan, pandangan pun dihindari.Mirza tahu dirinya salah. Setiap kali melihat Bella yang tak memedulikannya, hatinya terasa remuk. “Aku bodoh,” gumamnya pelan di kantor, mencoba menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Namun, bayangan sang istri terus menghantui.Usai matahari terbenam, Mirza pulang membawa martabak Mesir, makanan favorit istrinya yang sedang hamil itu. Mirza memangkas jarak untuk berdiri tepat di ambang pintu. Dari sela yang setengah terbuka, nampak di sana Bella sedang terbaring memunggunginya. Mirza menghela napas, lalu berkata dengan lembut, “Aku pulang.”Tak ada jawaban, berpikir mungkin Bella sedang tidur.Setelah membersihkan diri beberapa menit, Mirza pun masuk kamar. Istrinya itu sudah bangun, merapikan kasur yang sedikit berantakan dengan tenang. Sprei dan
Di tengah malam yang sunyi, Mirza terbangun oleh suara notifikasi ponselnya. Dengan mata yang masih berat, dia melihat layar ponselnya. Satu pesan masuk dari Arumi, mantan istrinya.[Aku menunggumu di bawah pohon beringin, di samping paviliun.]Mirza duduk diam sejenak, menatap pesan itu. Ia melirik Bella yang tertidur pulas di sampingnya, wajahnya tenang dan perutnya besar mengandung buah hatinya. Tanpa banyak pikir, Mirza berdiri perlahan, berusaha untuk tidak membangunkan Bella. Dia tidak menyadari bahwa Bella sempat membuka matanya sedikit, mengawasi gerak-geriknya dengan cemas.Di depan pintu rumah, Mirza terhenti. Ada keraguan yang memenuhi pikirannya. Apakah ia benar-benar perlu menemui Arumi? Bagaimanapun, hubungan mereka sudah berakhir. Saat ini ia seharusnya menjaga perasaan Bella yang sedang hamil besar. Namun, ada perasaan rindu yang membawanya untuk tetap melangkah ke luar rumah.Ketika tiba di dekat beringin, Mirza melihat Arumi berdiri di sana, menunggunya di bawah baya
Bella menghentikan mobilnya mendadak di tengah jalan. "Aduh, ponselku!" serunya, menyadari benda penting itu tertinggal di kamar. Tanpa pikir panjang, dia memutar balik dan melaju menuju rumah. Saat membuka pintu kamar, dia mendapati Mirza, suaminya, sedang berdiri tanpa jarak dengan Arumi, mantan istrinya. Bella tercekat ketika melihat tangan Arumi menyentuh dada Mirza tanpa penolakan dari sang suami.“Mas…?” Suara Bella terdengar parau. Mirza terkejut, dengan cepat menjauh dari Arumi. Ada rasa bersalah dalam hati ketika melihat binar kekecewaan di mata sang istri.Sementara itu, Arumi tertawa sinis, menoleh pada Bella dengan ekspresi congkak. “Oh, Bella, kamu kembali rupanya. Aku dan Mirza hanya membicarakan masa lalu. Aku harap kamu tak keberatan.”Bella lekas mendekati Arumi sembari mengedarkan tatapan tajam, menahan emosi yang bergejolak. “Nggak ada yang perlu dibicarakan. Keluar kamu, Rum. Pergi dari sini!"Arumi mendengkus, tertawa meremehkan. “Santai saja, Bella. Jangan te
Mentari pagi menembus tirai jendela kamar, mengisi ruangan dengan sinar lembut. Bella bangkit dan merapikan diri. Setelah bersiap, Bella melangkah ke sofa di mana suaminya masih tertidur pulas di sana. "Mas." Bella tersenyum melihat wajah Mirza. Disentuhnya rambut legam sang suami dengan lembut, lalu membisikkan namanya. “Mas, bangun. Sudah pagi.” Mirza bergerak sedikit, menggeliat malas. Perlahan, matanya terbuka, menatap Bella dengan pandangan bingung. "Kamu udah rapi sekali sepagi ini. Mau ke mana?” "Aku ada janji hari ini, mau kontrol kandungan, udah masuk bulan ketujuh, kan?" Mirza mengangguk pelan, mengusap wajahnya agar lebih sadar. “Mau kuantar?” “Nggak perlu, Mas. Aku diantar dengan Mas Ujang aja. Oh ya, aku udah siapin sarapan dan pakaian kerja kamu. Semua beres, tinggal kamu yang bangun.” Bella tersenyum genit, maju selangkah lebih dekat hingga berdiri tepat di depan Mirza. Pria itu menatap Bella sedikit bingung, tapi belum sepenuhnya sadar. “Ada a
Di sore yang tenang, Arumi membawa secangkir teh ke ruang kerja Hermawan. Mengetuk pintu perlahan, kemudian masuk dengan senyum menggoda.“Mas Hermawan, teh hangatnya sudah datang,” katanya lembut, melirik pria paruh baya itu yang tengah sibuk dengan berkas-berkasnya.Hermawan menoleh dan tersenyum tipis. “Terima kasih, Arumi.”Arumi meletakkan cangkir teh di meja, tetapi tidak segera beranjak. Dengan perlahan, ia menyentuh lengan Hermawan, mencoba mencari perhatian lebih. “Mas, tidak lelah bekerja terus? Mungkin ada yang bisa aku bantu?”Hermawan terdiam sejenak, lalu melepaskan pandangannya dari berkas-berkas, menatap Arumi yang berdiri di sampingnya dengan tatapan lembut namun penuh tanda tanya. “Arumi, kamu tahu bukan kalau hubungan kita ini rumit?” bisiknya, mengambil tangan Arumi dan menggenggamnya erat.Arumi mendesah, menunduk. “Aku tahu, Mas. Tapi… bagaimana dengan kita? Istri Bapak sudah meninggal tiga bulan lalu. Sampai kapan aku harus menunggu seperti ini?”Hermawan men
Hari demi hari, kesedihan berlalu. Bella mencoba bangkit demi janin yang dikandung. Dirinya juga bersyukur sebab Mirza tak meninggalkannya. Di pagi yang tenang, Bella memandang punggung Mirza yang duduk di meja makan, diam menikmati sarapan yang baru saja ia siapkan. Bella mengelus perutnya yang semakin besar, merasakan kehidupan yang tumbuh di dalamnya."Mas, mau teh atau kopi pagi ini?" tanya Bella lembut sambil menyiapkan makanan."Teh saja, lebih ringan," jawab Mirza singkat, tanpa mengangkat wajahnya.Bella tersenyum, meski dalam hati ia merasa perih dengan cara bicara Mirza yang datar. Namun, ia tahu, di balik sikap dinginnya, Mirza selalu menunjukkan kepedulian. Setiap pulang bekerja pun, Mirza tak pernah lupa membawakan makanan untuknya.Saat malam tiba, Mirza pulang dengan kantung belanja di tangannya. Ia menyerahkannya pada Bella tanpa kata-kata, hanya pandangan singkat yang langsung beralih ke hal lain."Terima kasih, Mas," ucap Bella dengan senyum tulus. "Aku suka kue ini
Di lantai bawah, suasana mencekam. Arumi berdiri gemetar di atas tangga, menatap tubuh Mayang yang tergeletak tak sadarkan diri. Wajahnya pucat, tak menyangka dorongan kecil yang ia lakukan bisa berujung seperti ini."Mayang! Mayang, bangun!" Hermawan mengguncang tubuh istrinya, berusaha menyadarkannya.Arumi tersentak dari keterpakuannya ketika suara langkah Mirza terdengar mendekat. Panik, ia berlari, mencoba melarikan diri dari pria yang baru saja melihat sekilas peristiwa mengerikan itu. Namun, Mirza, mantan suaminya, dengan cepat mengejarnya, memotong langkahnya di lorong sempit."Arumi, tunggu!" Mirza menggenggam lengannya erat, menatap tajam dengan amarah membara di matanya. "Apa yang kamu lakukan? Kau mencelakai Bu Mayang!"Arumi meronta, suaranya bergetar. "Mirza, dengarkan aku! Aku... aku tak sengaja! Aku tak bermaksud... aku hanya... hanya marah, tapi tak ingin menyakitinya!"Mata Mirza melembut saat melihat tangis Arumi yang penuh penyesalan. Selama beberapa detik, ia bimb
Pagi itu, Mayang terbangun dan mendapati sisi ranjangnya kosong. Tak ada Hermawan di sana. Seperti pagi-pagi sebelumnya, suaminya selalu menghilang entah ke mana. Perlahan, ia bangkit dan berjalan menyusuri lorong rumah mereka yang sunyi.Langkahnya terhenti di depan pintu kamar di sudut lantai dua—kamar Bella, putri mereka yang kini telah menikah dan meninggalkan rumah. Namun, dari dalam kamar itu, terdengar suara samar desahan seorang wanita, diikuti dengan suara yang sangat dikenalnya. Suara Hermawan.Perlahan, ia mendorong pintu yang tak terkunci, lalu terpaku saat melihat pemandangan di dalam kamar. Di atas ranjang, Hermawan dan Arumi berada dalam pelukan mesra.“Mas Hermawan! Apa yang kau lakukan?!”Hermawan terkejut, lalu buru-buru menutupi tubuhnya dengan selimut. Wajahnya tampak tegang, namun tak lama ia menghela napas, mencoba menenangkan diri.“Mayang... aku bisa jelaskan,” katanya dengan suara lemah sembari memakai kembali pakaiannya. “Apa yang perlu dijelaskan lagi?!” Ma