"Emm …" Aku bingung harus jawab apa?"Mar, kok malah di pandangi aja sarapannya, mari makan bersama," tawar Ayah Hadiaman yang baru saja datang dengan memakai kursi roda yang di putarkan dengan tangannya sediri. Setidaknya aku tidak perlu lagi menjawab pertanyaan Bu Sonia yang memaksaku.Kania hanya membuang muka tatkala Ayah Hadiman datang, maduku sepertinya tidak menyukai ayah mertuaku, sebab Pak Hadiman memperlakukan aku layaknya menantunya tak seperti Bu Sonia yang berubah lebih sadis semenjak kedatangan Kania kerumah ini.Ku ambilkan roti tawar serta selai stawberi untuk ayah mertuaku. Sehingga ia tidak kesusahan saat mengambilnya.Bu Sonia juga terlihat lebih ketus saat ia melihat aku perhatian pada Ayah Hadiman."Terimakasih Mar," ungkap Pak Hadiman sambil mulai makan roti yang sudah ku ambilkan.Dio pun datang untuk sarapan sebelum ia berangkat ke kantor tak lupa ia pun menjingjing tas laptopnya. Seketika Kania mempersilahkan kursi yang berada di sampingnya. Memang kosong ka
Dio seketika melenggang pergi untuk berpindah tempat ke kamarnya. Karena merasa terganggu konsentrasinya oleh suara Kania dan Tasya.Setelah kepergian Dio, hingga tak terlihat batang hidungnya Kania menatap wajah Tasya dengan tatapan murka.Mata Kania melotot sambil mengambil satu sendok nasi dari piring dan disodorkan secara paksa ke mulut gadis kecil itu."Cepet makan! Rese banget si lo, makan aja susah apalagi kerja. Anak bodoh, anak kurang ajar!" caci Kania pada Tasya anak yang tidak berdosa."Tapi aku tidak mau makan Tante kalau bukan Ibu Marisa yang suapin," rengek Tasya tetap menolak bujukan Kania.Membuat Kania tidak bisa lagi berkutik,akhirnya kesabaran wanita muda itu telah habis dengan sejuta amarah yang memuncak. Kania melemparkan nasi pada wajah Tasya. Hingga nasi tersebut berhamburan ke badan Tasya.Aku tersentak ketika melihat aksi Kania yang kasar terhadap Tasya, "Kania, apa yang kamu lakukan! Jangan kasar seperti pada Tasya!" Tanganku mulai menjauhkan Tasya dari Kania
Aku melenggang dengan hentakan yang lumayan kencang. Ku masuk kedalam kamarku untuk sejenak meredam emosi ini."Dasar keterlaluan! Sungguh tidak punya perasaan, bisa-bisa mengataiku seperti itu. Dasar wanita gak punya akhlak sama sekali," aku marah sejadi-jadinya di dalam ruangan yang kini hanya ada aku sendiri."Marisa, buka pintunya,kamu jangan dengar ucapan Kania, ucapannya memang bukan untuk di dengar Mar, kamu jangan sedih ya," teriak Dio dari balik pintu yang sengaja ku kunci agar siapapun tidak akan masuk lagi.Aku kesal saat mendengar bujukan Dio, ku ambil bantal lalu melemparkannya ke balik pintu. Kalau saja dia tidak menikah denganmu mungkin aku tidak akan tersakiti begini. Aku merajuk pada lelaki yang saat ini masih menjadi suamiku."Ya sudah kalau tidak mau buka pintu, lebih baik Mas pergi dari sini," kata Dio pasrah."Pergi saja sana bawa istri muda mu itu," kata kesal.Ku rebahkan diri pada ranjang yang berada di kamarku. Sambil memikirkan tentang ucapan Kania tadi, Kani
"Sorry Dit aku sudah sampai di tukang sayur," kataku sambil berbelok. "Iya Mar, sampai ketemu di lain waktu ya, semoga bisa bertemu lagi," pamitnya sambil melanjutkan melenggang.Saat aku sampai di warung sayur Mang Supri terdapat beberapa ibu-ibu sedang memilah dan memilih sayuran. Teringat dengan warung Ceu Esroh yang sering dihutangi dulu. Dia sering menyindirku dengan begitu pedas, namun kini, setelah aku pindah dari rumahku yang dulu aku tidak tau kabarnya lagi."Eh ada istri konglomerat ya di sini. Istri orang kaya kok belanja di warung kumuh sih, oh iya lupa 'kan punya istri Dua ya," sindir ibu-ibu berbadan gendut. Beraninya dia menyindir seperti itu, sindiran pertama masih ku abaikan, aku masih fokus dengan bawah merah yang tadi Bi Euis suruh beli.Tak sengaja mataku melihat toge yang berada di dalam wadah besar, toge itu terlihat masih segar dan putih.Tanganku langsung terulur mengantongi toge sebanyak-banyaknya mumpung aku sedang berada di warung sayur jadi sekalian aja
Aku sudah rapi dengan baju kemeja serta celana crinkle ku, terlihat lebih sederhana. Walaupun kini aku sudah tidak miskin bahkan suamiku seorang pengusaha. Tapi semua itu tak bisa merubah batinku yang lebih tersiksa dari dulu.Bahkan sekedar hanya berdandan pun aku amat malas."Mas, aku mau minta izin. Malam ini aku mau keluar untuk mencari angin segar, lagi pula aku bersama Laras kok. Aku juga perlu keluar Mas, walau hanya sebentar. Lagian kamu sekarang punya istri dua kok jadi tidak harus aku saja," kataku sambil merapikan tas yang kan ku bawa.Mas Dio terperangah kala melihatku yang sudah rapi begini. Karena biasanya aku di rumah hanya mengenakan baju piyama setiap hari. Bukannya aku tidak mau berdandan hanya saja aku ingin terlihat sederhana. "Mas temani mau?" tawaran Dio sungguh mengejutkan."Kalau kamu ikut, otomatis aku juga akan ikut Dio," sergah Kania."Sudahlah Mas, jangan bikin mood ku hancur lagian aku cuma sebentar juga kok." kataku kesal dengan adanya Kania."Baiklah jam
"Aduh," Adu dan Aditya sama-sama mengaduh sakit.Membuat Laras yang melihat aksi tak sengaja kami jadi senyum-senyum puas. Bola matanya terus memutar-mutar. "Hmm," sesekali Laras melempar batuk jaimnya sambil fokus dengan hp yang berada di tangannya.Aku langsung saja kembali mengambil sendok yang terjatuh tadi. Namun, sayang sendok tersebut sepertinya kotor. Aditya pun mengambilkannya dengan yang baru."Terimakasih Dit," kataku sambil mengulurkan tangan mengambil sendok yang Aditya sodorkan.Ada rasa grogi pada saat aku memandang wajah lelaki di masa laluku itu, tapi aku jangan sampai lupa bahwa ada Dio yang sedang menunggu di rumah juga.Tiba-tiba Aditya melempar senyum padaku. Pria itu sungguh manis. Memang manis tapi aku harus sadar siapa aku, hanyalah wanita yang sudah bersuami.Tumben Laras fokus dengan ponsel. Jari jemarinya lincah menari-nari di atas layar hp sedang mengetik sesuatu.Tidak ada salahnya kali kalau aku ambil diam-diam ho Laras, mungkin dia sedang chatting denga
Suasana di rumah amat hening, bahkan lampu pun mati ruangan menjadi gelap gulita.Aku melangkah pelan dengan penuh hati-hati agar tidak mengganggu Mas Dio dan keluarga yang lainnya.Saat aku menutup pintu ternyata lampu pun menyala seketika. Sejenak aku terdiam dengan penuh ketakutan, takut akan Mas Di memarahiku."Enak makan baksonya?" Suara lelaki begitu lantang terdengar di telinga. "Enak Mas. Maaf aku pulang agak malaman, lagian baru juga jam 9 Mas. Setidaknya gak melewati jawdal kata kamu tadi," elakku sambil segera melenggang untuk ke kamar tapi Mas Dio meraih tanganku begitu kasar untuk aku diam."Sudah berani ya kamu dibelakang aku berbohong!" pekik Dio."Bo-bohong apa Mas, perasaan aku tidak bohong sama sekali padamu."Degh!Jantung ini rasanya mau copot ketika detak nya begitu kencang.'Apa Mas Dio tau kalau aku makan bakso bareng Aditya. Tapi dari mana dia mengetahuinya?' batin ini bertanya.Ada rasa gugup dan gelisah di tanah rasa kaku yang ku rasakan saat ini. Semua dic
Hanya tepi danau ini yang bisa membuatku kepalaku merasakan dingin, merasakan tenang dengan suasana hening disini. Setiap kali aku terpuruk, setiap kali aku merasa kalut hanya tempat inilah yang bisa aku kunjungi, disini merasakan tenang.Aku menghela nafas yang begitu tenang dengan mata terpejam. Menghirup udara yang sangat segar tanpa bau polusi.Terjang Dio yang saat ini sedang marah padaku, apakah salahku Patak sayang hingga kamu tega membuat hatiku cemburu. Kamu tega memberikan kemesraan pada wanita yang telah hadir diantara pernikahan kita.Aku aku hanya bisa pasrah menghadapi ulahku yang begitu menyakitkan. "Lakukanlah Dio kalau itu semua membuatmu bahagia. Apa artinya adanya aku di sampingmu kalau tidak bisa membuat bibirmu tersenyum lagi," aku berteriak sekencang mungkin di tepi danau yang saat ini hanya ada aku saja.Aku berharap ini semua hanya mimpi, namun setelah aku memukul pipiku yang terasa sakit aku tersadar bahwa semuanya nyata.Aku duduk termenung sambil menangkupk
Melihat tindakan Kania itu membuat Bu Sonia iba memandang air matanya yang tidak henti mengucur deras.Hampir saja Bu Sonia memaafkan Kania namun dengan tiba-tiba Salsa datang bersama pria yang saat itu bersama Kania, yaitu Hendra."Jangan biarkan Ibu memaafkan dia Bu, air mata Kania tidak tulus sama sekali. Itu hanyalah sandiwara semata," sahut Salsa."Diam kamu Salsa kamu tidak apa-apa dengan urusanku!" sentak Kania pada Salsa.Kania tercengang kala melihat Hendra sudah berada di samping Salsa. 'Mengapa Hendra ada disini? Untuk apa dia bersama Salsa?' batin Kania bertanya seraya ada rasa cemas di benaknya."Jangan kamu bilang aku tidak tau urusanmu Kania. Jelas aku sangat tahu betul siapa kamu dan anak siapa yang kamu kandung itu, dulu kamu menghancurkan hidup aku dengan memfitnah berselingkuh dengan Diki, sekarang tak akan ku biarkan kamu melakukan itu lagi pada siapapun Kania!" tunjuk Salsa pada perut Kania.Aku dan Mas Dio juga mertuaku merasa heran. Apa yang dimaksud Salsa sebe
"Mama." Suara seruan anak kecil membuyarkan lamunan Salsa yang sedang termenung duduk di kursi halaman rumahnya.Salsa menoleh ke arah suara anak yang memanggilnya Mama barusan."Tasya," sahut Salsa. Bibir wanita itu membentuk senyuman manis di bibirnya. Tak terkira sama sekali di benaknya bahwa dia akan di panggil Mama oleh anak yang selama ini di tinggalkannya bertahun-tahun.Tasya berlari untuk memeluk sang Mama. Begitu Salsa merentangkan tangan seraya memeluk dengan erat Sanga anak."Nak Mama kangen padamu," bisiknya kala memeluk Tasya. Air matanya begitu deras mengucur membasahi pipi.Dio sungguh terharu tatkala melihat Tasya dan Salsa saling berpelukan. Ternyata tidak ada yang bisa memisahkan ibu dan anak kandung. Berdosakah Dio kerana terlalu melarang Marisa untuk mendekatkan Salsa dan Tasya."Ma, jangan tinggalin Salsa lagi ya, Mama mending tinggal bareng aja sama Papa Dio dan Tasya disana juga ada Ibu Marisa. Pasti Mama betah." Keinginan anak itu begitu polos."Mama tidak bis
Ketika Salsa memilih pulang saja karena Tasya sudah dibawa pergi oleh Bu Sonia. Begitu kejamnya wanita paruh baya itu hingga kini dia masih membenciku dan tidak mau memaafkan ku. Padahal aku dulu di jebak oleh Kania bukan keinginanku untuk berselingkuh dengan Diki -adik ipar Dio.Di tengah perjalan Salsa begitu lesu, anak kandungnya kini malah menjauh akibat dijauhkan oleh mertuanya itu. Bahkan Tasya pun tak merespon sama sekali pada Salsa.Entah harus melakukan apa lagi agar anak semata wayangnya itu tau dan aku menerima Salsa sebagai ibu kandungnya."Aku menyesal Nak, dulu telah meninggalkanmu dengan nenekmu yang jahat ini. Tapi kalau aku bawa kamu pergi dengan Mama. Aku takut tidak bisa merawatnya dan tidak bisa membahagiakannya. Setelah orang tuaku meninggal aku tidak tau harus bagaimana. Aku menyesal!" ungkap Salsa di sela perjalanan ia menangis histeris.Namun Salsa terus saja melangkah walaupun langkahnya begitu berat. Pada saat akan mengembang jalan Salsa melihat Sang anak yan
"Mas, a-aku boleh minta sesuatu dari kamu lagi?" ucap Kania ketika melihat Dio yang telah sibuk dengan laptop di hadapannya."Minta apa? Kalau untuk minta uang maaf aku tidak bisa kasih," sergah Dio.Belum juga Kania berbicara tapi Dio sudah terus terang berbicara seperti itu, seolah sudah tahu kalau Kania akan meminta uang."Mas, tapi aku sangat butuh uang itu sekarang, bolehkan aku minta lagi," bujuk Kania ketika Dio tidak mau memberinya."Kania, kemarin kamu minta uang. Dan sekarang kamu minta uang lagi, kamu pikir gampang cari uang tinggal manjat gitu, aku juga harus kerja keras untuk mendapatkan uang banyak!" gerutu Dio."Mas kok kamu pelit banget sih, aku ini sedang hamil anak kamu! Pengeluaran aku banyak harusnya kamu mengerti dengan keadaan aku yang saat ini berbadan dua!" Kania kembali menggerutu Dio balik."Pokoknya Mas sekarang tidak mau memberimu uang lagi, pengeluaran kamu sekarang semakin banyak tapi Mas tidak tahu uang itu kamu pakai untuk apa?!""Ya untuk keperluan aku
"Mana sih tuh orang jam segini masih belum datang juga! Katanya butuh duit! Malah gue yang harus nunggu!" gerutu Kania pada Hendri. Pria yang di tunggunya belum kunjung datang juga.Wanita itu terus saja celingukan sambil sesekali melirik ponsel untuk melihat jam.Salsa tak sengaja lewat melihat Kania sedang gelisah menunggu seseorang. Akhirnya Salsa berniat menemui Kania yang berada di restoran tersebut."Panik bener wajahnya," sindir Salsa ketika menghampiri Kania yang telah duduk di kursi dalam restoran tersebut.Kania menyimpan ponsel yang baru saja ia ambil. Kania menoleh ke arah Salsa. Wanita itu nampak kesal saat yang di tunggu Hendra yang datang malah musuh bebuyutannya."Heh ngapai Lo disini? Kasihan banget gak diakui sama anak sendiri emangnya enak. Makannya Lo jagain anak Lo dari bayi, biar gak di gondok sama si Marisa. Lo tu insaf jangan mesum mulu. Jadinya begini anak sendiri aja gak mau mengakui kalau Lo adalah ibu kandung yang udah ngelahirin dia. Kasihan, kasihan, kasi
Ting! Benda pipih yang yang tergeletak di atas meja terus saja berbunyi, namun tak ada satupun orang yang mengangkatnya. Entah ponsel siapa? Ku hampiri ponsel yang tersimpan di atas meja itu, memastikan. Dan ternyata adalah ponsel maduku sendiri.Awalnya aku tak ingin mengambilnya, apalagi harus diantarkan pada Kania, rasanya malas sekali. Namun suara deringan ponsel itu tak berhenti membuat berisik.Tak ada pilihan lain, tak ada salahnya kalau aku berikan ponsel miliknya Kania itu. Siapa itu memang telepon penting."Kania, Kania," seruku di balik pintu, namun tak ada sahutan sama sekali. Entah di mana keberadaan wanita itu. Kebetulan pintu kamarnya tidak tertutup rapat, apakah mungkin di dalam kamar mandi. Lalu ku memberanikan diri masuk ke dalam bilik kamarnya."Kalau ku angkat, takutnya penting. Apalagi nomornya dari nomor baru, tapi kalau dibiarkan suara dering nya cukup mengganggu," gumamku seraya mencari keberadaan maduku.Saat mata ini tak sengaja melihat ke halaman belakang
Ting nong!Suara bel rumah berbunyi, aku yang sedang mengepel lantai melenggang untuk membuka pintu tersebut, Kania yang saat ini sedang berasama mertuaku ikut serta akan membuka pintu, namun segera ku tahan. "Biar aku saja Kania," cegahku pada Kania yang hendak akan melenggang juga."Ya sudah sana Lo buka!" titah Kania sambil mendelikan mata.Kania serta Bu Sonia duduk kembali sambil melanjutkan perbincangannya. Aku segera melenggang untuk membuka pintu."Siapa ya?" gumamku seraya membuka pintu.Pada saat itu aku di kejutkan dengan kedatangan Salsabila, wanita itu berdiri di ambang pintu."Siang Mar? Tasya ada di rumah?" tanyanya."Ada kok, ada Bil. Kamu masuk saja kerumah, aku antarkan ke kamarnya," kataku sambil mempersilahkan wanita itu masuk kedalam rumah.Kami berjalan di depan serta Salsa mengikuti dari belakang. Ketika melihat Salsa Bu Sonia serta Kania terperangah. Reaksi mereka begitu susah diartikan. Mereka sepertinya amat kesal ketika melihat Salsa menginjakan kaki di ruma
"Ada apa Mas?""Bila mengapa kamu selalu muncul dimanapun aku berada," ungkap Dio."Mas bolehkah aku jujur padamu, sebenarnya aku mencarimu di setiap waktu. Aku mencari Tasya juga, karena bagaimanapun dia adalah anakku Mas, aku yang melahirkannya." Tatapan Bila begitu tulus.Aku dikejutkan dengan hal itu, ternyata Salsa mantan istri Mas Dio adalah Bila sahabat aku sendiri."Mas, jadi kalian…" ungkapku begitu terkejut tatkala melihat semua itu.Dio dan Salsa menoleh ke arahku bersamaan. Tak ada satu patah kata pun yang menjawab ungkapanku.Aku memberanikan diri untuk menghampiri kediaman Mas Dio dan Salsa, tangan mereka masih saling berpegangan."Mas Bila ini mantan istri kamu yang kamu bilang sudah mati itu?!" tanyaku membuat Bila seketika tercengang."Apa Mas, jadi selama ini kamu anggap aku ini sudah mati," kata Salsa menunjuk dirinya sendiri."Bil, jadi yang kamu maksud suami kamu yang entah dimana itu adalah Mas Dio suamiku juga?" Tebakku tercengang.Kami semua menjadi bimbang dan
"Tapi Bu, aku tidak tau apa-apa. Bahkan Bi Euis juga tahu aku tidak kemasukan bangkai cicak itu pada dalam rujak, mungkin bisa saja bangkai cicak itu terjatuh ketika aku dan Bi Euis sedang sibuk mengerjakan hal lainnya," elakku, semoga saja mertuaku tidak terlalu menyalahkan diri ini. Kalau saja dia tau bahwa aku sengaja, bisa-bisa aku lebih dibenci olehnya."Bohong! Jangan banyak ngelak kamu Marisa! Mana mungkin cicak ini jatuh sendiri tanpa dibantu oleh tangan seseorang. Saya tidak mau tau kamu harus dihukum seberat-beratnya. Hukuman yang pantas untukmu kamu lebih baik minggat dari rumah ini!" Telunjuk mertuaku mengarah jelas padaku.Sungguh aku terbelenggu tatkala mendengar ancaman itu, baru kali ini mertuaku semarah ini."Bu, tidak segampang itu. Aku tidak setuju kalau ibu mengusir Marisa dari sini, dan jika saja ibu mengusir istri pertamaku, maka aku sebagai suaminya akan ikut kemanapun Marisa pergi." Suara pria itu terdengar lantang. Mas Dio tak setuju jika aku pergi dari rumah