Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 10Aku akhirnya urung mengejar ibuku. Sementara Mas Agas cepat menghampiri kami."Kamu gak apa-apa Rin?" tanyanya dengan wajah yang agak cemas."Gak apa-apa," jawabku kecut."Maaf ya Rin, Mas gak tahu Ibu bakal marah-marah gitu. Tahu gitu Mas gak akan anter Ibu ke sini."Aku hanya diam."Mau Mas anter ke dokter gak? Takutnya kenapa-kenapa sama janin kamu.""Apaan sih gak usah," ketusku."Agaasss! Buruan balik. Ngapain sih kamu masih di sana. Ketularan miskin baru tahu rasa kamu!" teriak Ibuku dari luar pagar.Astagfirullah. Andai bukan ibuku, udah kulakban saja mulutnya itu. Bikin malu."Ya udah kalau gitu Mas permisi ya Rin," pamit Mas Agas kemudian.Aku tetap diam sambil membuang muka. Mas Agas berbalik badan dan baru akan pergi saat ibu mertua kembali memanggilnya."Agas.""Ya, Bu?" sahutnya sambil kembali memutar badan ke arah kami."Bilang sama mertuamu itu, andai besok kami jadi orang kaya, maka haram hukumnya dia menginjakan kaki d
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 11Aku menarik napas berat. Ibu mertua ternyata sengaja bela-belain pindah ke rumah Bu Sabeni supaya bisa nunjukin kehidupanku setelah ibuku hina tadi pagi. Ya ampun, segitu sayangnya ibu mertua padaku."Dan kalau soal bersih-bersih rumah kamu juga gak perlu khawatir, karena nanti akan ada yang bantuin kita di rumah ini," kata Ibu mertua lagi.Keningku mengerut, "hah ada yang bantuin, Bu? Siapa?""Ada pokoknya nanti datang. Dia yang akan jadi ART kita di sini.""ART?""Iya ART, kenapa? Kamu kayak gak percaya gitu."Aku nyengir, "hehe bukan gitu Bu, tapi apa gak salah kita pakai ART?""Nggak. Emangnya kenapa?"Aku menggigit bibir, "bukannya ART itu mahal ya, Bu? Sayang 'kan uangnya.""Halah gak apa-apa, yang penting ada yang bantuin kita," respon mertua santai sambil mengibaskan tangan di depan wajahnya.Lagi, aku mengigit bibir."Bu, maaf nih ya sebelumnya. Emang sih kalau ada ART itu nanti kita jadi ada yang bantuin, tapi masalahnya, em
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 12 "Maaf Ibu, tapi kami gak punya wewenang memberi diskon, semua harga sudah ditentukan oleh pemilik toko," kata si Mbak penjaga kasir lagi dengan sopannya."Halah, bisa kali diakalin. Nanti bilang aja busuk atau gimana kek. Nih duitnya." Mbak Opi lalu menaruh selembar uang berwarna biru ke atas meja kasir."Loh Bu, tapi ini kurang Bu, totalnya 85 ribu semua belanjaannya. Ibu jangan gitu doang, karena kalau kurang nanti saya yang harus gantiin." Si Mbak kasir mulai panik."Nggak pokoknya saya mau nawar. Kamu bilangin aja deh ke pemilik tokonya. Saya anak temennya gitu. Pasti dikasih kok."Mbak Opi pun menenteng plastik berisi sayur mayurnya dan baru akan keluar saat si Mbak kasir dengan cepat menghadang."Bu, jangan dibawa dulu Bu, lunasi dulu kurangnya, 35 ribu lagi," kekeuhnya."Halah apaan. Cuma brokoli yang udah merah aja masa harganya mahal banget. Udah tuh saya udah bayar. Awas, saya mau balik," paksa Mbak Opi. Tapi sekuat tenaga s
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 13POV OPIHeh, beneran? Beneran itu si Arini naik mobil bagus terus masuk rumah Bu Sabeni? Mau ngapain dia ke sana? Terus itu mobil siapa yang dinaikinya?Setelah bengong beberapa menit sambil terus menatap rumah Bu Sabeni, buru-buru aku masuk lagi ke rumah ibu."Bu!"Ibu yang sedang memijit pelipisnya mengecap bibir sambil merespon malas, "ck apalagi?" Aku cepat duduk di dekatnya."Bu, si Arin ngapain masuk ke rumah Bu Sabeni?"Ibu melirik tanpa bicara, dia tampak masih kesal padaku."Bu, Opi nanya," kataku lagi."Ya nggak tahulah Opi, kamu kira Ibu ngurusin dia?""Tapi Bu, tadi si Arin naik mobil ke rumah Bu Sabeni, katanya itu rumah baru dia."Lagi, ibu mengecap bibir dengan tatapan yang masih kesal padaku."Opi serius, Bu. Ayo Bu, Ibu harus lihat sendiri kalau Ibu gak percaya." Kupaksa ibu bangkit lalu menariknya ke teras."Apa sih kamu Opi! Ngapain sih tarik-tarik Ibu gini? Lepasin," sergah Ibu."Bu, coba Ibu lihat, itu si Arini n
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 14"Loh Bu! Bu! Bayar dulu!" teriak Bang Ujang."Biar saya yang bayar. 10 rebu 'kan?" kataku cepat."12 rebu lima ratus, Mbak.""Loh kok nambah?""Kan sama tempe sepotong."Aku tepok jidat, "oh iya lupa."Cepat aku merogoh tasku yang masih tersampir di pundak. Berharap ada duit recehan bekas parkir di sana.Tapi sial. Di tasku bener-bener gak ada duit rupanya. Cuma sisa selembar yang sepuluh ribu tadi."Bang, scan QR bisa gak? Saya gak ada duit cash," tanyaku akhirnya. Sengaja aja aku beralasan."Gak bisa Mbak, duit cash aja.""Tapi di tas saya beneran gak ada duit cash Bang, gimana dong?" tanyaku lagi sambil sekali lagi mengobrak-abrik isi tasku.Bang Ujang menghela napas panjang, "haaah. Ya udah kalau gak ada saya masukin catatan hutang aja dulu Mbak," kata dia akhirnya. Ah syukurlah. Akhirnya Bang Ujang ngomong gitu juga. Gak apa-apalah namaku ada di catatan hutang dia, cuma dua rebu maratus doang kok."Nah gitu dong, nanti besok deh
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 15Aku mengerling kesal, "itulah, Opi juga kesel banget dan gak tahu harus ngomong apa lagi. Dia itu bener-bener gak ada otaknya sedikit pun. Udah tahu itu mobil satu-satunya kendaraan kami, eeeh malah dijual. Parah banget.""Lagi pula kok bisa sih kamu gak tahu suamimu itu masih nyicil rumah? Selama ini kamu gak dikasih tahu apa gimana?" cecar Ibu lagi dengan nada suara yang makin serius."Gak, Bu. Selama ini Mas Agas emang gak terbuka sama Opi. Apalagi soal keuangan. Gak tahu deh kenapa. Jadi selama ini Mas Agas cuma ngasih buat Opi belanja, itu aja. Selebihnya, soal berapa nominal tabungannya, berapa penghasilannya, Opi gak pernah tahu pasti. Yang jelas, kemarin-kemarin dia bilang tabungannya udah ludes, dia juga udah diputus kontrak kerja. Alhasil keuangan kami sekarang, ya gitu deh ...." Aku memijit kening sambil mengembuskan napas berat.Sementara Ibu geleng-geleng kepala, "ya ampun Opii, kok bisa sih si Agas sekarang bangkrut gitu?
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 16Esok harinya. Aku bangun agak siang. Dan saat aku membuka pintu kamar, ibu sedang terburu-buru hendak pergi keluar."Eh Bu, mau kemana? Kok buru-buru amat?""Ibu mau lihat, itu di depan rumah Bu Sabeni pada ngapain sih? Kok rame banget.""Masa sih?" Cepat kutengok ke arah luar.Benar ternyata, di depan rumah Bu Sabeni yang katanya sekarang udah jadi rumah si Arin dan suaminya itu sedang rame banget. Banyak orang antre sampe ke luar pagar."Pada ngapain sih mereka?""Makanya itu, kamu mau ikut gak? Ibu mau ke sana, kepo.""Ish Bu, janganlah Bu, malu. Masa kita nimbrung mereka.""Ah gak apa-apa. Ayo." Ibu maksa pergi ke sana.Aku akhirnya mengekor juga."Itu lagi pada ngapain sih di sana, Bu? Kok rame banget?" tanya Ibu pada tetangga rumah yang juga habis ikutan antre di depan rumah Bu Sabeni."Lagi bagi-bagi daging dan sembako Bu, masa Ibu gak tahu, si Arin 'kan anak Ibu."Mataku melebar. Bagi-bagi daging dan sembako? Gak salah? Hih, b
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 17"Ya apa kek."Dengan perasaan yang udah kadung kesal akhirnya aku bangkit dan pergi keluar.Niatnya mau nyari makanan ke warteg deket gerbang komplek tapi aku malah papasan sama mobil Mas Lukman yang baru akan masuk ke pagar rumah ibu.Kebetulan, aku bisa minta duit sama itu orang buat kebutuhan ibu."Mas, kebetulan Mas ke sini," kataku cepat. Ketika dia baru turun dari mobilnya."Apa sih kamu Opi?" Dia yang baru saja memarkirkan mobilnya lalu masuk ke dalam. Cepat aku mengekor dan mengajaknya bicara sebentar di ruang tamu."Mas tunggu bentar, Mas.""Apa sih?""Mas, bagi duit buat Ibu, Mas udah lama gak ngasih duit 'kan?""Mas gak ada duit," jawabnya enteng, sambil kemudian membanting bobot ke badan sofa."Loh Mas, gak ada duit gimana sih? Terus itu Ibu gimana? Mana sekarang Opi juga lagi susah duit, Ibu maunya macem-macem, makan aja sekarang mau yang enak. Sini bagi 100 rebu dulu, mumpung belum malem mau beli apa kek di depan buat Ib
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 48 B"Iya, Mbak."Mulutku menganga, kusingkap selimut yang menutup kakiku. Dan jantungku langsung terasa ditarik ke dasar perut."K-kakiku? Nggaaak!" Aku teriak dan mengamuk.Cepat mereka mendorongku keluar. Ibuku langsung menyambut di depan pintu."Wita, tenang Wit, tenang.""Bu, kaki Wita Bu, kaki Wita. Kenapa dipotong?""Karena kamu terluka parah Juwita. Gak apa-apa kamu bisa pakai kaki palsu. Gak usah khawatir."Aku melotot, kaki palsu?"Nggak! Nggak! Nggaaak!" Aku kembali histeris dan berontak.Dalam sekejap, duniaku seperti hancur berkeping-keping. Amblas dan tak tersisa. Bagaimana nggak? Kakiku dipotong sebelah? Astaga itu artinya aku gak akan bisa hidup normal lagi.***"Semua ini gara-gara kamu Opi! Tanggung jawab kamu! Kamu yang sudah membuat aku kehilangan kakiku sebelah!" Aku menjambak rambutnya ketika dia kutemui di kantor polisi."Mbak Juwita! Apaan sih. Mbak sendiri yang salah, kenapa jadi Opi yang disalahin? Coba aja dulu
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 48 ALagi pula, ide ini 'kan bukan ideku, melainkan ide si Opi. Jadi kalau andai ada apa-apa, maka si Opi yang akan ditambah hukumannya, bukan aku yang akan diseret ke dalam penjara. Hmm bener. Anggap aja, ini adalah harga yang harus dia bayar untuk mengganti uang yang dikeluarkan untuk membayar pengacaranya nanti."Oke. Kalau gitu Mbak coba pakai cara kamu Pi, tapi sekali lagi Mbak ingatkan, pengacara yang akan Mbak sewa nanti bukan untuk membebaskanmu dari tuduhan, dia hanya membantu kamu membela diri, paham?"Dia mengangguk setuju. Aku lalu pergi dari sana.Setelah dari kantor polisi itu, aku mulai membuat strategi penculikan si Arin. Beberapa Minggu kemudian, setelah sidang putusan si Opi dilakukan, aku baru menjalankan idenya."Mbak harus berhasil membuatnya mati, aku bener-bener benci sama," desis si Opi sambil mencengkram kuat-kuat besi sel.Hmh, dasar bodoh. Tanpa dia suruh pun aku akan melakukannya, tapi tentu aku tak akan gegab
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 47POV Juwita."Suamimu kemana Rin?" tanyaku pada Arini, yang tak lain adalah adik iparku.Hari itu Mas Lukman disuruh ke rumah ibunya untuk mengantarkan beras atau uang katanya. Hah, aku malas sebetulnya. Baru juga pulang dari luar kota udah disuruh-suruh aja ke rumah mertua.Aku tuh udah jengah juga sebetulnya. Makin hari mereka itu makin gak berguna aja. Ibu mertua bisanya cuma minta-minta, anaknya juga bisanya cuma numpang hidup. Mentang-mentang aku kaya, enak banget mereka hidup gratisan.Makanya udah beberapa minggu ini tak kuberikan Mas Lukman uang seperti biasanya, karena aku tahu dia selalu pakai uang itu untuk memuaskan keinginan ibunya yang tak habis-habis itu."Ibu butuh uang katanya buat belanja sehari-hari Wit.""Ya terus? Ibumu yang butuh kok ngomong sama aku?""Ya bukannya gitu, tapi 'kan biasanya emang kita yang ngasih.""Sekarang gak lagi."Kesel banget. Serasa diperas dan dimanfaatkan terus rasanya, apalagi si nenek tua
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 46 BIbunya Mbak Juwita yang juga tengah bersama mereka sempat menatap kami tajam sebelum akhirnya masuk ke dalam ruangan rawat inap."Kenapa dia, Bang? Kenapa Mbak Juwita teriak-teriak gitu?""Kakinya diamputasi.""Apa? Emangnya separah itu?""Iya. Kemarin Ibu juga sempet jenguk dia sebelum operasi. Memang kepadanya parah," kata Ibu.Astagfirullah. Aku bergidig ngeri. Padahal selama ini aku tahu Mbak Juwita orang baik, tapi entah kenapa dia jadi terjerumus dalam tindakan yang gegabah seperti itu. Hanya karena perasaannya pada Bang Jaya dia sampai tega mengurungku selama tiga bulan lamanya. Dan bahkan kemarin dia tega akan menyakiti anak sekecil Nuna.Naudzubillah. Semoga dengan balasan yang Allah kasih ini dia bisa bertaubat dan menyesali semua perbuatannya.__Sampai di rumah aku disambut begitu baik oleh ibu mertua dan Nuna yang terlihat sangat ceria."Yeey Mamam dan adik utun udah pulaaang," sorak Ibu mertua memeragakan Nuna.Aku ce
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 46 AAku mengerjap, "oh iya, boleh kok, Mbak. Silakan aja datang, gak usah sungkan."Aku dan Mbak Juwita emang gak pernah ada masalah. Selama dia menjadi kakak iparku, dia juga baik dan hubungan kami selalu akur."Makasih ya Rin." Mbak Juwita menepuk pundakku.Dia lalu izin membawa Nuna main ke luar. Sementara itu aku dan Bang Jaya, juga ibu mertua aktivitas seperti biasa._Syukurlah Nuna benar-benar anteng di tangan Mbak Juwita. Seharian ini aku dan ibu mertua jadi bisa istirahat dengan tenang."Rin, Nuna ngantuk kayaknya. Dia rewel tapi kayaknya minta minum susu. Bisa kamu ke bawah buatin dia susu?" pinta Mbak Juwita. Dia berdiri di bibir pintu kamarku yang memang sengaja kubuka lebar. Habis diajak main Nuna rupanya rewel, mungkin ngantuk dan dia emang biasa minum susu sebelum tidur."Oh iya Arin bikinin dulu, Mbak." Aku bangkit dari kasur karena Bang Jaya kebetulan sedang gak ada di rumah. Mumun juga tadi katanya lagi pergi belanja
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 45Kutengok sekeliling. Benar ternyata, aku sudah mengenali tempat itu sekarang. Walau gelap tapi aku tahu, kami ada di dekat stasiun kereta sekarang."Ini di dekat stasiun 'kan, Mas?" tanyaku memastikan."Iya Mbak. Turunlah di sini, karena di depan ada cctv. Saya gak mungkin antar Mbak sampai ke sana. Oh ya, dari sini, Mbak bisa naik taksi atau ojek saja. Oke?"Aku mengangguk dan buru-buru turun sebelum orang itu berubah pikiran. Walau bagaimana pun dia orang suruhan pria yang sudah mengurungku selama tiga bulan ini, bagaimana kalau tiba-tiba dia berubah pikiran atau kembali punya pikiran jahat? Nauzubillah.Dengan langkah lebar-lebar aku menyebrang ke pangkalan ojek yang tak jauh dari sana."Bang, ke komplek perumahan Buana Permai ya, jalan Nurul Huda 12."Kang ojek mengangguk dan segera melajukan motornya setelah aku duduk di belakang dengan aman.Sampai di depan pos, ojek tak diizinkan masuk karena memang portal perumahan sudah ditut
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 44POV ArinIbu datang menemuiku hari ini. Akhirnya terpaksa aku harus menemui ibu setelah berkali-kali aku menolaknya melalui Mbak Mumun."Kasihan Nya, ibunya kayak lesu dan berharap banget ketemu Nyonya Arin," kata Mbak Mumun ketika memanggilku ke kamar."Biarin ajalah Mbak, saya males," responku santai.Aku yang sedang membaca majalah tak mau beranjak sebetulnya. Tapi melihat Mbak Mumun yang mematung di bibir pintu agak lama membuatku risih juga."Ya udah saya turun."Akhirnya aku turun. Ibu datang membawa sayur kacang merah kesukaanku. Tapi terpaksa aku menolaknya karena aku mendadak suka alergi sejak kehamilan keduaku ini. Selain itu, aku juga masih malas menerima sesuatu dari ibu. Dulu beliau menolak pemberianku habis-habisan, sekarang aku ingin beliau merasakan apa yang kurasakan sekarang. Betapa gak enaknya ada dalam posisi itu.Tring!Suara pesan masuk yang entah dari siapa membuatku mengerjap.[Suamimu kecelakaan. Dia ada di ja
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 43"Iya Bang, ini Arin. Ini Arin Bang, istri Abang," katanya, sambil terus memelukku."Arin ... kok bisa?" tanyaku setengah tak sadar.Aku masih belum percaya dengan apa yang kulihat ini. Benarkah ini Arin istriku? Bagaimana bisa dia masih hidup? Lalu yang kami makamkan tiga bulan lalu itu siapa?"Abang. Arin belum mati, Bang. Arin belum mati. Arin masih hidup, Bang," katanya lagi. Seolah tahu dengan apa yang ada di dalam pikiranku."Kalau gitu saya permisi Mas Jaya, Mbak Arin," kata Pak Supri kemudian.Aku mengangkat wajah, Arin juga berbalik menghadapnya."Oh iya Pak, makasih udah antar saya sampai depan rumah ya," ucap Arin."Iya Mbak Arin sama-sama. Mari, Mas."Beliau kembali bertugas setelah melemparkan senyuman lebar padaku. Sementara aku kembali menatapi Arin dari bawah hingga atas.Ya Tuhan, aku benar-benar tak percaya. Arin sekarang ada di hadapanku lagi, perutnya juga sudah makin membesar.Mataku tak terasa basah. Pelan aku berj
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 42"Ah Jay, ayolah. Suruh aku duduk atau berikan aku air dulu. Apa susahnya?""Aku sibuk. Dan rumah ini haram menyuruhmu duduk apalagi memberimu air," ketusku. Biarlah, aku mau perempuan itu cepat balik."Kata-katamu itu Jay. Kenapa sih? Aku datang ke sini dengan niat baik, aku mau mengucapkan duka cita atas kepergian istrimu. Kamu malah memperlakukanku begini," rajuknya."Ya udah. Urusanmu menyampaikan duka cita udah selesai 'kan? Sekarang silakan balik. Aku gak punya banyak waktu."Dia menarik napas panjang, "Jaaay, aku-""Eh eh eh ngapain kamu di sini pencuri?!" potong Ibu yang baru saja keluar.Alina langsung bangkit, dan dia baru akan mengalami ibuku saat dengan cepat ibu malah mengambil sandal tepleknya dari kaki."Pergi kamu! Atau sandal ini akan menampar pipimu," usir beliau sambil mengangkat sandal itu.Kontan saja si Alina mengatup-ngatup."T-Tante, tunggu Tan, jangan emosi dulu, Alin datang ke sini cuma mau menyampaikan duka ci