"Aku tidak apa-apa, Mas." Sinta menyunggingkan senyum hingga menampilkan deretan gigi-gigi putihnya."Mas sangat khawatir, takut terjadi sesuatu padamu. Untung saja kamu menuruti perkataan Mas," Aldo berucap lirih. Matanya liar meniti tubuh istrinya dari atas sampai bawah. "Kamu beneran tidak apa-apa? Wajah mu benar-benar putih pucat lho. Tak seperti biasanya." Aldo kembali memastikan karena ia tak ingin istrinya kenapa-kenapa.Sinta hanya menggelengkan kepalanya pelan. Tanpa berucap sepatah kata pun, wanita itu melangkah menuju kamar dan diikuti Aldo dari belakang."Tadi kamu bersembunyi ya, Dek? Mas cari tidak ketemu dan tiba-tiba nongol di belakangku." Aldo masih mempertanyakan perihal tadi, sebab wanita itu tak kunjung menjawab.Langkah kaki Sinta terhenti dan berdiri tepat di depan lemari kaca. Perlahan tangannya meraih sisir dan mengayunkannya dengan pelan. Satu tangannya pun membelai rambut yang menjuntai panjang itu dengan lembut.Aldo mengernyitkan dahi dan ikut mendekat hin
"Kayaknya Mas tidak ikut berangkat kerja, Di."Kedua saudara itu tengah duduk di depan ruang rawat sang bapak. Sedangkan Sheila dan Rafa berada di dalam kamar tengah bercerita bersama Pak Wito. Keadaan pria tua itu sudah mulai membaik, hanya tangan kirinya saja yang belum sepenuhnya bisa digerakkan dengan sempurna."Memangnya kenapa, Mas?" Ardi menatap sang kakak yang mulai tertunduk dengan memijit keningnya pelan."Kalau soal bapak, Mas tidak perlu khawatir. Ardi bisa merawat bapak dengan baik. Lagi pula, sore nanti bapak sudah diperbolehkan pulang dan bisa rawat jalan. Mas fokus bekerja saja," sambung lelaki bertubuh tinggi itu.Aldo menggelengkan kepala dengan pelan. "Bukan itu. Semalam Mas merasakan kejadian aneh lagi. Mas takut jika tak ada Mas di rumah, gangguan-gangguan itu akan terjadi terus-menerus. Mas tak ingin keluargaku kenapa-kenapa." Aldo menghela napas dalam, lalu menghembuskan secara perlahan."Tetapi, hutangku juga sudah menumpuk di tempat juragan. Mas takut sewaktu-
"Mungkin musang yang memakan ayam-ayam ini, Bu." Rafa berjalan mendekat dan hendak membantu sang ibu yang sibuk membersihkan semua kekacauan itu."Biarkan ibu yang membereskan semuanya. Kamu mandi sana," usir Sinta. Rafa pun menurut dan pergi meninggalkan Sinta sendirian.Wanita itu melepas ayam betina yang masih tersisa, setelahnya mengumpulkan bangkai ayam yang nampak masih segar. Bau amis dan anyir sangat menyengat, tangan dan kaki Sinta pun penuh dengan lelehan darah.Ia memasukkan tulang belulang serta bulu-bulu yang masih menempel pada kulit ayam itu ke dalam karung. Saat ia mencoba meraih dan menarik ayam yang terjepit di antara kandang. Pegangannya terlepas sehingga membuat ayam yang telah koyak itu terpental mengenai wajahnya.Sinta terdiam merasakan darah ayam yang terciprat mengenai area mulutnya. Amis, akan tetapi, mengapa baunya membuat Sinta menjadi tergoda? Wanita itu melirik sekitar, tak ada siapa pun di sini. Otaknya tiba-tiba memikirkan hal gila."Kenapa bangkai ayam
Mata yang tadinya menghitam, wajah yang penuh dengan darah ayam serta mulut dan sela-sela gigi dipenuhi dengan tulang itu, berubah bersih tanpa noda. Gaun malam yang Sinta kenakan pun sudah bersih tanpa noda sedikitpun. Sebelum menoleh ke belakang, wanita itu terlebih dahulu menetralkan detak jantung yang berdegup kencang. Mencoba menarik sudut bibirnya untuk tersenyum."Rafa sendiri ngapain malam-malam ke dapur?" Sinta tak menjawab pertanyaan anak lelakinya itu dan justru dirinya balik bertanya.Anak itu berjalan mendekati sang ibu. "Rafa kebelet," ucap bocah lelaki itu dan melewati Sinta begitu saja. Rafa dengan cepat masuk ke dalam bilik kamar mandi dan segera menuntaskan hajatnya.Sementara Sinta, wanita itu buru-buru membersihkan sisa bulu-bulu ayam sebelum Rafa menyadari semuanya. Dengan gerakan cepat, Sinta memasukan ke dalam kantong plastik hitam dan segera melemparnya ke dalam tong sampah yang berada di sudut dapur.Wanita itu berjalan menuju wastafel dan mencuci mukanya hin
Mata Sinta membulat sempurna dengan mulut menganga. Lelaki yang ada di hadapannya itu merubah wujud.Bak seorang bidadara yang turun dari kayangan. Lelaki itu memiliki rahang tegas, mata yang indah, bulu halus nan tipis yang memenuhi area dagu dan senyum terukir yang membuat siapa saja akan betah berlama-lama memandangnya."Siapa kamu?" Sinta memiringkan wajahnya, memperhatikan setiap detail keindahan yang terpampang nyata di wajah itu. "Kamu dari mana? Wajah aslimu jauh lebih tampan," sambungnya. Sinta tertipu, itu bukanlah wujud asli melainkan hanyalah bayangan semu untuk memikat dirinya."Tenangkan dulu anakmu, lalu balik lagi ke sini. Aku tak akan ke mana-mana dan tetap menunggumu," ucapnya dengan pelan namun tegas. Suara baritonnya mampu menyihir otak wanita itu.Sinta mengangguk lalu bangkit dari atas ranjang. Meraih apapun yang ada di dekatnya untuk menutupi tubuh polosnya.Kreekkk ...Sinta sedikit membuka pintu dan hanya kepalanya saja yang melongok keluar. Rafa yang sedari
"Kamu mau ke mana, Dek?" Aldo terus berjalan mengejar sang istri dari belakang.Tak ada sahutan dari wanita itu. Kakinya terus berayun dengan tatapan lurus ke depan. Rambutnya berkibar di terpa angin serta tetesan hujan kian membasahi sekujur tubuhnya."Hujannya semakin lebat. Ayo kita pulang!" seru Aldo. Dirinya sedikit meringis dan memegangi dadanya saat guntur serta petir terdengar menggelegar.Sinta tak menggubris ucapan sang suami. Ia terus melangkah menuju hutan. Aldo pun turut mempercepat langkah kakinya, kilatan cahaya petir menerangi jalan setapak yang ia lalui."Dek, tunggu!" Kini, lelaki itu berlari. Sesekali dirinya hampir terjatuh, tergelincir tanah yang licin akibat air hujan."Dek, berhenti. Ngapain malam-malam begini ke sana!?" Aldo berteriak. Guyuran air hujan membuat pandangan matanya sedikit terganggu. Namun tidak dengan wanita itu.Hap!Akhirnya Aldo berhasil mengejar sang istri dan menangkap tubuh yang basah kuyup itu. Sinta memberontak berusaha melepaskan tubuhny
Krek ...Daun pintu terbuka, menampilkan sosok sang ibu yang nampak acak-acakan khas orang baru terbangun dari tidur."Halo, Pak. Ini ibu sudah bangun," ucap Rafa pada sang bapak."Ponselnya kasihkan ke ibu ya? Dan Rafa bangunkan adik Sheila setelah itu segera tunaikan ibadah," titah Aldo dari seberang telepon."Baik, Pak." Usai mengucapkan itu, Rafa memberikan ponsel yang berada di genggamannya kepada Sinta yang masih diam berdiri di ambang pintu."Ada apa, Mas?" Suara Sinta terdengar pelan."Tidak. Mas hanya kangen saja dengan mu, Dek. Kamu baru bangun? Bersih-bersih dan ambil wudhu jangan lupa sholat." Aldo mengingatkan."Aku lagi PMS," jawab Sinta singkat."Oh. Ya sudah kalau begitu. Mas tutup teleponnya ya. Jaga diri baik-baik, Dek. Assalamualaikum." Sinta tak menjawab salam dari suaminya itu. Tangannya dengan cepat menggeser layar dengan gambar gagang ponsel yang berwarna merah. Sinta menyeret kakinya ke dapur, dan meletakkan ponsel itu di atas meja. Menarik kursi dan mendarat
Kabut hitam begitu pekat, kedua bocah itu semakin histeris dan saling berpelukan satu sama lain. Badan terasa lemas hingga keduanya terduduk tak mampu hanya untuk sekedar menopang tubuhnya.Sesosok bayangan besar muncul di tengah kepulan asap serta kabut hitam. Mata keduanya terpejam erat tak berani untuk melihat. Tak mungkin jika itu ibunya, karena itu begitu tinggi dan besar.Hingga perlahan bayangan itu mendekat, angin tiba-tiba berhembus begitu kencang. Cairan yang keluar dari sela pintu mengenai kaki Sheila hingga terasa dingin."Kakak ...!!" jeritnya. Sheila mempererat pelukan hingga membuat Rafa memberanikan diri untuk membuka mata."Astaghfirullah ... pergi! Jangan ganggu kami!" Suara bocah itu bergetar karena menahan rasa takut.Ia teringat akan ucapan sang bapak jika manusialah mahluk yang paling sempurna dan jangan lah takut dengan apapun itu kecuali sama yang Maha Kuasa. Namun, bagaimana pun itu, Rafa tetaplah anak kecil yang masih mempunyai rasa takut yang tinggi."Tolong
Mendengar suara ribut membuat Sinta dan kedua anaknya ketakutan. Mereka tetap berada di sana dan menuruti semua perkataan sang Ustadz."Takut, Bu," cicit kedua anak Sinta.Wanita itu memeluk keduanya dengan erat. Hingga suara-suara itu berhenti dan berganti suara Ardi yang menjerit memanggil nama Aldo."Ayo kita keluar," ajak Sinta. Dirinya gegas beranjak dan menarik tangan kedua bocah itu. Perasaannya tak enak dan memilih keluar menghiraukan larangan Pak Ustadz.Braaakk..Saat Sinta keluar, bersamaan dengan itu pintu kamar sebelah pun dibuka oleh sang Ustadz. Sinta membekap mulut menahan tangis saat menyaksikan sang suami tergeletak tak berdaya di pangkuan Ardi.Sinta dan kedua bocah itu berjalan cepat dan turut bersimpuh mengerumuni Aldo."Mas Aldo kenapa, Di?" Sinta tak mampu membendung lagi, cairan bening tumpah melihat kondisi sang suami."Bapak!" Sheila dan Rafa memeluk badan Aldo yang lemah.Mereka mengangkat dan membaringkan Aldo di sebuah tikar. "Cepet cari bantuan, Di. Bawa
"Allahu Akbar." Pak Ustadz tak berhenti, membuat Sheila merasakan sesuatu yang luar biasa sakit."Bu! Sakit!" teriak Sheila, disertai tangis dan raungan histeris. Kedua tangan dan kakinya dipegang kuat agar tak menyakiti tubuhnya sendiri.Pak Ustadz melangkah maju, menempelkan telapak tangannya ke dahi bocah itu. "Ya Allah, tolong hambamu. Keluarkan sesuatu yang bersarang di dalam tubuh anak ini," ucapnya lirih.Mata Sheila bergerak liar, bola matanya hanya nampak warna putih. Mulutnya menganga dengan napas memburu dan tersengal-sengal, seolah menahan sesuatu yang hendak keluar.Doa-doa terus di lantunkan. Ardi, Sinta dan Rafa pun turut berdoa dalam hati. Berharap Sheila segera sembuh dari penyakit aneh ini.Lewat tengah malam, suara batuk Aldo tak berhenti di kamar sebelah. Sedangkan Sheila tergeletak lemas tak berdaya di pangkuan sang ibu. Sesekali wanita itu mengusap buliran bening yang masih merembes di sekitar dahi."Alhamdulillah, gangguan dari mahluk itu sudah keluar. Insha Alla
Waktu silih berganti. Tak terasa sudah satu bulan lamanya. Awalnya tak ada kejadian yang janggal setelah peristiwa itu. Aldo dan keluarganya menjalani hidup tentram tanpa gangguan.Namun, siapa sangka ternyata semua masih berlanjut. Setelah memasuki minggu pertama, keluarga Aldo sakit secara bergantian.Mereka pikir itu hal yang wajar dan sebuah kebetulan, sebab musim berganti serta cuaca tidak menentu.Ardi dan Rafa baru saja sembuh, kini giliran Sheila mengalami gatal yang luar biasa. Sedangkan Aldo batuk parah hingga mengeluarkan cairan kental berwarna hitam pekat dan bau yang begitu menyeruak di indra penciuman.Uhuuk … uhuuuk ….Aldo yang tengah terbaring di ranjang terbatuk lagi. Wajahnya nampak pucat serta bibir mengering. Sinta meraih segelas air dan membantu sang suami untuk minum."Gimana keadaan Sheila, Dek?"Sinta kembali menaruh gelas ke atas nakas, dan kembali menatap sang suami. "Alhamdulillah dia sudah bisa tidur, Mas."Aldo tak berani untuk sekedar mendekati kedua an
Aldo berjalan cepat, menghampiri ranjang yang berada di sisi kiri. Anak perempuannya masih memejamkan mata. Namun, gerakan liar tangan dan kakinya tak berhenti membuat ranjang itu bergeser sedikit demi sedikit. Tubuh Aldo menahan sisi ranjang dan tangannya memegang tubuh putrinya agar tak terjatuh. "Sheila, bangun," ucap Aldo pelan. Satu tangannya menepuk pelan pipi yang terasa dingin itu. Padahal suhu ruangan di sini sangat panas dan pengap.Kreeettt ... Kreeett ... Kreeettt ...Ranjang masih bergoyang, menimbulkan suara decitan dari kaki ranjang besi yang bergesekan dengan lantai. Nyaring, membuat Ardi yang terbaring di kursi terusik dari tidurnya."Ada apa, Mas?" Ardi bersuara serak, mengucek mata yang terasa masih mengantuk. Lalu berjalan menghampiri Aldo."Sheila kenapa?" tanyanya lagi. Tanpa di suruh tangannya ikut memegangi kaki Sheila."Gak tau, Di. Mas sudah mencoba membangunkan, tetapi Sheila tak kunjung membuka matanya." Aldo panik. Air mukanya berubah cemas takut terjadi
Aldo mengendong tubuh Sinta yang lemas tak berdaya. Sungguh, keadaan wanita itu saat ini sangat kacau. Aroma busuk menyengat membuat Aldo sesekali menahan napas saat bau itu menusuk indera penciumannya."Pelan-pelan Mas Aldo," ucap Pak Ustadz mengingatkan. Lelaki yang memakai baju putih, celana berwarna hitam dan kopyah yang bertengger di kepalanya itu berjalan di depan Aldo sembari menyingkap ranting-ranting kering yang menghalangi jalan."Iya Pak Ustadz," jawab Aldo pelan. Napasnya terasa sesak menahan berat badan Sinta.Aldo berhenti sejenak dan membenarkan posisi sang istri lalu kembali melanjutkan perjalanan mengikuti Pak Ustadz.Aldo memperhatikan jalan setapak dan di depan sana sudah nampak cahaya yang terang. Terus menyusuri jalan hingga mereka berhasil keluar dari dalam hutan."Masih kuat Mas Aldo?" Pak Ustadz menghentikan langkah kakinya. Ia pun mengajak Aldo untuk istirahat sejenak. Aldo menurut dan menidurkan Sinta di sebuah gubuk di tengah ladang.Aldo ngos-ngosan, tubuh
Kabut asap, bau hangus, bangkai, belatung serta darah menjadi hal biasa di dunia alam ghaib inj. Gelap, pengap, anyir menjadi satu.Seorang Wanita dengan perut yang besar, rambutnya berantakan serta gigi-giginya yang mulai menghitam. Di dampingi sesosok mahluk hitam, besar berbulu yang menyeramkan. Matanya pun merah menyala dengan gigi tajam serta kuku yang runcing. Kakinya berserabut bak akar pohon beringin yang menjuntai ke tanah.Pemandangan yang sangat menakutkan. Namun, di mata wanita itu, semuanya indah. Ia merasa tubuhnya yang kini memiliki perut buncit, bertambah cantik dan menawan. Begitupun dengan lelaki yang berada di sampingnya. Di mata Sinta, Virgon amatlah tampan serta singgasana yang luar biasa megah."Kamu mau makan lagi, sayang?" Virgon bertanya lembut. Tangannya masih setia bertengger di bahu Sinta. Senantiasa memeluk wanita itu setiap saat. Tak sedikit pun melepasnya."Aku sudah kenyang, Mas."Sinta selalu di suguhi makanan-makanan menjijikan dan kepuasan setiap saa
"Aduh ..." Pak Wito hampir saja terjatuh karena kakinya tersandung batu. Lelaki itu masih terus berjalan di tengah gelapnya malam mengikuti bayangan tubuh Aldo yang terus berjalan menuju sumur. Hanya ada penerangan lampu dari teras depan rumah, sedangkan di teras bagian samping rumah sampai ke belakang tak ada lampu sama sekali."Tungguin Bapak, Do," Pak Wito mempercepat langkahnya walau dirinya agak kewalahan. Saat dirinya sudah berada di dekat Aldo, tangan yang sudah keriput itu meraih tangan Aldo yang berhenti menunggu dirinya. Ya, Pak Wito takut terjatuh atau pun terpeleset."Tangan mu dingin sekali. Lagian, ke hutan tengah malam, mana gak pakai jaket pula," Pak Wito ikut melangkahkan kakinya saat sang anak berjalan pelan."Sinta di mana, Do?" Pak Wito memindai sekitar.Gelap. Sunyi. Hanya ada suara binatang malam serta suara angin yang berhembus membuat ranting-ranting kayu bergesekan. Mereka berdua sudah sampai di sumur. Aldo terus mengajak Pak Wito untuk berdiri mendekat. N
Suara genteng yang beradu dengan batu kerikil menimbulkan suara yang nyaring. Bahkan beberapa batu itu berukuran cukup besar sehingga beberapa genteng pecah dan terjatuh mengenai lantai rumah."Ayo kita keluar." Ardi melindungi Rafa, sedangkan Aldo memeluk putrinya agar tak terkena pecahan genteng. Mereka berempat berjalan cepat menuju pintu. Suara keributan di luar sana semakin terdengar jelas.Setelah mereka berhasil keluar, Ardi memegangi kedua bocah itu yang kini semakin ketakutan. Membawa mereka menyingkir ke tempat yang lebih aman. Sedang Aldo segera menghampiri beberapa warga yang tiba-tiba melempari rumahnya dengan batu."Tolong bapak-bapak dan ibu-ibu berhenti!" Tak hanya Aldo yang menghentikan. Tetapi beberapa tetangga Aldo pun sedari tadi sudah mencegah perbuatan itu."Kami tidak mau ikut sial karena perbuatan keluargamu!" Teriak salah seorang warga yang kontra dengan masalah yang menimpa keluarga Aldo.Namun, tak sedikit pula tetangganya yang justru peduli dan kasian deng
"Jangan-jangan kamu dan kakakmu juga anaknya genderuwo.""Iya. Serem.""Jadi merinding begini dekat dengan Sheila.""Ngeri, anaknya setan ternyata ...""Jangan dekat-dekat sama Sheila. Kata emakku, bisa-bisa kita juga di culik sama genderuwo itu. Apalagi kalian yang perempuan.""Ihhh ... Takut ...""Kamu pindah ke belakang sana, Sheila. Aku takut kalau duduk sebangku dengan mu lagi. Bisa-bisa aku di culik.""Sheila anak setan ... Sheila anak setan ... " Beberapa temannya menyoraki dan bertepuk tangan."Huuu ... Sheila anak genderuwo."Semua perkataan dari beberapa teman-temannya membuat telinga gadis kecil itu terasa panas. Dalam hati ia bertanya-tanya, apa iya semua yang dikatakan itu benar?Sheila terus menunduk dan tak kuasa mengangkat kepala. Air matanya seolah berlomba ingin keluar. Namun, Sheila sekuat tenaga menahannya hingga jam pelajaran di mulai.Sheila tak berani keluar kelas karena teman-temannya pasti akan memojokkan dirinya. Gadis kecil itu menyibukkan diri dengan mencor