STRUK BELANJA DI SAKU CELANA SUAMIKU
BAB 7Aku dan Andi menurunkan beberapa kantong besar, juga dibantu oleh kedua perempuan yang menyambut kami baru saja. Kami membawa masuk makanan tersebut ke dalam rumah dan akhirnya di sambut oleh Pak Andi si pelanggan catering kami dan juga petugas keamanannya. Sedikit berbasa basi lalu pamit undur diri. Karena pembayaran sudah full di muka, maka kami pun ingin cepat pergi.Perempuan itu--Anya yang pernah aku temui bersama Yoga sesekali melirikku dengan ragu. Takku acuhkan. Sungguh aku tidak mau ikut campur urusannya dengan Angga. Walau, sebenarnya ada beberapa pertanyaan yang menggangu pikiranku akan hubungannya dengan Angga."Bu, sebentar," Anya mengejarku ketika aku sedang membuka pintu mobil. Aku menoleh.Kutatap matanya, ia tertunduk."Boleh aku berbicara sebentar!" pintanya. "Tidak lama." Lanjutnya lagi, lalu Anya meyakinkanku meminta sedikit waktu."Baiklah.""Sebagai perempuan aku ikut prihatin dengan masalah yang menimpa rumah tangga Ibu, aku hanya mendoakan semoga Ibu tetap kuat." Anya memelukku, erat sekali.Bibirku bergetar, hatiku memang sensitif jika membicarakan masalah pribadi, mungkinkah Angga menyelesaikan masalahnya dengan membawa urusan keluargaku?"Maksudnya?" Kutunggu kejelasan lebih lanjut darinya.Ia menggeleng dan mencolek sudut matanya. "Kebenaran pasti akan datang sendirinya. Sepandai-pandainya bajing meloncat maka ia akan jatuh juga," lanjutnya.Lalu ia mengambil telpon genggam di tanganku, mengetikan sesuatu di sana, setelah itu memberikannya lagi padaku."Ibu boleh hubungi aku kapan saja ibu mau." Lalu Anya berbalik meninggalkanku. Terus kutatap punggung Anya hingga yang menjauh."Bu!" panggil Andi. Aku menarik nafas dalam dan mengembuskan nafas dengan berlahan. Kulihat Andi sudah siap di belakang kemudi."Oh, ok." Segera aku masuk dan duduk di sebelah Andi.Di perjalanan aku berusaha mencerna ucapan Anya, aku tidak tahu maksud tujuannya. Sudahlah, masih banyak hal yang harus aku pikirkan selain kata yang keluar dari bibir Anya. Biarlah urusan Angga dan Anya menjadi masalah mereka. Aku tidak mau mengetahui lebih jauh lagi.***[Sayang, maaf aku tidak bisa menjemputmu di tempat kerja. Bosku memintaku untuk menemaninya ke lapangan. Tetapi, aku akan usahakan untuk makan malam di rumah, siapkanlah masakanmu yang terbaik.]Mas Yoga mengirimkan pesan setelah aku menunggunya menjemput kami cukup lama. Aku tersenyum getir membacanya. Tulisan itu seolah menambah deretan panjang kelelahanku hari ini.Tiba-tiba udara di ruangkanku menjadi seperti panas, AC di ruangan ini rupanya tidak cukup mendinginkan otakku yang seakan mendidih, kuusap keningku yang tak berkeringat.Tak habis pikir, pekerjaan apa yang membuat Mas Yoga harus bersama Bosnya setiap saat. Apa tidak ada orang lain. Bukankah di perusahan itu memiliki banyak karyawan, kenapa harus Mas Yoga yang selalu menemani Bosnya itu. Kecewa. Kuletakan telpon selulerku dengan sedikit dibanting ke meja."Ma, ada apa?" Raya terperanjat mendengar suara dari lemparan tadi, ia menoleh padaku, lalu matanya tertuju pada ponselku.Ya, Tuhan. Bagaiman aku bisa lupa dengan kehadiran Raya yang sedang duduk di sofa sebelahku. Harusnya aku bisa menahan emosiku di depan Raya. Kalau sudah begini, ia pasti akan bertanya yang macam-macam."Tidak ada apa-apa, Raya. Mama hanya tidak sengaja menjatuhkan ponsel ke meja ini." Ku berikan senyum yang dibuat-buat. Maaf mama berbohong, Nak, bisikku dalam hati. Semoga saja Raya percaya, aku tidak mau ia menanyakan hal yang berbau hubungan rumah tangga dan masalah orang dewasa.Pikiranku kembali kacau mengingat ucapan Anya. Apa ucapan Anya mengandung petunjuk. Tetapi, untuk siapa? Angga atau Mas Yoga?Hari ini aku pikir akan melupakan masalahku dengan Mas Yoga, kenyataannya aku kembali menghubung-hubungkan perkataan Anya dengan tak jadinya Mas Yoga menjemputku."Raya, ayo siap-siap, kita pulang!" Kuputuskan untuk mengajak Raya kembali ke rumah orangtuaku. sebab, aku yakin Mas Yoga tidak akan pulang tepat waktu untuk makan malam bersama kami.***Sudah larut malam sekali. Sampai-sampai Raya tertidur pun Mas Yoga tak kunjung jua memberi kabar. Aku sengaja tak mengabarinya tentang keberadaanku di rumah Mama, karena aku tahu, Mas Yoga tidak akan peduli keberadaanku sekarang yang ada di mana.Kulirik Mama yang dari tadi menunggu moment Raya tidur. Pasti, Mama akan membahas sesuatu perihal karena melihat wajahku yang kusut malam ini."Bangunkan Raya, Indri. Pindahkan dia ke kamar." Aku mengangguk mendengar perintah Mama, lalu Mama mendekatiku yang sedang membelai rambut Raya di depan televisi. Raya tertidur lelap di pangkuanku di sofa sewaktu menemaniku menonton."Tak terasa, ya. Raya sudah sebesar ini. Raya anak yang cantik dan pintar. Sama seperti mamanya," ucap Mama lalu tersenyum.Aku ikut tersenyum mendengar Mama."Omanya Raya juga cantik, awet muda." Aku balik memuji Mama. Lalu Mama membelai pudakku dengan lembut."Dua tahun waktu yang singkat. Raya yang kau sayangi kini telah menjadi anak yang kritis. Rasa ingin tahunya juga besar. Pesan mama, jangan pernah bertengkar dengan suamimu di depan Raya." Hatiku lega Mama tidak mengulik masalah yang kualami saat ini."Iya, Ma. Aku akan ingat itu," ucapku. Ku goyangkan tubuh Raya dengan pelan. Ia menggeliat dan membuka sedikit matanya. Kuperintahkan Raya untuk pindah ke kamarnya sendiri."Bagaiman dengan orang tua Yoga? Apa sudah mau menerima Raya?" Mama bertanya lagi untuk kesekian kali akan persetujuan keluarga Mas Yoga. Keputusanku mengasuh Raya, memang tanpa persetujuan kedua mertuaku. Karena itulah hubunganku dan keluarga Mas Yoga menjadi renggang.Kali ini aku diam, sudah lama sekali rasanya tidak bertemu orang tua Mas Yoga, aku masih ingat ucapan Mama mertua yang mengatakan lebih baik anaknya menikah lagi dari pada memelihara anak orang lain."Sudah, tak perlu kami jawab. Lupakan!" Lalu Mama berdiri, berjalan ke depan dan mematikan televisi."Kamu benar mau pulang?" tanya Mama lagi."Iya, Ma. Pagi sekali aku akan datang menjemput Raya untuk sekolah. Ada yang mau aku bicarakan pada Mas Yoga. Hari ini dua karyawanku tidak masuk tanpa memberi kabar. Ini sudah sering terjadi, itu membuatku menjadi keteter dengan pesanan catering yang sekarang kian ramai. Istri dari teman Mas Yoga pernah meminta pekerjaan padaku, mungkin aku akan mempekerjakannya," jelasku.STRUK BELANJA DI SAKU CELANA SUAMIKUBAB 8Kulihat mata Raya terpejam lagi. Akhirnya aku memutuskan menggendongnya ke kamar. Saat aku berdiri, telepon genggamku di meja berdering. Aku melirik pada Mama."Sini mama saja yang gendong Raya," ucap Mama menawarkan diri."Raya sekarang sudah berat sekali, Ma. Mama tolong angkat teleponku saja, ya!" pintaku.Sementara aku melangkah menuju kamar Raya. Kudengar Mama menyebut nama Mas Yoga. Mungkin Mas Yoga baru sampai di rumah dan tak mendapati aku di sana, mungkin juga karena itulah ia menelpon.Tak lama aku kembali menghampiri Mama."Mas Yoga ya, Ma?" tanyakuMama tak menjawab, malah mengulurkan tangannya untuk memberikan teleponku, lalu pergi menuju arah dapur. Mungkin Mama sengaja meninggalkanku agar aku lebih leluasa berbicara dengan Mas Yoga."Hallo, Mas!""Kamu mau menginap lagi? Kamu mau merajuk lagi? Apa kamu tidak lelah bertengkar setiap hari? Kamu curiga lagi karena aku tidak menepati janji?" Mas Yoga memberondongiku dengan beberap
STRUK BELANJA DI SAKU CELANA SUAMIKUBAB 9"Baiklah, Dina. Aku akan memberikanmu kesempatan bekerja di sini. Hari kerja hanya 5 hari dalam seminggu, tetapi liburnya akan di gilir, jika ada keperluan mendadak akan diganti dengan hari libur kerjamu. Kalau kerjamu bagus dalam seminggu ini, kamu akan terus lanjut bekerja, jika bayi ini menghambatmu bekerja, maaf, aku tidak bisa mempekerjakanmu di sini," jelasku."Baikah, Bu. Terima kasih atas kesempatan yang Ibu berikan padaku. Aku akan berusaha sebaik mungkin dalam bekerja dan berjanji akan bekerja dengan rajin." Mata Dina berbinar.Kulihat anaknya menggeliat lagi. Aku beranjak dari kursi dan berpindah duduk di sebelah kiri Dina. Ku amati anaknya lalu meminta Dina memberikannya padaku."Bayi yang cantik," ucapku saat menatap wajah makhluk Tuhan yang mungil ini di pangkuanku. Tanpa terasa mataku basah. Ku buang pandanganku dari Dina. Cengeng sekali hatiku ini. Sangat mudah terharu melihat hal itu. Ucapku dalam hati."Baikah, Bu. Apa aku b
STRUK BELANJA DISAKU CELANA SUAMIKUBAB 10"Tidak bisa, Sayang. Maksudku, begini. Ada yang ingin aku ceritakan padamu. Tentang masalah pekerjaanku, aku sengaja datang kesini untuk meminta pendapatmu."Aku sedikit kecewa. Kutatap bayi itu dengan seksama, bibir mungilnya sibuk meminum susu buatan ibunya. Sebenarnya aku ingin sekali bertanya pada Dina. Kenapa ia sampai memberikan susu formula untuk anaknya? Kenapa ia tidak memberikan ASI-nya saja? Tetapi, urung aku lakukan, sepertinya tidak pantas aku mencampuri urusan orang lain yang baru aku kenal."Sayang, ayo kita pergi makan siang, aku sudah lapar," pinta Mas Yoga memaksa. Membuatku sedikit tersentak."Dina, maaf. Tadinya aku ingin lebih dekat dengan Yuna dan kamu. Mungkin lain kali, itu pun jika kamu mau." Ku sentuh lagi kaki bayi mungil itu."Iya, Bu. Tidak apa," ucap Dina, lalu ia tersenyum simpul dan menunduk. "Kalau begitu saya permisi keluar, Bu!" Ia meletakan Yuna--bayi mungil itu ke sofa, membereskan peralatan bayi yang ia k
STRUK BELANJA DI SAKU CELANA SUAMIKUBAB 11Gegas aku masuk ke dalam, setengah berlari, lalu masuk ke ruanganku. Tak kulihat Dina di sana, hanya ada Yuna yang sedang menendang-nendang juga kedua tangannya yang bergerak-gerak ke segala arah.Ku pindai sudut ruangan ini, tak ada bekas tanda barang yang dilempar. Apa mungkin Icha salah mendengar? Dan Raya, kemana ia?Ku putuskan mencari Raya, apa Raya tadi langsung masuk ke dapur?"Raya!" panggilku saat melihatnya di ruang masak."Ya, Ma," jawab Raya sambil menoleh."Jangan menggangu Kakak-Kakak di dapur, lebih baik Raya temani Yuna bermain, ya!" seruku. Raya mengangguk lalu pergi menuju ruangan tempat Yuna berada.Setelah itu, mataku tertuju pada Dina bersama dengan anak-anak membantu mem-packing pesanan berikutnya."Dina!" panggilku. Dina menoleh, tangannya berhenti mengemasi makanan di hadapannya. Lalu ia berjalan mendekatiku. Ku ajak Dina sedikit menjauh dari meja tempat mem-packing makanan."Iya, Bu. Ada apa, Bu?" tanya Dina.Kulirik
STRUK BELANJA DI SAKU CELANA SUAMIKUBAB 12***Sudah dua kali aku menekan bel di depan pintu rumah Mama Rini. Ku lihat penunjuk waktu di tanganku, lama, masih saja tak ada yang membuka, andai Mama tertidur di kamar, apa mungkin ART-nya ikut tidur juga.Lebih baik ku coba menanyakan nomor ART Mama pada Mas Yoga, kalau menelpon Mama, aku takutnya malah akan mengganggu istirahatnya.Gegas ku rogoh tas kecil yang dari tadi kugamit di antara lengan dan ketiak. Saat sedang menekan nomor Mas Yoga tiba-tiba terdengar suara knop pintu yang berputar. Setelah itu, nampaklah wajah perempuan yang biasa membantu Mama Rini mengurusi rumahnya ini."Mbak Indri, maaf menunggu lama. Silahkan masuk Mbak!" Ia membuka pintu itu dengan lebar, menyingkir ke sisi memberikanku jalan.Ku genggam tangan Raya erat, lalu melangkah berlahan. Mataku menilik bagian-bagian ruangan yang terlihat sama saat terakhir aku menemui Mama setahun yang lalu. Membuat memoriku kembali mengingat ucapannya yang menyayat hatiku. Ma
STRUK BELANJA DI SAKU CELANA SUAMIKUBAB 13***"Raya tunggu di kamar, ya. Mama mau ambil baju dulu, nanti kita menginap di rumah Oma lagi." Raya mengangguk, meninggalkan aku dan Mas Yoga yang sedang duduk di tepian kasur.Setelah Raya keluar, Mas Yoga berdiri dan melangkah ke arah pintu. Ku lihat ia memandang ke arah kamar Raya, menutup pintu, lalu duduk kembali di tempat semula.Tanganku masih sibuk memilih beberapa pakaian yang akan aku bawa, lalu memasukannya ke dalam koper yang terbuka di lantai tak jauh dari lemari. Setelah memastikan semuanya yang dibutuhkan telah masuk, lalu aku menutup koper tersebut dan mengancing seletingnya.Ku lihat Mas Yoga yang masih setia duduk di sana, menunduk dan diam saja.Aku mulai beranjak sambil menarik koper tersebut, lalu berjalan menuju kamar Raya. Mas Yoga beranjak dan mengikutiku dari belakang. Tak senang di ikuti Mas Yoga, aku membalikan badanku lalu menghardiknya."Pergilah menjauh dariku, Mas!"Mas Yoga menghentikan langkahnya dan masih
STRUK BELANJA DI SAKU CELANA SUAMIKUBAB 14"Jadi itu sebabnya kamu memberikannya nama Yuna, itu artinya kamu salah mengerti aku, Mas.""Jadi menurutmu aku yang salah?""Tidak ada yang salah, Mas. Mungkin ini sudah jalannya. Biarlah aku menikmati sakit yang kamu beri saat ini, berikan aku waktu untuk menata hati, berikan aku waktu untuk sendiri, pelase!" Air mataku mengalir tak henti."Sayang, aku mohon berikan maafmu dari hati.""Mas, sangat mudah mengucapkan kata maaf itu. Beribu maaf akan aku berikan untukmu. Bukan demi kamu, tetapi demi menjaga hatiku agar tidak merasa lebih sakit dari orang-orang yang akan mendengar dan membayangkan posisiku. Sudahlah, jangan lanjutkan pembicaraan ini lagi. Jika hatiku sudah lebih baik, kita akan bicarakan ini lagi, sekarang lebih baik kamu cari Yuna dan ibunya. Kamu ingin mengantarkan aku ke rumah Mama, baiklah. Antar aku sekarang!"***Sendiri aku duduk di teras depan rumah Mama, memandang langit kelam yang tak nampak bintang, bintang yang haru
STRUK BELANJA DI SAKU CELANA SUAMIKUBAB 15***"Ma, Indri harus bagaimana? Indri takut Mas Yoga berbuat yang tidak diinginkan." ucapku cemas ketika Mama menuntunku duduk di kursi."Tenang, Indri, jangan terpengaruh dengan ucapan Yoga. Dengarkan isi hatimu. Ingat, jangan karena perasaan kasihan, bikin kamu salah ambil keputusan. Dengarkan isi hatimu!""Iya, Ma, benar apa yang Mama katakan, aku tidak mau mengambil keputusan berdasarkan kasihan.""Jadi, kamu sudah punya keputusan?""Aku ingin bercerai saja, Ma.""Sudah kamu pikirkan matang-matang?"Aku mengusap wajahku."Jika masih ragu, shalat istikharah lah. Minta petunjuk pada Al-Hadi.""Aku sudah melakukan itu selama menginap di sini, Ma.""Lalu?""Setiap tidur setelah sebelumnya melakukan shalat istikharah, aku bermimpi Mas Yoga memakaikan cincin pernikahan ini, tapi aku tidak tahu perempuan itu siapa." Ku perlihatkan pada Mama benda yang melingkar di jari manisku, lalu kubuka cincin tersebut dan mengacungkan benda tersebut lebih
STRUK BELANJA DI SAKI CELANA SUAMIKUBAB 50"Kamu cari apa, Can?" tanya Tante Purnomo pada anaknya."Ini, Ma." Candra menunjukan benda kecil berbungkus kain velvet berwarna merah yang baru saja ia keluarkan dari saku celananya.Tante Purnomo mengambilnya lalu membuka kotak tersebut. " Masya Allah, cantik banget, Can. Ini untuk Mama?" tanya Tante Purnomo pada Mas Candra.Aku tersenyum melihat pemandangan indah itu. Begitupun Pak Purnomo dan Mas Candra.Jadi acara makan-makan ini untuk memberi kejutan pada Tante Purnomo? Ulang tahun kah? Atau ini acara perayaan pernikahan mama dan papanya Mas Candra?"Ehem! Mama ini, nggak malu sama Indri?" Kini Pak Purnomo yang angkat bicara."Nggak apa-apa kok, Pak. Anggap aja Indri nggak lihat," ucapku sambil tersenyum."Ih, Indri ini. Jangan panggil Papa dan Mama dengan panggilan Pak, Bu!" Tante purnomo mengulum senyum lalu meletakan kotak kecil tempat cincin indah di meja menghadap padaku tanpa ia tutup kembali."Cincinnya bagus Tante, pasti cocok
STRUK BELANJA DI SAKU CELANA SUAMIKUBAB 49"Siapa yang ingin kita temui, Mas?""Nanti kamu akan tahu."Aku merasa diriku tidak sedang baik-baik saja. Jika orang yang mau kami temui itu orang penting, rasanya tidak pantas aku mendampingi Mas Candra. Lebih baik aku ke toilet untuk mencuci muka. Agar nantinya terlihat segar kembali.Ketika sudah melewati pintu masuk restaurat, aku memberitahu Mas Canda untuk pergi lebih dulu menemui orang yang Mas Candra maksud."Aku ingin membasuh mukaku, Mas. Rasanya wajaku terlihat kusut."Mas candra tersenyum. "Mau aku antar?"Aku terkejut mendengarnya. " Masa iya Mas mau mengantarku ke toilet?""Bu-bukan begitu, aku mengantarnya sampai di depan pintu saja, bisa dikeroyok ibu-ibu kalau aku masuk ke toilet wanita, Indri." Wajah Mas Candra memerah.Sikap salah tingkah Mas Candra membuatku tersenyum simpul. Begitupun Mas Candra, senyumnya mengembang seketika saat senyumku menjadi tawa."Syukurlah, aku senang melihat kamu bisa tersenyum lagi, Indri. Bai
STRUK BELANJA DI SAKU CELANA SUAMIKUBAB 48"Mas, kamu!" Aku langsung berdiri ketika melihat sosok yang berdiri di hadapanku."Bu, mau aku panggilkan Andi?" tanya Icha. Icha sama kagetnya denganku. Aku mengangguk lalu Icha bergegas keluar."Tenang, Indri. Aku tidak akan menyakitimu. Aku hanya ingin sekedar bertemu denganmu. Salahkah aku mengkhawatirkan keadaanmu. Aku hanya ingin melihat apakah kamu baik-baik saja atau tidak. Susah payah aku mencari keneradaanmu, sengaja kah kamu meghindari aku?"Wajah Mas Yoga terlihat kusut, rambutnya sudah terlihat memanjang. Begitupun di bawah matanya, seperti ada bayang hitam. Ah, apa peduliku padanya. Aku sudah bukan siapa siapanya lagi kali ini."Kita sudah tidak ada hubungan lagi, Mas. Sekarang kita telah resmi berpisah. Buat apa kamu harus tahu urusanku? Aku minta kamu pergi dari sini! Sebelum Andi menarikmu keluar." Aku mengancam Mas Yoga.Dalam hati aku berharap agar Andi cepat datang. Aku tidak mau Mas Yoga berbuat hal yang tidak-tidak di r
STRUK BELANJA DI SAKU CELANA SUAMIKUBAB 47"Aku akan menelpon Mas Yoga supaya dia tau kamu ada di sini." Kuletakkan gelas dari tanganku ke meja.Dina menggeleng. "Aku mohon jangan, Bu!" Dina menempelkan kedua telapak tangannya untuk memohon."Indri ini sudah malam. Apa lebih baik kita selesaikan besok saja." Mas Candra memberi saran."Tidak, Mas. Lebih baik suaminya tahu. Ada istri dan anaknya di sini," jelasku pada Mas Candra."Tapi, Ndri. Apa ini tidak menyakitkan untukmu." Mas Candra berkata pelan.Aku menoleh pada Mas Candra. "Maksud Mas apa?" tanyaku."Bukan kah kamu dan Yoga sudah memutuskan bercerai? Jadi untuk apa lagi kamu mengurusi hidup Yoga?" Mas Yoga menatapku dalam.Ucapan Mas Candra sukses membuatku merasa tertampar. Mas Yoga bukan lagi bagian dari hidupku, jadi untuk apa aku harus ikut campur dengan masalah antara Dina, Mas Yoga dan Yuna.Benar juga kata Mas Candra, apa tidak akan menyakitkan melihat Dina, Mas Yoga dan Yuna bersama. Bukan aku tak rela. Tetapi, luka it
STRUK BELANJA DISAKU CELANA SUAMIKUBAB 46"Nanti saja jika kita punya waktu berdua. Sekarang di sini ada Candra." Bu Mila terkekeh.Mendengar ucapan Bu Mila wajah Mas Candra terlihat aneh, ia melirik pada Bu Mila lalu melirikku, begitu terus berkali-kali. "Rahasia apa, Bu? Kok aku nggak boleh dengar?" Mas Candra protes."Hais, mana boleh ngasih tau ke orang yang sedang ingin Ibu gosipi." Dari wajah Bu Mila terlihat senang menggoda Mas Candra.Ketika aku dan Mas Candra saling tatap karena aneh melihat sikap Bu Mila, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu ruangan ini."Masuk!" Teriak Bu Mila.Ternyata Sari--salah satu perawat anak-anak panti yang melakukan itu."Bu, ada tamu yang cari Bu Mila," ucap Sari. Aku menoleh ke arah Sari."Malam-malam begini? Suruh masuk saja!" Wajah Bu Mila berubah serius.Akhirnya Sari keluar ruangan ini, ia menuruti perintah Bu Mila untuk memangil tamu yang datang. Karena pintu tidak Sari tutup ketika ia masuk, aku dapat melihat punggung perempuan yang bertamu.
STRUK BELANJA DI SAKU CELANA SUAMIKUBAB 45POV: Indri"Bu, ada tamu yang mencari Ibu." Tiba-tiba Icha masuk tanpa permisi."Icha, kamu bikin aku kaget saja." Sungguh aku salah tingkah melihat Icha memergokiku sedang menopang dagu berlandaskan meja, karena terkejut itu pula, lah. Daguku terpeleset dari topangan tangan."Maaf, Bu. Tadi pintunya udah kuketuk, tapi, nggak ada jawaban dari Ibu. Ya, udah aku masuk." Icha menunjukan baris giginya.Aku menghela nafas. Lalu menanyakan siapa tamu yang Icha maksudkan."Mungkin pelanggan tetap Ibu barang kali.""Mana ada pelanggan tetap mau datang ke sini sebelum bikin janji. Apa jangan-jangan ada yang mau komplain masakan kita, Cha? Suruh tamu itu masuk ke ruangan saya, Cha!" Aku merapihkan meja yang tak berantakan, juga merapihkan blazerku hitamku. Icha pun segera keluar menuruti perintahku.Tak lama terdengar suara ketukkan pintu. Lalu muncul lah sang tamu yang Icha maksud."Selamat siang, Bu Indri!" Laki-laki berjas hitam berjalan mendekati
STRUK BELANJA DI SAKU CELANA SUAMIKUBAB 44POV: CANDRAAku tahu betul maksud ucapan Papa, yang sebenarnya hanyalah untuk pelampiasan emosinya saja, aku juga yakin, bahwa bukan gosip di kantor tempatku bekerja yang menjadi pemicunya menjadi tidak sadarkan diri, dan mengakibatkan ia berada di rumah sakit ini sekarang.Kalau boleh aku menjawab ucapan Papa, ingin sekali rasanya aku mengatakan bahwa jangan pernah mengungkit mendiang istriku yang sudah tiada. Tapi sayangnya, Papa sedang tidak sehat, aku tidak mau memperburuk keadaan Papa. Lebih baik kali ini aku yang mengalah. Dan tidak mematik emosinya."Maaf, Pa. Aku memang salah." Ucapan itu meluncur begitu saja, entah karena aku malas melayani kemarahan Papa atau kasihan atas kondisinya yang sedang tidak sehat.Papa tersenyum sinis."Benar apa yang di katakan Bu Mila," lanjutku lagi. Lalu aku duduk kembali di kursi dekat Papa."Bu Mila panti?" tanyanya."Ya, Bu Mila mengatakan aku dan Papa sama-sama keras kepala. Dan aku tidak mau disa
STRUK BELANJA DI SAKU CELANA SUAMIKUBAB 43POV: Candra***"Ma, bagaimana keadaan Papa sekarang?" tanyaku saat menemui Mama yang baru saja keluar kamar perawatan.Mama tidak menjawabku, malah menoleh pada Indri yang bediri di belakangku. Aku bergeser, agar Mama bisa lebih jelas melihat Indri."Malam, Bu Purnomo!" Sapa Indri sambil melangkah mendekati Mama, lalu mengulurkan tangan, Mama mengganguk."Apa kita pernah bertemu?" tanya Mama, Mama akhirnya menyambut uluran tangan Indri."Dulu sekali, Ma." Sengaja aku yang menjawab pertanyaan Mama.Mama menoleh padaku, lalu mengangkat alisnya. Kemudian tangan mereka berlahan merenggang dan terlepas."Indri, dia pernah aku bawa ke rumah ketika kami masih kuliah, ah, Mama pasti lupa," lanjutku."Oh ..., ya, ya. Mama ingat. Mama mana bisa lupa, itu bukanya pertama kali kamu membawa gadis untuk diperkenalkan ke Mama," seloroh Mama."Ehem." Sengaja aku berdehem agar Mama tidak membuka kartuku dimasa lalu.Kulihat Indri melirikku."Indri temani Ta
STRUK BELANJA DI SAKU CELANA SUAMIKUBAB 42POV: Candra"Maksud Bapak perempuan itu Indri istriku?""Indri? Apa kamu yakin Indri itu perempuan spesial yang pantas aku miliki?" Aku berbalik tanya."Kita sama-sama tahu, Pak. Indri memang perempuan intimewa. Aku masih mencintainya dan aku yakin Indri juga, cinta kami tidak akan berubah, masih sama seperti di masa kita kuliah dulu." Yoga mengangkat alisnya. Lalu tersenyum sinis.Yoga memang bersikap formal terhadapku di kantor ini. Padahal ia sebenarnya tidak perlu melakukan itu. Jujur aku lebih senang kalau ia mau menganggapku sebagai kawan lamanya."Aku setuju atas ucapanmu Yoga, Indri memang istimewa. Tapi, apa kamu yakin Indri masih mencintaimu?" Sengaja aku mengatakan itu, agar ia tahu aku tidak akan mau mengalah lagi kali ini.Pintu lift terbuka, kutinggalkan Yoga. Reaksi yang kudapat dari jawaban Yoga tidak membuatku puas. Malah membuatku insecure atas niatku mencari jawaban hati Indri padaku nanti.Tak kusangka ternyata Yoga menge