[Marisa pokoknya aku tidak mau kalau harus berpisah denganmu. Aku mencintaimu, aku menyayangimu] Pengirim pesan tersebut yaitu dari Dio.[Bacot lo Dio] balasku kasar karena semua yang di katakan Dio tidak ada artinya sama sekali.Sekarang aku mau merubah sikap, dan bukan Marisa yang kalian kenal lemah dan selalu bodoh. Kini aku akan bangkit dari keterpurukan ini.Tiba-tiba hujan pun turun deras, tadinya aku ingin berteduh. Tapi, setelah ku pikir-pikir lebih baik aku mengguyur badanku di tengah hujan yang turun deras. Aku berharap badan ini sakit dan kalau bisa mati saja sekalian.Badan pun mulai menggigil kedinginan baju yang sejak aku pake sudah basah kuyup. Untuk ponsel berada di dalam tas yang terbuat dari karet sehingga tidak menembus ke dalam.Daguku mulai gemetar merasakan gigilan badan yang sangat dingin ini.Hujan pun tambah deras dan suara gledek menggema. Tapi aku tak mau menghiraukannya, aku tetap terpaku pada bangku di tepi jalan ini.[Apa kau sudah gila membiarkan tubuh s
Tok! Tok! Tok!"Non Marisa ini Bibi," seru Bi Euis dari balik pintu kamar."Masuk saja tidak di kunci kok Bi," kataku yang sedang duduk di tepi ranjang dengan memainkan layar ponsel.Bi Euis masuk kedalam ruangan kamarku sambil membawa nasi dan sayur sup."Bawa apa Bi? Perasaan aku tidak minta apa-apa deh.""Non, ini Bibi bawa nasi, pasti Non dari pagi belum makan 'kan? Ayo makan dulu kasihan perut Non kalau disiksa begitu cacingnya nanti pada ngamuk Non," ujar Bi Euis sambil menyimpan makanan yang ia bawa di atas nakas."Simpan saja disitu Bi, ngapain sih Bibi repot-repot, lagian aku lagi malas makan.""Pokoknya Non harus makan, hari ini Bibi tidak melihat Non makan." Bibi Euis memaksa."Biarin aja Bi biar mati saja aku sekalian, bosan aku hidup Bi, tidak ada gunanya sama sekali.""Non gak baik loh Non, menyiksa diri seperti itu. Orang sakit aja diobati apalagi Non masih sehat seharusnya Non bersyukur punya badan yang sempurna. Coba Non lihat manusia di luaran sana banyak yang kekuran
Tok! Tok! Tok!Masih pagi begini aku harus mendengar ketukan pintu yang berisik."Siapa sih gedor pintu aja berisik banget kaya yang mau demo," gerutuku ketika aku terjaga dari bangunku karena suara gedoran pintu.Padahal mataku masih terasa berat untuk terbuka. Tapi terpaksa walaupun rasa ngantuk masih terasa. Padahal hari ini aku akan tidur sepuasnya. Malas keluar kamar, malas juga kalau harus menghadiri acara ijab kabul sang suami.Sesekali mulutku masih menguap dan semua badan terasa pegal, mungkin karena kemarin aku hujan-hujanan.Krieet!Daun pintu pun ku buka untuk melihat siapa yang sudah membangunkanku yang masih tertidur pulas.Aku menarik nafas dengan lembut saat ku tau ternyata pengantin mempelai wanita sudah siap dengan gaun pengantin warna putih dan sanggul yang sudah dihias seindah mungkin. Memang aku tidak bisa bohong wajahnya begitu cantik tapi sayang tidak secantik hatinya. "Untuk apa kamu kesini?!" tanyaku ketus pada Kania yang saat ini berada di hadapanku."Loh ko
"Dio! Dio! Buka pintunya kamu sedang apa Dio? Lama banget sih. Keluarga sama Pak Penghulunya sudah menunggu," teriak Bu Sonia dari balik pintu sambil menggedor."Bentar Bu, nanti juga Dio keluar. Masih pake baju ini," kata Dio malas."Kamu mau ngelenong atau mau mau apa sih lama banget. Tinggal pake aja baju yang ada, gitu aja riweh. Cepet Dio," gerutu Bu Sonia yang sudah menunggunya."Ibu masuk ya Dio." Knop pintu pun di putar dan daun pintu pun terbuka lebar.Terlihat Dio yang masih kusut dengan masih memakai baju kusutnya kaos oblong serta kolot doraemon."Ya ampun Dio, kamu itu gimana sih katanya mau menikah tapi kamu masih mengenakan baju lusuh begitu. Kamu itu mau menikah atau mau jadi pemulung sih.""Bu, aku rasanya berat banget," ungkap Dio melas.Namun, Bu Sonia tidak menggubris ucapan anaknya ia memilihkan jas yang bagun untuk putranya itu."Nih kamu pake sekarang juga baju ini, sebentar lagi ijab qobul kamu akan di mulai. Semua sudah siap menhnggu kamu," papar Bu Sonia.***
"Gitu gimana sih, perasaan wajah gue gak papa kok. Wajah gue biasa aja, masih cantik dan imut juga," kataku bersandiriwara tegar agar Aditya tidak mencurigai."Loh kok kayak yang lagi banyak beban di pikiran gitu, lo keliatan murung banget tu muka. Tapi ini sih cuma kata gue aja. Mungkin gue salah kali ya," ujar Aditya yang tersadar dengan tingkahku dan reaksi wajah ini yang kecut.Aku mengambil beberapa biji batu dari kumpulan batu yang berada di bawah tanah.Tanganku memberikannya pada Aditya, "Kalau lonlagi sedih, coba deh lo lemparin batu ini ke danau, sambil teriak-teriak," sahutku sambil memberikan kerikil batu tersebut.Aditya hanya pasrha lalu ia mengambil batu yang ku sodorkan barusan."Sekarang?""Taun depan! Ya sekarang lah masa minggu depan. Ngaco lo."Aditya melemparkan batu itu sambil teriak-teriak gak jelas.Akhirnya Pak yang sedang sakit gigi merasa terganggu dengan teriakan Aditya."Woy! Mau cari mati lo ya, teriak-teriak gak jelas. Kayak yang lagi demo! Lo pikir danau
"Bukan gitu Mar, cuma …""Cuma apa Mas?! Terserah kamu saja, kamu urus saja istri mudamu itu tidak usah urusin hidupku lagi Mas," kataku sambil melengos pergi.Aku hentakan kaki ini mulai melenggang meninggalkan suamiku yang masih bergeming."Dasar lelaki ngomongnya gak cinta tapi nyatanya apa? Sudah menikah cinta juga. Malah dibelain. Lah gue malah disalahkan, apakah hidup sebangsat itu!" gerutuku sambil membuka daun pintu. Lalu menutupnya dengan kasar.Bred!Bunyinya hingga nyaring.***Jarum pendek menunjukan pukul 8 malam, aku yang masih duduk di hamparan sajadah dengan kedua tangan masih tengadah berdoa meminta pertolongan kepada Yang Maha Kuasa.Bulir-bulir bening terjun membasahi pipi ini, aku berdoa semoga semuanya bisa kembali seperti dulu lagi, ketika aku menjadi orang miskin. Walaupun kekurangan harta setidaknya aku tidak kekurangan kasih sayang seperti ini. Kini aku merasa jauh dengan Mas Dio. Dulu kami selalu bersama sholat bareng bahkan baca alquran bareng-bareng hanya
Acara makan malam pun hancur seketika gara-gara keributan aku dengan Kania. Tapi kali ini aku tidak ingin mengalah lagi.Aku duduk di hadapan kaca rias sambil melihat wajahku di pantulan kaca, ternyata wajahku sedikit kusam dan tidak terawat, akibat aku jarang sekali berdandan. Kulepas ikatan yang mengikat rambutku lalu menyisir membersihkan rambut yang terlihat kusut.Mulai sekarang mungkin aku harus lebih rajin merubah penampilanku dan mempercantik diri ini.Ketika aku menyisir rambut terlihat cincin perkawinan yang masih melingkar di jari manisku.Kutatap cin-cin itu secara gamang. Teringat janji suamiku waktu kami menikah tidak akan meninggalkanku dan tidak akan pernah berkhianat. Namun, kenyataannya apa?Aku menghela nafasku yang yang panjang. Tidak ada gunanya aku meratapi suamiku yang kini adalah suami orang. Ternyata nasibku di masa sekarang begitu buruk.Tok! Tok! Tok!Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku, aku berusaha bangkit untuk membuka pintu kamar. Aku yakin itu pas
Bi Euis membawakan goreng pisang hangat untuk Pak Hadiman. Aku segera mengambil alih dari tangan Bi Euis, "Biar aku saja Bi."Aku mengambil sepiring goreng pisang yang dibawakan Bi Euis barusa. Untuk diberikan pada sang mertua yang kasih bersandar di kepala ranjang.Pria paruh baya itu membuatku iba. Bagaimana tidak. Dia yang sering sakit-sakitan hanya diurus oleh Bi Euis saja sang pembantu di rumah ini tanpa ada sentuhan kasih sayang dari istrinya."Yah aku bawakan goreng pisang, Ayah makan ya. Ini enak sekali," kataku sambil menyimpan sepiring goreng pisang di tepi ranjang beserta air minum di atas nakas.Tangan yang sudah keriput itu terus memijat buah betisnya, entah apa yang dirasakan mungkin karena akibat terlalu sering berbaring hingga kurang gerak kaki ia terasa pegal dan seperti kesemutan."Yah kakinya kenapa?""Kaki ini terasa pegal, mungkin karena Ayah tidak karena sudah lama ayah rebahan terus."Tanganku mulai memijat pelan-pelan kaki yang sudah keriput dan kelihatan suda
Melihat tindakan Kania itu membuat Bu Sonia iba memandang air matanya yang tidak henti mengucur deras.Hampir saja Bu Sonia memaafkan Kania namun dengan tiba-tiba Salsa datang bersama pria yang saat itu bersama Kania, yaitu Hendra."Jangan biarkan Ibu memaafkan dia Bu, air mata Kania tidak tulus sama sekali. Itu hanyalah sandiwara semata," sahut Salsa."Diam kamu Salsa kamu tidak apa-apa dengan urusanku!" sentak Kania pada Salsa.Kania tercengang kala melihat Hendra sudah berada di samping Salsa. 'Mengapa Hendra ada disini? Untuk apa dia bersama Salsa?' batin Kania bertanya seraya ada rasa cemas di benaknya."Jangan kamu bilang aku tidak tau urusanmu Kania. Jelas aku sangat tahu betul siapa kamu dan anak siapa yang kamu kandung itu, dulu kamu menghancurkan hidup aku dengan memfitnah berselingkuh dengan Diki, sekarang tak akan ku biarkan kamu melakukan itu lagi pada siapapun Kania!" tunjuk Salsa pada perut Kania.Aku dan Mas Dio juga mertuaku merasa heran. Apa yang dimaksud Salsa sebe
"Mama." Suara seruan anak kecil membuyarkan lamunan Salsa yang sedang termenung duduk di kursi halaman rumahnya.Salsa menoleh ke arah suara anak yang memanggilnya Mama barusan."Tasya," sahut Salsa. Bibir wanita itu membentuk senyuman manis di bibirnya. Tak terkira sama sekali di benaknya bahwa dia akan di panggil Mama oleh anak yang selama ini di tinggalkannya bertahun-tahun.Tasya berlari untuk memeluk sang Mama. Begitu Salsa merentangkan tangan seraya memeluk dengan erat Sanga anak."Nak Mama kangen padamu," bisiknya kala memeluk Tasya. Air matanya begitu deras mengucur membasahi pipi.Dio sungguh terharu tatkala melihat Tasya dan Salsa saling berpelukan. Ternyata tidak ada yang bisa memisahkan ibu dan anak kandung. Berdosakah Dio kerana terlalu melarang Marisa untuk mendekatkan Salsa dan Tasya."Ma, jangan tinggalin Salsa lagi ya, Mama mending tinggal bareng aja sama Papa Dio dan Tasya disana juga ada Ibu Marisa. Pasti Mama betah." Keinginan anak itu begitu polos."Mama tidak bis
Ketika Salsa memilih pulang saja karena Tasya sudah dibawa pergi oleh Bu Sonia. Begitu kejamnya wanita paruh baya itu hingga kini dia masih membenciku dan tidak mau memaafkan ku. Padahal aku dulu di jebak oleh Kania bukan keinginanku untuk berselingkuh dengan Diki -adik ipar Dio.Di tengah perjalan Salsa begitu lesu, anak kandungnya kini malah menjauh akibat dijauhkan oleh mertuanya itu. Bahkan Tasya pun tak merespon sama sekali pada Salsa.Entah harus melakukan apa lagi agar anak semata wayangnya itu tau dan aku menerima Salsa sebagai ibu kandungnya."Aku menyesal Nak, dulu telah meninggalkanmu dengan nenekmu yang jahat ini. Tapi kalau aku bawa kamu pergi dengan Mama. Aku takut tidak bisa merawatnya dan tidak bisa membahagiakannya. Setelah orang tuaku meninggal aku tidak tau harus bagaimana. Aku menyesal!" ungkap Salsa di sela perjalanan ia menangis histeris.Namun Salsa terus saja melangkah walaupun langkahnya begitu berat. Pada saat akan mengembang jalan Salsa melihat Sang anak yan
"Mas, a-aku boleh minta sesuatu dari kamu lagi?" ucap Kania ketika melihat Dio yang telah sibuk dengan laptop di hadapannya."Minta apa? Kalau untuk minta uang maaf aku tidak bisa kasih," sergah Dio.Belum juga Kania berbicara tapi Dio sudah terus terang berbicara seperti itu, seolah sudah tahu kalau Kania akan meminta uang."Mas, tapi aku sangat butuh uang itu sekarang, bolehkan aku minta lagi," bujuk Kania ketika Dio tidak mau memberinya."Kania, kemarin kamu minta uang. Dan sekarang kamu minta uang lagi, kamu pikir gampang cari uang tinggal manjat gitu, aku juga harus kerja keras untuk mendapatkan uang banyak!" gerutu Dio."Mas kok kamu pelit banget sih, aku ini sedang hamil anak kamu! Pengeluaran aku banyak harusnya kamu mengerti dengan keadaan aku yang saat ini berbadan dua!" Kania kembali menggerutu Dio balik."Pokoknya Mas sekarang tidak mau memberimu uang lagi, pengeluaran kamu sekarang semakin banyak tapi Mas tidak tahu uang itu kamu pakai untuk apa?!""Ya untuk keperluan aku
"Mana sih tuh orang jam segini masih belum datang juga! Katanya butuh duit! Malah gue yang harus nunggu!" gerutu Kania pada Hendri. Pria yang di tunggunya belum kunjung datang juga.Wanita itu terus saja celingukan sambil sesekali melirik ponsel untuk melihat jam.Salsa tak sengaja lewat melihat Kania sedang gelisah menunggu seseorang. Akhirnya Salsa berniat menemui Kania yang berada di restoran tersebut."Panik bener wajahnya," sindir Salsa ketika menghampiri Kania yang telah duduk di kursi dalam restoran tersebut.Kania menyimpan ponsel yang baru saja ia ambil. Kania menoleh ke arah Salsa. Wanita itu nampak kesal saat yang di tunggu Hendra yang datang malah musuh bebuyutannya."Heh ngapai Lo disini? Kasihan banget gak diakui sama anak sendiri emangnya enak. Makannya Lo jagain anak Lo dari bayi, biar gak di gondok sama si Marisa. Lo tu insaf jangan mesum mulu. Jadinya begini anak sendiri aja gak mau mengakui kalau Lo adalah ibu kandung yang udah ngelahirin dia. Kasihan, kasihan, kasi
Ting! Benda pipih yang yang tergeletak di atas meja terus saja berbunyi, namun tak ada satupun orang yang mengangkatnya. Entah ponsel siapa? Ku hampiri ponsel yang tersimpan di atas meja itu, memastikan. Dan ternyata adalah ponsel maduku sendiri.Awalnya aku tak ingin mengambilnya, apalagi harus diantarkan pada Kania, rasanya malas sekali. Namun suara deringan ponsel itu tak berhenti membuat berisik.Tak ada pilihan lain, tak ada salahnya kalau aku berikan ponsel miliknya Kania itu. Siapa itu memang telepon penting."Kania, Kania," seruku di balik pintu, namun tak ada sahutan sama sekali. Entah di mana keberadaan wanita itu. Kebetulan pintu kamarnya tidak tertutup rapat, apakah mungkin di dalam kamar mandi. Lalu ku memberanikan diri masuk ke dalam bilik kamarnya."Kalau ku angkat, takutnya penting. Apalagi nomornya dari nomor baru, tapi kalau dibiarkan suara dering nya cukup mengganggu," gumamku seraya mencari keberadaan maduku.Saat mata ini tak sengaja melihat ke halaman belakang
Ting nong!Suara bel rumah berbunyi, aku yang sedang mengepel lantai melenggang untuk membuka pintu tersebut, Kania yang saat ini sedang berasama mertuaku ikut serta akan membuka pintu, namun segera ku tahan. "Biar aku saja Kania," cegahku pada Kania yang hendak akan melenggang juga."Ya sudah sana Lo buka!" titah Kania sambil mendelikan mata.Kania serta Bu Sonia duduk kembali sambil melanjutkan perbincangannya. Aku segera melenggang untuk membuka pintu."Siapa ya?" gumamku seraya membuka pintu.Pada saat itu aku di kejutkan dengan kedatangan Salsabila, wanita itu berdiri di ambang pintu."Siang Mar? Tasya ada di rumah?" tanyanya."Ada kok, ada Bil. Kamu masuk saja kerumah, aku antarkan ke kamarnya," kataku sambil mempersilahkan wanita itu masuk kedalam rumah.Kami berjalan di depan serta Salsa mengikuti dari belakang. Ketika melihat Salsa Bu Sonia serta Kania terperangah. Reaksi mereka begitu susah diartikan. Mereka sepertinya amat kesal ketika melihat Salsa menginjakan kaki di ruma
"Ada apa Mas?""Bila mengapa kamu selalu muncul dimanapun aku berada," ungkap Dio."Mas bolehkah aku jujur padamu, sebenarnya aku mencarimu di setiap waktu. Aku mencari Tasya juga, karena bagaimanapun dia adalah anakku Mas, aku yang melahirkannya." Tatapan Bila begitu tulus.Aku dikejutkan dengan hal itu, ternyata Salsa mantan istri Mas Dio adalah Bila sahabat aku sendiri."Mas, jadi kalian…" ungkapku begitu terkejut tatkala melihat semua itu.Dio dan Salsa menoleh ke arahku bersamaan. Tak ada satu patah kata pun yang menjawab ungkapanku.Aku memberanikan diri untuk menghampiri kediaman Mas Dio dan Salsa, tangan mereka masih saling berpegangan."Mas Bila ini mantan istri kamu yang kamu bilang sudah mati itu?!" tanyaku membuat Bila seketika tercengang."Apa Mas, jadi selama ini kamu anggap aku ini sudah mati," kata Salsa menunjuk dirinya sendiri."Bil, jadi yang kamu maksud suami kamu yang entah dimana itu adalah Mas Dio suamiku juga?" Tebakku tercengang.Kami semua menjadi bimbang dan
"Tapi Bu, aku tidak tau apa-apa. Bahkan Bi Euis juga tahu aku tidak kemasukan bangkai cicak itu pada dalam rujak, mungkin bisa saja bangkai cicak itu terjatuh ketika aku dan Bi Euis sedang sibuk mengerjakan hal lainnya," elakku, semoga saja mertuaku tidak terlalu menyalahkan diri ini. Kalau saja dia tau bahwa aku sengaja, bisa-bisa aku lebih dibenci olehnya."Bohong! Jangan banyak ngelak kamu Marisa! Mana mungkin cicak ini jatuh sendiri tanpa dibantu oleh tangan seseorang. Saya tidak mau tau kamu harus dihukum seberat-beratnya. Hukuman yang pantas untukmu kamu lebih baik minggat dari rumah ini!" Telunjuk mertuaku mengarah jelas padaku.Sungguh aku terbelenggu tatkala mendengar ancaman itu, baru kali ini mertuaku semarah ini."Bu, tidak segampang itu. Aku tidak setuju kalau ibu mengusir Marisa dari sini, dan jika saja ibu mengusir istri pertamaku, maka aku sebagai suaminya akan ikut kemanapun Marisa pergi." Suara pria itu terdengar lantang. Mas Dio tak setuju jika aku pergi dari rumah