Zora terlihat menjadi murung dan mulai kehilangan selera makannya. Setiap orang punya alasan atas setiap tindakan yang dilakukan. Begitu pula pasti Papa nya. Dia pria yang juga keras kepala, mungkin ini salah satu yang di turunkan ya untuk Zora.Mengingat ayahnya, perasaan itu campur aduk.Dan Affandra kembali menawarkan untuk bekerja bersamanya."Pergi aja dari sana. Aku bisa jadiin kamu sekertarisku, atau posisi apapun yang kamu mau.""Aku gak menginginkannya." Jawab Zora dengan ketus, dan hatinya sedang tidak selera. "Apa bedanya bekerja denganmu atau Papaku? Kalian hanya memandangku sebagai putri orang kaya yang beruntung, tak peduli sekeras apapun aku berusaha, semua orang hanya memandangku sebagai keberuntungan memiliki ayah seperti itu." Jelasnya sedih."Lalu apa yang kamu dapat dari Gavin Tect? Bahkan kamu juga mendapatkan pekerjaan itu karna kamu seorang Zora kan?"Zora tidak bisa menyangkal bahwa ini benar. "Tapi tidak semua
Gavin Tect bukan hanya memproduksi ponsel. Tapi juga TV dan beberapa elektronik lain. Zora berada di Tim Divisi 6 yang memantau penjualan produk smart phone. Setelah beberapa hari Zora mendalami produk, Ami sebagai ketua Tim menghampirinya dan bertanya apa yang sudah ia pelajari sejauh ini. Dan bagaimana pendapatnya soal produk-produk yang sudah mereka garap.Ini bukan pertama kalinya Zora melakukan bisnis. Apalagi sebelumnya ia bekerja untuk ayahnya yang sangat efesien dan berpengalaman dalam bisnis. Pemasaran bukan hal yang sulit untuk Zora karna dia juga ikut memikirkan cara, tidak hanya bergantung pada para profesional marketing.Dengan lugas ia menjelaskan setiap detile produk yang sudah di pelajarinya, begitupun segmen yang cocok sesuai dengan kapasitas dan kebutuhan segmen tersebut.Mendengar penjelasannya Ami benar-benar puas dan kagum dengan wanita ini, entah bagaimana wanita muda seperti ini dengan cepat memahami proses pemasaran yang r
Kembali pada pekerjaannya, ia menemukan banyak iklan yang di pasang kurang efektif, atau tidak sesuai segmen. Walau tetap menghasilkan profit tapi tidak terlalu signifikan.Ia segera melihat daftar influencer dengan segmen audience yang ia inginkan dan mencatat beberapa nama. Juga membuat daftar dimana orang-orang yang membutuhkan produk ini bisa dengan mudah melihat iklannya.Ia segera membawa file yang sudah di kumpulkan untuk berkonsultasi dengan Mbak Ami. Mengeluhkan pendapat dan memberikan solusi yang mungkin bisa membantu."Ini bagus. Kamu bisa coba hubungi para influencer ini dulu.""Serius mbak?""Ya, coba tanya tarif mereka. Soalnya beda-beda kan?" Ami masih memperhatikan data-data yang diberikan Zora dengan seksama. "Saya akan konsultasi juga sama Pak Ronald bila ada yang cocok untuk jadi Ambassador produk kita." Zora mengangguk tersenyum penuh semangat, ia sangat senang konsepnya di perhatikan. Dan Ami terlihat antusi
Zora menghela nafasnya kesal. "Kenapa dia selalu muncul. Apa dia selalu menggodamu?""Kamu kan tau, Dania sudah menjadi investor saat masih menjadi temanmu. Dan dia melakukan lebih banyak suntikan dana. Anthony entah kenapa menyukainya. Tapi wanita itu lebih sering menggangguku." Kali ini Julian mengeluh."Apa kamu benar-benar tidak tergoda?""Kamu ngomong apa sih? Gimana mungkin? Apalagi setelah semua sikap buruk yang dia lakukan sama kamu. Gak usah mikir macem-macem. Kami cuma rekan bisnis.""Tapi dia gak akan menyerah. Dulu mana berani dia melakukan ini." Zora benar-benar kesal menyadari ia pernah bersahabat dengan ular seperti itu. Walaupun Zora tidak pernah meninggalkan posisinya. Orang seperti itu pasti akan menggigitnya sewaktu-waktu."Aku lebih bersyukur melihat semua sifat aslinya sekarang. Walau sebenarnya sempat tidak percaya."Julian meraih tangannya lembut. "Gak perlu khawatirkan orang seperti itu. Semua yang tau sif
Sebagai CEO yang terkenal dingin dan teliti. Ia tidak bergaul dengan para karyawan. Dan sangat selektif mengangkat orang kepercayaannya. Baru kali ini ia tertarik dengan seorang karyawan biasa, itupun karna Ronald terus terus memujinya.Zora segera menghadap menemui Yash di lantai 20. Tempat dimana para sekertariat inti dari perusahaan ini. Kasta tertinggi di perusahaan dan dipenuhi orang-orang yang efesien dan kepercayaan Yash. Banyak dari mereka adalah lulusan luar negri atau lulusan terbaik. Ronald menemaninya menemui Yash. Saat ia sampai di lantai itu, sepertinya rumor memang sangat cepat menyebar. Ia langsung menjadi pusat perhatian. Bahkan seorang karyawan biasa bisa memberikan masukan layaknya eksekutif profesional. Cukup menghebohkan."Selamat siang pak." Sapa Zora lebih dulu.Ronald menunggu di ruang sekertaris dan membiarkan Zora bertemu dengan Yash secara pribadi. Pria ini masih muda, seperti yang pernah Affandra katakan, mereka seumur
Zora membuka amplop yang diberikan Yash. Terlihat nominal cek disana 30 juta rupiah. Nominal yang besar hampir 2x gajinya saat ini. Dengan semua gajinya selama ini, Zora benar-benar bisa mandiri bahkan menolak pemberian Julian, yang malah membuat pria itu kesal. Kehidupan yang ia jalani kali ini sangat berbeda dengan kehidupannya sebelumnya, ia lebih menghargai segalanya. Betul yang selalu di katakan Affandra. Manusia selalu menginginkan apa yang mereka tidak pernah dapatkan. Dan Zora baru benar-benar merasakan bagaimana berusaha dengan keringatnya sendiri. Dan bahagia saat membelanjakan uang-uang itu walau ada perasaan sayang. Tapi itulah bedanya. Sebelumnya uang bahkan tidak berarti baginya. Hidupnya begitu mudah dan remeh, semua yang ia dapatkan adalah karna Ayahnya, dan hidupnya hanya untuk memenuhi obsesi ayahnya sebagai pewaris.Untuk kesekian kalinya menghirup aroma uang. Ia merasa bebas. Entah kenapa rasanya menyenangkan.Tidak butuh waktu lama be
"Jadi harus bisa nerima keluargamu ya Ta?" Pertanyaan Zora sekali lagi menjelaskan. Mengingat ia adalah tulang punggung keluarga dengan ibu janda dan nenek tua dan beberapa adik. Perjuangan Okta memang tidak mudah walau anak ini selalu tampil paling gokil seolah tak punya masalah."Iyalah. Tuh denger ya. Jadi gak usah baper-baper." Kali ini kalimat yang tertuju untuk Rofik. "Lah kamu ngasih jajan diri sendiri aja masih kurang kan? Temenan aja kita santai."Zora sampai geleng-geleng melihat kelakukan Okta yang sangat lugas dan ternyata punya pemikiran sedalam itu. Kita memang tidak bisa melihat orang sekilas dari apa yang terlihat. Anak ini selalu punya banyak kejutan."Terus kamu emang gak pernah akhirnya nyaman gitu sama orang?" Kali ini Naya juga akhirnya ikut kepo."Pernah sih, cuma ya biarin aja. Nanti juga lupa sendiri. Sesakit-sakitnya hati bakal sembuh dengan waktu. Eaaa!"Pluk! Sebuah gumpalan kertas tepat mengenai kepala Okta dan
Saat Affandra kembali, ia melihat Zora sudah lelap. Tapi mendengar langkah kaki Affandra Zora terbangun. Segera Affandra menyodorkan termometer yang digunakan Zora ke lipatan ketiaknya. 39° derajat."Udah minum obat?"Zora mengangguk lemah. Tidak ingin bicara.Affandra merapikan meja tidurnya. Menyiapkan minuman isotonik dan beberapa roti."Telpon aku kalo butuh apa-apa ya."Zora hanya mengangguk lemah.Affandra keluar dari kamarnya. Tapi tetap tidak tega. Sampai ia begadang di depan pintu Zora sambil nonton bola, takut tiba-tiba ada yang terjadi. Betul saja. Tengah malam Zora muntah-muntah dan lemas hampir jatuh di kamar mandi, untung Affandra sigap menangkapnya. Dan membantunya naik tempat tidur lagi.Ia membersihkan sisa muntahan dan menyiapkan baskom kecil di bawah tempat tidur. Juga merebus air untuk bikin teh manis."Ke rumah sakit aja ya." Pinta Affandra.Zora menggeleng lemah, meraih tangan Affandra untuk menjadi bantalan tidurnya. En
Affandra sangat bangga dan mengelus punggung tangannya lembut sambil mereka sering bertatapan penuh arti."Om Tante, aku pinjem Zora sebentar boleh?" Izin Affandra yang disambut baik kedua orang tua Zora.Affandra menggandeng tangan Zora untuk ikut bersamanya, ini hal yang baru ia lakukan lagi setelah sekian lama. Zora terus menatap tangannya yang di genggam orang yang selalu ia pikirkan setahun ini. Yang ia ingat terakhir kali memeluk tangannya saat ia demam malam itu. Dan kini genggaman itu kembali memberikan rasa aman.Affandra membawanya ke halaman tengah Villa mewah itu, dengan lampu-lampu redup, wajahnya bersinar."Aku sudah bilang untuk membuka blok di ponselmu." Kini Affandra cemberut."Aku sudah lama membukanya. Itu kamuu!""Mana ponselmu?" Affandra tak percaya karna ia masih tidak bisa menghubunginya.Ia membuka semua file block WhatsApp dan panggilan biasa. Ternyata ia masih menjadi daftar hitam dalam setingan ponsel. "Lihat?"Zora hanya tertawa, "Maaf, aku lupa soal yang i
Ia pulang dengan perasaan lega. Sepanjang jalan ia terus tersenyum. Sampai Tuan Arnold merasa heran. "Sepertinya ada sesuatu yang terjadi pada putri kita."Nyonya Anita langsung menoleh untuk melihat Zora yang tersipu malu. "Apa kau bertemu Affandra?"Zora mengangguk pelan dan tak ingin membahasnya, ia sangat malu. Sesampai di villa ia langsung masuk ke kamar dan menjadi gila. Sangat senang hingga tertawa sendiri. Tapi ponselnya belum juga berdering ia menunggu sampai malam dan tidak juga berdering. Menunggu membuatnya kecewa.Malam ini mereka makan malam di rumah, menunggu Affandra menghubunginya benar-benar membuatnya kesal. Jadi ia berhenti untuk menunggu dan pergi makan malam.Tepat saat makanan di hidangkan, bel berbunyi, ada seseorang yang datang, jadi Nyonya Anita membukanya."Halo Affandra." Sambut Nyonya Anita senang. Zora sudah duduk di meja makan mendengar nama itu disebut ia memejamkan mata dan seketika malu sekali.Tuan Arnold melihat expresi Zora yang berubah menjadi kep
Kenapa? Kenapa dia selalu melakukan ini? Bukankah pria itu kali ini datang, seperti keinginannya sebelumnya?Affandra masih mematung disana menatap punggung Zora yang menjauh.'ini adalah kesempatanmu bicara, setidaknya minta maaf atas perbuatannya yang sudah menyia-nyiakannya. Kau tidak boleh marah Zora, bila ia akhirnya bahagia dengan orang lain, harusnya kau ikut bahagian untuknya.' batin dirinya pada hatinya sendiri. Menghentikan langkah kakinya dan membuatnya menoleh ke belakang. Pria itu masih disana, menatap pantulan langit di lautan dan terpaku diam.Zora kembali berjalan menuju padanya, hingga pria itu sadar, Zora sudah ada di sisinya dan menoleh tanpa expresi."Aku sudah membuat banyak kesalahan kan?"Tanya Zora padanya.Affandra hanya meliriknya sekali, tidak ingin menjelaskan apapun. "Harusnya, aku ikut bahagia bila kau sudah menemukan hatimu untuk orang lain, karna ini kesalahanku sendiri," Zora menatapnya yang masih mendengarkan dengan tatapan lurus menatap horison."Ak
Ia segera membuang pandangan dari pria itu, bodoh sekali, apa dia melihatnya menangis? Itu sangat memalukan. Walau sudah mengakui perasaannya, di hadapan Affandra ia tidak ingin membuatnya besar kepala, ia tidak mau terlihat sedang merindukannya.Tapi sampai acara selesai, Affandra tidak sama sekali mengunjunginya. Ini adalah hal yang harus ia bayar, Zora melihat Affandra sedang mengobrol dan hendak menyapanya lebih dulu. Baru saja ia melangkah beberapa langkah, seorang anak umur 3 tahun berlari padanya, "Daddy, Daddy.." dengan sigap ia menggendong pria kecil tampan di pelukannya, mengecup pipi dan memberikannya sesuatu di tangannya. Seorang wanita cantik segera muncul juga menghampirinya, dan tertawa bersama, Zora mengenalnya, dia Amanda, salah satu putri dari teman ayahnya yang juga kaya raya, kabarnya ia Janda, dan akan segera menikah.Amanda mengobrol dengannya dengan lembut membersihkan sisa kue yang di makan putranya di jas milik Affandra dengan perhatian.Zora hanya merasa ten
Sering kali, ia mulai ingat, bagaimana Affandra adalah salah satu orang yang membuatnya menjalani hari-hari ini dengan baik. Bagaimana ia telah membimbing Zora menjadi lebih baik dalam memandang kehidupan yang sepenuhnya ia tidak mengerti. Entah dimana ia kali ini.Akhirnya Zora kembali ke Forte Grup, dengan sambutan semua orang. Rahasia Zora di Gavin Tect lalu terbongkar dan membuat gempar karyawan mereka, ternyata selama ini, orang yang sudah mereka tindas adalah putri seorang konglomerat."Gak mungkin. Gak mungkin." Nadya dari divisi keuangan Gavin Tect tidak percaya saat mendengar kabar itu. Wajahnya pucat apa dia sudah membuat kesalahan? Tapi Zora sama sekali tidak pernah mengungkit mereka , Zora yang semula selalu digosipkan hal-hal miring, untuk kali ini ia menerima banyak pujian. Ia sesekali berkunjung ke Gavin Tect yang menjadi salah satu perusahaan sahabat dalam berinovasi, semua orang dengan sopan memuji dan menyanjung.Kesuksesannya kali ini lebih dari kesuksesannya sebelu
Zora pulang dengan lesu, ini baru pukul 2 siang, tapi dia sangat butuh tidur, jadi begitu sampai dirumah ia langsung melempar diri ke tempat tidur dan memejamkan mata hingga magrib menjelang."Non, udah magrib, non" Bi Ima dengan lembut membangunkannya. Zora berbalik menggaruk wajahnya dan matanya masih rapat seolah lengket. "Non ayo solat dulu, terus makan malem sama tuan dan nyonya di bawah."Zora hanya mengangguk angguk tapi ia terlelap lagi. Kamar ini seolah punya daya magis yang selalu membuatnya nyaman.15 menit kemudian, Bi Ima kembali naik untuk membangunkannya lagi. Jadi dengan susah payah ia bangun dengan mata lengket. Bergegas mandi, solat magrib dan turun untuk makan malam.Hidangan rumahan yang lama tidak ia nikmati, jadi setiap pulang kerumah selalu merindukan masakan ibunya. Zora terlihat sangat menikmati hidangan yang membuat ibunya terus lebih sehat, Nyonya Anita juga jadi lebih mensyukuri kehadiran putrinya yang hilang hampir 2 tahun ini."Kau sudah kembali ke rumah
Yash mengawali hari yang baik, cuaca cukup cerah walau agak berangin memasuki bulan November, sarapan sesuatu yang lezat dan merasa hari ini harus ia lewati dengan baik.Dengan semangat paginya, ia menyapa beberapa karyawan dengan senyum hangat.Sampai ia masuk di ruangannya sendiri, melihat sekertarisnya sangat jelek dengan kantong mata di wajahnya yang lebih suram lagi bila terus di pandang."Apa ada sesuatu yang salah denganmu?" Bertanya heran dengan kecewa.Zora menatapnya bingung. Dan bertanya, "Apa terlihat ada yang salah?""Bercermin lah lihat seberapa buruk itu." Yash berdecak sambil memperhatikannya. "Pergi berdandan sana! Aku memulai hari yang sempurna, jadi jangan rusak dengan semua masalah di wajahmu. Sana!" Lalu melengos pergi menuju kantornya.Zora langsung melihat cermin, dan melihat riasannya baik-baik saja. Apa kurang tebal? Jadi dia bergegas ke kamar mandi untuk memperbaiki riasannya. Kantung mata memang terliha
Nyonya Anita tidak percaya ia menutup mulutnya yang terbuka karna terkejut. "Ada apa? Pasti Zora sangat menyinggungnya, anak ini benar-benar keras kepala!" Ada sedikit kemarahan yang tidak bisa disembunyikan diwajahnya. "Yang aku tau mereka sangat dekat Kak Dona, bahkan Affandra sangat sabar menunggu Zora. Kami bahkan makan malam bersama dan mereka sangat dekat."Dona berdeham, memperbaiki suaranya. "Aku benar-benar tidak mengerti, tapi beberapa hari ini tempramennya sangat buruk. Dia selalu diam. Mungkin kau bisa bicara pada Zora, tantang apa yang sebenarnya terjadi?"Anita mengangguk setuju. "Aku akan bicara padanya.""Sebenarnya, hari ini juga Affandra akan berpamitan untuk kembali ke San Fransisco bersama Kinan.""Bahkan ia memutuskan untuk pergi?" Anita sangat sedih mendengar kabar ini."Aku sangat tau bagaimana Affandra mencintai putrimu, walau sebenarnya aku sempat tidak rela mendengar kabar Zora yang selalu menolaknya." Dona menat
Akhirnya Nyonya Anita pun sudah mulai pulih dari sakitnya, dan dipersilakan untuk pulang. Direktur Fernando yang melayaninya sendiri."Tetap jaga kesehatan dan makanlah lebih banyak sayuran Nyonya." Ramahnya pada Nyonya Anita sambil mengantarnya ke lobi rumah sakit.Kali ini, Zora juga menemani ibunya untuk pulang dan sudah meletakan semua barang-barangnya dirumah."Zora ikut mama pulang kan?" Di dalam mobil, Nyonya Anita menyentuh punggung tangan putrinya lembut seraya memohon dan tersenyum."Aku sudah pindah dari kemarin, jadi aku akan menjaga mama mulai sekarang." Zora berkata lembut membalas senyum ibunya.Nyonya Anita menghela nafas. "Kenapa Affandra gak keliatan ya?""Mungkin sibuk mah, udah gak usah mikirin dia." Zora tersenyum pahit.Hari sudah siang, Tuan Arnold tidak bisa menjemput kali ini karna meeting penting dengan konsultan dari Filipina. Jadi Zora bertanggung jawab atas ibunya.Memasuki rumah bes