"Kamu mau ke mana, Dek?" Aldo terus berjalan mengejar sang istri dari belakang.Tak ada sahutan dari wanita itu. Kakinya terus berayun dengan tatapan lurus ke depan. Rambutnya berkibar di terpa angin serta tetesan hujan kian membasahi sekujur tubuhnya."Hujannya semakin lebat. Ayo kita pulang!" seru Aldo. Dirinya sedikit meringis dan memegangi dadanya saat guntur serta petir terdengar menggelegar.Sinta tak menggubris ucapan sang suami. Ia terus melangkah menuju hutan. Aldo pun turut mempercepat langkah kakinya, kilatan cahaya petir menerangi jalan setapak yang ia lalui."Dek, tunggu!" Kini, lelaki itu berlari. Sesekali dirinya hampir terjatuh, tergelincir tanah yang licin akibat air hujan."Dek, berhenti. Ngapain malam-malam begini ke sana!?" Aldo berteriak. Guyuran air hujan membuat pandangan matanya sedikit terganggu. Namun tidak dengan wanita itu.Hap!Akhirnya Aldo berhasil mengejar sang istri dan menangkap tubuh yang basah kuyup itu. Sinta memberontak berusaha melepaskan tubuhny
Krek ...Daun pintu terbuka, menampilkan sosok sang ibu yang nampak acak-acakan khas orang baru terbangun dari tidur."Halo, Pak. Ini ibu sudah bangun," ucap Rafa pada sang bapak."Ponselnya kasihkan ke ibu ya? Dan Rafa bangunkan adik Sheila setelah itu segera tunaikan ibadah," titah Aldo dari seberang telepon."Baik, Pak." Usai mengucapkan itu, Rafa memberikan ponsel yang berada di genggamannya kepada Sinta yang masih diam berdiri di ambang pintu."Ada apa, Mas?" Suara Sinta terdengar pelan."Tidak. Mas hanya kangen saja dengan mu, Dek. Kamu baru bangun? Bersih-bersih dan ambil wudhu jangan lupa sholat." Aldo mengingatkan."Aku lagi PMS," jawab Sinta singkat."Oh. Ya sudah kalau begitu. Mas tutup teleponnya ya. Jaga diri baik-baik, Dek. Assalamualaikum." Sinta tak menjawab salam dari suaminya itu. Tangannya dengan cepat menggeser layar dengan gambar gagang ponsel yang berwarna merah. Sinta menyeret kakinya ke dapur, dan meletakkan ponsel itu di atas meja. Menarik kursi dan mendarat
Kabut hitam begitu pekat, kedua bocah itu semakin histeris dan saling berpelukan satu sama lain. Badan terasa lemas hingga keduanya terduduk tak mampu hanya untuk sekedar menopang tubuhnya.Sesosok bayangan besar muncul di tengah kepulan asap serta kabut hitam. Mata keduanya terpejam erat tak berani untuk melihat. Tak mungkin jika itu ibunya, karena itu begitu tinggi dan besar.Hingga perlahan bayangan itu mendekat, angin tiba-tiba berhembus begitu kencang. Cairan yang keluar dari sela pintu mengenai kaki Sheila hingga terasa dingin."Kakak ...!!" jeritnya. Sheila mempererat pelukan hingga membuat Rafa memberanikan diri untuk membuka mata."Astaghfirullah ... pergi! Jangan ganggu kami!" Suara bocah itu bergetar karena menahan rasa takut.Ia teringat akan ucapan sang bapak jika manusialah mahluk yang paling sempurna dan jangan lah takut dengan apapun itu kecuali sama yang Maha Kuasa. Namun, bagaimana pun itu, Rafa tetaplah anak kecil yang masih mempunyai rasa takut yang tinggi."Tolong
"Pergi ... Pergi ...!!" teriak Rafa. Kaki dan tangannya terus bergerak mencoba menghalau tangan yang kini menyentuh pundaknya. Terasa dingin sekali saat tangan itu menyentuh kulit Rafa yang berkeringat.Mata bocah itu masih terpejam erat. Sungguh, dirinya tak berani hanya untuk sekedar mengintip, sebab beberapa waktu lalu ia melihat sesuatu yang amat mengerikan.Tubuhnya di goncang dengan pelan, hingga suara yang amat ia kenali terdengar di gendang telinganya. Perlahan bocah lelaki itu berhenti menendang dan berteriak."Kamu kenapa Rafa?" Suara itu, Rafa mengenalinya. Tubuhnya yang tidak terlalu gemuk terus di goncang."Rafa bangun. Ini ibu. Kenapa kalian berdua tidur di sini?" Tak salah lagi, itu suara ibunya. Gegas Rafa membuka perlahan kelopak mata dan melihat sang ibu yang berada tepat di depannya. Sedangkan sang adik-Sheila berbaring di sampingnya dan masih memejamkan mata.Rafa tak lantas menjawab pertanyaan sang ibu sebab dirinya pun masih bingung. Bocah lelaki itu mengedarkan
Rafa menceritakan semua yang pernah ia alami. Tentang kejanggalan dan suara-suara yang selalu ia dengar. Ardi pun mendengarkan dengan baik."Apa Bapak tahu tentang semua ini?" tanya Ardi. Kegiatannya ia tinggal begitu saja demi memperhatikan sang keponakan.Rafa menggeleng. "Bagaimana mau bilang ke bapak, orang ibu selalu berada di dekatku dan Sheila saat kami menerima telepon dari bapak. Aku takut, sebab Ibu pernah bilang jangan membahas apapun sama bapak tentang apa yang aku ceritakan dan tanyakan ke ibu. Jadi, aku memilih diam dan tak memberitahu kepada bapak. Kemaren sebenarnya aku ingin ke sini dan bercerita, tetapi, lagi-lagi ada aja alasan ibu agar aku tak datang menemui Om. Untung saja tadi ibu bolehin main ke sini. Jadinya bisa lega deh hati ini bisa bercerita sama Om," terang Rafa panjang lebar.Tangan Ardi terulur dan menyentuh pundak Rafa. Mengusapnya dengan pelan untuk memberi ketenangan pada bocah lelaki itu. "Om akan coba bicarakan ini pada bapakmu. Untuk saat ini, Raf
"Tadi di dalam plastik itu ada amplop nya kan? Kamu taruh mana?" Rafa berdiri dan di tangannya terdapat piring kosong bekasnya makan. Menyimpannya di wastafel dan kembali menghampiri Sheila.Gadis kecil itu pun juga sudah selesai makan. "Masih ada di dalam plastik itu." Sheila menunjuk kantong plastik yang tergeletak di atas meja. "Memangnya apa isinya, Kak?" "Entahlah." Rafa segera meraihnya.Mereka berdua berjalan menuju kamar. Sheila sedari tadi tak berhenti menguap, dirinya sangat lelah karena bermain serta ngantuk berat. Bocah perempuan itu lantas pergi ke kamar dan membaringkan tubuhnya."Ini apa ya?" gumam Rafa lirih. Dirinya duduk di sebuah bangku dan di depannya terdapat meja laci kecil tempat penyimpanan bukunya dan juga milik sang adik.Saat dirinya hendak membuka amplop tersebut, suara dari arah belakang mengejutkannya. Dengan cepat Rafa menyimpannya di antara tumpukan buku."Kalian baru pulang?"Rafa memutar tubuhnya menghadap sang ibu yang berdiri di tengah pintu kamar
"Ibu bicara sama siapa?" tanya Sheila seraya membuka pintu lebih lebar. Kakinya mulai melangkah masuk.Sinta terkejut, dirinya lantas menoleh ke samping di mana suami ghaib-nya tadi berada. Kemudian wanita itu menghembuskan napas lega ketika Virgon sudah hilang tak ada di sana lagi."Ibu? Kenapa bengong?" Langkah Sheila terhenti tepat di samping sang ibu."Eh ... tidak papa. Lain kali kalau kamu mau masuk kamar orang lain harus ketuk pintu dulu. Ibu jadi kaget." Sinta memaksakan senyum."Jadi benar? Akan ada bayi dan Sheila punya adik, Bu? Lalu, ibu bicara sama siapa tadi?" Sheila mengulang kembali pertanyaannya."Memangnya apa yang Sheila dengar? Lain kali jangan menguping pembicaraan orang, tidak baik." Bukan jawaban yang Sheila dapatkan. Melainkan sebuah Omelan dari sang ibu."Bukan kamu yang akan punya adik. Tadi ... emm...," ucapan Sinta terhenti sejenak sembari memikirkan jawaban yang tepat untuk anaknya itu. "Ibu teleponan dengan teman , ibu.""Kata ibu ponselnya mati?" Anak se
Ardi dan Sinta duduk saling berseberangan. Mulut Sinta tertutup rapat dengan sorot mata yang sulit dimengerti. Entah dirinya mendengarkan semua nasihat sang adik ipar atau justru sebaliknya."Ayo kita berangkat sekarang, Mbak," Ardi berbicara lembut. Tak ada kata kasar atau pun menghakimi. Lelaki itu tau jika pikiran Sinta melayang dan tentunya sudah di kuasai oleh mahluk itu dan matanya tertutup oleh hawa nafsu.Sinta menelan ludah. Wanita itu lantas mengalihkan pandangan dan menatap pintu yang masih terbuka. Suasana di luar sana sangat sepi sebab para tetangga banyak yang bekerja serta sibuk dengan pekerjaan di rumah masing-masing."Sebaiknya kamu pulang saja dan lupakan semua yang kamu dengar dan lihat malam tadi," ucap Sinta dengan suara pelan. Tak ada ekspresi apapun di wajahnya. Datar, sedatar nada bicaranya. Matanya pun tak berkedip menatap luar sana.Ardi terkejut dengan apa yang Sinta lontarkan. Bagaimana mungkin kakak iparnya itu menyuruhnya untuk melupakan semuanya? Apakah
Mendengar suara ribut membuat Sinta dan kedua anaknya ketakutan. Mereka tetap berada di sana dan menuruti semua perkataan sang Ustadz."Takut, Bu," cicit kedua anak Sinta.Wanita itu memeluk keduanya dengan erat. Hingga suara-suara itu berhenti dan berganti suara Ardi yang menjerit memanggil nama Aldo."Ayo kita keluar," ajak Sinta. Dirinya gegas beranjak dan menarik tangan kedua bocah itu. Perasaannya tak enak dan memilih keluar menghiraukan larangan Pak Ustadz.Braaakk..Saat Sinta keluar, bersamaan dengan itu pintu kamar sebelah pun dibuka oleh sang Ustadz. Sinta membekap mulut menahan tangis saat menyaksikan sang suami tergeletak tak berdaya di pangkuan Ardi.Sinta dan kedua bocah itu berjalan cepat dan turut bersimpuh mengerumuni Aldo."Mas Aldo kenapa, Di?" Sinta tak mampu membendung lagi, cairan bening tumpah melihat kondisi sang suami."Bapak!" Sheila dan Rafa memeluk badan Aldo yang lemah.Mereka mengangkat dan membaringkan Aldo di sebuah tikar. "Cepet cari bantuan, Di. Bawa
"Allahu Akbar." Pak Ustadz tak berhenti, membuat Sheila merasakan sesuatu yang luar biasa sakit."Bu! Sakit!" teriak Sheila, disertai tangis dan raungan histeris. Kedua tangan dan kakinya dipegang kuat agar tak menyakiti tubuhnya sendiri.Pak Ustadz melangkah maju, menempelkan telapak tangannya ke dahi bocah itu. "Ya Allah, tolong hambamu. Keluarkan sesuatu yang bersarang di dalam tubuh anak ini," ucapnya lirih.Mata Sheila bergerak liar, bola matanya hanya nampak warna putih. Mulutnya menganga dengan napas memburu dan tersengal-sengal, seolah menahan sesuatu yang hendak keluar.Doa-doa terus di lantunkan. Ardi, Sinta dan Rafa pun turut berdoa dalam hati. Berharap Sheila segera sembuh dari penyakit aneh ini.Lewat tengah malam, suara batuk Aldo tak berhenti di kamar sebelah. Sedangkan Sheila tergeletak lemas tak berdaya di pangkuan sang ibu. Sesekali wanita itu mengusap buliran bening yang masih merembes di sekitar dahi."Alhamdulillah, gangguan dari mahluk itu sudah keluar. Insha Alla
Waktu silih berganti. Tak terasa sudah satu bulan lamanya. Awalnya tak ada kejadian yang janggal setelah peristiwa itu. Aldo dan keluarganya menjalani hidup tentram tanpa gangguan.Namun, siapa sangka ternyata semua masih berlanjut. Setelah memasuki minggu pertama, keluarga Aldo sakit secara bergantian.Mereka pikir itu hal yang wajar dan sebuah kebetulan, sebab musim berganti serta cuaca tidak menentu.Ardi dan Rafa baru saja sembuh, kini giliran Sheila mengalami gatal yang luar biasa. Sedangkan Aldo batuk parah hingga mengeluarkan cairan kental berwarna hitam pekat dan bau yang begitu menyeruak di indra penciuman.Uhuuk … uhuuuk ….Aldo yang tengah terbaring di ranjang terbatuk lagi. Wajahnya nampak pucat serta bibir mengering. Sinta meraih segelas air dan membantu sang suami untuk minum."Gimana keadaan Sheila, Dek?"Sinta kembali menaruh gelas ke atas nakas, dan kembali menatap sang suami. "Alhamdulillah dia sudah bisa tidur, Mas."Aldo tak berani untuk sekedar mendekati kedua an
Aldo berjalan cepat, menghampiri ranjang yang berada di sisi kiri. Anak perempuannya masih memejamkan mata. Namun, gerakan liar tangan dan kakinya tak berhenti membuat ranjang itu bergeser sedikit demi sedikit. Tubuh Aldo menahan sisi ranjang dan tangannya memegang tubuh putrinya agar tak terjatuh. "Sheila, bangun," ucap Aldo pelan. Satu tangannya menepuk pelan pipi yang terasa dingin itu. Padahal suhu ruangan di sini sangat panas dan pengap.Kreeettt ... Kreeett ... Kreeettt ...Ranjang masih bergoyang, menimbulkan suara decitan dari kaki ranjang besi yang bergesekan dengan lantai. Nyaring, membuat Ardi yang terbaring di kursi terusik dari tidurnya."Ada apa, Mas?" Ardi bersuara serak, mengucek mata yang terasa masih mengantuk. Lalu berjalan menghampiri Aldo."Sheila kenapa?" tanyanya lagi. Tanpa di suruh tangannya ikut memegangi kaki Sheila."Gak tau, Di. Mas sudah mencoba membangunkan, tetapi Sheila tak kunjung membuka matanya." Aldo panik. Air mukanya berubah cemas takut terjadi
Aldo mengendong tubuh Sinta yang lemas tak berdaya. Sungguh, keadaan wanita itu saat ini sangat kacau. Aroma busuk menyengat membuat Aldo sesekali menahan napas saat bau itu menusuk indera penciumannya."Pelan-pelan Mas Aldo," ucap Pak Ustadz mengingatkan. Lelaki yang memakai baju putih, celana berwarna hitam dan kopyah yang bertengger di kepalanya itu berjalan di depan Aldo sembari menyingkap ranting-ranting kering yang menghalangi jalan."Iya Pak Ustadz," jawab Aldo pelan. Napasnya terasa sesak menahan berat badan Sinta.Aldo berhenti sejenak dan membenarkan posisi sang istri lalu kembali melanjutkan perjalanan mengikuti Pak Ustadz.Aldo memperhatikan jalan setapak dan di depan sana sudah nampak cahaya yang terang. Terus menyusuri jalan hingga mereka berhasil keluar dari dalam hutan."Masih kuat Mas Aldo?" Pak Ustadz menghentikan langkah kakinya. Ia pun mengajak Aldo untuk istirahat sejenak. Aldo menurut dan menidurkan Sinta di sebuah gubuk di tengah ladang.Aldo ngos-ngosan, tubuh
Kabut asap, bau hangus, bangkai, belatung serta darah menjadi hal biasa di dunia alam ghaib inj. Gelap, pengap, anyir menjadi satu.Seorang Wanita dengan perut yang besar, rambutnya berantakan serta gigi-giginya yang mulai menghitam. Di dampingi sesosok mahluk hitam, besar berbulu yang menyeramkan. Matanya pun merah menyala dengan gigi tajam serta kuku yang runcing. Kakinya berserabut bak akar pohon beringin yang menjuntai ke tanah.Pemandangan yang sangat menakutkan. Namun, di mata wanita itu, semuanya indah. Ia merasa tubuhnya yang kini memiliki perut buncit, bertambah cantik dan menawan. Begitupun dengan lelaki yang berada di sampingnya. Di mata Sinta, Virgon amatlah tampan serta singgasana yang luar biasa megah."Kamu mau makan lagi, sayang?" Virgon bertanya lembut. Tangannya masih setia bertengger di bahu Sinta. Senantiasa memeluk wanita itu setiap saat. Tak sedikit pun melepasnya."Aku sudah kenyang, Mas."Sinta selalu di suguhi makanan-makanan menjijikan dan kepuasan setiap saa
"Aduh ..." Pak Wito hampir saja terjatuh karena kakinya tersandung batu. Lelaki itu masih terus berjalan di tengah gelapnya malam mengikuti bayangan tubuh Aldo yang terus berjalan menuju sumur. Hanya ada penerangan lampu dari teras depan rumah, sedangkan di teras bagian samping rumah sampai ke belakang tak ada lampu sama sekali."Tungguin Bapak, Do," Pak Wito mempercepat langkahnya walau dirinya agak kewalahan. Saat dirinya sudah berada di dekat Aldo, tangan yang sudah keriput itu meraih tangan Aldo yang berhenti menunggu dirinya. Ya, Pak Wito takut terjatuh atau pun terpeleset."Tangan mu dingin sekali. Lagian, ke hutan tengah malam, mana gak pakai jaket pula," Pak Wito ikut melangkahkan kakinya saat sang anak berjalan pelan."Sinta di mana, Do?" Pak Wito memindai sekitar.Gelap. Sunyi. Hanya ada suara binatang malam serta suara angin yang berhembus membuat ranting-ranting kayu bergesekan. Mereka berdua sudah sampai di sumur. Aldo terus mengajak Pak Wito untuk berdiri mendekat. N
Suara genteng yang beradu dengan batu kerikil menimbulkan suara yang nyaring. Bahkan beberapa batu itu berukuran cukup besar sehingga beberapa genteng pecah dan terjatuh mengenai lantai rumah."Ayo kita keluar." Ardi melindungi Rafa, sedangkan Aldo memeluk putrinya agar tak terkena pecahan genteng. Mereka berempat berjalan cepat menuju pintu. Suara keributan di luar sana semakin terdengar jelas.Setelah mereka berhasil keluar, Ardi memegangi kedua bocah itu yang kini semakin ketakutan. Membawa mereka menyingkir ke tempat yang lebih aman. Sedang Aldo segera menghampiri beberapa warga yang tiba-tiba melempari rumahnya dengan batu."Tolong bapak-bapak dan ibu-ibu berhenti!" Tak hanya Aldo yang menghentikan. Tetapi beberapa tetangga Aldo pun sedari tadi sudah mencegah perbuatan itu."Kami tidak mau ikut sial karena perbuatan keluargamu!" Teriak salah seorang warga yang kontra dengan masalah yang menimpa keluarga Aldo.Namun, tak sedikit pula tetangganya yang justru peduli dan kasian deng
"Jangan-jangan kamu dan kakakmu juga anaknya genderuwo.""Iya. Serem.""Jadi merinding begini dekat dengan Sheila.""Ngeri, anaknya setan ternyata ...""Jangan dekat-dekat sama Sheila. Kata emakku, bisa-bisa kita juga di culik sama genderuwo itu. Apalagi kalian yang perempuan.""Ihhh ... Takut ...""Kamu pindah ke belakang sana, Sheila. Aku takut kalau duduk sebangku dengan mu lagi. Bisa-bisa aku di culik.""Sheila anak setan ... Sheila anak setan ... " Beberapa temannya menyoraki dan bertepuk tangan."Huuu ... Sheila anak genderuwo."Semua perkataan dari beberapa teman-temannya membuat telinga gadis kecil itu terasa panas. Dalam hati ia bertanya-tanya, apa iya semua yang dikatakan itu benar?Sheila terus menunduk dan tak kuasa mengangkat kepala. Air matanya seolah berlomba ingin keluar. Namun, Sheila sekuat tenaga menahannya hingga jam pelajaran di mulai.Sheila tak berani keluar kelas karena teman-temannya pasti akan memojokkan dirinya. Gadis kecil itu menyibukkan diri dengan mencor